69Aku mendudukkan diri dengan kasar di tepi kasur. Kemudian menutup wajah dengan kedua tangan. Kembali menumpahkan tangis. Semua ucapan laki-laki itu tak ada yang tidak meninggalkan luka. Aku sakit diperlakukan seperti ini. Sungguh, sekeras apa pun bersikap kuat dan tegar di hadapannya, bila sedang sendiri seperti ini, jiwa rapuhku tetap keluar. Aku hancur. Tak tahu harus bagaimana lagi menjalani hidup. Bahkan harus pergi ke mana, aku belum tahu. Tak ada yang bisa kumintai tolong untuk saat ini. Aku tidak mengenal siapa pun di luar sana, selama ini. Akhirnya, mencari iklan penginapan atau rumah kost terdekat di sosial media atau google adalah hal yang kulakukan saat ini. Untunglah aku tidak terlalu gagap teknologi, mungkin karena sudah bekerja di kantor, otakku lebih berkembang. Setelah mencari beberapa lama, aku mendapatkan sebuah rumah kost terdekat yang harganya lumayan terjangkau. Aku memang memiliki cukup uang dari gaji dua pekerjaan sekaligus, tetapi tetap harus berhemat k
70Kulemparkan ponsel ke atas kasur setelah menonaktifkannya terlebih dulu. Kuabaikan semua pesan dari Pak Sam. Kemudian mengangkat kedua kaki ke atas kasur. Memeluk lutut dan menyembunyikan wajah di sana adalah hal yang ingin kulakukan saat ini. Aku sudah terlanjur sakit hati. Oleh Tuan Sultan, juga Pak Sam. Bagiku, mereka berdua sama saja. Sudah membohongiku. Itu sangat menyakitkan. Aku menjatuhkan tubuh di atas kasur, setelah sekian lama memeluk lutut. Merasakan perih yang kembali hadir bila sedang sendiri seperti ini. Aku menyesal kemarin begitu besar mencintai Tuan Sultan, hingga sakitnya begitu kuat saat dicampakkan. Aku meringkuk seperti janin, merasakan perih ini sendiri. Bahkan lupa jika niat awal ingin membereskan baju.Lalu Pak Sam yang menunggu di depan? Aku tidak peduli sama sekali! Aku tak ingin lagi berhubungan dengan orang-orang yang berkaitan dengan Tuan Sultan.**Aku berada di padang sabana yang luas dan terhampar sejauh mata memandang. Tak ada apa pun di sini
71Fera menarik tanganku setelah puas memukuli Pak Sam dengan sandalnya. Ia mengajakku berlari hingga kami tiba di depan sebuah tenda pecel ayam dan lele. Kami langsung duduk di salah satu bangku kayu panjang yang masih kosong. Dengan napas yang tersengal, Fera meminta air minum kepada penjual di sana yang sedikit heran. Sekalian memesan makanan. “Kamu harus hati-hati Vio, sekarang ini kan, sedang marak penculikan anak untuk diambil organ vitalnya. Aku yakin orang itu tadi ingin menculikmu! Kenapa kamu tidak teriak?” Fera menatapku cemas setelah meneguk segelas air dan napasnya sedikit normal.Aku terbahak mendengarnya. Teringat bagaimana reaksi Pak Sam saat Fera menghujaninya dengan pukulan sandal di kepala dan seluruh tubuhnya. Kasihan sih, tetapi biarlah, siapa tahu dia kapok untuk datang lagi. Bagaimanapun, aku masih marah kepadanya. “Lain kali hati-hati! Teriak saja kalau ada orang asing yang mencurigakan! Itu pasti penculik anak!”Aku tertawa lagi. Bahkan hingga keluar air ma
72Hari kedua bertemu Fera, aku diajak ke kantor tempat ia bekerja, setelah sebelumnya menyiapkan lamaran terlebih dulu. Katanya ia sudah bicara dengan leader-nya agar aku bisa mengisi kekosongan sepeninggal salah satu rekan Fera. Fera sendiri sudah bekerja hampir lima bulan di sana. Selang sebulan setelah pertemuan pertama kami. Ah, aku berterima kasih kepada Tuhan karena dulu mempertemukan kami. Karena dia dulu aku bisa bekerja di rumah Tuan Sultan. Karena dia juga kini aku merasa hidupku tak sendiri. Bila tidak bertemu dia lagi, entah, mungkin aku masih terus meratapi nasib. Dengan kehadirannya dan keceplas-ceplosannya, aku merasa terhibur. Sedikit banyak mengalihkan dari luka hati ini. Semalam ia bahkan menginap di kamarku agar aku tak kesepian katanya. Kamarnya sendiri terhalang tiga pintu dari kamarku. Ia memutuskan kost untuk menjaga kewarasan katanya. Bila di rumah terus takut otaknya korslet karena omelan ibu tirinya setiap hari. Ok, aku akan memulai hidupku. Hidup baru y
73 Aku, Fera, Anita, dan leader kami bernama Bu Maya kini berada di ruang kepala HRD. Kami disidang karena kejadian di kantin tadi. Sungguh memalukan. Di hari pertama aku bekerja, hal seperti ini harus terjadi. “Kalian sungguh memalukan! Pak Alvin sampai melihat sendiri keributan yang seharusnya tidak pernah terjadi!” Bapak-bapak berjidat lebar yang duduk di belakang meja menatap kami semua yang berdiri berbaris di depan meja kerjanya. “Kalian tahu ini waktu karyawan beristirahat, bukan? Mereka butuh ketenangan untuk menyantap makan siang setelah bergelut dengan pekerjaan. Dan kalian merusaknya dengan keributan tidak penting!” Pria itu melanjutkan dengan tetap mengedarkan pandangan ke arah kami bergantian. Tidak ada yang berani bersuara di antara kami. Bahkan Bu Maya yang masih bingung karena tak tahu menahu kejadian tadi, diam tak mengerti. “Maya, ini hari pertama kamu menjadi leader OG, dan di hari ini, anak buahmu malah berbuat ulah! Bagaimana tanggung jawabmu?” Pria itu kini
74Aku sedang membersihkan dinding kaca ruangan rapat, saat seseorang masuk ke ruangan itu sambil menggerutu. Aku menoleh dan langsung mengangguk hormat ke arah perempuan cantik dan berpakaian seksi yang juga melirikku. Dari tampilannya, aku yakin jika ia seorang sekretaris. Hanya saja terlalu berlebihan untuk ukuranku. Aku jadi teringat Hera, sekretaris Tuan Sultan yang dikeluarkan karena berbadan dua. Perempuan itu terus mengomel, bahkan tak menanggapi sama sekali anggukan kepalaku. Ia melemparkan map-map yang jumlahnya lumayan banyak ke atas meja besar yang memanjang di tengah ruangan. Kemudian melipat tangan di dada dengan kesal. Sebelum beranjak mengecek sound system di dekat while board. Entah kenapa, aku malah ingin memperhatikan gerak-gerik perempuan itu. Melihatnya, aku jadi teringat pekerjaanku saat bersama Tuan Sultan dulu. Sepertinya, memang mau diadakan rapat hari ini. Karena aku diperintahkan membersihkan dan merapikan tempat ini sebelum tempat lainnya. Perempuan it
75“Apa yang kau katakan kepada Pak Alvin, hah? OG sialan, kau mau cari muka? Ngaca! Kamu Cuma OG, jangan mimpi bisa menggeser posisiku di sini!” Aku melongo tak mengerti. Perempuan bernama Sesil mendatangiku di pantry dengan omelan panjang yang membuat telinga gatal. “Kamu OG baru, kan? Baru masuk sudah mau cari muka? Sama bos besar pula? Helow, mimpimu ketinggian, Nona! Bangun, makanya jangan tidur siang bolong, jadi mimpinya sampai nyundul langit!” Dia terus saja mengoceh tidak jelas. Mengeluarkan kata-kata buruk yang memperlihatkan bagaimana kualitas dirinya. Dua rekanku, Sulis dan Agus, juga ada seorang karyawan laki-laki yang sengaja membuat sendiri minuman ke pantry, terheran-heran dengan kelakuan Sesil. Bukannya takut, aku bahkan melihat wajah-wajah mereka geli menahan tawa. “Maaf, Bu. Saya tidak mengerti dengan semua yang ibu katakan. Apa Ibu bicara dengan saya?” Aku bertanya saat perempuan itu menarik napas setelah ocehan panjangnya. Bukan jawaban Sesil yang kudengar s
76“Saya tidak sumbing, Pak saya juga tidak....” “Aku percaya!” Ia mengibaskan tangan setelah beberapa lama terperangah menatapku tak berkedip. “Mataku masih normal!” lanjutnya seraya menyalakan LCD projector, hingga layar di tembok menampilkan gambar sesuatu. Kini mataku yang membola tak berkedip, melihat layar projector yang menampilkan rekaman diri ini di ruang rapat tadi. Di mana aku bergerak ke sana ke mari mempersiapkan semuanya dengan lincah tanpa kendala apa pun. Pak Alvin mematikan rekaman itu setelah sekian lama kami berdua memperhatikannya, di mana adegan terakhirnya aku keluar dari sana setelah bicara dengan pria itu. Dari sana aku baru tahu, jika Pak Alvin sudah lama berada di dalam ruangan itu saat aku masih sibuk mempersiapkan semuanya. Ia seperti sengaja memerhatikanku tanpa menegur atau bertanya apa pun hingga aku sendiri yang menyadari jika ia berada di sana. Aku menelan ludah dengan susah payah. Tubuhku mendadak berkeringat dingin. Bagaimana aku lupa jika di se
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan