Raline keluar dari kamar mandi masih mengenakan bathrobe yang belum diganti. Memasang wajah kesal ia melangkah menghampiri Gavin.
"Kamu sengaja ya, ngejebak aku dengan barang-barang mahal ini?" cecar Raline melempar beberapa potong pakaian ke lantai tepat di depan Gavin.
Sekejap Raline tersadar. Lelaki itu sudah tertidur pulas. Wajahnya tampak lelah dengan posisi tidur yang asal. Merasa bersalah sudah memarahi Gavin yang tengah tidur, Raline menebus kesalahannya dengan menyelimuti tubuh si mesum.
"Kamu sudah selesai sarapannya?" gumam Gavin dengan mata yang masih tertutup rapat.
"Tidur apa ngelindur sih? masih sempat-sempatnya nanyain orang makan sudah apa belum?" omel Raline kembali memasang wajah kesal.
Apa sudah ada benih di hati Raline untuk Gavin? Hm ... Gerah ga baca bab ini? ramein komentarnya ya!
Gavin membuka kulkas kamar hotel dan membuka sebotol air mineral. Meneguk dengan cepat air putih agar dahaganya terpenuhi. Sungguh Gavin yang malang, harus menahan gairahnya demi wanita yang ia cintai.Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar jelas dari dalam kamar. Gavin bergegas membuka pintu. Jamal berdiri tepat di depan pintu kamar hotel."Selamat pagi, Tuan. Satu jam lagi anda harus harus pergi ke konstruksi distrik baru. Pembangunan villa di Ubud, Bali juga sudah anda tinjau pembangunannya. Saya akan menunggu Anda di lobby hotel," terang Jamal menyebutkan schedule tuan mudanya itu selama berada di Indonesia.Gavin sama sekali tidak merespon jadwal yang diberitahukan oleh Jamal. Setelah asisten sekaligus bodyguard kepercayaannya itu selesai, dengan enteng Gavin menutup pintu kamar begitu saja
"Oh, iya. Raline lupa kenalin ini bos Raline, namanya Gavin," urai Raline sambil memperkenalkan lelaki yang dari tadi berada di belakangnya."Ah, maaf Mama terbawa suasana." Laura membersihkan tangannya kemudian mengulurkan tangannya ingin berjabat tangan dengan Gavin.Tetapi Gavin tidak membalas sama sekali uluran tangan Laura. “Boleh saya memeluk Anda?” tanya Gavin takut-takut.Maria dan Laura berpandangan. “Saya akan menikahi Raline seminggu lagi,” lanjut Gavin terang-terangan memberitahu jika ia akan menikahi anak kesayangan Maria.“M-menikah?”“Seriusan?”“Gavin!”
“Awss! Sakit tau!” ringis Gavin menahan sakit karena gadis di sampingnya itu menginjak kaki dengan sengaja. “Maaf, Ma. Dia memang kurang pujian orangnya,” ungkap Raline dengan senyum palsu. “A-apa? aku kurang pujian? Hey, bahkan namaku di elu-elukan banyak orang karena kesuksesanku. Bisa-bisanya kamu bilang aku kurang pujian?” bisik Gavin sambil tetap melempar senyum dengan Laura dan Maria. Setelah cukup puas berbicara banyak dengan Laura dan Maria, Gavin berpamitan ingin pulang. “Ma, kalau begitu Raline juga harus ikut Gavin. Karena Raline harus bekerja dengan Gavin,” pamit Raline sambil beranjak mengikuti langkah Gavin. Dengan wajah terheran Gavin menatap Raline. Lelaki itu mengira Raline akan tinggal bersama Laura dan Maria. “Benarkan, Vin?
Sret! Gavin menarik pinggang Raline. Gadis itu terkejut dengan mata yang sembab. Gavin menekan tombol otomatis mobilnya. Sekat mobilnya menutup bagian belakang mobil. Supir di depan tidak bisa melihat apapun yang dilakukan orang di belakang. “Apa? Mau apa lagi sekarang, huh?!” cecar Raline kelabakan. "Jangan duduk jauh-jauh. Dan berhenti menangis. Aku tidak suka melihat kamu menangis, jelek." Gavin benar-benar bersikap kaku. Ia malah menyebut wanita tercantik di hatinya dengan sebutan jelek. "Kalau aku jelek mana mau kamu menikah denganku? Sudah sana, jangan dekat-dekat. Ingat perjanjian kita. Hari ini kamu sudah banyak melanggar beberapa poin perjanjian. Jadi hutangku berkurang dari jumlah sebelumnya." Dasar gadis menyebalkan. Bisa-bisanya di
"Dasar otak mesum!" sentak Raline kesal dan malu sekali mendengarnya. BRAK!! Gadis itu langsung pergi dari kamar. Raline memegangi jantungnya yang berdebar tidak karuan. Wajahnya memerah dan suhu tubuhnya tiba-tiba memanas karena ulah Gavin. Menjauh dari Gavin adalah jalan terbaik. Berada di dekat lelaki itu tidak baik untuk jantungnya yang selalu saja hampir meledak karena tingkah kemesuman Gavin. Dasar tidak pernah berubah! umpat Raline dalam hati. Bersandar di belakang balkon utama sambil memandangi pantai, Raline membuka web resmi yang menjual furniture. Ia memilih berinisiatif sendiri daripada harus menunggu Gavin keluar kamar. Membiarkan lelaki itu beristirahat karena memang terlihat jelas jika Gavin kelelahan dan kurang tidur. "Wah! Semua furniture harganya luar biasa mahal dan tidak ada
Setelah selesai membeli perabotan untuk di villa, Gavin membawa Raline ke mall terbesar di kota. Tetapi kali ini Gavin tidak berduaan saja dengan Raline, melainkan ada Jamal yang siap mengawal."Kenapa ke mall? Bukannya kamu lagi sibuk banget sama kerjaan?" tanya Raline sambil mengikuti langkah Gavin dari samping."Ini sedang bekerja. Lebih tepatnya bersiap untuk bekerja," jawab Gavin dengan tangan yang berada di depan dada.Sesekali Raline melirik ke arah Jamal yang mengikuti langkahnya. Gadis itu masih ingat bagaimana malam saat Jamal menyelamatkannya dari cecunguk Mami Lisa, Derek cs.Tiba-tiba langkah Gavin terhenti di depan sebuah salon yang terkenal dengan orang-orang berkompeten di dunia rias. Raline hanya bisa mengikuti langkah Gavin. Lelaki itu disambut hangat oleh chief salon
"Sabar dikit dong bro! Gak liat apa, aku lagi enak-enak mandangin gadis pelacur dari klub mewah itu?" Gavin hanya diam dan terus menyeret lelaki itu. Mencari jalur emergency, Gavin membawa lelaki sialan itu ke tempat sepi. Jamal menjaga pintu emergency agar tidak ada yang bisa mengganggu tuan mudanya itu beraksi. "Ada apa sih, bro!" kekeh si lelaki sialan tanpa dosa itu. BRUGH! Sebuah tendangan keras menghujam perut lelaki yang sudah melecehkan Raline. Lelaki itu jatuh tersungkur dan terpental satu meter. BUGH! Sekarang giliran tangan Gavin mendarat di wajah lelaki sudah beristri itu. "A-apaan ini!? Kenapa kamu memukul ku huh!" hardik si lelaki malang yang sudah terpental dengan sekali tendangan. "Kamu bekerja dimana?" tanya Gavi
"Kamu yakin mau bawa aku ke acara penting, Vin?" tanya Raline was-was. "Tenang saja. Aku harus membiasakan kamu bertemu dengan orang-orang disekitarku. Apalagi kita akan segera menikah. Jadi jangan khawatir berlebihan," jawab Gavin sambil mengancing tuxedonya. "Tapi, Vin? Apa yang harus aku lakukan nanti?" tekan Raline dengan tangannya yang diremasnya gelisah. Gavin melirik ke arah tangan Raline yang jelas gugup. Ia memegangi tangan gadis itu sambil berucap, "tenang saja ada aku." Senyum tipis dari lelaki itu sedikit menenangkan kegugupan Raline. Tidak lama mobil Gavin memasuki sebuah rumah super mewah yang dihiasi lampu berwarna warm. Rumah keluarga Hardian sama mewahnya dengan kediaman keluarga Maheswari, orang tua dari Gavin dan Devin sehin
Extra bab untuk my readers beloved, PAID LOVE. ___________ Di sebuah mall, Raline dan sang tante pergi ke sebuah store branded luar negeri. Dimana ada foto Raline yang terpampang lebar didepan store menggunakan pakaian branded tersebut dari atas hingga bawah. Ya, hari ini adalah hari tenang Raline sebelum berangkat pergi ke Australia minggu depan. Ia, mendapat black card untuk membelanjakan kartu hitam mewahnya dengan brand yang menjadikannya Brand Model Ambassador. “Ral, Tante mau ke toilet dulu sebentar. Kamu disini aja kan?” ijin Tante Maria pada san keponakan. Raline mengangguk sebagai jawaban. “Raline tunggu disini, ya, Tan.” Maria pun bergegas pergi dari store tersebut dan mencari toilet terdekat. Raline juga kembali diarahkan oleh salah satu retail sales berpengalaman pada produk terbaru mereka. Pada saat tangan Raline meraih salah satu tas yang terpanjang, tiba-tiba ada seseorang yang meraihnya terlebih dahulu. Lantas, wanita itu langsung menoleh dan menatap sosok lelak
Terima kasih sudah berkenan mampir di cerita sederhana ini. Tidak mewah memang, tetapi cerita ini aku tulis dengan hati dan cinta. Segenap hati aku menulis ini dalam keadaan tidak sempurna, karena authornya masih human. Bukan alien. Mhehehe :) Semua emosiku aku tuang di cerita PAID LOVE dari sedih, senang, gusar, bahagia bahkan tersedu-sedu seperti saat aku menuliskan sedikit ucapan untuk yang sudah singgah apalagi menetap bersama Author yang hobi makan remahan taro ini. Kiranya kalian kata-kata tidak puitis dan aneh ini bisa dong, kasih ulasan tentang cerita PAID LOVE, entah itu Raline, Gavin, Laura dan lain-lain. Singkat memang, tapi tidak ada cerita yang berakhir harus bahagia. Cerita ini memang menggantung, dan agak
"Luka itu tidak akan pernah bisa sembuh sekalipun bisa hilang dari pandangan mata ...."***Satu tahun kemudian ….Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Devin. Ia mencium bibir Raline dengan paksa. Berhasil wanita itu membalas dengan tamparan keras di wajah adik dari Gavin. Selama ini dia sangat mempercayai Devin. Tetapi sekarang semua kepercayaan itu hancur lebur."Kamu keterlaluan, Dev! Jadi semua itu kamu penyebabnya, huh!? Aku tidak menyangka kamu sejahat itu ternyata."Raline tidak menyangka jika semua yang terjadi adalah ulah Devin dan Lucy. Hubungan dia bersama Gavin hancur karena dengan sengaja lelaki itu mengadu domba keduanya sampai berpisah seperti sekarang.&nbs
Selama di dalam perjalanan menuju pulang, Laura terus membujuk Raline untuk menerima tawaran pemilik agensi model itu. Bahkan Raline kebingungan menolak tawaran itu saat Gasari memintanya lagi untuk menjadi model.“Ini bakal jadi pengalaman baru buat kamu. Siapa tahu uangnya bisa kamu tabung dan lanjut untuk kuliah. Daripada kamu di rumah terus, Nak. Coba baca dulu kontraknya, terus kamu bisa terima tawaran untuk berkunjung ke kantor agensi itu. Mama temani nanti, deh, ya?” bujuk Laura antusias.Dia juga sebenarnya tidak tega melihat anak kesayangannya itu hanya di rumah seperti dirinya tanpa memiliki aktivitas lain. Hanya Maria yang bekerja. Meski sebenarnya, Laura memiliki uang simpanan pemberian Gavin yang dirahasiakan olehnya dari Raline. Sepeserpun kartu gold pemberian dari menantunya itu tidak pernah disentuh olehnya.
Tiga puluh hari kemudian.Raline tinggal bersama Laura dan Maria. Sudah satu bulan wanita itu pergi dari rumah keluarga Gavin. Sebenarnya Raline ingin pergi dari rumah pemberian suaminya, namun Jamal sudah mewanti-wanti agar tidak perlu meninggalkan hunian mereka sekarang. Rumah yang menjadi tempat tinggal keluarga Raline saat ini, sudah atas nama dia sendiri.Laura dan Maria sampai detik ini tidak tahu kenapa anak kesayangan mereka itu pergi meninggalkan Gavin dan malah tinggal bersama-sama sekarang.Raline berubah menjadi lebih pendiam dan suka berada di dalam kamar setelah keluar dari kediaman mertuanya. Bahkan, tidak jarang dia bisa tahan seharian penuh tidak keluar dari kamar. Laura sempat khawatir, tapi selalu saja Raline bisa berkilah kalau dia akan baik-baik saja.
Raline terikat kedua tangannya salah satu tiang kamar. Gavin menyesapi setiap inci tubuhnya tanpa ada yang tertinggal. Kissmark di leher, dan bekas gigitan membekas di sela paha wanita itu. Ia terperanjat akan sentuhan kasar Gavin yang berada di titik intimnya. Tubuh putih itu sekarang tidak mulus karena lelaki itu menodainya dengan bekas-bekas kegilaannya.Disuruhnya paksa wanita itu menggeliat seksi. Gavin memperlakukan Raline sudah seperti wanita bayaran. Rasa trauma itu kembali muncul. Dia tidak menyangka di dalam hidupnya jika Gavin yang memperlakukannya seperti ini. Kasar dan brutal. Tubuhnya sudah tidak tahan akan kegilaan lelaki itu. Desahan, rintihan tidak hentinya lolos.Pandangan Raline sudah buram. Dia memang bergairah dan sudah mencapai puncak dua kali, namun lelaki itu tidak kunjung menuntaskannya. Malah Gavin hanya menjadikannya tonto
Raline terperanjat setiap kali Gavin mencumbu setiap inci tubuhnya dengan brutal dan kasar. Setitik kristal bening keluar di sudut mata Raline yang tertutup rapat. Saat mata itu terbuka, ia seakan memohon pada Gavin agar berhenti menyiksanya.Tangan Gavin meremas kasar dada Raline tanpa ampun yang masih tertutup bra namun terlihat berantakan. Wanita itu sudah basah dibawah sana, tapi dia tidak merasakan kehangatan sama sekali akan sentuhan yang diberikan Gavin. Lelaki itu menyiksa tubuhnya kasar.“Emmpphh!” rintih Raline. Dia membuka matanya yang sudah sayu berusaha menatap dan memelas belas kasih di mata Gavin. Namun, tidak ada pandangan hangat lagi di mata sang suami. Air mata jatuh tak tertahan lagi. Raline menangis sekarang.Setelah puas membasahi tubuh Raline dengan salivanya
Sesampainya Gavin di rumah, suasana sudah sangat sepi. Hanya ada pengawal yang tengah berjaga di kediaman Yudistoro. Tuan besar di rumah itu pun sedang tidak berada di tempat.Gavin turun dari mobil dengan amarah yang tertahan. Rahangnya mengeras dengan penampilannya yang berantakan. Darah masih bersimbah di jari tangan suami dari Raline itu.Gavin terlebih dahulu mencuci tangannya di kamar dia sebelumnya. Lelaki itu enggan masuk ke dalam kamarnya bersama Raline. Dia sangat gusar dan dalam keadaan tidak baik.Sebisa mungkin Gavin menghindari bertemu dengan istrinya. Dilepasnya kemeja putihnya dan meminum banyak air putih yang baru saja dibawakan oleh pekerja di rumahnya.Membasuh wajah dan rambutnya, Gavin berdiri di depan cermin kamar mandi sambi
"Kamu tunggu disini," pinta Gavin pada Jamal."Baik, Tuan." Jamal berdiri di depan pintu gudang dan menurut saja atas perintah Gavin.Dengan langkah berat, Gavin masuk ke dalam gudang yang temaram. Hanya ada lampu yang menyala tepat di bawah Edd tengah disekap mulutnya. Ada dua pengawal yang berjaga di samping kiri dan kanan.Gavin memberi isyarat dengan mengibaskan tangan pada dua pengawalnya yang berjaga standby. Mereka pergi karena bos mudanya meminta untuk pergi. Tinggallah Gavin sendiri bersama Edd.Edd dalam keadaan tertidur saat ini. Mulutnya dibekap lakban berwarna hitam. Wajahnya terlihat memar di beberapa sudut. Edd melawan saat dibawa paksa oleh dua pengawal Gavin ke gudang ini. Belum hilang bekas pukulan Devin saat itu, sekarang wajah