PULSA 10K UNTUK 3 KOMEN PERTAMA.
290“Saya kira Anda memiliki nama lain, bukan Sultan. Tapi ….”Semua orang menunggu kalimat Anggara yang menggantung. Sementara Anggara sendiri menautkan alisnya. Berpikir keras agar dapat mengingat.“Siapa kamu bilang kemarin, Nak Dewa?” Pria tersebut melemparkan pertanyaan ke arah Dewa yang tersenyum.“Mandala, Yah. Nama Papa memang Mandala Sultan. Hanya saja panggilan populernya Sultan, Semua orang memanggilnya seperti itu. Hanya Mama yang memanggil dengan nama Dala, mungkin itu panggilan kesayangan Mama buat Papa.”Dewa melirik sang ibu yang wajahnya merona. Kemudian mengedipkan sebelah matanya hingga Viola semakin tersipu. Sultan sendiri menarik napas panjang seolah baru saja menghadapi situasi menegangkan.“Oh iya, Pak Mandala. Kemarin Nak Dewa menyebutkan nama ayahnya, dan saya lupa. Ternyata Pak Sultan selain berhati baik juga terlihat masih masih muda. Padahal anaknya sudah sebesar Dewa, ya?” Anggara menilai Sultan dari atas hingga bawah dengan mata yang jarang berkedip. Mung
291Malam ini semua orang berkumpul di ruang makan. Berbagai kudapan istimewa sudah terhidang di sana untuk menjamu keluarga calon besan, hingga Endang dan Kirani bengong untuk beberapa lama.Keduanya hanya menatap tak percaya semua hidangan itu. Bahkan dalam mimpi pun mereka tidak pernah melihat hidangan semewah dan sebanyak itu tersaji di satu meja. Apalagi meja makan pribadi. Mungkin Kirani pernah melihat di restoran-restoran, tetapi ini benar-benar istimewa.Keluarga Sultan benar-benar mengistimewakan mereka. Kirani dan Endang sampai bingung ingin makan yang mana saking banyak hidangan di depan mereka.Berbeda dengan Endang dan Kirani, Anggara tampak santai melihat semua itu seolah ia sudah biasa melihatnya. Ia bahkan tidak menunggu dua kali untuk dipersilakan makan. Pria yang terlihat sangat sehat itu langsung mengambil makanan yang ia inginkan tanpa canggung. Kemudian melahapnya tanpa ia sadari jika semua orang menatapnya tanpa kedip.Jika anak dan istrinya bingung karena kepala
292“Ayah?” Kirani bergumam lirih. Menoleh heran ke arah Dewa seolah meminta tolong.Dewa mengerti. Pemuda itu menarik tangan Kirani dibawa menyusul sosok yang tidak lain Anggara menuju halaman samping.Walaupun heran kenapa sang ayah keluyuran malam-malam di sana, tetapi Kirani hanya diam mengikuti Dewa. Keduanya setengah berlari menyusul sosok yang mereka yakini Anggara itu. Aneh memang, Anggara menyusuri tempat di sana seolah terbiasa. Tidak ada rasa canggung atau meraba-raba layaknya seseorang yang baru saja datang di tempat baru.“Ayah!” Kirani memanggil dengan suara tertahan karena takut menimbulkan kegaduhan. Namun yakin jika seseorang yang masih berjalan menyusuri jalan setapak pinggir kolam itu mendengarnya.Benar, sosok itu berhenti dan berbalik. Kirani gegas berlari menghampiri. Setelah dekat terlihat walaupun di bawah cahaya yang tidak terlalu terang, kening Anggara berkerut bingung.“Ayah mau ke mana?” Kirani bertanya setelah berdiri tepat di hadapan Anggara. Tangannya me
293“Katanya semalam Pak Anggara nyasar, De?” Pagi ini Sultan sengaja memanggil Dewa ke ruang kerjanya. Seorang pelayan menyampaikan jika tamu mereka ditemukan tengah berjalan di sekitar kolam dan saat ditanya seperti linglung.“Iya, Pa. Mungkin mengigau.” Dewa menjawab santai seraya menggerakkan kursi ke kiri dan kanan.“Ngigau?” Kening Sultan berkerut. “Kamu yakin?”Giliran kening Dewa yang berlipat. “Maksud Papa?”Sultan mengusap-usap dagu dengan tatapan lurus ke arah layar di hadapannya yang tengah memutar rekaman CCTV. Di sana terlihat sosok yang wajahnya tidak begitu jelas tengah menyusuri setiap lekuk rumahnya hingga ke halaman belakang tanpa canggung atau bingung sama sekali. Sosok itu berjalan sangat santai seolah tahu betul letak semua ruangan. Tidak seperti seorang tamu yang baru bertandang.“Ya, maksud Papa, kok calon ayah mertuamu seperti tidak kebingungan mencari dapur, pintu keluar, juga saat berjaan di halaman belakang seolah ia sangat mengenali rumah ini. Seolah sudah
294“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Dewa menghampiri Anggara yang mematung di ambang pintu. Dewa sendiri lekas menguasai keadaan setelah sebelumnya cukup kaget Anggara tiba-tiba membuka pintu ruang kerja sang ayah.“Pak, ada apa? Apa Bapak membutuhkan sesuatu?” tanya Dewa lagi saat Anggara hanya diam, mengedarkan pandangan ke seluruh isi ruangan.“Pak.” Kini Dewa menyentuh tangan Anggara hingga pria tersebut mengerjap dan menatapnya.“Bapak mencari apa? Bilang saja, mungkin saya bisa bantu mencari.” Tidak lelah Dewa bertanya hingga Anggara akhirnya menggeleng bingung.Dewa akhirnya memutuskan mengajak Anggara pergi dari sana setelah sebelumnya berpamitan kepada Sultan. Saling tatap singkat antara Dewa dan Sultan menandakan jika mereka harus bicara setelah ini.Dewa mengajak Anggara berjalan menuju ruang makan karena sebentar lagi waktu sarapan. Pemuda itu tidak memaksa Anggara untuk bicara. Karenanya selama menuju ke sana ia membiarkan pria tersebut memindai setiap ruangan yang merek
295“Papa tidak mengerti kenapa kamu sampai bicara seperti itu di depan tamu, De.” Suara Sultan tajam penuh penekanan mengatakan kalimat barusan. Pria tersebut sengaja memanggil Dewa dan Viola untuk bicara pribadi di sebuah ruangan selepas sarapan.Dewa mengendikkan bahu seraya memasukkan tangan ke dalam saku celana. Pemuda itu menanggapi dengan santai, padahal tahu jika sang ayah tengah marah.“Alangkah baiknya jika membicarakan masalah keluarga tidak di depan orang lain.”Dewa tersenyum tipis sembari berdecak kecil.“Tapi mereka bagiku bukan orang lain, Pa. Mereka calon keluargaku juga.”“Tapi tetap tidak pantas bicara seperti itu seolah ingin mempermalukan kami.”“Maaf, jika Papa malu.”“Sebenarnya ada apa dengan kamu, De? Papa pikir kamu terlihat aneh hanya perasaan Papa saja. Ternyata kamu memang benar-benar aneh. Kamu bahkan mempermalukan kami di depan calon keluarga barumu seolah kami ini tidak berarti sama sekali untukmu.” Ucapan Sultan semakin tajam.Dewa meniupkan udara dari
296“Tolong kirimkan alamat kalian di sana,” ujar Dewa saat menelepon Malvino. Ia sudah tidak tahan dengan aksi tutup mulut seluruh keluarganya. Jika semua orang tidak mau mengatakan maka ia sendiri yang akan mencari tahu langsung kepada orangnya.“Abang mau apa?”“Apa Amanda juga melarangmu memberi tahu alamat kalian di sana?” Pertanyaan Dewa sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaan Malvino.“Vin!” Suara Dewa meninggi karena tak ada sahutan lagi dari seberang.“Atau berikan ponselmu kepada Amanda sekarang. Aku yakin kalian sedang bersama.”Masih tidak ada sahutan. Padahal Dewa sudah setengah gila menahan sabar.“Vino!” Kembali Dewa bersuara keras hingga terdengar di ujung sana, suara yang lama tidak didengarnya. Suara yang sesungguhnya sangat dirindukannya.“Ini Aku, Bang. Apa kabar?”Dewa memejam kuat seraya menggeleng. Ingin rasanya langsung memarahi Amanda yang seolah main kucing-kucingan. Namun, ia tak akan pernah tega melakukannya. Sejak dulu, semarah apa pun dirinya, tidak
297Dewa terduduk dengan lemah di tepi ranjangnya. Dadanya terasa sesak. Entah kenapa semua ucapan Amanda ditelinganya terdengar sangat aneh dan penuh perasaan seolah itu keluar dari kedalaman hatinya.Dewa memejam sebentar sebelum berkedip cepat. Amanda benar, ia sudah memiliki komitmen yang serius dengan Kirani. Seharusnya fokus mengurus pernikahan yang sudah ia janjikan. Tidak memikirkan hal lain dulu.Jangan mempermainkan hati wanita yang mencintaimu dengan tulus. Kalimat itu terus terngiang ditelinga Dewa. Apa hati Amanda dipermainkan Shakeil? Atau hanya nasihan seorang wanita karena Amanda tahu dirinya berpotenssi mempermainkan hati Kirani?Dewa meremas rambutnya kasar dengan kepala menunduk, sebelum menegakkan tubuh dan melepaskan napas kasar berkali-kali. Kemudian keluar kamar untuk mencari Kirani. Ia yakin jika gadis itu tengah mencarinya karena ternyata beberapa kali panggilannya terabai selama ia bicara dengan Amanda.Kirani tidak akan tahu letak kamarnya karena ia tidak pe
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan