90PoV SultanAku melacak nomor Ana yang ternyata tidak ganti paska pergi dari rumahku. Akan kubuktikan jika ia sebenarnya tidak bisa move on dariku. Semua yang dilakukannya bersama Alvin pasti hanya sandiwara belaka untuk memanasiku. Ya, aku yakin itu. Dia sangat mencintaiku. Bahkan ingin aku menikahinya. Tidak mungkin secepat itu ia move on, dan mendapatkan pengganti diri ini. Semua pasti hanya rekayasa mereka. Aku saja yang sudah jelas-jelas membersamai dia dari gendut hingga sesempurna itu, berkali-kali ditolaknya. Tidak mungkin Alvin yang baru dikenalnya sebentar langsung ia terima begitu saja. Bahkan sudah mau menikah. Tidak masuk akal. Owh, lihatlah ia berada tak jauh di depanku. Mungkin saat aku keluar restoran, mobil Alvin baru saja jalan. Mobilnya hanya terhalang beberapa mobil saja. Aku melihat ke depan, mencari keberadaan mobil yang ada Ana di dalamnya. “Pak, ikuti mobil putih itu!” Aku memberi perintah kepada sopir saat yakin Ana berada dalam mobil Mercedes-Benz war
91PoV ViolaAku merebahkan diri di kasur empuk yang sangat nyaman. Waktu sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Aku memutuskan menginap di rumah Bunda Yumi. Layaknya anak kandung, aku punya kamar pribadi di sini. Tempatku tidur setiap kali menginap. Aku sudah seperti anak kandung Bunda Yumi. Namun, bukan karena itu bila aku memutuskan menginap malam ini. Aku mengenali mobil yang tadi membuntuti kami hingga ke sini. Mobil Tuan Sultan. Aku mengingatnya, karena enam bulan bekerja untuknya. Dia lucu. Apa dipikirnya aku amnesia, hingga sudah tak mengenali lagi mobilnya? Aku yakin jika ia mempunyai niat tidak baik. Karenanya daripada terjadi sesuatu, aku memilih tidur di sini. Bukannya berprasangka buruk, tetapi untuk apa dia mengikuti kami? Bukannya kerja samanya dengan Pak Alvin batal? Aneh, bukan? Lama-lama dia seperti Arman dan keluarganya yang tidak pernah puas menyakitiku, padahal aku sudah bukan lagi bagian dari mereka. Aku berterima kasih kepada Pak Alvin yang tetap mempertah
92PoV ViolaPagi ini kami sarapan bertiga dengan suasana hangat. Pak Alvin dan ibunya terus saja berceloteh hangat. Acara sarapan keluarga yang hangat dan sangat berkesan. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak kurasakan. Entah kapan terakhir kali. Yang kuingat dulu waktu ibu masih ada. Terkadang ibu dan anak itu menggodaku, hingga wajah ini terasa panas. Sungguh, aku bahagia berada di antara mereka. Pak Alvin dan ibunya sangat dekat karena mereka tidak punya anggota keluarga lain. Pak Alvin anak tunggal. Suami Bunda sendiri sudah meninggal tiga tahun lalu. Jadilah Pak Alvin berperan bukan hanya sebagai anak, tetapi pelindung sang ibu, walaupun tidak tinggal satu atap. “Alvin, mau kapan kamu menikahi Viola? Ingat, umurmu beberapa bulan lagi sudah tiga puluh enam. Nanti kamu keburu tua, Al. Kalau sudah tua, tubuh kamu tidak se-fit saat muda dulu. Bunda takut dapat cucunya lama.” Bunda mulai membahas pernikahan. Sesuatu yang kutunggu sekarang-sekarang. Pak Alvin tersenyum simpul. Mu
93PoV Sultan “Ada yang bisa saya bantu, Pak Sultan?” Sebenarnya, aku benci harus merendahkan harga diri seperti ini. Suara Alvin memang terdengar datar seolah tidak pernah terjadi apa-apa saat menerima panggilanku. Namun aku yakin ia tengah menertawakanku. Kalau saja bukan karena Ana. Tidak mungkin aku mau merendahkan diri dengan menawarkan lagi kerja sama ini. Semua kulakkan agar aku bisa bertemu Ana. Setelah apa yang ia lakukan padaku, belum puas rasanya bila tidak terus mengganggunya. Lihat saja, Ana! Sampai sejauh mana kau bisa bertahan dari seranganku. “Saya ingin menawarkan ulang kerja sama kita, Pak Alvin. Mengingat profit yang akan kita dapatkan bila kerja sama ini berlanjut.” Aku terus meyakinkan Alvin agar ia bersedia meninjau kerja sama ini. “Bukankah Anda sudah membatalkannya, Pak?” Shit! Pakai acara muter-muter segala! “Apa Anda tidak ingin meninjaunya dulu, Pak Alvin? Bukankah ini sangat menjanjikan?” Walaupun sangat malas, aku bernegosiasi lagi. “Tapi Anda su
94PoV Sultan“Bagaimana bisa itu anakku? Aku tidak pernah melakukannya, Michelle!” Aku berdiri dan berteriak marah. “Dalam keadaan sadar kau tidak melakukannya. Tapi ingat, malam itu kau mabuk Sultan!” Michelle balas berteriak. Aku mengerjap. Ucapan Michelle barusan menohokku. “Ya, aku mabuk malam itu, tapi aku tetap tidak merasa melakukannya!”“Kau pikir orang mabuk ingat apa yang dilakukannya? Semalam aku juga tidak ingat apa-apa. Hingga pagi ini sudah ada di apartemen!”Kembali aku mengerjap. Ya, semalam Michelle mabuk sampai tidak sadar hingga aku harus membopongnya ke apartemen. Lalu kutinggalkan ia sendiri di sana setelah sebelumnya mengguyur kepalanya di wastafel agar ia sadar. Namun, wanita itu tidak kunjung sadar hingga aku memutuskan pulang karena kesal. Dan malam itu? Malam di mana aku sangat kacau karena akhir-akhir ini banyak masalah mendera. Perusahaan yang awalnya berjalan lancar karena aku dibantu Hisam selama ini, mendadak oleng karena segala sesuatu harus kuhan
95PoV Viola Entah ditaruh di mana otak orang ini. Dia sudah tidak waras! “Hmmpphhh....” Aku meronta, ingin terlepas dari kungkungan lelaki yang otaknya sudah geser ini. Namun, ia mengimpitku dengan posesif hingga sulit sekali untukku melepaskan diri. Sebelah telapak tanganku ia tahan dengan menggunakan telapaknya yang besar dan kuat, di dinding. Sementara sebelah lagi terimpit di antara tubuh kami. “Mmpphhh!” Aku berusaha berteriak agar ada seseorang yang mendengar dan menolong karena sepertinya orang ini tidak berniat melepaskanku. Dia terus menciumiku dengan rakus. Aku ingin melepaskan diri dan berteriak. Namun, suaraku hanya tertahan di mulut. Entah berapa lama dia menciumiku karena napas ini rasanya sudah mau habis. Hingga pada titik aku hampir kehabisan napas dan mulai putus asa, makian keras dan sebuah suara pukulan sangat kuat tertangkap indera pendengaran ini. “Kurang ajar! Dasar otak mesum!” Bugh! Aku tidak tahu apa yang terjadi, yang pasti tautan bibir laki-laki itu
96Aku berlari sembari mengangkat ujung gaunku entah ke mana kaki ini akan melangkah. Yang pasti saat ini aku sangat tersinggung dengan ucapan Pak Alvin. Dia menganggapku sekretaris murahan yang bisa tidur dengan bos. Aku merunduk, membuka high heels yang menyulitkan untuk berlari, membukanya, kemudian berlari lagi dengan bertelanjang kaki. Tak peduli beberapa orang yang menatap heran. Tiba di luar gerbang gedung tempat pesta itu, aku bingung. Kususuri saja trotoar sepanjang jalan. Tak peduli telapak kaki yang terasa perih. Hingga setelah beberapa lama, bunyi klakson pun berbunyi berkali-kali memekakkan telinga disertai lampu mobil yang menyorot sangat dekat. Aku tidak peduli, kupercepat langkah ini, hingga sebuah mobil menepi beberapa meter di depanku. Pemiliknya keluar dan menghadang langkah ini dengan meraih tanganku. Namun, gegas kutepis kasar. “Kau mau ke mana?” Pemilik mobil yang tiada lain Pak Alvin menghadang di sisi lain saat aku mencoba menghindarinya. “Viola, aku mint
97“Sepertinya, penggemarmu bertambah, ya? Suka ngirim-ngirim bunga segala. Bertambah lagi sainganku!” Aku menoleh heran ke wajah Pak Alvin saat mengantarkan dokumen yang harus ia tandatangani. Keningku berkerut dengan sendirinya. Apa maksudnya? “Lain kali, kalau ada bunga lagi di meja, tidak perlu memfitnah orang lain. Langsung saja buang kalau kau tidak suka! Sebelum kukejar pengirimnya!”Aku mengerjap. Keningku semakin berlipat. Sungguh, aku tidak mengerti maksud ucapannya. Tadi, saat Mbak OG keluar dari ruangan Pak Alvin, aku sedang tidak berada di meja. Jadi, tidak sempat bertanya bagaimana reaksi Pak Alvin. Kenapa dia tiba-tiba bicara begitu? Apa ia marah karena aku mengerjainya? Atau.... “Jangan membuatku harus menggunakan otot lagi. Ini saja belum sembuh. Semalam kau tidak jadi mengobatiku!” Dia bicara dengan ketus seraya menunjuk wajahnya yang masih penuh lebam. Tunggu! Dia seolah marah kepada si pengirim bunga. Apa itu artinya bukan dia yang mengirimnya? Lalu, siapa?
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan