"Andrea itu pacar pertama. Bukan cinta pertama, tapi yang paling berkesan." Nero menatap wajah istrinya, kemudian melanjutkan cerita.
"Aku ketemu dia di kampus waktu orientasi mahasiswa baru. Gadis pemalu tapi pintar."
Tania mendengarkan setiap ucapan suaminya dengan seksama tanpa menyela sedikitpun.
"Dia kesulitan ngerjain beberapa tugas, terus aku bantu. Aku kan dapat nilai tinggi di hampir semua mata kuliah. Mungkin itu sebabnya dia sering tanya." Lelaki itu menarik napas panjang. Sebenarnya dia tidak ingin mengingat lagi masa lalunya. Hanya istrinya berhak tahu agar tidak terjadi salah paham di antara mereka.
"Anak pengusaha kaya. Rekanan kakekmu. Aku ini yatim piatu. Bapak dulu penjahit. Ibu jualan sayur di pasar."
"Setiap subuh sebelum berangkat ke kampus aku bantuin ibu jualan di pasar. Kadang nguli angkat-angkat barang kalau diminta. Uangnya aku tabung buat biaya kuliah," lanjutnya.
"Waktu itu kami habis makan
"Zal, Zal. Itu Tania lewat." Seseorang menyenggol bahunya.Rizal segera menoleh. Pujaan hatinya tampak cantik dengan rambut terurai. Biasanya diikat dengan bermacam-macam model. Hari ini berbeda, tapi dia tetap suka."Samperin, gih." Kata sesorang yang lainnya."Malu aku." Wajahnya memerah. Cukuplah melihat sang pujaan hati dari kejauhan, karena mendekatinya tak cukup berani.Gadis cantik itu selalu diantar jemput bodyguard-nya ke mana-mana. Katanya sih lelaki itu omnya, tapi Rizal sangsi. Menurut info dari Clara, adik papanya Tania cuma ada satu, perempuan dan tinggal di luar negeri."Kapan dapetnya kalau kamu malu terus. Kamu itu ganteng, pinter, ketua OSIS. Masa ngedeketin cewek keder," ucap yang lain."Liat tu, pengawalnya udah datang." Rizal menunjuk.Sebuah mobil Honda HRV meluncur ke depan gerbang sekolah. Tania hendak berjalan menuju kea rah jemputannya. Omnya sudah dating. Hari ini sepulang sekolah mereka mau jalan-jala
Rumah sakit begitu ramai hari ini, sehingga membuat para petugas medis sedikit kewalahan. Namun, mereka berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien.Tania sejak pagi sudah berada di IGD untuk menangani berbagai macam kondisi gawat darurat. Wanita itu juga sudah meminta izin untuk pulang malam kepada Nero karena pasien yang membludak."Hai!"Rizal menyapa Tania dengan ramah. Sebenarnya lelaki itu mempunyai jadwal di poli bedah, tetapi dia menyempatkan diri untuk menemui sang pujaan hati di IGD."Pasien kamu udah nungguin dari tadi, Zal. Jangan gak professional gitu," sindir Tania di sela-sela kesibukannya menulis rekam medis pasien. "Masa kangen aja gak boleh?" balas Rizal cuek, mengabaikan tatapan para perawat yang menahan tawa melihat kelakuannya."Kasihan mereka nungguin. Apa kamu tega?" sindir wanita itu lagi.Rizal menyerah dan akhirnya berpamitan dengan Tania menuju ke ruangannya. Benar saja, begitu dia tiba di poli bedah, antrean pasien begitu Panjang. Rata-rata mer
Rizal membuang pandangan saat Tiara menarik celananya hingga ke lutut. Tampaklah bekas luka jahitan memanjang di sebelah kaki kirinya. Sementara kaki kanannya begitu mulus dan bersih. Wajah Rizal sedikit merona karena menahan malu. Biasanya pasien yang ditemui setiap hari adalah para lansia atau anak-anak. Ada juga wanita muda tetapi tak semenarik Tiara. "Dulu waktu operasi sama Dokter Fauzan, ya?" tanya lelaki itu."Benar, Dokter. Cuma katanya jadwal Dokter Fauzan besok. Jadi saya periksa sama siapa aja boleh asal sakitnya hilang," jelas Tiara. "Apa masih nyeri?""Kalau malam nyeri, Dokter. Mungkin cuaca dingin. Ini juga saya sudah masuk kerja."Tiara tersenyum senang. Entah kenapa dia ingin menggoda Rizal. Biasanya juga dia kalem, tidak ganjen pada laki-laki. Walau dia hanya karyawati biasa, banyak yang menyukainya. Mereka juga berwajah tampan. Beberapa berstatus single. Ada juga yang sudah menduda. Juga suami orang yang suka menggoda. Untungnya Tiara kuat iman dan tidak mau ter
Rizal memarkir mobilnya di belakang bangunan rumah sakit. Hari ini dia datang terlambat, sehingga parkiran depan sudah penuh dengan kendaraan karyawan dan pasien yang berkunjung."Pagi, Dokter."Begitulah sapaan dari beberapa wanita penghuni rumah sakit ini setiap kali Rizal melintas. Dia hanya mengangguk dengan wajah datar tanpa ekspresi. Hingga laki-laki itu sempat mendapatkan julukan si pelit, karena susah sekali tersenyum."Hai, Dokter Rizal."Senyum Rizal memang langka dan mahal, kecuali untuk Tania. Sama seperti masker yang tiba-tiba sulit ditemukan saat wabah kabut asap melanda Sebagian pulau di Indonesia. Sebenarnya Rizal tidak terlalu peduli. Baginya, tidak harus selalu menanggapi omongan buruk dari siapa pun. Dia juga malas mengklarifikasi karena itu hanya membuang waktu.Seperti biasa, Rizal ikut mengantre bersama karyawan yang lain untuk absen. Kali ini, tidak ada yang berani menggoda. Semua orang sudah tahu sikapnya dan merasa segan. Apalagi ketika dia begitu cekatan men
Setengah berlari wanita itu memasuki ruang Instalansi Gawat Darurat di rumah sakit tempat dia bekerja. Suara riuh dan kegiatan hilir mudik di dalam sana sudah menjadi santapan mereka sehari-hari. Sudah biasa dan mereka tidak boleh panik."Sorry aku telat. Mana pasiennya?" Tania bergegas masuk dan mengambil snelli miliknya."Itu, Dokter. Di ujung sana. Lagi dipegang Kak Sinta." Perawat itu berkata.Sinta adalah kepala ruangan Instalansi ini. Wanita itu sangat tangguh dah sigap, sehingga rumah sakit ini menjadi salah satu unggulan karena pelayanan yang bagus terutama di bagian Instalasi Gawat Darurat. Tania menggelengkan kepala. Melihat kondisi pasien ini miris sekali. Kakinya patah. Ada tulang yang remuk. Harusnya langsung masuk ke ruangan operasi. "Dok, pasien ini sudah di-inject dengan antibiotik sama analgesik." Shinta menjelaskan. "Kenapa enggak langsung dibawa ke OK? Kasian ini sudah kesakitan, sungutnya. "Menunggu persetujuan dokter jaga," jawab si perawat ketakutan. Tania m
Mobil berhenti di sebuah rumah mungil tetapi asri. Rizal baru saja mematikan mesin, ketika seorang wanita paruh baya keluar dengan tergesa-gesa dan membuka pagar."Itu mama kamu?" tanya Rizal saat melirik Syifa yang hendak membuka pintu dan keluar."Iya, itu mama," jawab gadis itu senang. Hari ini, Syifa akan mengenalkan Rizal kepada keluarganya. Mereka belum resmi berpacaran karena tak ada kata cinta yang terucap dari bibir lelaki itu. Namun, mereka sepakat untuk mencoba menjalin hubungan lebih dekat. Rizal sudah jarang mengunjungi Tania. Dia mulai belajar melupakan wanita itu. Hadirnya belum bisa menggantikan sang cinta pertama, tetapi cukup mengalihkan perhatian. "Galak gak?""Ya gak, lah. Mama tu baik banget. Malahan udah masak buat kita," ucap Syifa."Aku ngeri," goda Rizal. "Ayo, turun! Jangan kelamaan."Keluarga Syifa terlihat sederhana tetapi berkecukupan. Rizal yakin mereka pasti tidak punya ART, karena itu mamanya yang membukakan pintu."Itu Pak Dokter gantengnya?" bisik
Dua laki-laki itu duduk santai di teras sembari berbincang ringan mengenai apa saja seputar kehidupan sehari-hari. Sesekali mereka tergelak jika ada topik pembicaraan yang lucu. Rizal pintar sekali mengambil hati Sofyan. Setelah makan malam waktu itu, Rizal beberapa kali datang berkunjung untuk silaturahmi dengan keluarga Syifa. Berita kedekatan mereka juga sudah menyebar ke seantero rumah sakit. Tania bahkan mendukung sahabatnya itu dengan hubungan yang sekarang. "Nak Rizal benar-benar serius sama Syifa?" tanya Sofyan penasaran. "Serius, Om," jawab Rizal cepat. "Om memang agak ketat sama Syifa, karena dia anak perempuan. Selama ini dia belum pernah ngenalin siapa pun sama kami. Kamu yang pertama kali dibawanya ke rumah."Sofyan menatap menatap Rizal lekat. Ada harap dari hatinya bahwa suatu saat jika putrinya akan berjodoh dengan lelaki baik-baik.Rizal menjawab dengan tegas walaupun dia belum memberitahu orang tuanya. Lelaki itu masih memantapkan hati untuk memilih Syifa sebagai
Rizal menatap lekat pada sesosok gadis di hadapannya. Wajahnya ayu dan nyaman dipandang, membuat denyar halus tiba-tiba saja muncul menyusup ke hatinya secara perlahan. "Kenapa kamu ngeliatin kayak gitu?" tanya Syifa tersipu malu. Senyum manis yang terukir di bibirnya, membuat Rizal cukup berdebar-debar. Syifa memang terlihat berbeda karena hari ini dia memakai gaun baru dan memoles wajahnya dengan make-up. Lispstiknya merah menyala. Alisnya melingkar indah dengan eye liner. Maskara membuat bulu matanya tampak lentik. Sapuan blush-on yang sempurna di pipi, membuat Rizal menjadi gemas. Tunggu dulu. Kenapa Syifa jadi mirip seperti Tania? Ah, lelaki itu menepis semua pikirannya. "Tumben, hari ini pake dress. Biasanya pake snelli," goda Rizal. Melihat Syifa semakin merona, dia berhenti menatap lalu memalingkan pandangan. "Memangnya saya gak boleh dandan kalau lagi ketemu pacar?" Rizal mengulum senyum mendengarnya. Lelaki itu tahu jika Syifa memancingnya untuk menyatakan cinta. "Nan
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan sederhana yang diadakan di sebuah daerah pinggiran ibu kota. Kedua pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Tiara cantik ya, Mas." Syifa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. "Akhirnya mereka menikah juga," kata Rizal. Matanya tak lepas menatap panggung di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Rizal dan Syifa memutuskan untuk datang ketika menerima undangan dari Tiara, yang dikirim ke alamat rumah sakit. Jarak yang cukup jauh tak menyurutkan niat mereka untuk pergi untuk menghargai tuan rumah. Syifa bahkan pergi ke butik untuk membeli sebuah dress sebagai hadiah untuk Tiara. Pasien spesial yang sempat membuatnya cemburu dan salah paham kepada Rizal. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah ba
"Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh."Suara MC terdengar menggema memandu acara. Hari ini seluruh keluarga berkumpul di kediaman orang tua Rizal untuk menghadiri acara aqiqah putra mereka."Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, maka hari ini kita dapat menghadiri acara aqiqah adik Aksa Adyatama bin Muhammad Rizal Pratama. Untuk itu marilah kita ...."Semua orang begitu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara, mulai dari pembacaan ayat suci Al Qur'an, sambutan tuan rumah, pencukuran rambut serta doa penutup.Setelah semua selesai, tamu-tamu yang lain mulai berdatangan dan mencicipi hidangan. Rizal memotong dua ekor kambing untuk putranya di usia ke tujuh hari, juga mengundang hampir semua kenalan. Mereka ingin berbagi kebahagiaan dan memperkenalkan sang buah hati.Syifa sendiri sejak siang berada di dalam kamar dan berbaring karena merasa lemas sembari mencoba memejamkan mata."Tamu udah ramai datang, ter
Sedari tadi Rizal merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Rizal berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Sofyan. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Rizal serasa hendak melompat keluar. Sofyan menegur menantunya agar tetap tenang. "Duduk, Nak," tegur Sofyan sekali lagi. Rizal menoleh tanpa berucap, lalu duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Sofyan sembari menepuk bahu menantunya."Syifa kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Rizal merengek seper
"Udah, ah!" Pelan Syifa mendorong bahu bidang milik suaminya. "Udah apa mau lagi?" bisik lelaki itu nakal. "Ih." Syifa mencubit pinggang Rizal, hingga membuat suaminya meringis kesakitan."KDRT. Aku laporin ntar baru tau rasa," goda Rizal."EGP!" Syifa menjawab dengan tak mau kalah. Mereka seperti dulu saat awal menikah, bercanda gara-gara hal kecil. Kadang marah bertengkar hingga beberapa hari."Kalau ngelawan suami, harus ada hukumannya."Rizal mulai melancarkan aksi. Betapa dia sangat merindukan istrinya dan ingin mendekap wanita itu sepanjang malam."Tapi aku gak mau," ucap Syifa dengan wajah masam."Kenapa kamu kabur?""Gak apa-apa," jawab Syifa jutek. "Kenapa kamu marah soal yang dipeluk itu?" pancing Rizal.Syifa membalikkan posisi tubuh sehingga memunggungi suaminya. Wanita itu merasa malu karena telah cemburu buta. Namun, dia tetap tak mau mengakuinya."Sayang." Rizal merengkuh tubuh istrinya dari belakang. "Aku cuma nyamperin mereka pas mau pulang. Sejak awal, Tiara suda
"Ibu makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Syifa dengan sabar. "Saya masih kenyang."Tiara menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang, ke rumah kontrakan baru yang ditempati bersama dengan ayahnya. Semua biayanya masih ditanggung oleh pihak rumah sakit sampai wanita itu bisa berdiri karena kaki yang satunya bisa diselamatkan. "Nanti Ibu tambah sakit. Gimana mau pulih kalau gak ada nutrisi yang masuk." Mendengar itu, Tiara membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan, maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak." Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di teras depan. Si perawat berinisiatif untuk membawa Syifa keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung. Semangat wanita itu tiba-tiba saja hilang entah mengapa. Apalagi Rian memilih pulang untuk mengecek toko miliknya. "Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di
"Ibu pergi, Pak."Rizal tersentak saat Iroh mengatakan itu di telepon disertai dengan isak tangis. Hari ini ada rapat akreditasi rumah sakit. Jadi dia tidak mungkin meninggalkannya. Berbagai macam prasangka sempat terlintas di benak Rizal. Hanya saja, dia berusaha tetap tenang dan mengendalikan diri. Istrinya tidak mungkin melakukan hal aneh di luar sana."Tadi Bibik ke pasar. Pas pulang Ibu udah nggak ada."Rizal berusaha menenangkan diri, lalu menelepon papa mertuanya."Syifa barusan sampai. Katanya mau di sini dulu sementara waktu." Rizal bernapas lega saat mendengar jawaban Sofyan. Lelaki itu meminta untuk disambungkan dengan istrinya, tetapi mertuanya itu menolak. "Syifa belum mau ngomong sama kamu. Kalian berantem?" tanya Sofyan. Rizal menceritakan kepada mertuanya tentang kejadian dua hari lalu. Tidak semua dia sampaikan, beberapa disaring agar tak salah paham. Sementara itu, Sofyan dengan sabar mendengarkan dan mengomentari dengan bijak apa yang disampaikan oleh menantunya
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Bu?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster."Tiara tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Tiara diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Fauzan sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. "Sudah siap?" tanya Rahmat. "Itu ... Dokter Rizal belum datang," ucap Tiara jujur. Setidaknya dia ingin berterima kasih karena lelaki itu yang membawanya ke rumah s
"Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Rizal keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Rizal akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Pikiran Rizal berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Rizal berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Tiara yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Rizal datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang sedang terlelap tidur. Di tangannya terpasang infus yang berbalut perban. "Kok bisa?" Rizal bertanya."Diare. Nggak berhenti dari pagi. Dibawa ke sini." Syifa menjelaska
Tiara memandang wajah lelaki yang sedari tadi membantunya makan. Mereka masih canggung satu dengan yang lain. Setelah berjalan-jalan melihat gedung lama rumah sakit ini, mereka kembali ke kamar. Rian hendak berpamitan pulang, tetapi Rahmat menahannya. Lelaki itu malah diminta membantu menyuapkan Tiara makan, karena perawatnya hanya berjaga sampai pukul lima sore. "Enak?" tanya Rian gugup."Ya enaklah. Apalagi disupain sama orang yang disayang," ucap Rahmat menggoda.Tiara menatap ayahnya dengan kesal, tetapi tetap membuka muluit saat Rian kembali menyuapkan. Hingga satu porsi nasi beserta lauknya habis tak bersisa. "Alhamdulillah akhirnya anak ayah makannya banyak. Untung Rian datang ke sini. Bapak kebingungan gimana mau ngurus Tiara sendirian," curhat Rahmat."Saya punya toko sendiri, Pak. Jadi bisa ditinggal. Ada yang bantu ngawasin barang di sana," ucap Rian bangga. Lelaki itu tentu saja ingin menunjukkan kemapanannya sekarang, agar Tiara bisa kembali melihatnya."Kalau gitu Bapa