49“Kenapa Anda menambah runyam keadaan, Tuan?” tanyaku saat membantu membersihkan noda bekas telur di wajahnya. Noda telur mentah yang amisnya lumayan membuat mual. Sementara blazerku yang juga terkena telur, sudah kuganti lebih dulu. Faris memang keterlaluan. Ia sepertinya sengaja membawa telur mentah untuk melempari Tuan Sultan. Entah apa motifnya. Dia bilang melawan kemungkaran. Apa pun alasannya, tidak dibenarkan melempari orang lain dengan sengaja, apalagi alasan yang mereka bawa tidak dapat dibuktikan. Begitu mudah Arman menghasut para karyawan. Memprovokasi mereka untuk mendatangi dan mengata-ngatai kami yang mereka tuduh berselingkuh dan berzina. Maka pantas jika Tuan Sultan langsung melaporkan mereka berdua dengan tuduhan-tuduhan itu. Lalu, karyawan lain yang dianggap provokator pun sudah dipecat dengan tidak hormat oleh Tuan Sultan. Tiada ampun bagi mereka. Karyawan lainnya yang ikut-ikutan dalam insiden tadi, yang akhirnya dibubarkan polisi bawaan Pak Sam, ada yang ke
50“Ana, kenapa kau diam saja?” Tuan Sultan bertanya kesal saat aku hanya diam memperhatikan wajahnya yang hari ini berubah-ubah. Itu menurutku. “Lalu, saya harus jawab apa, Tuan?”Pertanyaan bodoh! Namun, aku memang tidak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba dia mengajak menikah. Kapan pacarannya? “Kau harus menjawab ‘ya'. Tidak boleh jawab 'tidak'!”Lah, ini pemaksaan namanya. “Kalau saya jawab tidak?” Aku ingin tahu reaksinya. “Tidak boleh jawab tidak, harus jawab ya!”“Tapi saya tidak mau menikah dengan Tuan!” Aku menjawab lantang. “Kenapa?” Keningnya berkerut. “Karena ... karena tidak ada cinta di antara kita! Kita tidak saling mencintai, kan? Bagaimana mau menikah?” Aku memberikan jawaban logis. Itu benar, bukan? “Kalau begitu, ayo kita saling mencintai!” Ajakan yang menggelikan. Seperti mengajak bermain petak umpet. Aku memutar bola mata. “Tuan, mencintai itu bukan minum obat yang bisa dipaksa. Mencintai itu sebuah proses. Proses rasa yang tumbuh dengan alami. Tidak bisa
51Aku kenal suara itu. Ya, suara Arman. Mau apa lagi dia? Kenapa polisi belum menahannya? Bukanlah Tuan Sultan sudah melaporkannya? “Hmmm.” Aku memukuli tangan Arman yang membekap mulut ini. Tanda minta dilepaskan. “Baik, aku akan melepaskanmu. Tapi jangan teriak. Aku hanya ingin bicara sebentar saja!” Terdengar suaranya mengiba. Tidak angkuh lagi seperti biasa. Tidak terdengar membahayakan. Tubuhku melemah. Tidak lagi meronta. Akhirnya aku mengangguk. Arman melepaskan bekapannya. Juga cengkeramannya di tangan ini. Kami ternyata tiba di dekat mobilnya. Aku mencoba tenang, menegakkan tubuh, kemudian merapikan rambut yang sedikit berantakan, dan mulai bertanya. “Apa yang ingin kau bicarakan? Aku tidak punya banyak waktu. Tuan Sultan pasti mencariku.” Kuucapkan itu dengan tegas, dan tanpa melihat ke arahnya. “Sudahlah! Suruh saja Tuan Sultanmu pulang duluan. Kau nanti kuantar pulang.”Aku menoleh ke arahnya.What? Tidak salah? Ringan sekali dia bicara. Dikira Tuan Sultan itu pe
52Aku merebahkan diri setelah selesai dengan semua pekerjaan rumah. Tubuh yang penat meminta haknya untuk segera diistirahatkan. Untunglah sejak awal Tuan Sultan memberiku jam malam. Aku sudah harus masuk kamar di jam sembilan malam. Tidak boleh berkeliaran lagi di luar kamar di atas jam itu. Jadi, sejak awal bekerja di sini aku memiliki waktu istirahat yang cukup. Secapek apa pun di siang hari, bila malamnya istirahat yang cukup, bangun selalu dalam keadaan segar. Sebenarnya, Tuan Sultan sudah menawariku untuk berhenti sebagai pelayan. Maksudnya, aku tidak harus lagi mengerjakan pekerjaan rumah mengurus kamarnya. Hanya bekerja di kantor saja agar tidak terlalu capek. Seharusnya aku senang dengan tawaran itu. Namun, entah kenapa aku menolaknya. Ada rasa tidak rela jika ada orang lain yang bebas keluar masuk kamar bos-ku itu. Nanti dia bisa melihat Tuan Sultan sedang tidur dan menatapnya lama seperti yang sering kulakukan. Atau melihat Tuan Sultan baru bangun tidur dengan muka bau
53“Ana, ada apa?” Lelaki yang duduk di kursi roda bertanya dengan suara dan wajah datar seperti biasa. Ia duduk di kursi roda di belakang mejanya. Sementara Andrea duduk di kursi depan meja. Di atas meja depan mereka berserakan kertas-kertas. Tidak ada yang aneh. Mereka bicara dengan normal. Gestur mereka juga normal. Seperti diskusi pada umumnya. Ya, memang Andrea duduk melipat kakinya hingga paha mulusnya terekspos, tetapi Tuan Sultan tidak akan melihat karena terhalang meja. “Ana! Ada apa?” Tuan Sultan bertanya lagi dengan suara lebih keras karena aku hanya berdiri mematung dengan mulut menganga di ambang pintu. Sumpah demi apa pun, tidak pernah aku merasa sebodoh dan semalu ini. Aku, dengan amarah membara dan prasangka buruk, membuka pintu ruangan Tuan Sultan dengan kasar. Bahkan sudah menyiapkan kata-kata kasar untuk memaki mereka, karena kupikir mereka sedang berbuat tidak senonoh. Namun kenyataan yang kulihat, mereka hanya berdiskusi biasa dengan duduk saling berjauhan.
54“Ana?” Terdengar nada heran dalam suara itu. Suara Tuan Sultan. Ternyata dia mengenaliku. Padahal, sudah kututup wajah ini dengan buku menu. Aku juga menanggalkan blazerku di kantor. Pramusaji membersihkan meja, dan aku tetap menutup wajah ini dengan buku menu. Tak ingin melihat reaksi Tuan Sultan yang akhirnya tahu jika aku di sini, hingga seseorang datang dan berdiri di sebelah. “Vio, kau di sini juga?” Aku meringis di balik buku menu. Kenapa sial sangat hari ini. Sudah ketahuan menguntit, Pak Sam dengan terang-terangan menyapa. Akhirnya, karena sudah terlanjur ketahuan, aku menurunkan buku menu yang sejak tadi menutupi wajah. “I-iya, Pak. Aku ingin mentraktir Anda. Bukankan kemarin sudah janji?” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku. “Oh ya, kalau begitu ikut gabung di sana yuk!” Pak Sam menunjuk meja Tuan Sultan, di mana saat aku menoleh ke arah sana, kedua penghuninya tengah memperhatikan kami. Aku gegas mengalihkan pandangan. “Tidak perlu, Pak. Saya di sini saja
55Aku menjerit merasakan perih di kulit kepala akibat jambakan seseorang yang belakangan kutahu ibunya Arman. Calon mantan ibu mertuaku. Berbagai makian dan sumpah serapah berhamburan dari mulut wanita yang menarik-narik rambut ini dengan kuat. “Dasar perempuan sombong, belagu, tidak tahu diri! Baru jadi sekretaris aja sombongnya udah menyundul langit. Apa yang kau lakukan pada anakku, hah? Belum puas kau menyuruh bosmu itu membuat kolaps perusahaan keluarga kami, sekarang masih juga membuatnya di penjara? Dasar perempuan murahan! Tidak tahu diri! Tidak tahu diuntung!” Wanita itu terus saja menarik-narik rambut ini hingga aku yakin sebagiannya tercerabut. Makiannya bersahutan dengan jeritan kesakitanku. Hingga menciptakan kegaduhan yang menarik perhatian orang-orang. Pak Sam berusaha melepaskan jambakan tangan wanita itu. Akan tetapi wanita yang sepertinya sudah tidak waras itu semakin menjadi. Bukan melepaskan, ia malah semakin kuat menarik rambutku hingga kedua petugas keamana
56“Kenapa kau pulang tanpa bicara denganku? Apa kau lupa ini masih jam kerja? Apa begitu sikap seorang karyawan? Meninggalkan pekerjaan tanpa permisi sama sekali? Apa kau tidak tahu jika di sebuah perusahaan ada peraturan yang harus ditaati?”Rentetan pertanyaan langsung menyerbuku tanpa ampun. Diucapkan dengan nada tinggi dan wajah merah. Aku menunduk merasakan hati yang semakin sakit. Semarah itu Tuan Sultan karena aku pulang tanpa memberi tahunya. “Sa-ya sudah minta izin sama Pak Sam, Tuan.” Aku mencoba menjawab walaupun dengan gagap. Aku pikir dia akan mengerti, nyatanya jawabanku semakin membuatnya murka.“Sam? Kau minta izin Hisam? Kau pikir siapa bosmu, hah?” Mata Tuan Sultan melebar sempurna. Ia semakin murka. “Aku apa Hisam sebenarnya yang bosmu? Aku atau Hisam yang memberimu gaji? Aku atau Hisam yang memberimu tempat tinggal? Selalu Hisam Hisam saja! Seolah Hisam lebih penting bagimu! Kau sama sekali tidak menghargaiku! Apa benar yang dikatakan mantan mertuamu jika kau p
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan