***Di atas ranjang, Mary berbaring dengan posisi miring, kedua kakinya ditekuk. Matanya terlihat sembab akibat terlalu banyak menangis. Sejak ditinggalkan oleh Nathan sekitar dua jam yang lalu, yang bisa dilakukan Mary hanyalah menangis.Ia ingin sekali menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya kepada Nathan, tetapi di sisi lain, Mary juga takut Nathan tidak akan mempercayainya. Hanya dengan menyampaikan penjelasan tanpa bukti apapun, rasanya mustahil ada orang yang akan mempercayainya, bahkan Nathan, kekasihnya sendiri.Di mata Mary, Nathan adalah pria yang sangat baik dan tulus. Sempurna. Pria itu memperlakukan Mary dengan sangat lembut, sehingga rasanya kecil kemungkinan pria itu akan menyakiti perasaannya andai saja ia berkata jujur.Namun, percayalah, berada di posisi Mary saat ini bukanlah hal yang mudah. Rasa trauma membuat pikirannya kacau, ditambah sudut pandang yang selalu negatif membuatnya kesulitan untuk bercerita kepada orang lain.Mary tidak ingin memendam semua
***Jam delapan pagi, cahaya matahari masuk melalui celah-celah tirai jendela kamar Mary. Di atas ranjang, wanita itu tidur pulas, ditemani Nathan yang setia memberikan pelukan hangatnya sepanjang malam.Posisinya yang membelakangi Nathan dan wajahnya yang menghadap ke arah jendela membuat cahaya matahari menerpa kulit wajahnya yang mulus. Detik demi detik, ia mulai terusik oleh rasa hangat yang cenderung panas dan silau, meskipun matanya masih tertutup.Mary bergerak pelan, mengubah posisi tubuhnya untuk menghadap Nathan. Di bawah selimut tebal yang menghangatkan tubuhnya, ia membawa sebelah tangan untuk memeluk pria itu. Wajahnya semakin dekat ke dada bidang pria itu, dan tubuhnya semakin rapat seolah mencari ketenangan.Di sisi lain, Nathan sudah terjaga sejak satu jam yang lalu. Namun, pria itu tak beranjak sedikitpun dari tempat tidur. Ia tidak ingin meninggalkan Mary sebelum wanita itu terbangun.Nathan menggulung senyum, merasakan pelukan erat Mary di tubuhnya, lalu mengecup le
***Jika sebelumnya Mary selalu antusias saat mengunjungi kediaman Hilton yang mewah dan megah, kali ini terasa berbeda. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak nyaman di dalam hatinya ketika berada di tengah keluarga kekasihnya.Keluarga Nathan, yang sangat tulus dan ramah kepadanya, justru membuat Mary merasa bersalah. Dia merasa seperti seorang pengkhianat yang tidak pantas berada di sana. Meskipun tidak ada seorangpun yang tahu apa yang telah terjadi padanya, Mary merasa malu yang luar biasa. Ia merasa seolah-olah sedang ditelanjangi di depan banyak orang.Tak tahu harus berbuat apa, saat kakinya melangkah memasuki kediaman yang megah itu, dadanya berdebar-debar dan perasaan tidak nyaman semakin merayap, membuatnya gelisah."Kamu kenapa, sayang?" tanya Nathan, yang menghentikan langkahnya dan menatap lekat-lekat pada Mary yang juga berhenti di sampingnya. Keningnya tampak berkerut, menunjukkan kebingungan atas reaksi kekasihnya yang ia sadari."Hah..?" Mary terkejut oleh pertanyaan p
***Sebelumnya, Victor menuju toilet bersama temannya, Olso. Namun, temannya itu sudah selesai terlebih dahulu dan meninggalkannya di toilet untuk kembali ke ruang tengah, bergabung dengan Dominic dan Nathan di sana.Namun, sebuah kebetulan kembali membuat Victor dan Mary terjebak dalam situasi tak diinginkan. Tanpa sengaja, Mary pun masuk ke dalam toilet tempat Victor berada. Betapa terkejutnya wanita itu ketika melihat kehadiran pria bajingan itu di sana!Tanpa berpikir panjang, Mary segera berusaha mundur untuk keluar dari toilet tersebut. Namun sialnya, dia kalah cepat dari Victor, yang sudah mengunci pintu toilet dan memerangkap tubuhnya di antara pintu.Mary membuka bibirnya, hendak mengatakan sesuatu, tetapi Victor sigap membungkam mulutnya dengan sebelah tangan, sementara tangan yang satunya lagi digunakan untuk menahan kedua tangan Mary di atas kepala."Uussttt... diam, Baby," bisik Victor di depan wajah Mary. Pria itu lalu mengulas senyum smirk di wajahnya.Mary terhenyak, k
***"Kau ini kenapa, huh? Tiba-tiba bersikap begini, gegabah tanpa berpikir panjang," Olso berkata sambil menyetir, melirik Victor yang duduk di sampingnya. "Nathan itu keponakan Tuan Dominic, dan dia sangat sayang terhadap keponakannya, seperti putranya sendiri. Dan kau... kau malah dengan beraninya mengganggu kekasih dari keponakannya itu. Mereka akan segera menikah, Victor. Berhentilah berbuat gila, jangan sampai semua tindakanmu itu menghancurkan apa yang selama ini kita bangun. Kepercayaan Tuan Dominic. Hubungan baik kita dengannya jangan sampai hancur hanya karena kau mengejar Mary."Di sisi lain, Victor hanya diam, mendengarkan dengan seksama omelan panjang lebar Olso tanpa berniat membalas."Aku tidak tahu persis apa alasanmu kali ini. Tapi yang jelas, aku tidak percaya kalau alasannya karena cinta. Kau tidak mungkin mencintai Mary, kan? Sementara Jihan sendiri belum bisa kau lupakan," Olso melanjutkan, tampak belum puas mengomeli temannya itu.Ya, Olso sangat kesal dengan Vi
***"Club ini tutup!" seru seorang pria kepada Victor dan Olso, berusaha menghalangi jalan mereka untuk masuk ke dalam club.Di depan club, ternyata ada dua pria yang berjaga. Sementara itu, petugas yang seharusnya menjaga tempat itu telah mereka bunuh, dan nasib mayatnya entah dibuang ke mana."Aku tahu ini tengah malam, tapi bisakah jangan membuat lelucon?" sarkas Olso, menatap kedua pria itu dengan tatapan bengis secara bergantian. Di sampingnya, Victor hanya diam, menatap kedua pria itu dengan tatapan datar dan tajam.Setelah jeda sejenak, Olso melanjutkan, "Kau bilang club ini sudah tutup. Kau pikir aku buta sehingga tidak bisa melihat mobil-mobil para pengunjung yang terparkir di sana?"Kedua pria itu sontak saling melirik, memberi isyarat lewat anggukan kepala. Detik berikutnya, dengan gesit mereka mengangkat senjata yang tersembunyi di balik punggung dan mengacungkannya ke arah Olso dan Victor.Namun, dalam hitungan detik, Olso tak kalah sigap. Ia meraih pergelangan tangan sal
***“Pelan-pelan, sakit,” keluh Mary.“Tahan sebentar,” jawab Victor, berusaha tenang.“Iya, tapi tetap sakit,” protes Mary, mencengkram pergelangan tangan Victor yang kekar, berusaha menahan gerakan pria itu yang tengah membersihkan luka di sudut bibirnya.“Sedikit lagi selesai. Tahan!” Victor menjauhkan tangan Mary dari dirinya dan melanjutkan membersihkan luka memar di bibir wanita itu.“Sudah, nanti saja,” tolak Mary lagi, kali ini mundur sedikit dan menciptakan jarak antara mereka. “Sangat perih, aku tidak tahan. Pipiku juga nyeri.”Victor menatapnya dengan jengkel. “Dan membiarkan lukamu seperti itu? Bagaimana kalau nanti infeksi?” Ia mendekat lagi, meraih tangan Mary untuk membawanya kembali ke pinggir wastafel.Mereka berada di apartemen Mary, baru saja tiba beberapa menit yang lalu. Sebelumnya, Mary melarang Victor untuk masuk, tetapi pria itu tidak menghiraukan larangannya dan tetap memaksa masuk. Akhirnya, Mary menyerah karena merasa percuma melanjutkan protes. Victor tidak
***“Aku hanya bertanya, Mary. Lantas, pertanyaanku membuatmu tersinggung?” Nathan mendudukkan tubuh di samping Mary, tidak melepaskan pandangannya dari wanita itu.Sejenak, Mary terdiam, mencerna ucapan Nathan. “Dari segi mana aku tersinggung?” lantas membalas tatapan mata dingin pria itu.“Aku bertanya,” Nathan memperjelas.“Dan pertanyaan mu membuatku bingung, Nathan. Bukankah tadi sudah aku jawab, kalau aku baik-baik saja? Apakah ada yang salah dengan jawabanku itu? Kalau iya… lantas dimana salahnya? Tolong, kasih tahu aku,” Mary yang tadinya duduk bersandar di sofa, sontak menegakkan tubuhnya dan menatap dalam mata pria itu.Nathan tidak langsung membalas. Ia menarik pandangannya dari Mary, lantas menatap lurus ke depan. Menghela napas, ia berusaha mengusir rasa sesak yang terasa berat di dadanya.“Aku sebagai kekasihmu merasa tidak berguna. Wanitanya dalam bahaya, tapi tidak tahu apa-apa. Seharusnya kau menghubungiku saat kamu membutuhkan pertolongan, bukan malah membiarkan pria
***PLAK!Victor tak dapat melanjutkan kalimatnya, terganti dengan suara tamparan keras dari tangan Mary di pipinya.“Tutup mulutmu dan berhenti menghakimiku seperti itu! Kamu tidak pantas melakukannya!” Mary terengah-engah membalas tatapan tajam Victor dengan berani.“Kamu tahu mengapa aku seperti ini, Victor! Kamu tahu siapa yang membuatku seperti ini! Kamu tahu siapa orang yang dengan tega menghancurkan hidupku! Itu adalah KAMU! KAMU, BAJINGAN!” teriak Mary, matanya memerah dan tubuhnya gemetar oleh amarah yang meluap-luap.Victor terdiam, memaku pandangannya pada Mary. Ia mendengarkan dengan seksama setiap kata yang dilontarkan oleh… bibir manis itu.Manis? Oh, ayolah. Di saat suasana begini, dia masih bisa membayangkan rasa bibir kenyal itu.“Kamu tidak pantas mengatai aku wanita paling jahat di dunia ini… karena di atas aku masih ada kamu! Pemerkosa!”“Aku tidak memperkosamu, Mary,” sanggah Victor dengan nada yang tenang.“Tapi kenyataannya begitu, kan? Aku begini karena kamu! A
***Selesai membayar barang belanjaannya, Mary bergegas keluar dari toko. Ia memperhatikan awan yang mulai gelap dan mendung.“Sepertinya akan turun hujan,” gumam Mary pelan sambil melangkah cepat menuju flatnya.Di sisi lain, Victor sengaja menghentikan mobilnya dengan jarak agak jauh sambil memperhatikan arah Mary pulang.“Ah, ternyata tempat tinggalnya di sana?” katanya dengan mata tajam memandang lurus pada sosok Mary.Masih diam di dalam mobil, Victor melihat Mary masuk ke dalam sebuah flat. Kemudian, ia membuka sabuk pengaman dan segera turun dari mobil setelah mengambil ponsel dan dompetnya yang tergeletak di atas jok di sampingnya.Dengan perasaan lega, Victor melangkah lebar dan kini ia berdiri di depan pintu flat yang dihuni oleh Mary.Tok! Tok! Tok!Di dalam, Mary baru saja menyimpan plastik susu hamil yang ia beli tadi di toko ke atas meja. Ia berniat untuk memindahkannya ke tempat khusus susu. Namun, ketika ia mendengar seseorang mengetuk pintu, gerakan tangannya terhenti
***“Selamat pagi, Tuan,” sapa Daisy saat ia masuk ke dalam mobil Nathan dan duduk di kursi penumpang samping kemudi.“Pagi, Daisy. Maaf, aku membangunkanmu terlalu pagi,” kata Nathan dengan perasaan tidak enak terhadap wanita itu.Sambil mengikat sabuk pengaman, Daisy melirik sekilas ke arah Nathan. “Tidak apa-apa. Kebetulan semalam saya tidur cepat. Jadi... saya sudah cukup tidur,” ujarnya sambil melempar senyum pada pria itu.Nathan mengangguk samar.“Ayo, kita berangkat sekarang. Katanya desa itu agak jauh, kan?” “Ya, sekitar 4 jam perjalanan,” jawab Nathan.Kemudian, Nathan melajukan mobilnya, bersiap menuju desa tempat tinggal Chiara— Willowbrook, dengan harapan dapat menemukan petunjuk tentang Mary di sana.**Menjelang jam 10 pagi, Victor menggeliat di dalam mobil. Ia membuka mata dan mengerang pelan ketika merasakan badannya pegal-pegal akibat tidur berjam-jam di dalam mobil dengan posisi yang tidak nyaman.Sejak semalam, Victor menunggu wanita pemilik flat. Hingga pagi jam
***Mary merasakan kebahagiaan yang tak terhingga saat dirinya diterima bekerja di sebuah toko bunga. Ia sangat berterima kasih kepada sahabatnya, Chiara, yang telah membantunya mendapatkan pekerjaan tersebut.Pemilik toko bunga itu pun sangat baik dan ramah terhadap Mary. Setelah dua hari yang lalu diterima, keesokan harinya ia langsung mulai bekerja di toko bunga tersebut. Mary benar-benar menikmati pekerjaan barunya, sebuah kegiatan yang menurutnya sangat menyenangkan.Ya. Setelah menjalani kehidupan yang penuh tekanan di pusat kota London, Mary memutuskan untuk mencari ketenangan di pedesaan terpencil bernama Willowbrook. Flat kecil yang disewanya terletak di sebuah bangunan tua yang memiliki karakter unik, dengan jendela-jendela besar yang menghadap ke ladang hijau yang luas.Ketenangan desa ini sangat kontras dengan kebisingan kehidupan kota yang selama ini menguras energinya. Dia menikmati momen-momen sederhana, seperti menyiapkan secangkir teh herbal sambil duduk di balkon kec
***Tak ada pilihan lain, Victor akhirnya memutuskan untuk menghubungi Jihan. Sebelumnya, Victor berharap bisa mendapatkan informasi tentang Mary dari Jihan tanpa harus bertemu dengannya. Namun, ternyata tidak.Jihan bersikeras ingin bertemu langsung dengan Victor, sehingga pria itu dengan terpaksa menuruti kemauannya demi mendapatkan informasi tentang Mary. Setelah mengunjungi tempat tinggal salah satu teman Mary, Victor memacu kendaraannya menuju Mansion Alexander's untuk bertemu dengan Jihan di sana.Setelah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit, akhirnya Victor tiba di kediaman Alexander's yang mewah dan megah. Mobilnya melesat melintasi pintu gerbang yang kokoh setelah dibuka oleh seorang penjaga profesional.Menghentikan mobilnya, Victor menoleh ke samping kanan. Ia mendesah gusar melihat sosok yang sangat dicintainya itu: Jihan.Di cintai?Ah, sepertinya Victor salah. Tanpa dia sadari, cinta yang begitu besar yang ia miliki untuk Jihan kian terkikis. Posisi wanita itu di
***Beberapa hari yang lalu, Victor disibukkan oleh Kylie. Ia menemani wanita itu ke berbagai acara tertentu sehingga melewatkan banyak informasi penting tentang Mary di London.Sebagaimana diketahui, Ayah Kylie adalah salah satu orang berpengaruh di Miami, Florida, dan sangat berperan penting dalam kesuksesan Victor mengembangkan bisnis milik Dominic.Oleh karena itu, ketika Ayah Kylie meminta Victor untuk menemani putrinya ke suatu acara, Victor merasa sulit untuk menolak. Ayah Kylie seringkali menggunakan bisnis mereka sebagai bentuk ancaman terhadap Victor.Muak? Tentu saja. Victor sangat muak. Namun, untuk saat ini, ia tidak punya pilihan selain mengikuti kemauan pria tua itu, karena Victor sedang mengincar sesuatu dari dirinya. Jika semuanya berhasil, mungkin di saat itu ia bisa membebaskan diri dari tekanan Ayah Kylie.Setelah beberapa hari berlalu, Victor menerima laporan dari orang suruhannya bahwa dia tidak melihat keberadaan Mary selama beberapa hari ini. Hal itu membuat Vi
***Mary duduk termenung di sofa, sambil menyandarkan punggungnya. Dengan kedua tangan, ia mengusap wajahnya, merasakan kegusaran yang menggelayuti pikirannya. ‘Kalau aku tetap tinggal di sini, Nathan pasti akan datang lagi dan membuat semuanya semakin rumit. Tapi jika aku pergi, ke mana aku harus pergi? Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini,’ bisiknya dalam hati.Bagaimana sekarang? Apa yang harus ia lakukan untuk menghindari Nathan?Semalam, Mary sempat merasa tenang karena menyangka Nathan sangat marah padanya. Dia berpikir pria itu akan membencinya selamanya. Namun, kenyataannya jauh dari harapannya. Pagi ini, Nathan datang ke apartemennya, mengungkapkan permohonan maaf dan mengaku sangat menyesali perbuatannya kemarin.‘Kenapa Nathan berubah begitu cepat?’ pikir Mary. "Kemarin, dia sangat marah padaku. Bahkan tatapan penuh kebenciannya masih segar dalam ingatanku. Apa yang membuat Nathan begitu mudah mengubah keputusannya?’Mary merasa bingung, berusaha memahami perubaha
***Mary tiba di apartemen. Ia membayar taksi, lalu segera turun dan melangkah menuju lobi. Ketika ia berbelok menuju lift, kepalanya pusing lagi dan tiba-tiba mual, padahal Mary belum makan sama sekali. Sarapan pagi ia lewatkan, sengaja karena tidak berselera terhalang oleh rasa mual yang terus menerus menyiksanya.Mary masuk ke dalam lift dan menekan tombol. Pintu lift tertutup rapat, dan lift bergerak naik. Tak lama kemudian, lift tiba di lantai tempat unit apartemennya berada.Saat Mary melangkah keluar dari lift, kedua matanya sontak membelalak melihat sosok yang berdiri di depan pintu apartemennya. Nathan? Apa yang pria itu lakukan di sana? Mary menggelengkan kepala sambil menutup mulut dengan sebelah tangan. Ia buru-buru bersembunyi, berbelok ke lorong agar Nathan tidak dapat melihatnya.‘Astaga, dia hampir saja melihatku. Dia mau apa lagi sih datang ke sini?’ batin Mary, menyandarkan punggung pada tembok dengan napas terengah-engah sambil menekan dadanya yang berdebar kencang
***Setelah selesai mandi Mary buru-buru bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. Ia ingin memastikan dugaan bahwa dirinya sedang hamil. Meskipun banyak tanda-tanda yang mengarah ke sana, seperti mual, pusing yang tidak biasa, muka pucat, dan keterlambatan datang bulan, Mary tetap merasa ragu.Kemarin, ia bertanya pada temannya yang bekerja di club mengenai ciri-ciri wanita hamil. Temannya yang sudah menikah dan memiliki anak itu memberikan jawaban yang sama persis dengan gejala yang Mary rasakan, sehingga kekhawatirannya semakin bertambah. Dalam hati, Mary berharap semoga ia tidak benar-benar hamil, meskipun rasa ragu itu terus menghantuinya.Karena ingin memastikan dengan akurat, Mary memutuskan untuk langsung ke Dokter, meskipun ia bisa menggunakan test pack. Setelah bersiap-siap, Mary pergi ke rumah sakit terdekat. Setibanya di sana, ia mendaftarkan diri dan mengambil nomor antrian. Tidak lama kemudian, namanya dipanggil, dan Mary bergegas masuk ke da