"Tunggu sebentar," ucap Ryan saat Nina hendak keluar dari mobilnya. Nina yang sudah memegang handle pintu mobil itu sontak menoleh, menatap Ryan yang sedang menatapnya. "Apa?" jawabnya singkat."Kok kamu masih marah sih? Aku kan udah jelasin ke kamu kalau foto itu tuh beneran udah gak ada artinya dan aku sendiri gak tau kalau itu foto ada di situ." "Aku gak marah, biasa aja," jawab Nina. "Gak marah tapi sepanjang jalan kamu diem aja, aku ajak ngomong jawaban kamu singkat terus." "Ya karena aku bingung mau jawab apa lagi," jawab Nina."Sayang, kamu—""Nanti aja kita bahas lagi ya, ini udah mau jam masuk. Aku harus cepetan masuk atau bonusku hangus nanti," ucap Nina beralasan. Faktanya masih ada waktu setengah jam lagi ke jam masuk. Ia hanya enggan saja berbicara dengan Ryan."Tapi beneran udah gak marah kan? Aku gak tenang kalo kamu marah sama aku." ucap Ryan.Namun, sama sekali tak ada jawaban dari Nina, ia diam enggan menjawab karena hatinya masih kesal."Sayang?""Buka pintunya
"Nina?" Sebuah teriakan dari arah samping membuat langkah Nina terhenti seketika. Ia menoleh, melihat seorang pria dari divisi lain berjalan cepat menghampirinya."Ya, Ren, ada apa?" tanya Nina, sedikit bingung dengan panggilan mendadak itu.Bukannya menjawab, Reno malah berlutut di depannya, dan mengulurkan setangkai bunga mawar merah. Nina terbelalak, kaget dengan aksi tiba-tiba itu. "Hm? Kamu … ngapain?" tanya Nina dengan nada canggung. Matanya melirik ke sekeliling, melihat beberapa karyawan perusahaan yang mulai memperhatikan mereka. Tatapan penasaran dan bisik-bisik kecil menjadikan mereka pusat perhatian.Reno menatap Nina dengan penuh keseriusan. "Kita sudah lama saling mengenal, dan sudah lama juga kita dekat.""I–ya. Te... terus?" Nina mencoba menebak arah pembicaraan, tetapi tidak menyangka apa yang akan datang berikutnya."Nina... will you be my life partner?" ucap Reno, matanya berbinar dengan harapan.Nina langsung mengernyitkan dahi, bingung dengan situasi yang tiba-ti
"Itu ... aku ...." "Apa? Aku apa?" tanya Ryan masih dengan nada yang kesal. Nina membuang napas kasar. "Aku tadi bingung harus bagaimana. Aku tidak enak kalau harus menolak dia depan banyak orang. Dia pasti bakalan malu banget." "Terus? Kamu mau terima dia gitu?" tanya Ryan, mendengar Nina yang berkata demikian, jujur saja membuatnya kesal. "Iya, terus setelah itu bicara empat mata dan berkata dengan jujur pada dia." "Cih!" "Udahlah, gak usah lebay!" "Lebay katamu? Terus apa kabar dengan kamu yang marah waktu liat ada foto di dompet aku. Itu cuma foto lho, yang aku sendiri saja gak tau kalau foto itu ada di dompet. Lah ini kamu?" "Ya beda kasus dong. Kamu dan dia pernah berhubungan, kan? Kamu pernah punya rasa sama dia, lah aku? Aku gak pernah punya rasa sama Reno. Aku hanya menganggap dia rekan kerja saja dan tidak lebih." "Ya tapi—""Udah ah! Kita bahas itu nanti! Aku harus masuk. Bentar lagi jam masuk kerja," ucap Nina, dia berbalik hendak masuk ke gedung perusahaan lagi.
"Loh, Nad? Kamu di sini? Sama siapa?" tanya Farhan."Dengan ...." Pandangan Nada beralih ke segala arah mencari sang suami. Dirga yang sejak tadi sibuk melihat buku-buku itu sontak menghampiri Nada saat mendengar sang istri menyebut nama pria yang tak asing ia dengar. "Suami," lanjut Nada, "Itu ... suamiku, Kak." ucapnya seraya menunjuk ke arah Dirga. Tap tap tap. "Ini ... suamimu?" tanya Farhan. Nada tersenyum canggung. Sementara Dirga, ia tampak menatap Farhan dengan raut wajah yang terlihat tidak suka. Farhan lantas menatap Dirga dengan senyum ramahnya. Kemudian memperkenalkan diri dan di balas dengan malas oleh Dirga. "Kamu pasti lagi cari novel ya?" tanya Farhan pada Nada.Nada kembali tersenyum canggung dan menganggukkan kepalanya pelan. "Iya, Kak." ucap Nada."Masih belum berubah ya ternyata kamu, masih suka baca novel." ucap Farhan. Dirga memutar kedua bola matanya malas. 'Masih belum berubah? Sok deket banget jadi manusia,' batin Dirga berucap. "Yaang? Aku lapar!" uc
"Apa? Aku gak salah denger?" tanya Dirga, ia menatap Nada dengan tatapan kesal. Nada yang melihat raut wajah suaminya yang terlihat kesal itu malah tersenyum. Ia suka melihat kecemburuan yang terlihat dari ekspresi wajah suaminya. "Enggak, kamu gak salah denger. Tadi, aku emang deg-degan ketemu Kak Farhan.""Yaang?" Bibir Dirga mengerucut. "Lebih tepatnya kaget," ucap Nada lagi masih dengan senyumnya. "Gak nyangka aja bisa ketemu kayak tadi. Waktu itu aku berhenti kerja dari dia berasa kurang sopan karena tidak sesuai dengan kontrak. Huuuhh ... harusnya tadi aku minta maaf.""Aku yang akan bicara dan minta maaf dengan dia nanti," sahut Dirga, "Dan kamu, diam ditempat dan jangan bergerak menemui dia!" Nada kembali tersenyum, kemudian berkata, "Oke." Dirga mendelik. Ia bersandar pada sofa. "Aahh ... mendadak aku jadi bad mood! Padahal sejak semalam aku sudah banyak membayangkan kalau hari ini kita akan have menikmati waktu kayak anak muda yang lagi pacaran! Kenapa harus ketemu sama
2 Bulan kemudian."Maasss?"Dirga yang baru saja akan masuk ke mobil itu mengurungkan niatnya saat sang istri memanggilnya. "Kenapa, Sayang?" tanya Dirga. Nada tak langsung menjawab, dengan senyuman yang manis ia menghampiri suaminya. "Ini ... makan siang buat kamu," ucap Nada seraya memberikan kantong lunch box. "Nanti pulang isinya harus habis. Awas aja kalau enggak." Dahi Dirga mengernyit. "Tumben, biasa kamu suruh aku beli di luar." "Dih, waktu awal nikah aku sering ya bikinin kamu bekel. Cuma keburu males aja karena kamu izin mau ni—""Oke, aku habiskan bekelnya nanti," sela Dirga memotong. Karena membiarkan sang istri berbicara lebih banyak, malah akan memicu pertengkaran. Ingatan wanita memang sangat kuat ternyata. Pengkhianatan yang ia lakukan sudah berbulan-bulan dan bahkan ia sudah mengatakan menyesal. Tetapi Nada sering kali membahasnya jika ada kesempatan.Nada hanya mengerucutkan bibir saat suaminya berkata demikian. "Ya udah, aku berangkat dulu. Assalamualaikum ....
"Kenapa?""Hm?" Dirga sontak menoleh, "Enggak, gak pa-pa.""Dih! Gak jelas! Senyum-senyum sendiri kek orang gak waras. Ati-ati keterusan, kasian Nada masih muda masa harus ngurusin orang gak waras. BTW aku juga ogah punya ipar gak waras, nanti pasti nyusahin!" Mata Dirga dengan seketika memicing tajam. "Sekali lagi ngomong, aku gebuk kamu!" "Lah abisan aneh!""Hmmm ... sepertinya ... sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah," ucap Dirga. Ia mengenyampingkan kekesalannya dan langsung mengatakan kebahagiaannya. Ryan yang tadi nampak santai sontak terduduk tegak, menatap Dirga yang kini sedang tersenyum padanya seraya menaik-turunkan alisnya. "Serius?" Dirga memberikan anggukan kepala. "BTW, boleh minta tolong? Aku ingin memastikan ini betul atau tidak pada Nada. Tukeran jam ngajar ya." Ryan yang mendengar menghela napas. "Ayolah," pinta Dirga, "Atau ... kalau nanti kamu jadi nikah dengan Mbakku, aku tambahin sewa gedung." Ryan langsung mengarahkan telapak tangannya pada Dirga.
“Bertemu Delisha? Di dokter kandungan?” tanya Dirga, matanya menatap serius ke arah Nada, penuh rasa ingin tahu yang mendalam. “Aku nggak tahu dia habis dari dokter kandungan atau dokter yang lain,” jawab Nada dengan nada serius, mencoba menjelaskan sebaik mungkin. “Tapi dia memang sempat berada di koridor yang sama denganku. Entah dia cuma lewat atau baru saja keluar dari salah satu ruang dokter. Pas aku mau mengejarnya, dia sudah keburu pergi dan namaku keburu dipanggil perawat. Jadi, aku nggak sempat memastikan itu Delisha atau bukan, tapi aku yakin itu Delisha sih. Mama juga yakin kok.” Dirga mengangguk sedikit, mempertimbangkan. “Di ruangan itu ada dokter apa saja?” “Dokter kandungan, terus sebelahnya dokter spesialis lain, aku nggak terlalu jelas liat itu ruangan apa sih. Soalnya aku gak nunggu juga, Mas, jadi gak liat sekitar ada ruangan apa saja. Karena setelah pendaftaran itu aku sama Mama ke kantin. Mama kan belum sempat sarapan. Jadi aku bawa dia ke kantin dulu sambi
Marwah tak henti-hentinya menangis. Bagaimana tidak, pria yang hidup dengannya hampir 30 tahun itu kini mengkhianati cinta dengan menikah lagi tanpa sepengetahuannya.Dan yang lebih gila, sang suami menikahi wanita yang lebih pantas menjadi putrinya. Lebih gila lagi, wanita itu adalah wanita yang hampir saja merusak rumah tangga putra mereka dan sempat menjadi simpanan putra mereka. Hatinya hancur, sakit tak terkira. Dadanya terasa sesak, nyeri seperti ribuan jarum berhasil menusuk hatinya. Tenggorokannya juga tercekat, hingga rasanya sulit sekali menarik napas dan menghirup udara. Ia begitu sangat sulit bernapas seperti ikan yang dilempar ke daratan."Mah?" panggil Dendi. Pandangan Marwah lantas beralih pada asal suara. Dilihatnya sang suami yang baru saja membuka pintu. Marwah yang sejak tadi duduk di tepi ranjang seraya terisak itu sontak beranjak dan berkata, "Kamu? Mau apa kamu ke sini, huh?" tanya Marwah dengan nada yang ketus. Nada suaranya juga terdengar gemetar."Aku minta
"Mau apa kamu ke sini?" Nada berbicara dengan ketus saat melihat Delisha yang baru saja datang. Delisha tak menjawab, ia malah memutar kedua bola matanya malas saat Nada bertanya. "Maaass?" ucapnya memanggil suaminya semakin mengacuhkan. Nada yang merasa geram itu lantas mendekati Delisha, kemudian memegang pergelangan tangan Delisha dan menariknya keluar. "Mau apa kamu? Lepas!" ucap Delisha dengan nada yang ketus saat Nada menariknya kasar. Sedang Nada, ia tidak peduli, ia malah semakin kasar menarik Delisha untuk keluar. Karena jujur saja, ia benar-benar geram dan muak sekali menghadapi Delisha yang kini tingkahnya semakin di luar batas. "Sayang?" panggil Dirga mengikuti sang istri yang berjalan keluar. Nina dan Ryan juga mengikuti langkah kaki Nada yang berjalan keluar. "Pelan-pelan, aku sedang hamil!" ketus Delisha, ia melepas dengan kasar tangan Nada saat mereka sudah berada di ruang depan. "Bagaimana kalau aku terjatuh dan bayiku kenapa-kenapa, huh?" "Bagus kalau
Dendi sama sekali tidak memperdulikan ucapan Delisha yang melarangnya untuk pulang. Walau wanita itu terus berteriak hingga membuat gendang telinganya terganggu, Dendi terus melangkah pergi. Setelah hampir 30 menit berada di perjalanan, akhirnya mobil yang Dendi kemudikan berhenti juga di depan sebuah halaman. Ia lantas keluar dari mobil dan masuk."Assalamualaikum," salam Dendi begitu masuk rumah. Dilihatnya rumah yang terlihat ramai dengan anak dan juga menantunya. Terkecuali putri sulungnya. Alih-alih mendapatkan sambutan baik dari anak dan menantunya, ia malah di tatap dengan tatapan sinis. Apalagi Nina, putrinya itu menatapnya dengan tatapan yang terlihat benci penuh amarah."Mau apa Papa ke sini?" tanya Nina dengan nada yang ketus. Menatap sang ayah dengan tatapan benci. Karena jujur saja ia sama sekali tidak menyangka dan juga tak percaya jika sang ayah yang selama ini ia hormati, ia segani dan ia anggap sebagai panutannya dan bahkan ia berharap bisa mempunyai suami yang pers
"Kenapa kamu datang ke acara pernikahan Nina? Sudah aku bilang untuk jangan bertingkah!" ucap Dendi dengan nada yang ketus pada Delisha. Walau diketusi, Delisha nampak acuh tak acuh. Ia duduk bersandar pada sofa seraya memainkan jari-jari lentiknya dan raut wajahnya terlihat santai seolah tak terjadi apa pun. 'Aku menunggu hari ini dengan tidak sabar, mana mungkin melewatkannya begitu saja,' ucap Delisha di dalam hati, "Dan akhirnya, semua yang terjadi hari ini benar-benar sesuai dengan ekspektasiku. Mereka semua nampak sangat kaget dan si Marwah itu hancur! Setelah urusanku dengan si Marwah itu selesai, tiba nantinya giliranmu Nada," batin Delisha lagi. Senyuman nampak terlihat di bibirnya saat ia sibuk dengan isi hati dalam lamunannya. Melihat Delisha yang malah tersenyum saat ia sedang banyak bicara, Dendi mulai geram dan kesal sekali. "Delisha! Aku sedang berbicara denganmu! Tatap suamimu jika sedang bicara!" "Apa sih? Berisik!" ucap Delisha mulai menatap pria paruh baya yan
"Apa? Jadi si Delisha itu sekarang istri dari ...." Ryan menatap Dirga tak percaya setelah mendengar pria itu bercerita tentang apa yang terjadi tadi siang. Kini, mereka semua sedang berkumpul di kediaman rumah Marwah. Nina dan Ryan nampak terlihat sangat shock. Hari di mana seharusnya menjadi hari paling membahagiakan, malah menjadi sebaliknya. Bahkan mereka yang seharusnya malam ini menikmati waktu bersama, harus mengesampingkannya dulu karena masalah yang dibuat oleh Delisha. Mendengar respon Ryan setelah ia bercerita, Dirga mengangguk. "Iya, perempuan sialan itu tadi mengatakannya dan Papa sama sekali tidak mengelak. Dia malah meminta maaf pada Mama, itu artinya yang dikatakan oleh si Delisha itu memang benar." Ryan dan Nina tak bersuara, sama-sama bingung bagaimana harus merespon. Apalagi Nina, ia begitu sangat shock mendengar ayahnya kembali menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih pantas menjadi anaknya. "Demi apa pun aku benar-benar tidak habis pikir!" ucap Ryan,
"Apa maksud dari ucapanmu, huh?" tanya Nada, ia pun sama bingungnya. Pikiran buruk mulai terlintas di pikirannya. Apalagi melihat Delisha yang dengan berani menyelipkan tangan di siku lengan ayah mertuanya. Sedang ia tahu, jika keluarga suaminya adalah keluarga yang cukup agamis. Jelas tidak mungkin jika sang ayah mertua tetap diam saat di sentuh oleh wanita lain selain mahramnya. Jika demikian, itu artinya ...."Kok kamu masih tanya sih, Nad. Masa apa yang aku lakukan masih belum jelas dan tidak membuat kalian mengerti." "Delisha? Cukup! Kamu pergi dari sini dan jangan membuat keributan!" ucap Dendi."Apa sih, Mas? Kamu diam dan jangan banyak bicara! Aku sudah cukup lama menunggu hari ini tiba!" jawab Delisha. "Mas? Dia memanggil kamu Mas, Pah?! Apa maksudnya ini, huh?" tanya Marwah pada sang suami. Suaranya sedikit gemetar saat berbicara."Papa akan jelaskan nanti saat di rumah, Mah," jawab Dendi."Kenapa harus nanti sih, Mas? Sekarang saja," jawab Delisha dengan senyuman yang se
"Apa maksudnya keluarga? Jangan aneh-aneh ya, kamu! Pergi kamu dari sini!" usir Marwah dengan nada yang ketus. Raut wajahnya terlihat merah padam menahan marah. "Dasar perempuan tidak tahu diri! Sudah ditolak, masih saja mengejar anakku. Punya malu dong!" "Cih!" Delisha mengalihkan pandangan ke arah lain dan mendecih sinis. Ia juga nampak tersenyum smirk, senyuman jahat nampak terlihat begitu jelas di wajahnya. "Kamu tuh ada masalah apa sih sama aku, Sha? Kamu gak capek apa terus ganggu hidup aku? Aku tuh capek tau ngadepin kamu terus," sahut Nada bersuara. Pandangan Delisha lantas beralih pada Nada. "Sampai mati pun aku akan terus ada di sekitaran kamu, Nad. Aku akan terus menjadi bayang-bayang kamu dan akan terus mengganggu kamu," jawab Delisha, kali ini ia tidak memasang senyuman smirk, tapi senyumnya nampak terlihat sangat manis. Sayangnya, senyuman manis itu malah membuat Nada ngeri melihatnya. "Aku akan terus ada dalam pandanganmu, Nad," lanjutnya lagi. "Teruslah bermimpi,
"Dia di sini?" gumam Dirga saat membaca pesan dari Ryan yang mengatakan jika Delisha kini sedang berada di ruangan yang sama dengannya. "Kenapa, Mas?" tanya Nada saat dengan tak sengaja mendengar gumaman Dirga. Dirga lantas memperlihatkan layar ponselnya pada Nada seraya berkata, "Ryan bilang kalau Delisha ada di sini," jawab Dirga. "Delisha ada di sini? Mau apa di ke sini?" Nada bertanya walau ia tahu jika sang suami pasti tidak tahu jawabannya. "Mas? Bagaimana kalau dia buat masalah di sini." "Kamu jangan jauh-jauh dari aku," ucap Dirga mulai meraih telapak tangan Nada dan menggenggamnya. "Aku curiga dia datang ke sini mau berulah. Dia sama sekali tidak diundang, terus tiba-tiba ada di sini, jelas ini aneh, kan?" Nada diam sebentar sebelum akhirnya menjawab, otaknya nampak bekerja keras hingga akhirnya ia berkata, "Mas? Aku rasa saat aku tidak sengaja melihat dia di rumah sakit tempo hari itu, dia juga pasti melihat aku. Ada kemungkinan dia tahu aku ke dokter kandungan dan dia
"Yakin yang Nada dan ibumu lihat itu Delisha?" tanya Ryan setelah mendengar cerita yang baru saja Dirga katakan padanya. Dirga mengangguk. "Nada bilang kalau dia yakin itu Delisha, dan dia bilang kalau ibuku juga yakin kalau itu Delisha. Cuma ya belum pasti saja si Delisha itu datang ke rumah sakit untuk menemui dokter kandungan atau ke dokter spesialis yang lain." "Perlukah ku cari tahu?" Dirga menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak usah, untuk apa? Dia bukan urusan kita. Untuk apa kita mengurusi hidup dia? Kita juga punya kesibukan masing-masing. Semisal dia betulan ke dokter kandungan, ya sudah ... kenapa memangnya? Mungkin dia sudah menikah, kan? Atau, semisal dia ke dokter spesialis yang lain, ya biarkan saja. Mungkin dia sakit dan sedang memeriksakan diri. Tidak usah pedulikan dia." "Ya memang, aku juga tidak peduli dia datang ke rumah sakit untuk apa. Tapi masalahnya kita bisa meminta pertanggung jawaban dia atas apa yang dia lakukan pada Nada. Dia membodohi kita dan secara