“Kenapa kau jadi pendiam? APa terjadi sesuatu yang tidak kuketahui?”Ezra melirik Poppy yang memalingkan wajah ke arah jendela. Poppy menoleh lalu menggeleng.“Lalu kenapa?”Perempuan itu mengembuskan napas kasar. “Ada yang ingin saya bicarakan, Pak.” “Katakan itu.” “Saya ingin pulang.” Satu alis Ezra terangkat, “Tentu saja! Sebentar lagi kita sampai di apartemen.” “Bukan itu,” ucap Poppy seraya menggeleng pelan.“Maksudmu?”“Saya ingin kembali ke rumah sewa.”Ckiit! Poppy hampir saja terbentur gara-gara Ezra mengerem mendadak. Beruntungnya pria itu menahan tubuhnya. “Hati-hati, Pak.”“Kau yang seharusnya berhati-hati, Poppy!” sentak Ezra.Wajah pria itu tampak merah padam dengan tatapan yang begitu tajam. Tentu saja Poppy ngeri karena sebelumnya belum pernah melihat Ezra seperti itu. “Kau sendiri yang mengatakan akan melakukan apapun untukku. Lalu kenapa sekarang kau ingin kembali tempat kumuh itu?” “Itu—” “Aku tidak izinkan! Kau tetap tinggal bersamaku,” putus Ezra tidak
“Apa masih jauh?” “Iya, Pak.”“Ck! Kenapa kau menguburkan ibu sangat jauh?”Ezra kesal karena belum sampai, padahal ia sudah menyetir lama. “Itu karena dulu kami tinggal di sana.”“Jadi pria perebut itu membawamu kabur begitu jauh.”Hobi sekali Ezra menyebut Keenan dengan sebutan pria perebut. Ya … karena memang begitu kenyataannya.“Itu karena tempat itu dekat dengan rumah sakit utama milik Keenan.”“Kau berani sekali menyebut namanya.” Penjelasan Poppy malah menimbulkan hawa panas yang luar biasa, membuat Ezra menyalakan AC. “Lalu saya harus menyebutnya apa? Memang namanya Keenan.” “Sudah kukatakan agar tidak menyebut nama pria perebut itu! Kenapa sulit sekali kau menurut?”“Maaf," ucap Poppy. “Sepertinya kau masih mencintainya.” Kali ini Ezra sedikit menurunkan volume suaranya.Poppy diam. Benarkah ia masih mencintai Keenan? Melihat Poppy yang diam saja semakin membuat Ezra geram. “Sebenarnya apa yang pria perebut itu berikan sampai kau mau bersamanya? Apa benar karena dia
"Mas …." Keenan datang sambil membawa bunga mawar putih saat Poppy akan pulang. "Ternyata kau ada di sini, aku pikir kemarin kau melakukannya.” Keenan melirik ke arah Ezra yang tampak membuang muka.“Itu karena kemarin aku ada urusan.”Keenan mengangguk. “Padahal aku sengaja datang hari ini agar tidak bertemu denganmu.” Ya, Poppy dapat mengerti kenapa Keenan sangat menghindarinya. Ia hanyalah mantan istri yang penyakitan baginya!“Aku akan pulang, kau bisa berbicara dengan ibu dengan leluasa.”“Hemm.” Pria itu lantas melewati Poppy begitu saja.“Setidaknya Mas Keenan masih menganggap ibu,” gumam Poppy menatap punggung Keenan yang menjauh.Mungkin bagi sebagian orang ini adalah situasi yang romantis, di mana sang mantan menantu masih menyayangi mertuanya. Namun, tidak bagi Ezra.Pria itu merasa ini sangat memuakkan! Karenanya ia langsung menarik Poppy agar segera pergi.“Sepertinya kau begitu senang karena bertemu dengan mantan suamimu itu.”Poppy melirik Ezra malas. “Saya tidak mem
“Poppy, kau jangan terlalu dekat dengan Pak Ezra.” Itu yang Poppy inginkan! Menjauh dari Ezra andai bisa.“Memang kenapa, Pak?” “Pak Ezra sudah dijodohkan. Kau sangat jauh dengan wanita itu.”Ya, Poppy akui memang Chelsea itu cantik dan anggun. Sangat berbeda dengannya yang hanya seorang office girl, terlebih ia hanyalah janda penyakitan!“Kau benar, jika ada cara …saya ingin menjauh dari Pak Ezra.”Sean menatap Poppy serius. “Apa yang katakan itu benar?” Poppy mengangguk.“Jadi kau tidak menyukai Pak Ezra?” “Tentu saja!” Kali ini Sean nampak berbinar. Apa pria itu tertarik dengan Poppy?“Kalau begitu sebisa mungkin menjauh darinya.”“Bagaimana caranya?” Sean diam–bingung karena memang tidak ada yang bisa dilakukan. Terlebih melawan Ezra yang berkuasa.Melihatnya lantas membuat Poppy mengembuskan napas kasar.“Sepertinya Anda tidak memiliki cara.”Setelahnya Poppy memilih menyusul Rexi karena memang tugasnya bersama Rexi hari ini.“Kenapa kau lama? Aku bahkan sudah membersihkan
"Aku harus mencari perhitungan dengan wanita sialan itu!" Ezra mengoleskan salep dengan penuh kelembutan. Pria itu bahkan meniup-niupnya. "Sudah saya katakan, saya baik-baik saja. Lagipula wajar jika Nona Chelsea melakukan itu." "Wajar katamu?" Pria itu menatap Poppy yang mengangguk dengan tajam. "Ck! Bagaimana bisa kau mengatakan kelakuan itu wajah?" Ezra tidak habis pikir, padahal pipi Poppy memar karena ulang Chelsea. "Tentu saja! Wanita mana yang terima saat melihat calon suaminya tiduran di pangkuan wanita lain." "Siapa yang kau bilang calon suami?" "Tentu saja Anda!" Ezra mendelik, "Kau jangan aneh-aneh! Aku bukan calon suaminya. Aku ini … calon suamimu." Kali Ini giliran Poppy yang menatap Ezra jengah. "Anda bahkan sudah dijodohkan, tapi bisa-bisanya masih membual." "Yang kukatakan itu benar, Poppy! Aku calon suamimu, bukan wanita itu.""Tapi—" "Aku menolak perjodohan itu." Ezra menatap Poppy serius. Ia bahkan memegang tangan Poppy. "Percayalah padaku, aku menola
“Sepertinya wanita menyebalkan itu sudah mengadu pada Nenek.”Poppy menautkan kedua alisnya. “Maksudmu?”“Barusan Nenek mengomel karena aku menolak perjodohan.”“Siapa yang menyuruhmu melakukan itu!”“Tentu saja karena aku tidak mau. Yang kumau hanya kau, Poppy.”Lagi dan lagi pria itu terang-terangan mengakui perasaannya. Lantas, Poppy harus bersikap bagaimana? Wanita itu memilih membuang muka membuat Ezra mendengus kesal.“Kau, mau sampai kapan menolakku?” “Sampai kapanpun, Ezra.”Semakin kesal saja Ezra. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Dalam waktu dekat ini, aku pastikan kau jadi milikku!” “Terserah.”Poppy tetap kukuh pada pendiriannya.Tiba di apartemen, Ezra hanya mengantarkan Poppy saja.“Kali ini kau mau ke mana dulu?”“Woaah, lihatlah … kau mulai perhatian padaku.” Ezra tersenyum lebar.“Kau jangan terlalu percaya diri!” “Mengaku saja, Poppy. Tidak ada yang salah dengan itu! Kita sama-sama single, jika kau ingin kembali … aku akan menerimamu dengan tangan terbuk
Tubuh Poppy bergetar hebat. Sementara tangannya terkepal kuat.Ucapan Ezra begitu melukai perasaannya.“Kau gila,” ucapnya dengan pelan, tetapi penuh dengan penekanan. Bukannya merasa bersalah, Ezra malah menyeringai. Pria itu mengangguk lalu berkata, “Kau benar, aku memang sudah gila.”“Sejak dulu … aku tergila-gila padamu, Poppy.” Ezra menatap Poppy dengan tatapan yang begitu sulit Poppy artikan.Poppy bungkam dan memilih masuk ke kamar. Namun, dengan mudah Ezra menyusulnya.“Kenapa kau mengikutiku? Kau keluarlah!”“Apa kau lupa jika ini kamar milikku?” Damn it! Poppy melupakan jika kamar yang ditempatinya merupakan kamar Ezra. Lantas, ke mana ia harus pergi sekarang?“Ezra ….”Wanita itu menelan ludahnya kasar saat Ezra semakin mendekat.Kali ini, Poppy benar-benar takut. Sungguh! “Jangan lakukan.” Poppy memelas, tetapi Ezra seolah tidak peduli dengan tatapan mengiba yang diberikan Poppy.Perasaannya kepada Poppy membuncah ruah–tidak dapat dibendung. Ezra benar-benar terobsesi p
Seharusnya Ezra tidak perlu mengajak Poppy perawatan, karena pada kenyataannya wanita itu tampak semakin cantik. Hal itu jelas membuat Ezra semakin tidak dapat mengendalikan perasaannya.“Kau sangat cantik, Poppy.” Ezra menatap wanita dengan balutan gaun merah menyala itu dengan penuh damba. Ya, Ezra bahkan sengaja membelikan beberapa gaun untuk Poppy. Sehingga menghabiskan waktu yang tidak sedikit.Mereka bahkan telah siap untuk menghadiri sebuah acara. Itulah alasan yang membuat Ezra mengajak Poppy perawatan! “Terima kasih, Pak.”“Ck! Masih saja bersikap formal. Padahal ini bukan lagi di kantor.”Poppy tidak menyahuti dan semakin membuat Ezra kesal. Pria itu lantas menekukkan sikunya. Mengerti dengan kode yang diberikan Ezra, Poppy dengan enggan merangkulnya.Karenanya dengan dagu yang diangkat ke atas, Ezra mulai masuk ke sebuah aula. Tentu saja kedatangan Ezra selalu menjadi pusat perhatian, terlebih dengan kehadiran sosok wanita cantik di sampingnya. “Tuan Ezra, kekasih And
Tidak bisa memutuskan begitu saja, Sesil diam. Sehingga Keenan kembali menocba meyakinkan. "Sesil, aku benar-benar lajang." "Meski begitu, kita bahkan tidak saling mengenal.""Kita bisa belajar mengenal satu sama lain lebih dulu jika begitu." "Lantas jika aku tidak merasa cocok denganmu, bagaimana?" tanya Sesil menatap Keenan dengan tajam."Kita tetap harus menikah."Tentu saja keputusan Keenan membuat Sesil mendengus sebal. "Jika keputusannya sama, untuk apa melakukan pendekatan?"Keenan terkekeh kecil dengan tangan yang mengusap ujung kepada Alice. "Karena aku yakin kau akan merasa cocok denganku." Begitu percaya dirinya Keenan mengatakan itu, sehingga membuat Sesil lagi-lagi mendengus. "Kau terlalu percaya diri!" cetus Sesil."Kau akan merasakannya jika sudah menjalani." "Sayangnya aku tidak mau," ujar Sesil masih teguh dengan pendirian. Mendensah pelan, Keenan menatap Sesil dengan serius. "Sesil, pertimbangkan baik-baik. Ini demi Alice. Lagipula ... apa yang mampu membiay
Kali ini Sesil yang mengerutkan kening. Apa maksudnya Keenan mengatakannya bodoh? "Dari pada bingung, lebih baik kau ikut denganku!" ujar Keenan lantas mengajak Sesil untuk kembali ke restoran tempat ia berkumpul dengan teman-temannya.Tentu dengan tidak semerta-merta Sesil mau ikut. Wanita itu menggeleng lalu berkata, "Untuk apa aku ikut denganmu? Aku bahkan tidak memiliki kepentingan hingga harus mendengarkan penjelasanmu!" Mengusap wajahnya dengan kasar. Tentu Keenan sadar jika ini tidak akan mudah. Terlebih ia dan Sesil yang bahkan hanya berhungan ketika malam itu saja. "Tentu saja kita memiliki kepentingan! Apa kau tidak lihat Alice merindukanku? Merindukan papa kandungannya!" Menggeleng dengan cepat, Sesil menyangkal itu semua. "Tidak, Alice tidak merindukanmu." "Benarkah?" Keenan lantas menoleh ke arah Alice yang sekarang berada dalam gendongannya. "Alice, apa kau tidak merindukan papa?" Tentu Alice yang masih polos tidak mengerti jik mamanya tengah menghindari pria ya
Sesil dan Alice langsung menoleh ketika mendengar nama mereka dipanggil. Keduanya tampak terkejut ketika mengetahui yang memanggil mereka adalah Keenan. Hanya saja mereka memiliki reaksi yang berbeda. Jika Sesil langsung pucat. Sangat bertolak berlakang dengan Alice yang sangat bahagia. Gadis kecil itu bahkan langsung memanggil Keenan sambil melambaikan tangan. "Papa!" Keenan membalas lambaian tangan Alice kemudian berjalan mendekat. Membuat Sesil yang menyadari itu lekas pergi dari sana.Sesil berbalik sambil menarik Alice sedikit kasar karena takut akan kehadiran Keenan yang semakin mendekat. "Alice, ayo kita pergi!""Tidak! Aku ingin bertemu Papa." Alice menahan sekuat tenaga, tetapi tenaganya sangat jauh dari sang mama. Alhasil Alice terseret yang membuat Keenan yang melihat itu tidak terima. Keenan berlari, mempercepat langkahnya untuk mengejar Sesil. Sehingga kakinya yang panjang berhasil menyusul. "Tunggu!" seru Keenan seraya menghadang jalan Sesil sambil merentangkan kedu
Tiba di rumah, Sesil langsung memasukkan semua pakaiannya ke koper. Wanita itu tidak bisa diam saja karena takut jika Keenan akan merebut Alice darinya.Tidak, Sesil tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi! Ia yang mengandung dan melahirkannya. Sesil juga yang merawatnya sampai sekarang. Jadi yang berhak atas Alice adalah dirinya. "Mama, kita mau ke mana?" tanya Alice ketika Sesil selesai mengemasi pakaiannya, dan mengajak Alice untuk pergi. "Kita ke rumah nenek, Alice. Kau tau, Nenek sudah merindukan kita!" Dengan cepat Alice menggeleng. "Tidak! Aku akan tetap tinggal di sini," cetusnya."Alice---" "Papa sudah berjanji akan pulang, jadi aku akan menunggunya!" Sesil mendesah frustasi. Lagi-lagi anaknya itu bersikap keras kepala dalam keadaan genting seperti ini. Sehingga membuat Sesil semakin terpojok. "Kita bisa beritahu papa, biarkan papa menyusul nanti. Hemm?" Sekuat tenaga Sesil menahan dirinya untuk tidak marah kepada Alice. Karena bagaimanapun Alice tidaklah salah.
"Mohon maaf sebelumnya, tapi bisakah Anda tidak mengaku-ngaku sebagai papa dari anak saya?" Sesil menatap Keenan dengan tajam.Sementara Keenan tampak lebih tenang dari sebelum-sebelumnya. Banyak pelajaran yang pria itu ambil dari kejadian beberapa tahun terakhir. Sehingga ia bersikap lebih tenang. "Maafkan saya jika memang perbuatan saya tadi membuatmu tidak nyaman. Saya hanya ingin menyenangkan Alice," ucap Keenan begitu tenang.Sesil mendesah pelan lalu berkata, "Tetapi perbuatan Anda akan membuat Alice menjadi ketergantungan. Alice anak yang kadang keras kepala, jadi saya khawatir jika nanti Alice akan benar-benar menganggap Anda sebagai papanya." "Jika memang demikian ... saya tidak keberatan," ujar Keenan lagi-lagi membuat Sesil merasa pening. Seharusnya Keenan melakukan penolakan. Terlebih bagaimana jika istri dari pria itu salah paham andai melihat Alice yang memanggilnya dengan sebutan papa? Oh, ayolah! Sesil tidak tahu saja jika Keenan sudah menduda selama lima tahun ini
"Pak Keenan," tegur Gigi ketika melihat Keenan yang malah melamun. Sontak hal itu membuat Keenan terperanjat. Sehingga cangkir yang dipegangnya terjatuh. Prang! Pecahan kaca itu berserakan, membuat Keenan refleks menghindar. Pria itu mendesah sambil menunduk, menatap pecahan kaca tersebut dengan datar. “Dokter, tidak apa-apa?” tanya Gigi panik.“Hemm. Tolong panggilkan petugas kebersihan,” ujar Keenan sambil berlalu. Setelahnya Keenan mengembuskan napasnya dengan kasar. Entah kenapa senyum Alice terus menari-nari dalam pikirannya. Hingga dadanya berdebar-debar, seolah merasakan kerinduan yang mendalam. Padahal ia baru sekali bertemu dengan anak gadis itu! Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di rumah Sesil. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di sofa, lalu memejamkan mata. Pertemuannya dengan Keenan jelas membuat Sesil terganggu. Wanita itu bahkan menjadi teringat dengan malam panas bersama Keenan.“Mama,” panggilan dari Alice lantas menyadarkan Sesil. Buru-buru ia menggele
Tanpa pikir panjang Alice langsung mengangguk dengan cepat. Gadis kecil itu tampak tidak sabar ingin segera memakan cokelat yang diberikan Keenan. Karenanya ia langsung membuka bungkusnya kemudian membuang sembarangan.Tentu saja hal itu membuat Keenan yang selalu ingin bersih dan rapih melebarkan mata saat melihatnya. Namun, dengan segera ia mengubah raut wajahnya karena yang dihadapannya ini adalah seorang anak kecil."Hei, gadi kecil! Kau harus membiasakan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan." Meringis kecil, Alice yang menyadari kesalahannya hanya mampu berkata, "Maaf, Doktel! Alice lupa."Keenan tersenyum kecil lalu mengangguk saja. Hingga Sesil yang sejak tadi melihat interaksi keduanya pun segera mengajak Alice pulang."Alice, kita pulang.""Tapi Alice masih betah di sini. Doktelnya baik, Mom!"Mendesah pelan, Sesil kebingungan harus membujuk Alice bagaimana. "Sayang, Dokternya mau kerja. Jangan diganggu," ujarnya masih berusaha membujuk.Namun, gadis kecil itu tidak
Keenan melebarkan matanya saat melihatmu wanita yang ada di depannya. Wanita yang sama dengan malam yang pernah ia lewati dulu. Iya, Keenan masih ingat betul pada sosok Sesil yang menghabiskan malam bersamanya saat ia mabuk waktu itu. Begitu juga dengan Sesil, wanita itu masih hafal dengan wajah dan .... "Huwaaaa ... Dokternya jahat," tangis Alice menyadarkan Sesil maupun Keenan dari rasa terkejut mereka.Sesil lantas menarik Alice agar menjauh dari Keenan. "Sudah, Alice. Jangan menangis," ujarnya mencoba menenangkan anaknya.Namun, tangis anak bernama Alice itu tidak berhenti dan cenderung lebih keras. Membuat Sesil kebingungan harus melalukan apa. Hingga tiba-tiba .... "Hei anak girl, menangislah yang puas." Keenan mendekat dengan posisi yang masih berjongkok--mensejajarkan diri dengan tubuh Alice yang kecil.Tentu saja Sesil melebarkan mata mendengar ucapan Keenan. Padahal dirinya sedang kesulitan untuk menghentikan tangis Alice yang tidak kunjung berhenti dan mengganggu sekitar
Sudah lima tahun berlalu dari Keenan meninggalkan hiruk-pikuk kota tempat asalnya tinggal. Mengabdi pada salah satu rumah sakit yang berada di desa pinggir kota membuat Keenan mulai menata hidupnya yang berantakan karena kesalahannya di masa lalu.Meski begitu, Keenan masih belum bisa sepenuhnya melupakan cinta pertama sekaligus mantan kekasihnya--Poppy yang ia dengar sudah memiliki seorang anak.Karenanya Keenan selalu menyibukan diri dengan bekerja meski itu di hari liburnya. Seperti sekarang ini, pria itu baru saja tiba di rumah sakit yang membuat para pekerja di sana menyapa."Dokter Keenan, kau kembali bekerja. Padahal ini hari liburmu. Apa kau tidak ingin menikmati hari libur dengan bersantai di rumah saja?" Keenan tersenyum mendengarnya lantas menjawab, "Tidak ada yang spesial di hari libur. Saya lebih menyukai tinggal di sini.""Dokter, kau memang idaman! Tidak hanya tampan dan jenius, tapi kau juga rajin. Beruntung sekali yang akan menjadi istrimu nanti." Sontak Keenan t