Hening.
Itulah suara pertama yang menyambut Li Feng saat ia membuka matanya. Tapi bukan keheningan biasa. Ini adalah keheningan yang menelan, membungkam, membekukan—seakan seluruh dunia menahan napas. “Ngh… Di mana ini…?” gumamnya, matanya menyipit menatap sekeliling. Tak ada langit. Tak ada tanah. Hanya kabut kelabu yang tak berujung, menggulung seperti awan mati. Udara dingin menusuk tulangnya, tetapi tak ada angin. Yang ada hanyalah tekanan—tekanan yang menindih tubuh dan jiwanya. Baru saja ia melewati latihan yang hampir membunuhnya. Tubuhnya remuk, jiwa terkoyak. Tapi ia bertahan. Bertahan demi ibunya, demi tanah kelahirannya… dan demi dirinya sendiri. Tapi sekarang? “Apakah aku… mati?” tanyanya, suara bergetar. Tiba-tiba… suara langkah terdengar. Tap… tap… tap… Li Feng menoleh cepat. Jantungnya berdetak kencang. Dari balik kabut, muncul sesosok bayangan. Langkahnya mantap,“Apa yang kau lihat belum tentu kebenaran. Dan mereka yang berdiri di sisimu... bisa jadi adalah orang pertama yang menusuk dari belakang.” Angin malam di Gunung Terlarang menggigit seperti seribu jarum dingin yang menusuk hingga tulang. Kabut tebal turun perlahan, membungkus bumi dalam selimut kelabu yang mencekam. Di tengah kabut itu, Li Feng berdiri terpaku. Matanya menatap sosok bercahaya merah yang baru saja muncul dari balik bayangan. "Apa ini...?" gumamnya, napasnya membeku di udara. Sosok itu melayang tanpa suara. Wujudnya samar, bercahaya merah seperti bara api yang tertutup debu. Tetapi ada yang aneh. Li Feng merasakan... kehangatan. "Li Feng..." suara itu serak, tetapi familiar. Deg! Jantung Li Feng berdetak lebih cepat. "Itu... suara..." “Guru Fan?” bisiknya, nyaris tak percaya. Sosok itu tersenyum samar, tapi senyumnya tak membawa kedamaian seperti dulu. "Aku bukan l
"Haaah… haaah…" Nafas Li Feng tersengal. Darah menetes dari sudut bibirnya. Di tengah kehancuran aula batu itu, ia berdiri limbung, menatap sosok bercahaya merah yang kini perlahan berjalan mendekat, langkah demi langkah, seolah tak terburu-buru—seolah waktu tunduk padanya. "Zhou Ming… Nona Lan… kalian…" gumamnya lirih, tak percaya. Pengkhianatan mereka barusan seperti luka yang tak tampak di tubuh, namun terasa jauh lebih menyakitkan dari ribuan tusukan pedang. Namun, sebelum ia bisa berkata lebih, dunia mendadak runtuh. Grrrkk! Dinding-dinding gua bergetar. Cahaya merah dari sosok misterius itu tiba-tiba melonjak, menelan segalanya, dan—brengsek!—segala sesuatunya menjadi putih. “Ugh…” Li Feng terbangun dengan tubuh dingin oleh keringat. Ia tidak tahu di mana dirinya. Tempat itu putih. Tak ada dinding. Tak ada langit. Tak ada tanah. Hanya kabut. Dan suara.
Angin pagi menyapu puncak Gunung Terlarang, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan tua yang gugur. Kabut perlahan-lahan menyingkir dari celah bebatuan, seperti tirai yang dibuka perlahan, memperlihatkan seorang pemuda berdiri diam di tengah lingkaran batu suci. Li Feng. Tubuhnya tegak, meski jubahnya compang-camping dan bercak darah mengering di lengan kanan. Matanya... ya, mata itu bukan lagi mata seorang pemuda desa yang lugu. Ada kilatan api di dalamnya, seperti bara yang telah menyala terlalu lama di dalam kegelapan. "Hufff..." Ia menarik napas panjang, lalu menatap langit. "Sudah cukup lama, ya?" Tidak ada jawaban, kecuali desir angin dan bisikan halus pepohonan. Tapi Li Feng tahu, di tempat ini, diam pun bisa berbicara lebih nyaring dari teriakan. Tiga bulan. Tiga bulan penuh penderitaan, pertarungan, dan latihan. Tiga bulan ia menghilang dari dunia, terkubur dalam kutukan Pedang Na
Kabut pagi belum sepenuhnya sirna saat langkah-langkah berat itu menyusuri jalan berbatu menuju gerbang utara ibu kota. Suara derap langkah kuda terdengar pelan namun penuh tekad. Di atas punggung kuda itu, duduk seorang pemuda yang telah lama menghilang dari mata dunia—Li Feng. "Hah…" Li Feng menarik napas panjang. Wajahnya yang dulu polos kini penuh dengan ketegasan. Garis rahang yang lebih tajam, sorot mata yang dalam, dan rambut hitam panjang yang diikat ke belakang dengan pita merah—semuanya menandakan satu hal: pemuda itu bukan lagi orang yang sama. Di punggungnya, Pedang Naga Langit bergetar pelan, seakan merasakan tujuan dari tuannya: balas dendam. "Aku kembali, Jenderal Zhao," bisiknya lirih. "Dan kali ini… aku tidak akan memaafkanmu." Gerbang utara ibu kota menjulang tinggi, dijaga oleh belasan prajurit kerajaan yang tengah bosan menjalankan tugas. Salah satu dari mereka, seorang pemuda bertubuh kurus dengan tomba
Langkah-langkah kaki itu menggema di lorong istana yang panjang, menggema seperti dentang takdir yang tak bisa dihindari. Tap… tap… tap… Para pengawal berdiri tegak di sepanjang jalur emas menuju Balairung Naga, tempat di mana Kaisar Agung biasanya duduk di singgasananya yang megah. Namun pagi itu, tidak ada upacara penyambutan, tidak ada genderang perang, dan tidak ada pengumuman resmi dari sang juru bicara istana. Semua diam. Bisu. Menanti. Satu sosok berjalan perlahan di antara pilar-pilar tinggi yang mengkilap oleh pantulan cahaya matahari pagi. Sosok itu tidak lain adalah… Li Feng. Tapi bukan Li Feng yang dulu. Tidak—bukan pemuda desa yang tertatih-tatih naik ke dunia yang penuh intrik dan darah. Bukan pula prajurit canggung yang dulu tak tahu membedakan musuh dari sahabat. Yang datang pagi itu adalah seorang pendekar sejati—tatapannya tajam bag
“Bagaimana bisa… kau tahu semua itu, Li Feng?” Suara Kaisar bergetar, nyaris tak terdengar di balik gema ruang takhta yang megah namun kini terasa seperti gua pengakuan yang menyekap napas. Cahaya matahari sore menembus celah tirai sutra emas, memantul pada lantai batu giok, tetapi tak sanggup mengusir hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Li Feng berdiri tegap, walau hatinya berdegup kencang. “Hamba tidak bermaksud melewati batas,” ucapnya lirih, namun tegas. “Tapi kebenaran ini… harus Paduka dengar.” Kaisar memejamkan mata. Napasnya berat. “Ucapkan… dari awal.” Li Feng menghela napas. “Semuanya bermula saat hamba berada di Gunung Terlarang. Dalam pelatihan terakhir yang hampir merenggut nyawa, hamba menyaksikan sesuatu—bukan hanya mimpi atau ilusi—tapi sepotong ingatan yang entah bagaimana, terhubung dengan kutukan pedang ini.” Ia menatap gagang Pedang Naga Langit yang tergantung di punggungnya, aura hitamnya be
Konflik di dalam istana semakin panas, dan Li Feng terjebak di antara dua kekuatan besar. Langit di atas ibu kota mendung, seolah langit pun enggan melihat darah yang sebentar lagi akan menggenang di pelataran suci istana. Angin membawa aroma kebusukan—bukan hanya dari tubuh-tubuh yang telah gugur beberapa malam terakhir, tapi dari pengkhianatan yang menebar seperti wabah di jantung kekaisaran. Li Feng berdiri di gerbang utama istana bagian dalam, tubuhnya tegap, tetapi jantungnya berdegup tak karuan. "Bagaimana bisa begini…?" bisiknya lirih, tatapannya menerobos barisan pasukan berbaju besi yang telah membentuk formasi siaga. Mereka bukan musuh dari luar, bukan pemberontak Serigala Hitam… Mereka adalah saudara seperjuangan. Prajurit Kekaisaran. Tapi kini—oh, betapa getir!—mereka datang untuk saling menumpahkan darah. “Jenderal Li!” Suara tegas itu datang dari arah kanan. Seorang pengawal istana berlari, napasnya terengah.
“Haah… dunia ini… sungguh menyedihkan.” Li Feng berdiri di tengah aula pertemuan kecil di sisi barat istana, tubuhnya masih berlumur debu dan darah dari pertempuran yang belum lama usai. Cahaya remang dari lentera bergoyang ditiup angin malam, memantulkan bayangan samar di dinding yang penuh retakan. Di luar, jeritan dan suara pedang masih terdengar samar—perang saudara belum benar-benar berhenti. Tapi di dalam ruangan ini, yang terasa justru lebih sunyi… lebih dingin… lebih menusuk. "Li Feng…" suara itu pelan, hampir seperti bisikan angin yang menari di antara retakan dinding. Li Feng mendongak. Hatinya mencelos. Napasnya tercekat. "Mie Lin…?" gumamnya tak percaya. Ya, perempuan itu berdiri di hadapannya. Mie Lin. Sahabat kecilnya. Teman sepermainan di Desa Ping An. Orang yang ia kira… telah lama hilang. "Aku tidak menyangka… kita akan bertemu lagi seperti ini," ucapnya pelan, l
Li Feng berjalan perlahan, kaki terasa berat seperti membawa beban dunia. Di depannya, langit senja perlahan berubah menjadi kelam, menyelimuti desa yang telah lama ia tinggalkan. Suasana kedai Tianxiang kini terasa sangat berbeda. Tanpa orang-orang yang biasa berkerumun, tanpa suara tawa atau canda, semuanya terasa sunyi dan hampa. Sudah lama sekali sejak Li Feng meninggalkan tempat ini. Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan pertarungan dan penderitaan, ia akhirnya kembali ke tempat yang pernah menjadi titik awal hidupnya yang baru. Tempat yang, meskipun tidak besar, menyimpan kenangan akan masa-masa yang telah berlalu. Setiap langkah terasa seakan membawa kembali semua kenangan pahit dan manis yang pernah ia alami di sini. Bagaimana ia dulu bekerja sebagai tukang cuci piring, berjuang untuk sekadar bertahan hidup, dan bagaimana semua itu berubah setelah pertemuannya dengan Putri Ling’er, Pedang Naga Langit, dan semua musuh yang mengejarnya.
Hutan berkabut itu terasa lebih pekat dari biasanya. Pohon-pohon besar menjulang tinggi dengan cabang-cabangnya yang rapat, menghalangi cahaya matahari yang hanya sedikit menembus. Udara dingin dan lembap menyelimuti sekujur tubuh Li Feng, membuatnya merasa seolah-olah hutan ini bukan tempat biasa. Sesuatu yang gelap, yang tak terlihat, mengintai setiap gerakannya. Jantungnya berdegup kencang, dan dalam keheningan yang mencekam itu, ia bisa merasakan adanya mata yang terus mengawasi. "Apa yang kau rasakan, Li Feng?" suara itu muncul dalam benaknya, suara yang sama yang tidak pernah ia lupakan—suara Pedang Naga Langit. Suara yang seolah-olah berasal dari dalam jiwanya sendiri, namun selalu berhasil membuatnya terperangah. Kali ini, suara itu terdengar seperti bisikan yang penuh desakan. "Aku merasakan bahaya. Sesuatu yang mengintai... yang akan datang." Li Feng menatap pedang di tangannya dengan penuh keraguan. Selama ini pedang itu selalu
Li Feng merasakan hawa dingin yang menusuk tulang menembus tubuhnya. Malam itu, langit di atas Gunung Esmeralda begitu gelap, hanya diterangi oleh pendar cahaya redup dari pedangnya yang kini tergeletak di tanah. Dalam keheningan yang hampir mencekam, pikirannya terperangkap oleh bayang-bayang yang terus menghantuinya. Bayang-bayang yang berasal dari kutukan Pedang Naga Langit, dan lebih lagi, bayang-bayang yang berasal dari dirinya sendiri.Tapi saat ini, ada sesuatu yang lebih besar yang mengancamnya. Sesuatu yang lebih mengerikan dari apapun yang pernah ia hadapi sebelumnya.Di kejauhan, terdengar suara langkah kaki. Lambat, namun pasti. Semakin mendekat, semakin jelas. Langkah itu datang dari arah yang tak terduga. Dari kegelapan yang penuh misteri. Hanya suara itu yang terdengar, meski segala sesuatu di sekelilingnya tetap sunyi. Li Feng mendongak dan melihat sosok yang berdiri di atas batu besar, memandang ke arahnya. Sosok itu mengenakan jubah hitam yang mel
Malam itu, angin dingin berhembus kencang di Gunung Ranjing, membawa aroma hutan basah dan keheningan yang dalam. Li Feng berdiri di tepi jurang, memandangi langit yang gelap, di mana bintang-bintang tampak pudar di balik kabut yang mulai turun. Pedang Naga Langit terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah mengingatkan akan beban yang harus ia tanggung. Tangannya gemetar, namun ia tetap menggenggam erat, tak mau melepaskannya.Putri Ling’er berdiri di belakangnya, dengan mata yang penuh keraguan. Ia tahu betul bahwa perjalanan ini sudah berada di ujungnya. Namun, yang membuat hatinya semakin berat adalah kenyataan bahwa Li Feng kini berada di persimpangan jalan yang tak bisa lagi dihindari. Kutukan pedang itu semakin mencekik mereka berdua.“Li Feng…” suara Ling’er terdengar pelan, namun mengandung beban yang begitu besar. Ia berjalan mendekat, berhenti beberapa langkah di belakangnya, dan menatap punggung pemuda itu. “Kita harus berhenti. Kau tak bisa terus sepert
Hujan gerimis masih mengguyur hutan lebat di perbatasan utara Kekaisaran. Udara dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Di antara kabut yang menggantung rendah, tiga sosok berdiri dalam lingkaran batu kuno yang terukir dengan simbol-simbol tua. Li Feng menggenggam Pedang Naga Langit erat-erat. Di depannya, dua orang tua berjubah hitam berdiri diam bagaikan arca. Mata mereka—tajam dan penuh kenangan—menatapnya tanpa berkedip. Mereka adalah pemilik dua pedang kembar: Pedang Angin dan Pedang Petir. Merekalah dua penjaga rahasia terdalam dunia persilatan. Dan kini, rahasia itu terkuak. "Jadi... kalian bilang darahku berasal dari garis keturunan yang mengikat tiga pedang ini?" Li Feng bertanya, suaranya lirih namun bergetar. Orang tua berjanggut putih, pemilik Pedang Angin, mengangguk pelan. "Bukan sekadar berasal. Kau adalah warisan terakhir dari klan Leluhur Langit. Tiga pedang ini—Naga, Angin, dan Petir—diciptakan untuk sat
Kabut tipis menyelimuti puncak Gunung Ranjing saat matahari mulai tergelincir ke balik cakrawala. Udara menggigit tulang, dan hembusan angin yang menusuk seolah ingin menyingkap rahasia yang telah lama terkubur di puncak sunyi ini.Li Feng berdiri mematung di sisi tebing, memandangi cakrawala yang perlahan memerah. Tubuhnya masih terasa dingin oleh penglihatan mengerikan yang ia lihat sebelumnya — penglihatan tentang dirinya sendiri, membunuh Putri Ling’er dengan tangannya sendiri. Dada Li Feng sesak, napasnya memburu. "Apa... apa semua ini hanya mimpi buruk...?""Tidak, ini adalah peringatan," bisik suara dari dalam Pedang Naga Langit."Diam kau!" Li Feng menggertakkan gigi, menahan amarah yang naik dari dalam dirinya. Tangannya mencengkeram gagang pedang erat-erat, seolah berharap bisa membungkam suara itu selamanya. Tapi pedang itu bergetar pelan... seolah merasa gelisah.Tiba-tiba, suara langkah kaki bergema di antara bebatuan. Suara itu tenan
Langit di atas Gunung Esmeralda tampak kelabu, seolah menyatu dengan kabut pekat yang menggulung di sekitar kaki gunung. Aroma tanah basah dan darah yang lama mengering menyelimuti udara. Li Feng berdiri tegak, matanya menatap tajam sosok berjubah hitam di hadapannya—Penjaga Gerbang Neraka. Di tangan kanannya, Pedang Naga Langit bergetar pelan, seakan ikut merasakan ketegangan yang menggerogoti udara."Hancurkan pedang itu sekarang juga, sebelum terlambat," ujar si Penjaga, suaranya datar namun tegas. Tak ada emosi, hanya keyakinan.Li Feng menggeleng perlahan. "Tidak. Pedang ini telah membawaku sejauh ini. Ia bukan hanya senjata, tapi saksi dari segala pengorbanan.""Pengorbanan? Hmph," suara si Penjaga merendah seperti gemuruh jauh di bawah tanah. "Itu hanya awal. Kutukan pedang itu tidak mengenal belas kasihan. Ia akan membunuh semua yang kau cintai. Satu demi satu.""Bohong!""Apakah kau benar-benar yakin?"Tiba-tiba, dunia d
Kabut hitam yang menggulung lembah seakan berhenti bergerak. Angin mendadak lenyap. Suasana di makam kuno itu seperti membeku. Suara langkah kaki menggema… pelan, berat, dan dalam. Duk… Duk… Duk… Li Feng berdiri membatu. Tubuhnya masih terbungkus jubah yang koyak oleh pertempuran sebelumnya, darah kering di bahunya belum sempat dibersihkan. Di hadapannya, dari balik gerbang batu yang setengah runtuh, muncul sosok berjubah hitam. "Siapa… kau?" gumam Li Feng, nafasnya terengah. Sosok itu tak menjawab langsung. Ia melangkah perlahan ke tengah altar batu yang dikelilingi patung pendekar tua. Suara langkahnya seperti gema dari dunia lain. "Hahh… Astaga… hawa ini…" Li Feng memegangi dadanya. Pedang Naga Langit di punggungnya mulai bergetar. Tidak seperti biasa. Getaran itu terasa… seperti ketakutan. Lalu, suara berat itu terdengar. "Aku adalah Penjaga Gerbang Neraka." Apa?!
Langit malam dipenuhi awan gelap, seperti menutupi bisikan alam yang tahu bahwa sesuatu besar akan terjadi. Angin berhembus pelan namun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Li Feng berdiri terpaku di hadapan sosok berjubah hitam, di tengah hutan sunyi di perbatasan wilayah musuh. Nafasnya terengah, tubuhnya dipenuhi debu dan luka dari perjalanan panjang. Namun matanya—ya, matanya—tetap tajam, penuh tekad. Sosok itu tidak bergerak. Hanya helai jubahnya yang berkibar lembut mengikuti angin malam. Di kedua sisi pinggangnya tergantung dua pedang: satu berwarna hitam kelam dengan gagang berukir naga, satunya lagi keperakan dengan kilau samar seperti cahaya bulan. "Siapa kau?" tanya Li Feng dengan suara serak, tangannya menggenggam erat sarung Pedang Naga Langit di punggungnya. "Namaku tak penting," jawab sosok itu, suaranya dalam dan bergema, seperti datang dari dua arah sekaligus. "Yang penting adalah—kau membawa pedang itu."