273Dengan bergandengan tangan dan wajah sama-sama berseri, Amanda dan Shakeil berjalan menuju vila orang tua Amanda. Setelah tiga hari menginap di hotel dan menikmati waktu berdua di sana, mereka memutuskan pulang ke vila. Sementara orang tua Amanda sudah pulang ke Jakarta dua hari setelah hari pernikahan mereka. Pun dengan orang tua Shakeil yang sudah pulang ke Singapura.Hari ini terhitung hari keenam sejak mereka menjadi suami istri. Waktu benar-benar mereka gunakan untuk berduaan karena besok Shakeil harus kembali ke Amerika. Rasanya, enam hari terlalu singkat. Ingin rasanya Amanda menahan sang suami agar tidak berangkat dan tetap di sisinya selamanya.Shakeil benar-benar lelaki sabar dan penuh pengertian. Bahkan hingga menjelang keberangkatannya lagi dan tamu bulanan Amanda belum pergi, ia tetap sabar.Keduanya masuk setelah ibu penjaga vila membukakan pintu. Mereka baru pulang dari berlari pagi seraya menikmati pemandangan sekitar vila dan menghirup udara segar.Seperti juga ib
274Amanda gegas berdiri dan mengambil handuk di lemari, kemudian menyodorkan di antara celah pintu kamar kamdi yang terbuka. Ia berniat ingin kembali memeriksa ponsel yang tadi menyala di koper Shakeil. Namun, siapa sangka saat tangannya terulur ke dalam kamar mandi, bukan handuk yang berpindah tangan, tetapi tangannya yang ditangkap dan ditarik masuk.Amanda terlonjak dan gegas perpegangan di kusen pintu.“Abang, jangan!” teriaknya seraya bertahan sekuat tenaga.“Kenapa?” Suara Shakeil terdengar sangat parau. Tatapan aneh yang tadi tertangkap mata Amanda kini berpendar lagi.“Ayolah, sebelum Abang berangkat. Apa kamu tidak mau memberi Abang bekal?” lanjutnya setengah berbisik.Sementara Amanda tetap mempertahankan tangannya yang berpegangan kusen agar tubuhnya tak tertarik masuk.“Abang, jangan sekarang….” Amanda memekik dengan tatapan memohon.Shakeil yang melihat tatapan itu terbahak seraya melepaskan tangan sang istri perlahan.“Takut banget, sayang?” ujarnya geli seraya ingin me
275Amanda mengerjapkan matanya dengan lemah. Sebenarnya rasa kantukdan lelah juga rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawahnya menginginkan ia tetap di tempat tidur. Hanya saja kantung kemih yang penuh membuatnya harus beranjak sebentar dari peraduan.Diedarkan pandangan setelah matanya dapat terbuka. Dan hal pertama yang tertangkap netranya adalah serauh wajah tampan nan lelah pulas di sisinya.Amanda tersenyum sebelum menyingkirkan tangan kekar yang sejak tadi memeluk pinggangnya. Pantas saja tubuhnya tak bisa digerakkan. Bahkan sangat sulit sekadar bernapas, ternyata Shakeil memeluknya dengan posesif.“Mau ke mana?” Gumaman lirih dibarengi dengan pelukan yang semakin erat membuat seulas senyum tersungging dari bibir wanita itu.“Lepas, Bang. Aku mau buang air dulu.” Amanda kembali menyingkirkan tangan Shakeil di pinggangnya.“Mau diantar?” tanya Shakeil dengan mata masih terpejam, tetapi kali ini tangannya terlepas.Amanda tertawa geli mendengar pertanyaan yang meluncur dari mulut s
276Amanda menelan ludah. Tangannya yang memegang ponsel bergetar. Terlebih nama kontak yang tengah memanggil tertera di layar dengan nama ‘My Sweetie’. Wanita itu menekan dada yang mendadak sesak, tangannya semakin gemetar demi melihat nama pemanggil dan wallpaper ponsel yang berkedip-kedip.Ia tidak ingin berspekulasi dulu. Mencoba tetap berpikiran waras dan tidak berprasangka buruk. Namun, terus-terusan melihat layar ponsel yang berkedip-kedip menampilkan panggilan manis, juga foto sebuah keluarga bahagia, tak urung membuat hatinya bergejolak.Ya, keluarga bahagia, semua orang yang melihat foto tersebut akan sepakat jika tiga orang dalam foto itu adalah adalah keluarga kecil bahagia. Mereka berfoto sangat rapat dengan satu kesamaan. Senyum lebar menghiasi bibir mereka. Termasuk bayi perempuan yang dipakaikan jilbab.Amanda memejam. Dua sisi hatinya terus berperang antara ingin berprasangka buruk dengan menolak kenyataan. Ia bahkan berharap jika apa yang dilihatnya ini hanya mimpi b
277 Amanda mematung sempurna. Dunia benar-benar terasa berhenti berputar, bahkan jantungnya terasa berhenti berdetak. Bagaimana tidak? Kalimat yang sejak tadi takut didengarnya dan berharap tidak akan pernah keluar itu dari mulut Shakeil, kini benar-benar nyata. Suaranya tidak keras, bahkan terkesan sangat lirih, parau dan hampir tak terdengar. Namun, Amanda bersumpah suara itu bahkan lebih keras dari gelegar guntur sekali pun di telinganya. Hening untuk beberapa saat. Dua sejoli masih di posisi mereka masing-masing. Amanda berdiri seperti patung dengan ponsel pembawa malapetaka masih dalam genggamannya. Wajahnya pias seolah darah tidak mengalir ke sana. Sementara Shakeil masih berlutut dengan wajah menunduk penuh penyesalan. Entah untuk berapa lama mereka dalam posisi ini, hingga napas berat Amanda terembus bersamaan dengan kakinya yang bergerak pelan. Tubuhnya limbung mencari pegangan. Ditekannya dadanya sendiri sembari meletakkan bokong di tepian ranjang. Ranjang yang baru saja
278“Aku tidak akan mengerti dan tidak ingin mengerti apa pun terkait ini. Karena yang jelas kau sudah membohongiku. Kau menipuku, dokter Shakeil Ehsan. Aku ingin kau menjatuhkan talak atas diriku sekarang juga!”Akhirnya kalimat itu meluncur dari mulut Amanda tanpa dapat dikendalikan. Rasa kecewanya terlalu besar. Baginya Shakeil bukan hanya membohonginya, tetapi menipu seluruh keluarganya dengan kebohongan yang tidak bisa termaafkan.Shakeil sendiri terus berjalan dengan lututnya hingga mencapai kaki Amanda. Dipeluknya kaki itu dengan erat setelah sebelumnya menggelengkan kepala entah berapa banyak.“Manda, tolong jangan bicara seperti itu. Jangan terlalu terbawa perasaan. Dan jangan mengambil keputusan di saat tengah dikuasai emosi seperti ini.” Kepala Shakeil mendongak, tangannya masih memeluk erat kaki Amanda.Amanda ingin melepaskan kakinya, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Bahkan tenaganya yang telah terkuras oleh percintaan mereka, ditambah kenyataan hidup yang jungkir balik dar
279Amanda duduk menangis seraya memeluk dirinya sendiri. Rasa perih menjalari sekujur tubuhnya akibat perbuatan Shakeil barusan, tetapi perih di hatinya lebih meraja.Ia tahu kewajibannya sebagai istri melayani suaminya, dan hak Shakeil sebagai suami memiliki dirinya. Namun, bukankah hubungan suami istri pun harus dilakukan dengan cara yang baik dan tidak menyakiti salah satu pihak? Bagaimana mau bernilai ibadah bila dilakukan dengan cara memaksa hingga salah satu pihak merasa tersakiti?Amanda menangis. Meratapi nasibnya. Ia yang beberapa saat lalu merasa menjadi wanita paling beruntung dan bahagia bersuamikan lelaki sempurna seperti Shakeil, kini dunia benar-benar seolah dijungkir-balikan. Shakeil bahkan memaksa dirinya untuk berhubungan. Sakit. Namun, ia tak ingin orang lain tahu. Orang lain akan mentertawakannya, toh Shakeil memang suaminya. Berhak atas dirinya.“Maaf, Manda. Jika aku menyakitimu. Tapi kamu pasti paham bukan, aku hanya menuntut hakku. Kita suami istri, tidak sala
280Shakeil menyeringai melihat Amanda yang sudah terpojok. Wajahnya semakin merah. Tangannya menyambar benda dalam genggaman Amanda dengan cepat hingga wanita itu tak dapat menghindar.Amanda semakin pucat, sedangkan tangan Shakeil yang menggenggam ponsel terangkat tinggi. Satu tangannya lagi terulur, mengangkat dagu Amanda dengan ujung jarinya. Wajahnya mendekat, Amanda menahan napas karena saking dekat wajah mereka.“Bukankah kamu istri yang manis?” bisik Shakeil yang di telinga Amanda terdengar sangat menakutkan.“Istri manis tidak pernah membuat suaminya marah,” lanjutnya masih dengan bisikan menakutkan.Amanda menelan ludah dengan susah payah. Ia merasa tidak mengenal lelaki yang kini mengungkungnya di dinding. Shakeil seperti bukan dirinya.“Menurutlah agar menjadi istri solihah, sayang. Cukup diam dan semua akan baik-baik saja.”Amanda semakin ketakutan. Wajahnya semakin pucat. Bahkan keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.“Atau ….” Shakeil menyeringai lagi. “Kau ingin ….”
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan