124Entah apa yang diinginkan Tuan Sultan dariku. Kenapa ia selalu menemaniku di sini? Tidakkah tunangannya marah? Aku tak ingin bermasalah lagi dengan siapa pun. Cukup sudah orang-orang menindas dan menyakiti diri ini. Sudah berkali-kali kukatakan bila aku bisa mengurus diri sendiri. Tak perlu lagi datang ke sini. Namun, ia tetap saja datang. Tak memedulikan ucapanku. Padahal pula aku tak pernah menganggap ada keberadaannya. Aku selalu memunggunginya setiap kali ia berada di ruangan ini. Sekali lagi aku tak ingin memedulikan orang itu. “Aku sudah mencari tahu keberadaan Ibu Ayumi, ibunya Alvin.” Suatu saat ia seperti sengaja memancingku bicara. Ia sangat tahu jika aku sangat mengkhawatirkan bunda. Awalnya aku diam memunggungi. “Dia ternyata dirawat di rumah sakit ini juga.”Aku masih diam. Tidak tahu harus berkata apa. “Karena sekarang kau sudah baikan, aku bisa mengantarmu ke sana.”Mataku melebar. Mengantarku menemui bunda? “Tapi sepertinya, Bu Ayumi belum sadarkan diri. Mas
125PoV SultanShit! Kenapa Michelle harus datang di saat seperti ini? Segala ngancam mau ikut tinggal di sini. Tak akan kubiarkan sedetik pun. Aku tidak sudi perempuan seperti dirinya mengacaukan rumah dan ketenanganku. Tinggal jauh saja sudah menyusahkanku, apalagi bila tinggal di sini. Sekilas kulirik wajah Ana yang berubah merengut. Kemudian menyeret Michelle agar menjauh dari Ana. “Kenapa kau datang? Bukankah aku baru saja mentransfer sejumlah uang?” Aku menekan suara agar Ana tidak dapat mendengarnya. “Kau tanya kenapa? Karena perasaanku tidak enak. Dan ternyata benar, kau membawa wanita itu ke sini!” balas Michelle dengan wajah merah. “Dengar Michelle, dia sebatang kara, tidak ada keluarga. Dia juga baru mendapat musibah.”“Aku juga sebarang kara di sini, tidak ada keluarga.”“Aku sudah memberimu apartemen!”“Kau hanya menyewakan untukku!”“Yang penting kau ada tempat tinggal!”“Kalau begitu, kau juga sewakan saja rumah untuknya. Kenapa harus dibawa ke sini?” Michelle kera
126PoV Viola“Aku juga tidak akan tinggal di sini!” Aku berseru seraya berniat pergi dari sana. Namun, Tuan Sultan dengan cepat menahanku dengan menarik tangan ini.“Kau mau ke mana?” Lelaki itu menatapku dengan raut yang tak dapat kuartikan.“Aku juga harus pergi,Tuan! Tidak bisa tetap tinggal di sini!”“Kenapa?” Ia mengangkat kedua tangannya.Keningku berkerut. Dia tanya kenapa? Tunangannya saja ia usir, apalagi aku yang bukan siapa-siapa. Belum lagi kalau papinya datang. Bukan tidak mungkin aku juga diusir seperti anjing.“Dia saja Anda usir, Tuan. Apalagi aku!”Tuan Sultan menatapku sayu, sebelum memejam sebentar dan mengerjap berkali-kali.“Ana, mungkin kau tidak akan mengerti, tapi … bagiku, kau berbeda dengan Michelle. Kamu….” Ia menggantung kalimat. Aku menunggu dengan tak sabar.“Sudahlah, kita masuk dulu. Kamu baru sembuh, bukan? Nanti kujelaskan di dalam.” Ia menatapku sayu. Bicaranya sangat lembut.Sungguh, aku bahkan tak mengenali lagi lelaki ini. Ia yang dulu begitu din
127Kutarik napas sepanjang mungkin seraya memejamkan mata. Marini sudah pergi beberapa menit lalu, tetapi kata-katanya masih saja terngiang dan membekas.Entah apa ia berkata sejujurnya, aku tidak yakin. Namun, tak ada raut kebohongan tertangkap indera penglihatanku.Marini bilang Tuan Sultan melakukan semua dengan tulus untukku. Apa itu benar?Lalu kenapa ia harus menyakitiku dengan berpura-pura lumpuh sebelum kemudian menghancurkan hatiku dengan memberi harapan palsu padahal ia sudah punya tunangan? Apa ia tidak tahu jika itu sangat menyakitkan?Sungguh, aku tidak mempercayai perkataan wanita itu. Bagiku semua sangat menyakitkan dan sulit untuk memaafkannya.Aku berjalan mendekati lemari besar di salah satu sisi tembok. Kemudian mulai membuka pintunya yang kokoh. Mataku tak bisa dicegah untuk tidak melebar. Di sana, di dalam lemari itu, semua pakaian yang dulu kutinggal, tersusun dengan rapi. Sepertinya, kamar ini memang benar-benar disediakan khusus untukku. Bukan hanya baju-baju,
128 “Ana, kau di sini?” Aku mematung sempurna, kemudian mengerjap untuk membuang rasa takut dan panik karena ketahuan menyelinap. Sementara si empunya kamar yang barusan bertanya, berjalan mendekat. Mataku semakin mengerjap gelisah. Aku membuang pandangan sembari membetulkan posisi berdiri. Terlebih saat ia sudah berdiri dengan jarak yang sangat dekat. “Ada apa?” Ia bertanya lagi. Sempat kulirik sebentar wajahnya. Alisnya terangkat. Sumpah, ia masih tampan seperti dulu. Sayang, ketampanan fisik tak selaras dengan hati dan perbuatannya. “Ana.” Ia memanggilku lagi. Kali ini disertai tangannya yang terulur ingin menyentuhku. Aku refleks mundur. Menghindarinya. “Ma-af, Tuan. A-ku….” “Ada apa? Apa kau merindukanku?” Bola mataku membola seketika. Namun aku tak berani melihat wajahnya. Pertanyaan macam apa itu? “Sepertinya benar, kau merindukanku. Buktinya wajahmu merah.” Serta merta aku menangkup wajah ini. Kemudian mengusap-usapnya. Terdengar tawa keluar dari bibir lelaki itu. Se
129Tuan Sultan memapahku hingga lantai bawah, mungkin karena melihatku mendadak lemas. Aku pasrah saja karena memang shock. Salahku memang tak melaporkan kehilangan KTP dan semua kartu berharga itu. Kondisiku yang baru sembuh memang tak terpikirkan untuk melapor.Bapak-bapak polisi itu memberikan surat panggilan. Seharusnya aku ikut mereka saat ini juga. Namun Tuan Sultan meminta waktu agar aku ke kantor polisi didampingi seorang pengacara. Mereka mengabulkan karena kami menunjukkan surat keterangan dari rumah sakit jika aku baru saja sembuh.Selepas bapak-bapak polisi itu pergi, aku pun menangis meraung-raung tanpa malu. Rasanya semua yang terjadi membuat diri ini lelah. Belum selesai urusan hati, sekarang harus kembali menghadapi masalah pelik.Apakah Yuni belum puas menyiksaku? Setelah menjualku dengan harga tinggi, masih juga menyeretku dalam masalah? Tidakkah uang yang ia dapatkan itu cukup untuknya bersenang-senang?Padahal ia sudah mendapatkan banyak uang dengan menguras kartu
130“Menikah? Apa kau sudah gila?” Michelle melotot tajam. Bola matanya nyaris keluar.“Ya, aku akan segea menikahi Ana dalam waktu dekat. Jadi sebaiknya kau tidak perlu mengganggu kami lagi!”“Apa kau sudah gila? Kau mau menikahinya, lalu bagaimana denganku? Bagaimana dengan anakku? Anak kita, Sultan!” Michelle berteriak .“Anak?” Aku bergumam lirih. Jantungku terasa dikejutkan dengan listrik ribuan volt.Bagaimana tidak? Michelle menyebut tentang anak. Anaknya bersama Tuan Sultan. Itu artinya hubungan mereka sudah sangat jauh. Mereka … ah, tentu saja. Mereka sudah bertunangan. Pasti sudah sangat sering melakukannya.“Ya, anak! Apa Sultan belum memberitahumu jika aku tengah mengandung anaknya?” Michelle beralih padaku, karena ternyata walaupun lirih, wanita itu bisa mendengar gumamanku.Aku melirik Tuan Sultan yang mengusap wajah.“Kenapa kaget?” Michelle merasa seperti di atas angin. “Kami sudah bertunangan. Wajar bukan, jika aku hamil? Saat kau tidak di sini, kami melakukannya hamp
131“A-na, kau ada di sini?” Dia bertanya gagap dengan wajah memucat. Sementara aku merasakan lutut semakin lemas. Tangga yang kupijak terasa oleng.“Ma-af Tuan, a-ku langsung bekerja. A-ku pikir Tuan tidak ada….” Aku menjawab dengan sama gagap. Lalu berusaha turun walaupun kaki lemas dan tangga mulai bergerak-gerak.Kuturunkan kaki yang semakin gemetar. Lebih baik aku turun dan keluar karena ia sepertinya tidak berniat kembali ke kamar mandi atau buru-buru memakai baju. Namun, karena kaki yang gemetar dan tangga yang terus bergerak-gerak. Akhirnya aku terpeleset dan meluncur jatuh bersamaan dengan tangga yang ikut ambruk.Aku memejam dengan pasrah karena tak dapat berbuat apa pun lagi. Mendarat di lantai dengan tertiban tangga adalah hal yang akan terjadi setelah ini. Akhirnya aku akan merasakan petatah yang mengatakan sudah jatuh tertiban tangga. Namun, sepertinya bukan itu yang terjadi selanjutnya. Karena aku merasakan tubuh ini mendarat di atas sesuatu yang hangat dan kokoh. Apa
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan