335“Masih sempat-sempatnya berbohong di saat seperti ini, Bang?” tanya Malvino saat mereka berdua menggeledah rumah sewa Amanda yang terletak tidak jauh dari rumah utama keluarga Go.“Apanya yang berbohog? Abang memang akan langsung menikahi Amanda begitu ia ketemu dan masa iddahnya selesai.”Malvino menggeleng dengan senyum sinis terlukis di bibirnya. Tangannya sibuk mengutak-atik ponsel Amanda yang beberapa menit lalu disambungkan ke kabel charger. Dua hari dua malam tidak disentuh pemiliknya, membuat benda pipih itu kehabisan baterai. Malvino mengaktifkan begitu baterai terisi beberapa persen.“Itu kalau kakakku mau, kan? Bagaimana kalau ia tidak mau menerima Abang lagi?” tanyanya dengan mata memicing menatap layar ponsel yang belum juga menyala.“Tidak mungkin tidak mau. Abang sangat tahu sebesar apa cinta Amanda buat Abang.”Lagi Malvino tersenyum sinis. “Itu dulu sebelum Abang pergi mengabaikannya.”“Abang pergi karena terpaksa, Vin. Keadaan yang memaksa. Kami, khususnya Abang
336 Dewa terus berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Amarah yang menguasai terasa ingin meledak. Berkali kali-kali tinjunya melayang mengenai benda apa pun agar ia tidak gila karena amarah yang menguasai. Malvino bukan tidak tahu jika sang kakak angkat begitu tersiksa dengan amarah dan kecemasannya, tetapi ia pun tak dapat berbuat apa-apa. Karena dirinya merasakan hal sama. Entah bagaimana bisa laki-laki brengsek itu masih menemui Amanda. Entah bagaimana bisa ia mengetahui keberadaan Amanda di sana. Dan yang mengherankan, bagaimana bisa Amanda pergi bersama Shakeil. Karena menurut keluarga Go, Amanda pamit tanpa paksaan. Tidak ada indikasi penculikan, karenanya mereka tidak curiga. Jet pribadi pesanan ayah mereka yang membawa terbang ke negaranya Shakeil, terasa bergerak sangat lambat. Perjalanan yang biasanya memakan waktu sekitar tujuh jam, menjadi sangat lama mereka rasakan. Keduanya tidak sabar untuk melumatkan pecundang itu. Namun, justru kelogisan menjadi milik Malvino darip
337“Nai, kamu baik-baik saja?”Dua sejoli yang tengah duduk berhadapan di meja makan, menoleh bersamaan. Raut sama tergambar di wajah keduanya. Sama-sama kaget. Hanya saja si lelaki terlihat memucat. Terlebih saat pandangannya bukan hanya menangkap sosok Dewa, tetapi dua laki-laki lainnya.Sementara yang wanita menelan ludahnya. Tangannya yang tengah mengaduk sesuatu dalam cangkir, berhenti bergerak. Ditatapnya tiga laki-laki pelindung hidupnya bergantian dengan mata memanas sebelum menjatuhkan pandangan kembali ke cangkir yang tengah diaduknya.Hening. Semua orang mendadak mematung di tempat masing-masing pasca pertanyaan Dewa.“Kak, apa yang Kakak lakukan di sini? Kenapa membuat kami khawatir?” Malvino yang cepat menguasai keadaan, maju dan berdiri di samping Dewa yang malah mematung tanpa kata.Tidak ada jawaban dari mulut wanita yang menekuri cangkir di hadapannya. Ia malah asyik kembali mengaduk minuman itu. Sikapnya tentu saja membuat semua orang hera. Amanda aneh, membuat Malv
338“Mr Jamal, bisakah memberi waktu kami untuk bicara dengan Amanda?” Akhirnya Sultan mengambil keputusan karena melihat gelagat anak-anaknya yang seolah akan bertengkar. Ditatapnya mantan besan yang terlihat kuyu itu. Sultan bahkan tidak menanyakan keberadaan Shofia padahal dokter senior itu tidak terlihat sejak tadi.“Tentu saja, Pak Sultan. Silakan bicara dengan leluasa. Anggap saja rumah sendiri,” jawab Jamal sembari meminta Shakeil agar pergi dari sana. Meninggalkan keluarga Sultan yang memanas.Shakeil yang walaupun tampak keberatan, akhirnya bangkit dan pergi setelah menatap Amanda yang hanya menatap kosong ke depan.Setelah Jamal dan anaknya tidak lagi berada di ruangan itu, Sultan meninta kedua anak laki-lakinya duduk. Pun dengan dirinya yang sengaja duduk di bekas kursi Shakeil. Tepat di hadapan Amanda. Sementara Dewa dan Vino duduk di samping kiri kana Amanda. Mengapit gadis itu.Keheningan menyelimuti untuk sementara waktu. Sultan mencari kalimat yang pas untuk mulai bica
339“Apa yang kamu katakan?”Tiga pria dalam hidup Amanda berdiri dari duduk mereka dengan raut wajah serupa, kaget tiada tara. Tiga pasang bola mata bahkan seolah ingin loncat dari rongganya.Ruangan senyap, hanya deru napas yang dipenuhi keherenan dan emosi yang terdengar bersahutan. Amanda masih duduk di tempatnya dengan tenang. Ia bukan tidak tahu tiga lelaki itu tengah kecewa dengannya. Dan ia sudah memperkirakan ini akan terjadi.Perlahan, Amanda mendongak. Mengedarkan pandangan di antara tiga laki-laki yang kini berdiri menatapnya dengan wajah berkerut mereka.“Aku akan rujuk dengan Shakeil, apa itu masalah?” tanya Amanda dengan tenang seolah yang diucapkanya bukan masalah besar.“Kakak bertanya itu masalah? Tentu saja itu masalah. Bahkan masalah besar!” Vino yang sejak tadi tidak bisa mengendalikan emosi, menyahut lebih dulu. “Tidak bisakah Kakak mengingat bagaimana sakitnya saat pengecut itu menyakitimu dengan kebohongannya?” tanya Vino lagi dengan dada yang mulai bergerak ce
340“Aku tidak akan pulang. Aku akan tetap di sini dan melanjutkan pernikahan dengan Shakeil apa pun yang terjadi.” Tiga pria mengusap wajah dengan kasar. Entah apa yang harus mereka lakukan lagi. Amanda tetap pada keputusannya. “Sayang, bukankah keinginanmu sejak dulu bersatu dengan Dewa? Kini, jalan kalian sudah terbuka lebar. Apalagi yang kau tunggu?” Sultan menatap nanar sang putri yang jalan pikirannya tidak bisa ditebak. Entah apa yang dipikirkannya. Sultan frustrasi, ia tidak rela jika sang putri tercinta lebih menghancurkan hidupnya dengan tetap bersama Shakeil. “Itu dulu, Pa. Sebelum Papa menghancurkan harapanku. Menghancurkan hidupku. Kini, tidak ada lagi yang tersisa. Semua telah sirna.” Sultan menggeleng kuat. Hatinya bagai diremas-remas mendengar penuturan Amanda. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat putri kesayangan hancur karena ulahnya sendiri. “Sayang, demi Tuhan Papa tidak rela melihatmu seperti ini. Semua masih bisa diperbaiki. Jangan bodoh dengan ter
341Dengan hati remuk-redam, ketiga pria harus rela meninggalkan Amanda karena keputusan wanita itu tidak bisa lagi diganggu gugat. Tak ada yang bisa mereka lakukan lagi di sana. Karena kenyataannya Amanda memang tidak diculik atau dipaksa. Ia dengan sukarela ikut Shakeil ke sana. Sebagai seorang ayah, Sultan tidak dapat berbuat apa pun karena selain Amanda yang memutuskan sendiri, hubungannya dengan sang anak tengah tidak baik-baik saja. Mereka pergi setelah meminta izin memeluk Amanda yang diam saja seperti patung. Tidak bereaksi apa pun saat keluarganya memeluk satu per satu. Terutama saat Dewa memeluk dengan erat, seolah tak ingin melepasnya lagi. Tanpa Dewa tahu jika Amanda dengan sekuat tenaga menahan hatinya agar tidak terlihat lemah. Sultan, Malvino, dan terutama Dewa harus pergi seperti seorang pecundang yang kalah berperang. Tidak rela, tetapi mau bagaimana lagi? Mereka tidak bisa memaksa. Karena Amanda yang mau. Kecuali jika Shakeil yang memaksanya. Mereka bisa melaporkan
342Tubuh Dewa terjengkang setelah dua pukulan bersarang di wajahnya. Lelaki muda berkacamata yang tubuhnya bergetar, pelakunya. Tangannya yang baru melayangkan pukulan, mengepal penuh amarah.Dewa yang terjerembab di antara kursi dan meja, menggelengkan kepala untuk membuang rasa pusing dan kunang-kunang di matanya. Setelahnya bangkit dengan gerakan cepat dan langsung pula melayangkan pukulan sama kepada laki-laki berkacamata di hadapannya.Satu pukulan Dewa dapat terhindarkan oleh Shakeil, tetapi tidak yang lainnya. Pukulan susulan tepat mengenai perut laki-laki itu. Disusul pukulan lainnya di wajah, leher, dada dan bagian tubuh lainnya. Dewa yang kemarahannya sudah bergejolak entah sejak kapan, kini merasa mendapat jalan untuk meluapkannya. Dengan membabi buta, pemuda itu terus melayangkan pukulannya di sekujur tubuh Shakeil.Shakeil sendiri tidak mau kalah, ia juga membalas setiap kali ada kesempatan.Baku hantam antara dua laki-laki muda tak dapat terelakkan. Keduanya saling men
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan