“Blake!” pekik Camellia ketika Hagen mengendongnya dari atas ranjang pagi itu.
Suara kekehan maskulin pria itu terdengar sampai keluar kamar, membuat Erlinda dan Belle yang sedang sibuk membersihkan lantai hanya bisa saling pandang sembari tertawa pelan. Keduanya cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan dan memberikan privasi bagi dua insan yang mungkin saja tengah bergumul di atas ranjang berderit.
Frank yang baru saja tiba dengan segelas cangkir kopi dalam genggaman hanya bisa terdiam dan menghentikan langkah di anak tangga teratas. Telinganya menajam dan dahinya mengernyit begitu mendengar suara-suara dari master bedroom yang pintunya tertutup.
Mata pria itu seketika tertuju pada Belle yang tengah menjinjing peralatan bersih-bersih. Sembari menarik napas lelah, Frank pun mengisyaratkan pada dua wanita di hadapan agar segera turun ke lantai bawah.
“Dasar sial,” umpatnya, ketika lagi-lagi terdengar tawa cekikikan Camellia yang bercampu
Kehadiran Jaxon Bradwood membuat mood Hagen terganggu. Pria itu bahkan tidak henti-hentinya menatap tajam pada tamu yang tidak diundang. Dengan tangan berada di dalam masing-masing saku celana, Hagen menatap lurus ke arah pria yang duduk di sofa layaknya seorang tuan rumah.“Jangan memasang wajah cemberut seperti itu.” Jaxon tersenyum miring sembari mempersilahkan Hagen duduk di hadapan. “Duduklah, berdiri terlalu lama akan mengakibatkan kau anemia.”Ingin rasanya Hagen mendengus, tetapi dia menahan diri sembari menghenyakkan tubuh ke atas sofa. Tanpa sekali pun melepas tatapan yang melekat pada pria di hadapan, Hagen dengan terus terang menunjukkan rasa tidak senang.“Keperluan apa lagi yang membawamu terus menerus menemuiku?” tanyanya dengan kedua tangan berada di atas lutut. “Jika ini menyangkut Camellia, sebaiknya kau kembali saja ke Denver. Aku sudah bilang akan membicarakannya padamu ketika keadaan sudah lebih baik
Setelah seluruh tamu yang tidak diundang keluar dari Kastil Petunia, Blake Hagen pun memilih untuk kembali ke kamarnya dengan Camellia. Namun, langkahnya yang sudah mendekati koridor terhenti tiba-tiba ketika dia mengingat perkataan Rey Fredrick sebelum meninggalkan ruangan. Saat itu, Rey berkata tepat di telinganya.“Aku tahu kau merasa sangat sesak melihat Jaxon terlalu ikut campur, tetapi satu hal yang harus kau ketahui Hagen,” mulai Rey, sembari melirik ke arah Jaxon Bradwood yang baru saja keluar dari ruangan.Setelah merasa aman, dia kembali melanjutkan; “Selama ini Jaxon hidup tanpa keluarga, kecuali nenek yang membesarkannya, sehingga kehadiran Camellia sangat mengejutkan baginya. Dan tentu saja hal itu membuat dia sangat bahagia. Semua hal yang Jaxon lakukan lebih karena dia peduli pada Camellia, meskipun kau tidak akan pernah mengungkapkan identitas sebenarnya pada gadis itu, Jaxon mungkin merasa tidak masalah. Tetapi, setidaknya berikan dia
Perkataan Hagen seketika membuat tangan Camellia membeku di udara. Gadis itu bahkan tampak gamang dan kesulitan untuk mengalihkan pandangan dari wajah Hagen yang mengeras.Dari balik manik obsidiannya yang kelabu, tampak jelas semburat emosi melintas sambil lalu, dan semakin mempertegas perasaan yang telah pria itu simpan selama ini. Namun, senyuman samar yang dia berikan ketika menyadari perubahan wajah gadis itu seketika saja melunakkan parasnya.Dengan satu sentuhan di ujung bibir Camellia, Hagen hanya menatapnya lembut sembari membelai wajah porselin gadis itu yang enggan mengalihkan pandangan.“Aku sudah bilang sebelumnya, itu bukanlah apa-apa,” bisik pria itu, mendaratkan kecupan di dahi Camellia yang berkerut dikarenakan kerasnya memikirkan berbagai pertanyaan di kepala.Baru saja Hagen hendak beranjak dari ranjang, saat tiba-tiba gadis itu menahan tubuhnya agar tetap di tempat.Melihat kemana arah jemari lentik itu menyentuh, se
“Sampai kapan kau akan merahasiakan kehamilannya, Bos?” Frank yang baru saja keluar dari Kastil mempercepat langkah mendekati Hagen yang sejak tadi menunggu di dekat mobil metallic-nya.Mendengar pertanyaan yang bawahannya itu lontarkan, tentu saja dia menatap Frank dengan dahi berkerut heran.“Mengapa kau tiba-tiba memberiku pertanyaan demikian?”Wajah Frank pun berubah datar, dia hanya menatap Hagen dengan raut tidak setuju akan keputusannya untuk merahasiakan kehamilan Camellia.Sesekali dia menarik napas, sebelum akhirnya mengutarakan apa yang selama ini berada di dalam pikiran.“Kita tidak mungkin menutupi perutnya yang akan terus membesar ... Bos.”
Erlinda yang baru saja menyesap minuman akhirnya terbatuk-batuk keras sembari menepuk dada dikarenakan sesak. Bahkan Belle yang berada di sampingnya mencoba membantu dengan menepuk bagian punggung pelayan muda yang wajahnya mulai memerah dikarenakan kehabisan udara.Sementara itu, Cintya yang hendak melintasi ruangan nyaris saja terjerembab akibat perkataan mengejutkan Mae barusan. Entah mengapa sepatunya ikut terkejut hingga membuat kaki wanita itu tertekuk, mengakibatkan dirinya sulit untuk berjalan.Lalu, Camellia yang tadinya memegang rajutan tampak membeku dengan napas tertahan hingga pipinya memutih pucat.Tentu saja hal itu membuat pelayan yang tersisa menatap Camellia cemas.“Ow,” ringis Mae, tanpa sadar menepuk bibirnya yang telah lancang.
Tiga Hari Sebelum BadaiHagen membantu Camellia turun dari mobil. Keduanya disambut oleh anggota Red Cage yang tadinya sedang berkumpul di ruangan bar. Kedatangan mereka tentu saja mendapatkan sambutan ramah. Bahkan, Jaxon yang mendengar kabar bahwa Hagen datang ke Denver, terlihat jauh lebih antusias dari yang lainnya.Ayah dua anak itu menunggu di depan pintu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dengan senyum simpul, dia pun menanti keduanya hingga keluar dari mobil hitam metallic milik Hagen yang familiar.Dikarenakan, ini adalah kali pertama Camellia mendatangi tempat mereka. Sehingga, dia dan Red Cage berusaha memberikan gadis itu kesan pertama.Di dekat pintu, tampak beberapa wanita-wanita dari Red Cage berkumpul di sana.
Camellia yang sedang mengambil minuman dari kulkas dikejutkan dengan sentuhan hangat dari sepasang tangan kekar yang memeluk dari belakang. Lehernya terasa hangat dan tergelitik akibat hembusan napas beraroma mint.Tidak hanya itu, Camellia juga merasakan kecupan demi kecupan di sepanjang leher dan bahunya yang sedikit terbuka.Namun, menyadari bahwa mereka berada di sebuah gedung yang ramai akan orang-orang di ruangan sebelah, akhirnya Camellia pun mencoba melepaskan diri dengan memaksa sepasang lengan kokoh itu mengurai pelukan.“Jangan, Blake, nanti ada yang melihat,” bisiknya, sembari melirik ke arah pintu saat merasakan tangan Hagen yang terus turun hingga ke dekat payudara.Dengan cepat Camellia pun menepis, dan pelan-pelan dia menjauhkan tubuh mereka yan
Camellia terbangun dengan suara hujan dari luar jendela balkon kamar hotelnya. Gadis itu mengangkat kepala dan melihat ke arah balkon yang pintunya terbuka, hingga membawa udara dingin ke dalam kamar.Matanya mencari-cari keberadaan Hagen di dalam ruangan. Namun, dia tidak menemukan siapapun di sana. Sehingga gadis itu pun segera bangkit dari posisi berbaring sembari membawa selimut yang sejak tadi membungkusnya.Dengan dahi berkerut bingung, Camellia mencari-cari dalam ingatan akan kejadian malam tadi. Dan rasa panas perlahan naik ke pipi, dikarenakan Hagen yang mencoba main kucing-kucingan di ruang makan.Dia hendak kembali membaringkan diri, saat tiba-tiba pintu kamar dibuka dan sosok Hagen masuk ke dalam bersama beberapa bungkus take away di tangan.“Hey,” sapa p
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Lancester, Tiga Setengah Tahun yang lalu.Camellia baru saja pulang dari sekolah, saat tiba-tiba salah satu butler menyambutnya dengan wajah sedikit masam. Jelas sekali, terjadi sesuatu sehingga membuat seisi rumah menjadi sangat tidak bersahabat dan bersitegang.Mendapati keadaan itu, Camellia pun melirik kembali pada jajaran mobil mewah yang terparkir di halaman.Biasanya, sang ayah; Edgar Duncan, selalu mengundang beberapa orang paling berpengaruh di Lancester dan Denver untuk mengadakan rapat bulanan yang selalu diadakan di rumah mereka.Pemandangan mobil mewah memenuhi parkiran bukanlah hal yang asing baginya. Namun, gadis muda itu tampak khawatir, karena setiap kali pertemuan itu dilaksanakan, pasti ada saja sesuatu yang janggal terjadi.Misalnya beberapa bulan lalu, salah satu anggota parlemen di Lancester menghilang secara misterius, dan keluarga dari parlemen tersebut tidak lagi terdengar kabarnya seminggu kemudian. Dan, Camellia tahu penyebabnya, tidak lain adalah rahasia di
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Hagen dan Camellia, yang kini berdansa di tengah-tengah ballroom yang dipenuhi oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak hanya itu, beberapa orang berpengaruh di Lancester dan juga Denver tampak berkumpul di bawah atap yang sama, menari, berbicara dan tertawa dengan siapa saja yang mereka temui di Kastil Petunia.Camellia yang tampak sangat cantik dengan gaun satin berwarna putih, memahat sempurna pada lekuk tubuh feminimnya, hingga mampu membuat mata Hagen berbinar hanya dengan menatapnya.Pria itu bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari pinggang ataupun jemari lentik gadis itu.Jelas sekali, keduanya hanyut dalam dansa dengan melody lambat di bawah lampu kristal yang menghiasi langit-langit ballroom.Sementara itu, tidak jauh dari keduanya, Erlinda dan Cintya yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna pastel senada, tampak mengagumi pasangan berdansa yang berada di tengah-tengah ruangan.“Ahhhh … aku benar-benar menginginkan pernikah
Petunia tidak seperti hari-hari biasa. Kini, kastil megah itu dihiasi oleh berbagai rangkaian bunga yang menghiasi setiap dinding, meja, dan sudut-sudut ruangan. Bahkan, dengan sangat spesifik, Hagen memesan beberapa jenis bunga atas saran dari Jaxon Bradwood.Tentu saja hal itu dikarenakan mereka menghindari insiden di masa lalu, dimana pernikahan Jaxon berakhir bencana akibat Mia alergi bunga Snow on Mountain. Dengan sangat hati-hati, orang-orang yang bekerja di Kastil Petunia pun memilah dan mengawasi setiap bunga yang datang sebelum menyebarkannya di beberapa tempat.Frank bahkan tampak lebih sibuk dari biasanya.Kini, stelan hitam pria itu dilengkapi alat komunikasi yang terpasang di telinga.Dan dengan mata elangnya yang mengawasi jalannya persiapan, Frank memberi sedikit instruksi di sana sini pada penjaga kastil yang berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya.Sementara itu, Erlinda tampak sibuk menyiapkan beberapa kamar untuk setiap tamu yang akan menginap. Begitu pula deng
Hagen menemani Camellia saat mengunjungi Edgar Duncan di rumah sakit. Dengan perasaan yang berat, Hagen menyadari bahwa pria tua di hadapannya benar-benar tidak memiliki harapan untuk umur panjang, membuat pandangannya jatuh pada Camellia yang tampak setia menunggu sang ayah yang terbaring layaknya tubuh tanpa nyawa dengan bantuan penunjang kehidupan di atas tempat tidur.Tanpa sedikit pun mengganggu gadis itu, Hagen bergegas keluar dari ruangan dan memilih duduk di salah satu rangkaian kursi tunggu, yang berada tepat di depan ruang perawatan Edgar Duncan.Sesekali Hagen menarik napas sembari menengadah pada langit-langit lorong rumah sakit.Saat itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menyembunyikan keberadaan bayi mungil yang kini diberikan pada Danny Johanson.Cepat atau lambat, Camellia harus mengetahui keberadaan bayi itu. Meskipun keduanya tidak berhubungan darah, tetapi Talia Duncan tetaplah adik bagi Camellia. Dan, tidak mungkin dia akan diam saja saat mengetahui sem
“Kau sudah membawa semuanya?” tanya Hagen pada Frank begitu dirinya tiba di Petunia.Setelah meninggalkan Denver, Hagen memutuskan untuk meminta bawahannya agar mengantarkan Camellia kembali ke rumah. Dan mereka pun tiba dalam waktu terpisah.“Aye, Boss,” jawab Frank diikuti anggukan. “Nyonya ada di dalam kamar. Beristirahat,” ujar Frank, yang segera merubah panggilannya pada Camellia.Dalam waktu sangat singkat, kabar pernikahan keduanya pun menghebohkan para pelayan di Kastil Petunia. Bahkan, tidak sedikit yang merayakan bergabungnya nyonya baru di sana. Setidaknya, Hagen telah memilih wanita yang tepat, dan bukannya wanita seperti Irene yang pasti akan menyiksa para pelayan.“Aku meminta Jaxon untuk mengurus Alfred,” ucap Hagen secara tiba-tiba, yang tentu saja membuat Frank mengerti akan maksudnya.Kepala keamanan Petunia itu tampak mengangguk paham dan setelahnya berdeham pelan.“Aku akan datang ke kediaman Ryder untuk memberikan kabar.”Mendengar ucapan bawahannya itu, Hagen tid