Aku seperti mengalami dejavu saat Ford lamban David mulai menanjak di jalan Old Harbor, apalagi ketika aku menyaksikan deretan rumah dengan jendela-jendela panjang dan banyak.
“Aku tidak ingat pernah ke sini, tapi ada perasaan yang lekat,” kataku membelah kesunyian antara aku dan David. Sejak tadi ia lebih banyak diam, seperti bukan David saja.
“Kita pernah ke sini, menemui Benjamin. Benjamin Black.” David menjawab tanpa menoleh. “Oh Tuhan, Mikky. Apa yang telah terjadi padamu sampai kau tidak mengingat semua itu? Aku benar-benar seperti akan gila karena memikirkannya sepanjang hari. Ini sangat buruk. Setelah kita dari sini, kita akan langsung ke dokter. Kau mengerti?”
Aku mengangguk pelan.
Jika bukan David yang mengatakannya mungkin aku tidak akan terlalu peduli dan menganggap orang itu hanya sedang bercanda. Namun, ini adalah David, sahabatku. Ia mengatakannya tanpa berkedip. Aku mulai meyakini bahwa ada sesuatu yang
Beberapa saat setelah aku mendengar lengkingan teko karena air yang mendidih, Benjamin datang dengan nampan berisi teko keramik dan beberapa cangkir bening. Ia menempatkan nampan di tengah meja lalu menyiapkan hidangan itu bagi kami bertiga.“Maaf membuat kalian menunggu. Tadi aku juga menyiapkan sebuah kamar. Awalnya kamar itu untuk David, karena aku akan memintanya untuk tinggal di sini sampai semuanya beres. Kau tidak perlu menginap di mobil lagi, David. Jangan khawatir, aku bisa menjamin tempat ini cukup aman,” kata Benjamin setelah duduk di sofa di depan kami. “Aku mengatakan awalnya, karena bisa jadi kau juga perlu berada di tempat ini, Mikky. Tapi, kita akan melihat situasinya nanti.”Aku berpikir sama dengan Benjamin setelah mendengar semua cerita David. Sangat penting untuk menjauh dari apartemen sejauh-jauhnya.“Aku dan Willy telah melakukan beberapa investigasi. Aku mengerahkan semua sumber yang aku miliki. Sangat sulit,
Aku tidak bisa berhenti mengeleng. Mungkin aku terlihat seperti seseorang yang habis menghisap ganja. Namun, aku tidak bisa mempercayai foto yang aku lihat di laptop Benjamin Black. Tidak mungkin wanita itu adalah Wendy Orsey. Berulang kali pun memikirkannya, aku merasa hal itu tidak mungkin terjadi, sangat tidak mungkin.“Apakah ada kemungkinan jika dia adalah orang yang berbeda? Anaknya misalnya? Atau cucunya? Banyak sekali anak yang sangat mirip orang tuanya bukan?” kataku. Aku frustasi membayangkan kalau orang itu adalah Wendy. “Tidak mungkin ada orang yang bisa mempertahankan wajahnya agar tetap sama sampai berpuluh-puluh tahun. Jangan-jangan asistenmu pernah bertemu dengan Wendy lalu secara tidak sengaja membuat editan yang akhirnya terlihat seperti ....” Aku tidak sanggup meneruskan kalimatku.Benjamin menyilangkan kaki dan seluruh jemarinya saling mengetuk di depan dadanya. “Tentu aku tidak menutup kemungkinan pertama. Sedang
Sebuah mobil berhenti di depan rumah Benjamin, disusul suara debum dari pintu mobil yang ditutup, disusul lagi dengan suara pintu terbuka yang kemudian ditutup kembali, dan akhirnya muncul dua wajah baru di ruang tamu. Seorang pria berwajah Asia, rambutnya pendek dan mungkin setinggi David. Seorang lagi berkulit putih, menggunakan jas lengkap dengan rambut klimis penuh minyak. Ia sedikit lebih pendek dariku dengan janggut tebal tanpa kumis. Wajahnya terlihat ramah dan hangat.Benjamin langsung berdiri dan menghampiri pria berjanggut. Aku dan David juga berdiri. Benjamin dan pria itu bersalaman lalu saling memeluk bahu masing-masing. Bila memperhatikan cara mereka saling menyapa, aku menyimpulkan mereka kawan lama. Aku kira kedua orang itu seusia. Aku mendengar Benjamin sedikit berbasa-basi tentang bagaimana perjalanan si pria berjanggut dan apakah asistennya memperlakukannya dengan baik atau tidak.Aku bisa menebak, pria Asia yang berdiri dengan muka dingin itu sudah p
Setelah berada di dalam mobil tua Benjamin yang terlihat bobrok dari luar, aku langsung menyadari alasan pria tua itu meminta Willy menggunakannya daripada mobil Ford David. Mobil itu ternyata garang. Aku yakin, Ford David tidak ada apa-apanya bila dibandingkan sedan ini. Willy mengaku kalau dialah yang memodifikasi mobil tersebut. Pria Asia yang dipekerjakan Benjamin itu mungkin memiliki lebih banyak bakat selain komputer, mesin, dan beladiri. Aku tidak akan terkejut kalau suatu saat nanti ia merayap di dinding seperti Spiderman atau mengaku kalau sebenarnya dia adalah Bruce Wayne. Sedan putih yang lusuh: warna putihnya kotor, kulit joknya robek, dan modelnya lama. Sangat meragukan kalau dilihat dari luar. Namun, suara mesinnya meraung-raung gahar ketika pedal gasnya diinjak keras dan mobil itu mampu berlari secepat kilat. Bukan berarti aku memahami seluk-beluk mesin mobil, tetapi aku cukup yakin bahwa mobil itu dimodifikasi dengan ekstrem. Tebakanku, mobil itu sengaj
“Kita akan ke Mercer Street?” tanyaku pada Willy setelah berada di dalam mobil. Pria itu tidak menjawab sedang matanya memandang lurus ke depan. Aku sampai mengikuti arah pandangannya, melewati kaca depan yang mulai basah oleh rintik hujan dan hanya menemukan van hitam yang tidak bergerak. Karena tidak menemukan apa-apa, aku menoleh kembali padanya. Aku menunggunya mengatakan sesuatu. “Watson tidak ada di tokonya?” Malah David yang menyahut. Aku menoleh pada David yang duduk di bangku belakang lalu mengangguk. “Tidak ada siapa-siapa di sana.” “Wendy?” Aku menggeleng. “Toko itu seperti tidak pernah dimasuki siapa pun setelah aku meninggalkannya tadi siang.” “Lalu, siapa yang berada di Mercer Street?” tanyanya kembali. “Apartemen Watson. Pemilik toko reparasi sepatu yang tokonya bersebelahan dengan minimarket Watson memberitahukan alamat tempat tinggalnya pada kami. Tapi sayangnya, dia tidak tahu nomor apartemennya,” jawabku. Aku
Setelah kembali ke Old Harbor, aku tidak bisa berhenti memikirkan Yui. Meskipun aku tidak bisa mengabaikan kecurigaan David, membiarkan Yui menghadapi masalahnya sendiri terlihat tidak benar. Ia telah menjelaskan alasannya melakukan perbuatannya. Aku pikir, itu patut dipertimbangkan. Lagipula, gadis itu telah mengurusku dengan baik. Aku terus-menerus memikirkan hal itu sambil memandang jalanan dari jendela kamar.Kamar yang disediakan Benjamin berada di lantai dua dan jendelanya mengarah ke jalan raya. Aku bisa melihat mobil Ford David masih terparkir seperti keadaannya tadi siang. Aku rasa jika jendela itu dibuka, angin laut akan menyelesup membawa bau-bau kehidupan yang bebas. Dindingnya bercat putih seperti ruangan lain yang pernah aku lihat di rumah ini. Ranjangnya lebih besar dari milikku di apartemen. Pastilah akan sangat nyaman berbaring di sana. Akan tetapi, aku sedang tidak ingin berbaring. Selain itu, tidak ada benda apa-apa lagi di dalam kamar ini.Benjamin
Benjamin dan Willy entah berada di mana karena aku tidak melihat mereka di mana-mana: di ruang depan, di ruang televisi, di dapur, kamar mandi, dan ruang-ruang lain yang pernah aku masuki. Aku kembali ke kamar. Di dalam kamar sudah ada David dengan sweater yang agak kebesaran. Karena penghangat rumah ini tidak dinyalakan, hawa dingin sehabis hujan yang menyelinap masuk terasa menusuk.“Benjamin dan Willy tidak ada di ruang depan,” kataku pada David yang sedang duduk di ranjangku. Aku berdiri di depannya sedangkan David melihat arloji di tangannya. Kalau tidak salah, ini sudah pukul sebelas malam. Aku sempat melirik jam dinding di ruang televisi sebelum mendaki tangga ke lantai dua. “Sepertinya pintu depan juga tidak terkunci. Ini saatnya aku pergi,” lanjutku.“Kau benar-benar yakin akan pergi ke sana, Mikky?” tanya David. Aku menangkap rasa khawatir pada suaranya.“Iya. Aku tidak bisa membiarkan Yui sendirian.”
Yui melempar ransel ke punggungnya sedangkan aku langsung mengangkat tas tenis sembari menyambar tangannya. Aku berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun, aku merasakan Yui menolak tarikan tanganku. Saat menoleh, aku mendapatkan Yui bergeming di tempatnya dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Jari tangan Yui saling meremas. Aku menatap matanya dan merasakan binarnya meredup.“Kita akan ke mana?” tanya gadis itu. Aku menangkap getar dalam suaranyaAku menjatuhkan tas tenis lalu mendekat pada Yui. Dengan pelan, aku mengelus pipinya. Kulit pipinya terasa lembut di tanganku. “Ke tempat aman sampai semuanya selesai. Setelah semuanya selesai, kita akan mengurus semua masalahmu,” jawabku. “Percayalah padaku. Aku tidak akan meninggalkanmu.”Yui menatapku tajam sebelum mengangguk. Kedua tangannya meraih lenganku lalu menggenggamnya dengan erat. “Aku percaya padamu, Mikky. Aku akan selalu menggenggam tanganmu seerat ini dan ta