194Kutatap langit-langit kamar yang sebenarnya tidak ada apa pun di sana selain lampu yang sudah kumatikan. Entah sudah berapa lama aku berbaring walaupun mata tak kunjung terpejam, dan malah menggembala otak yang berkelana ke mana-mana.Kedatangan Bang Hisam dan istrinya tak urung membuat pikiranku yang baru saja sedikit tenang, kembali terusik.“Abang ikut prihatin atas pernikahanmu, Vio,” ujar Bang Hisam tadi. “Sebenarnya Abang sempat menduga hal ini akan terjadi padamu, mengingat sifat Dala yang Abang tahu betul seperti apa.”Tadi aku hanya diam tak menanggapi. Toh, semua sudah terjadi. Apa yang menimpa pernikahanku dengan Kak Dala sudah suratan yang harus kami jalani.“Andai waktu bisa diputar kembali, Abang lebih baik bertarung….”“Abang! Sudahlah, tidak baik berandai-andai. Ingat, istrimu tengah mengandung. Sebentar lagi kalian menjadi orang tua.” Aku memotong ucapannya yang kumengerti ke mana arahnya.“Oh ya, selamat, ya. Semoga rukun dan bahagia selalu,” lanjutku dengan seny
195“Apa dia akan meeting bersama kita?”Sandy mengangguk setelah memejam sebentar. Aku ikut memejam, andai tahu sejak awal akan bertemu dia di sini, lebih baik mempercayakan Sandy sendiri untuk datang. Hatiku baru saja baikan, aku takut kembali lemah bila dalam waktu dekat sudah dipertemukan lagi dengannya.“Bersikap professional saja. Atau anggap tidak pernah mengenalnya. Bila dia mengatakan hal yang buruk, jangan diambil hati. Abaikan saja. Ibu wanita hebat. Ibu pasti bisa. Ada aku yang akan melindungi Ibu seandainya dia berbuat macam-macam.”Aku semakin memejam mendengar ucapan Sandy. Berkata memang mudah, tetapi mengaplikasikannya tidak semudah yang dibayangkan.“Aku mengerti apa yang Ibu rasakan saat ini. Tetapi masalah ada untuk dihadapi, bukan dihindari. Jika Ibu terus menghindar darinya, sampai kapan pun tidak akan pernah siap untuk bertemu. Aku sengaja tidak memberi tahu Ibu jika mantan suami Ibu juga akan hadir di sini. Aku sengaja ingin Ibu kuat. Seperti kataku tadi. Ibu
196“Ana, sebaiknya kau mundur saja daripada malu kalah tender dariku.”Sungguh tinggi percaya dirinya calon mantan suamiku ini. Namun itu membuktikan jika perkataan Sandy benar adanya, ia sepertinya takut kalah. Kalau tidak takut, kenapa harus memintaku mundur? Bersaing sehat saja. Kenapa harus mengintimidasi?Aku berbalik dengan tenang dan senyum semanis mungkin. Kemudian menjawab.“Maaf, Pak Sultan, saya sudah yakin akan ikut tender ini. Saya tidak akan mundur dan saya juga yakin tidak akan kalah,” ujarku dengan percaya diri penuh. “Bagi saya akan lebih puas kalah setelah berperang daripada mundur sebelum berjuang. Karena itu lebih memalukan. Kenapa harus meminta saya mundur?”Kuberanikan diri menatapnya dengan tajam.“Apa Anda takut kalah?” lanjutku dengan senyum masih menghiasi bibir.“Takut?” Ia bertanya sinis. “Apa yang harus aku takutkan dari perusahaan kecil yang kau pimpin?”“Kalau begitu, kita bersaing sehat saja. Kenapa harus menyuruhku mundur?” Aku bertanya lagi sebelum a
197“Apa perlu aku datangi dia, Bu?” Sandy menatapku dengan wajah kesalnya. Ia tahu persis bagaiamana tajamnya mulut calon mantan suamiku itu.“Tidak perlu, abaikan saja. Anggap kita tidak mendengar dan melihat apa pun.” Kutekan sekuat tenaga sesuatu yang tiba-tiba membuat dada sesak. Walaupun hatiku sakit mendengar ucapan, dan bahkan ia sudah duduk bersama seorang wanita, padahal kami belum resmi bercerai, tetapi ini tempat umum, aku tak ingin ada ribut-ribut. Aku memilih menganggap tidak terjadi apa-apa.“Oh, ya. Apa perlu nanti aku menunggui Ibu sampai selesai kelas?” tanya Sandy lagi setelah mengembus napas panjang. Di sini, ia yang terlihat paling kesal. Mungkin sengaja mengalihkan obrolan agar aku tak terlalu fokus dengan meja sebelah.“Kelas? Apa Bu Vio ikut kelas tertentu?” Arman sepertinya belum tahu jika aku ada rencana keluar negeri.“Iya Pak Arman, Bu Vio akan melanjutkan study ke luar negeri agar menjadi wanita yang lebih hebat dari sekarang.” Sandy bicara keras lagi seol
198Sejak saat itu kututup semua kemungkinan pertemuan dengan Kak Dala. Pokoknya tak kubiarkan sedikit pun celah kami berinteraksi. Bahkan nomornya sudah kublokir sekalian. Bukan ingin memutus silaturahmi, tetapi lebih ke ingin tenang menjalani hari-hariku selanjutnya.Tak ingin kuingat-ingat juga semua perlakuan buruknya, walaupun tetap tak dapat kulupakan begitu saja. Aku berusaha legowo, agar hariku terasa ringan. Pokoknya saat ini fokus ke diri sendiri. Membahagiakan diri sendiri walaupun belum mampu. Fokus mepercantik jiwa dan raga. Memperkaya pengetahuan dan wawasan agar menjadi manusia yang lebih maju. Meningkatkan kemampuan, kalau bisa dalam segala hal. Jadi, bukan hanya fisik yang kuperbaiki.Lagipula, tak lama lagi aku akan mengenyam pendidikan ke luar negeri. Jadi, sejak sekarang sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya.Aku juga memaksa tinggal sendiri di apartemen agar lebih fokus dengan diri ini. Terus serumah dengan Bunda selalu mengingatkanku kepada Kak Dala karena
199“Apakah sudah tidak ada lagi kesempatan untuk kalian memperbaiki semuanya?” tanya Papi dengan suara yang sangat dalam.“Sultan, coba tanya hatimu, Nak. Apa cinta untuk Vio tidak tersisa sedikit pun dihatimu hingga kau menutup rapat kesempatan untuk saling memaafkan dan memperbaiki semuanya? Bukankah kau pernah bilang mendapatkan Vio itu membutuhkan perjuangan panjang?” Papi menatap Kak Dala yang terlihat kaget. Pun denganku yang tidak menyangka jika Papi akan membahas masalah ini.Hening untuk beberapa saat. Aku melirik Kak Dala yang juga tengah melirikku. Lelaki itu gegas membuang pandangan walaupun dengan menunduk. Ia tak lekas menjawab pertanyaan ayahnya.“Tidak ada manusia yang benar-benar suci dari dosa. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Apalagi denganmu yang sudah sangat sering berbuat salah dan menyakiti orang lain. Ingat Sultan, berkali-kali kamu berbuat salah dan Vio selalu memaafkan. Lalu, jika pun benar Vio saat ini melakukan salah, apa kamu tidak berniat memberik
200PoV AuthorFokus kemajuan diri sendiri. Itu yang Viola lakukan saat ini. Mengesampingkan semua hal yang tidak penting. Termasuk urusan hati. Bukan trauma dengan yang namanya laki-laki, cinta, dan pernikahan. Namun, saat ini semua itu bukan prioritasnya.Tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti Tuhan mengirim jodoh terbaik untuknya. Ia tetap akan menyambut dengan sukacita. Dengan catatan, tak ingin membeli kucing dalam karung. Harus benar-benar mengenalnya luar dalam. Agar tak mengalami kegagalan lagi.Hari berjalan sangat cepat dirasakan Viola, saking sibuk dengan kegiatan yang padat, rasanya dua puluh empat jam tidak cukup dalam sehari. Ia bahkan tidur dengan jam pendek setiap hatinya. Dan itu ampuh untuk mengobati luka hatinya. Ia tak terus-menerus memikirkan hal yang bisa menghambat langkahnya. Semua terlupakan dengan kesibukannya.Pagi ini Viola dikejutkan dengan banyaknya buket bunga di dalam ruangannya begitu ia tiba di kantor. Ada banyak sekali rangakaian bunga segar meme
201“Maaf, Pak. Apa dia seseorang yang penting dalam hidup Bapak?” Wanita cantik bertanya saat lelaki di hadapannya terus memperhatikan keseruan di meja depan sana. Bukan keseruannya, tetapi wanita yang menjadi pusat keseruan dan segala sukacita di sana.“Apa?” Lelaki yang sejak tadi tidak fokus itu tak menyimak pertanyaan wanita cantik.“Sepertinya, wanita yang sedang berulang tahun itu orang yang penting untuk Bapak. Sejak tadi Anda terus saja memperhatikannya.”“Eh?” Lelaki yang tidak lain Sultan, kikuk mendengar ucapan wanita di depannya.“Kalau tidak salah, dia wanita yang kita temui tempo hari setelah meeting itu, kan?”Sultan mengerjap, apa sangat kentara jika sejak tadi dirinya memperhatikan Viola?Sungguh, Viola di mata Sultan hari ini terlihat sangat menarik. Wajahnya sangat cantik dan bercahaya. Aura kebahagiaan terpancar jelas di sana. Mungkin karena tengah berulang tahun dan berkumpul dengan semua karyawannya. Senyum tak pernah hilang dari wajah itu, terkadang tawa lepas,
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan