Kenyamanan terbaik yang dimiliki Sophia adalah keluarga suaminya. Dia selalu nyaman duduk di dekat Rose, Sophia merasa ibunya yang telah meninggal kembali hadir dalam sosok yang berbeda. Apalagi Sergío terlihat begitu menyayanginya, dari tatapannya saja Sophis sudah tahu. Keluarga Edmund begitu menyayanginya.
Setelah selesai bekerja, Edmund langsung membawa istrinya ke rumah Sergío. Rose sudah menelpon berpuluh-puluh kali pada Edmund dan Sophia. Dia terus mengirim pesan suara menanyakan keberadaan mereka dan menyuruhnya datang lebih awal.
Beberapa jam sebelum makan malam, Rose mengajak Sophia duduk di dekat perapian sambil melihat-lihat album yang dipenuhi dengan foto-foto keluarga D'allesandro. Yang paling menarik perhatian Sophia adalah foto remaja Edmund. Wajahnya masih tetap sama sekarang, hanya saja rambutnya pa
Edmund yang sedang mengagumi pada pemandangan kota Los Angeles di depannya itu harus terhenti saat telponnya berdering. Dia menatap jam yang menempel di dinding, seingatnya tidak ada rapat atau pun jadwal penting setelah makan siang. Jadi Edmund mengabaikan panggilan itu tanpa melihat siapa pemanggilnya terlebih dahulu, dia lebih tertarik dengan pemandangan di bawahnya dan secangkir kopi yang ada di tangannya.Dia melihat seorang pria di dekat jalan raya sedang menuntun anak kecil yang Edmund yakini itu adalah anaknya. Keduanya berinteraksi dengan dihiasi senyuman. Itu menarik perhatiannya, dia memikirkan bagaimana jika anaknya sudah lahir. Banyak hal yang sudah Edmund rencanakan dalam otaknya, dia ingin menjadi ayah terbaik yang membuat anaknya bangga.Namun, telpon yang berdering membuat Edmund kesal juga. Dia mengambil gagang telpom
"Dia tidak seperti orang yang sudah sembuh.""Edmund." Sergío menatap anaknya yang sedari tadi menatap tajam pada Lexi dengan ucapan yang penuh dengan penekanan."Dia belum sembuh, Dad.""Tidak, aku sembuh. Kau bisa tanyakan itu pada dr.Dan," ucap Lexi tidak menerima tuduhan yang diberikan Edmund. "Kau percaya padakku 'kan, Papa?" Lexi mengalihkan pandangannya pada pria tua yang rambutnya sudah memutih. Dia hanya memijat kepalanya yang terasa pusing.Kini kedua orangtua Edmund berada ke apartemennya, disusul oleh Marxel beberapa menit yang lalu. Mereka datang setelah tahu keberadaan Lexi. Siapa pun tidak ingin wanita itu berulah kembali, apalagi sampai mempertaruhkan nyawa dirinya sendiri atau pun orang lain. Keluarga inti D'al
"Menurutmu ke mana Lexi pergi?"Edmund menengok ke arah Sophia sesaat sebelum kembali menatap ke depan, menyetir dengan penuh konsentrasi. "Aku tidak peduli dia pergi ke mana pun," ucap Edmund tepat saat lampu merah.Mereka baru berangkat menuju kantor saat jam sudah menunjukan pukul 10 siang. Sophia dan Edmund harus mandi dua kali karena kegiatan yang dilakukan sepasang suami istri itu. Edmund tidak menjelaskan apa pun tentang obat perangsang yang di minum Sophia, dia bahkan tidak menjawab saat istrinya bertanya apa alasan dirinya merasa kepanasan dengan libidonya yang tinggi.Lexi tidak ada di apartemen saat Edmund dan Sophia selesai, dia tidak ditemukan di ruangan mana pun. Edmund tidak mempedulikannya, dia hanya memikirkan cara agar wanita itu pergi dari sana dengan perintah Marxel
"Itu sudah cukup, Dan," ucap Lexi kembali mengancingkan bajunya. Tanpa menatap ke belakang, dia memakai celana dengan diperhatikan oleh seorang pria. "Kau tidak bisa memanggilku seperti ini, banyak urusan yang harus aku selesaikan di apartemen.""Seperti menjauhkan Sophia dari suaminya?"Lexi membalikan badan saat selesai menggunakan pakaian dengan tatapan malas. "Kau tahu hal itu," ucapnya menatap Daniel yang terbaring di atas ranjang.Tanpa berkata, Daniel berjalan dengan tubuh setengah telanjang ke arah Lexi. Dia memegang kedua bahu wanita itu, Daniel memejamkan kedua matanya sebelum menatap kembali Lexi dengan tatapan teduh. "Hentikan semuanya, Lexi," ucapnya dengan lembut. "Semua obsesimu, bisakah kau berhenti mengejarnya? Pria itu sudah menikah."Lexi menggeleng. "Tidak, Edm
Vote sebelum membaca😘..Lexi mengatur napas menghilangkan rasa takut akibat ancaman pria tadi. Mencoba memikirkan apa yang terjadi dengan Sophia agar rasa takutnya enyah. Mengingat perkataan pria tadi yang berucap jika menyakiti lagi, berarti Daniel tidak berhasil untuk membunuh Sophia. Namun, Lexi masih berharap perempuan itu setidaknya terluka.Lorong apartemen menyinari setiap langkahnya. Dia mengatur napasnya sebelum memasukan kode apartemen dan masuk ke dalamnya. Ruangan itu gelap, menandakan tidak ada siapa-siapa. Itu yang dipikirkan Lexi. Dia membuka sepatunya dan menyalakan lampu apartemen, membuat semuanya menjadi terang menyinari setiap
Vote sebelum membaca😘..Sophia yang merasakan belaian di kepalanya membuatnya semakin rapat menutup matanya, dia teramat nyaman seperti ini. Belaiannya turun kepipi dan tiba-tiba tangan itu menjauh darinya, tangan itu tidak lagi membelainya. Sophia ingin mendapatkan belaian itu lagi, perlahan mata dengan bulu mata lentik itu terbuka sepenuhnya. Matanya menjelajah mencari sosok yang ada dalam mimpinya. Namun, tidak ada siapa pun di ruangan itu selain dirinya sendiri.Sophia memegang kepalanya yang terasa pusing, dia ingat tadi siang Marxel melontarkan kata-kata yang membuatnya ingin menghilang dari dunia ini. Sophia pergi berbekal uang beberapa dollar,
Semua orang yang ada di ruangan itu terpaku pada layar yang memperlihatkan rekaman Lexi yang memasukan sebuah cairan pada susu yang ada di dalam kulkas, hal itu terjadi lima menit sebelum kepulangan Sophia ke apartemen. Semua yang ada di sana memperlihatkan wajah marah pada Lexi, terutama Marxel, wajah pria itu itu memerah seakan penuh dengan kobaran api. Santiago segera mematikan layar setelah dua kali diputar.“Saatnya kau mengakui, Lexi,” ucap Santiago menatap Lexi yang duduk di atas brankar dengan selang infuse yang ada di tangannya. Edmund yang ada di sana menatap tajam Lexi dengan tangan menggenggam erat istrinya.Mendapatkan tatapan-tatapan menakutkan itu membuat Lexi bergetar ketakutan. “Aku menaruh vitamin di dalam susu itu, bukannya racun,” sangkalnya menatap tajam Sophia. “Pasti dia memasukan racun saat aku tidak melihatnya.” Tangan Lexi menunjuk Sophia yang tengah
Mata Aurin memanas, secara tidak sengaja dia melihat Jaden dan Lexi yang sedang berhubungan badan. Dia tahu siapa wanita itu, dia adalah wanita yang Sophia ceritakan padanya. Ah, mengingat sahabatnya itu membuat Aurin merasa bersalah. Dia ingat bagaiaman Lexi berkata kalau dirinya akan menusuk perut Sophia berulang kali, dia akan memotong rambutnya yang indah lalu menyiramnya dengan air panas. Aurin tidak bisa melakukan itu, dia tidak ingin menyakiti Sophia, perempuan itu adalah sahabatnya.Yang paling menyedihkan adalah Lexi dan Jaden yang selalu bermesraan di mana pun, mereka tidak menghiraukan kehadirannya. Hatinya sakit, dia terkurung di mansion mewah ini dan harus melihat adegan yang membuat hatinya sesak setiap saat. Aurin mencintai Jaden, dia tidak bisa menyangkalnya.“Aurin.”Untuk yang kesekian kalinya dia tersentak kaget, tubuhnya berputar melihat Jaden yang menutup pintu lalu melangkah mendekat. “Apa yang kau pikirkan?”
Setelah beberapa hari akhirnya mata pria itu bergerak seakan memberitahu semua orang bahwa dia akan segera membuka mata sepenuhnya. Menyadari gerakan itu, seorang wanita langsung mendekati brankar dan duduk di sampingnya. Hingga mata safir itu terbuka sepenuhnya, dia menatap heran wanita yang berada di sampingnya.Wanita itu hanya tersenyum, Rose membiarkan pikiran Edmund mencari tahu dengan apa yang terjadi. Tatapan mata safir itu setiap detik melakukan perubahan tatapan. Hingga dia benar-benar menyadari apa yang terjadi.Edmund segera duduk dan mencoba pergi dari sana. "Tenanglah, Ed, kau baru siuman setelah 2 hari," ucap Rose membantu Edmund untuk tidur kembali, tapi Edmund menolaknya. "Aku akan panggilkan dokter.""Tidak, cukup bantu aku berdiri.""Apa yang membuatmu jadi selemah ini, Edmund? Kau seharusnya senang.""Senang? Apa maksud, Mommy? Aku harus senang saat Sophia dan.. dan bayi kami meninggal?" Edmund berucap semakin rendah sa
EDMUND POVTubuhku bergetar hebat saat melihat kembali layar monitor, walaupun aku sudah berulang-ulang melihatnya, tapi rasa sesak terus saja menusuk jantungku, membuat nafasku tidak beraturan dan terasa sangat sesak. Di sana, di layar itu, wanitaku sedang merangkak sambil menangis. Lututnya berdarah dan bibirnya terkatup rapat. Dia memeluk lututnya sendiri, menangis dalam diam karena aku.Aku menghianatinya, aku mengakuinya. Walaupun aku tidak sampai menyetubuhi wanita itu, tapi aku tetap mengingkari janjiku. Aku mencium wanita lain, aku menyentuh wanita lain dan aku membuat wanita lain mendesah. Memang, malam itu saat aku akan mengecek kepindahan Sara, wanita itu memberikanku minuman yang membuatku kepanasan.Aku tahu minuman apa itu saat sudah merasakan efeknya, aku membuka pakaianku dan tanpa sadar mendorong Sara supaya memasuki kamar. Itu terjadi begitu saja, saat Sara sudah memposisikan di atasku, pikiranku terus saja memperlihatkan Sophia y
Malam itu, Sophia tidak datang makan malam, dia membuat seorang pria bermata abu menunggunya. Awalnya Gunner kira Sophia malas datang ke mansionnya karena ini hujan deras, yang Gunner tahu Sophia suka sekali bergemul di bawah selimut saat hujan deras. Namun, ketika seseorang memberitahukan padanya bahwa Sophia enggan keluar dari kamarnya dan memakan makan malamnya, pria itu segera melangkah menuju tempat Sophia berada. Rasa khawatir memenuhi benak Gunner saat itu, dia bertanya-tanya apakah yang membuat Sophoa sedih."Apa dia masih di kamarnya?"Wanita yang Gunner tugaskan untuk menjaga Sophia itu mengangguk. "Ya, Tuan.""Apa yang sebenarnya terjadi?""Saya tidak tahu, Tuan, ketika Nona pulang matanya sudah sembab."Kening Gunner berkerut. "Bawakan makan malam untuknya.""Su.. sudah, Tuan, Nona Sophia tidak memakannya.""Ambilkan yang baru!"Wanita itu mengangguk takut lalu melangkah menuju dapur. Gunner berjalan menaik
Rasa gugup menyelimuti Jamie yang sedang duduk di hadapan Sophia, mereka berdua akan makan siang bersama. Dan saat ini mereka sedang menunggu Gunner yang masih bicara dengan anak buahnya. Sophia hanya diam mengaduk-adukan saladnya, Jamie menatap Sophia lekat karena takut wanita itu bicara pada pamannya. Sering kali Jamie mendapatkan masalah karena dia bermulut besar dan Gunner selalu menghukumnya dengan sadis. Bukan sadis fisik, tapi sadis materi.Gunner akan berhenti memberinya uang atau memblokir kartu kreditnya, bukannya orang tua Jamie tidak peduli dengannya, tapi mereka berdua telah meninggal dan kini dia ditanggung oleh pamannya Gunner."Sophia, aku minta maaf."Sophia menegakan kepalanya menatap Jamie. "Untuk apa?""Yang tadi, apa kau lupa?"Dia menggeleng. "Tidak apa, lagi pula itu memang fakta.""Tapi, Sophia, ak-""Berapa umurmu?" Sophia memotong perkataan Jamie, pria itu mengerutkan keningnya."Umm, 17 tahun."
Sophia masih mengingat keputusannya beberapa hari yang lalu, di mana dia menandatangani surat perceraian itu. Dia tidak menyukainya, tidak ada seorang pun yang menyukai perpisahan. Namun, jika ini yang terbaik, maka Sophia akan melakukannya. Sesungguhnya, dalam lubuk hatinya dia tidak ingin melakukan itu, berpisah dengan Edmund dan membesarkan anaknya tanpa bantuan suami membuat Sophia ketakutan. Bukan takut karena kerepotan, tapi dia takut suatu saat anaknya akan menanyakan sosok ayah. Apalagi dulu Sophia punya teman yang menjadi pecandu narkoba karena kekurangan kasih sayang, padahal setahunya ibu dari temannya itu sangatlah baik.Dia mencari jalan yang terbaik, tapi jalan kali ini menunjukan bahwa Sophia lebih baik tanpa Edmund. Sekuat apapun Sophia, dia juga seorang manusia yang memiliki hati, wanita yang lemah dan tak berdaya, memiliki sejuta kekurangan dan kesialan. Kesialannya adalah, hingga detik ini dia masih mencintai Edmund. Berharap setiap detik cintanya berkurang
Lagi-lagi suara gelak tawa terdengar di apartemen seorang pria yang sedang bicara dengan temannya, mereka memegangi perut mereka karena kelelahan tertawa. Bahkan Allarick mengeluarkan beberapa tetes air mata lelah tertawa."Hahhaha, sudah, ya ampun. Aku benar-benar ingat bagaimana wajahmu saat masuk kedalam got," ucap Allarick kemudian tertawa lagi.Gunner yang merasa Allarick keterlaluan menertawakan dirinya segera menendang kaki temannya itu hingga dia berhenti tertawa dan menatap tajam Gunner. Tatapan tajam Allarick tidak bertahan lama saat wajah Gunner memperlihatkan ekspresi dinginnya, dia berdehem menetralkan tenggorokannya yang sakit sebab tertawa. Allarick membenarkan duduknya dan berusaha menahan tawa, bos mafia itu sudah hampir meledak."Jadi, kapan kau ke Las Vegas?" Allarick menyeruput tehnya."Minggu depan mungkin, ada hal yang harus aku urus.""Lalu bagaimana denganku?" Allarick menunjuk dirinya sendiri dengan khawatir."Memang
Sophia masih menatap pintu kamarnya, menunggu seseorang yang seharusnya sekarang sudah memeluknya hingga terlelap. Namun, nyatanya tidak begitu, Edmund belum kembali setelah mengantarkan Sara ke rumah sakit. Tidak ada seorang istri yang rela melihat suaminya bersama wanita lain, itu alasan Sophia tidak ikut Edmund ke rumah sakit.Percakapan tadi sore masih teringat dikepala Sophia, tentang bagaimana Sara.FLASHBACK"Jadi dia terkena kanker otak?"Allarick mengangguk."Dia terkena kanker otak stadium lanjut saat akan menikah, saat itu dia memutuskan untuk pergi keluar negeri untuk penyembuhannya," jelas Allarick membuat kedua wanita yang ada di sana mengerutkan keningnya heran.Kini mereka berempat sedang duduk sambil memakan kue pengantin, beberapa tamu sudah kembali ke rumah mereka. Memang, pernikahan ini tidak begitu mewah, Aurin yang memintanya. Dia hanya ingin pengucapan janji lalu makan bersama di halam belakang gereja
Menangis memang tidak menyelesaikan masalah, tapi jika menangis bisa mengangkat beban pikirannya. Maka Allarick akan membiarkan wanita yang dia lihat di pojok kamar menangis sepuasnya. Wanita itu tidak pernah berhenti menangis, jika matanya terpejam, air matanya tetap setia mengalir mencurahkan bagaimana isi hatinya saat ini.Allarick hanya bisa menatap dari balik pintu kaca bagaimana tersiksanya wanita itu. Tidak pernah mendengar perkataan orang lain semenjak dia mendengar kabar menyakitkan bahwa Jaden meninggal. Tidak ada yang bisa menghentikan itu, bahkan dokter ahli seperti Allarick. Otak Jaden lumpuh, tidak harapan hidup semenjak dia memasuki rumah sakit.Allarick menghela nafasnya pelan lalu membuka pintu kamar itu dan mendekati Aurin dengan nampan berisi makanan yang dia bawa. Allarick menyimpan nampan itu di meja dan mendekati Aurin yang berjongkok di pojok kamar dengan wajahnya yang ditenggelamkan di antara lututnya. Dia ikut berjongkok dan mengusap pelan ramb
Seorang pria mengetuk pintu kamar hotel beberapa kali hingga akhirnya pintu itu terbuka. Wanita yang menempati kamar itu terkejut melihat siapa yang datang, dia menyampingkan tubuhnya membiarkan pria itu masuk. Sara menelan ludahnya kasar melihat Edmund yang memebelakanginya sambil melipat tangan di dadanya.Sara mendekat sambil menelan ludahnya, ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. Terlihat jelas sorot mata ketakutan pada wanita itu, banyak sekali yang dia siapkan untuk menjelaskan semuanya pada Edmund.Ketika pria itu membalikan badan, matanya langsung bertatapan dengan mata yang sangat dia rindukan selama ini. Sedetik kemudian Edmund membuang tatapannya, dia tidak boleh terjatuh pada lubang yang sama, dia tidak boleh membiarkan hatinya tunduk kembali pada Sara. Setelah sekian lama Edmund mencoba melupakan dan mencoba memasukan Sophoa ke dalam hatinya, kini dia tidak boleh membiarkan usaha itu sia-sia."Katakan apa yang ingin kau katakan."