Aroma kopi dan wangi mentega membangunkan Camellia. Gadis itu mengerjabkan mata beberapa kali, dan kepalanya pun berputar menatap sekitar dengan tatapan kebingungan. Pandangan pertamanya adalah langit-langit kamar yang sangat familiar, membuat kening gadis itu semakin berkerut heran.
Begitu aroma yang tadi menyapa penciuman, kembali perut gadis itu berbunyi dengan denyutan perih.
“Ouch,” ringisnya.
Dia membenamkan kepala pada bantal sembari sedikit berguling-guling di atas kasur. “Ou .. ou … ou.”
Gadis itu merengek hendak menangis, saat tiba-tiba terdengar suara maskulin yang datang dari ambang pintu.
“Aku sudah memperingatkanmu, tapi kau dan keras kepalamu itu hanya menyiksa diri.”
Seketika kepala Camellia berputar dan menatap ke arah sumber suara. Untuk sesaat mata gadis itu membulat. Dengan napas tercekat, Camellia berusaha untuk bangkit, namun perutnya lagi-lagi menahan dia tetap berbaring di ra
“Partner ranjang katanya?” sungut Camellia begitu dia mengunci pintu rumah. Sudah dua hari berlalu sejak saat itu, tetapi pesan pada secarik kertas yang Blake Hagen tinggalkan tidak pernah lepas dari isi kepala Camellia. Gadis itu bahkan memaki Hagen setiap kali ingatan akan pria itu hadir secara tiba-tiba. Dia merasa kesal luar biasa, karena pria itu tampak percaya diri bisa memiliki tubuhnya. “Tidak akan kubiarkan dia mendapat jawaban yang diinginkan,” kesal gadis itu sembari menghentak kunci pintu hingga terlepas. Dengan perasaan setengah marah, Camellia berbalik badan hendak menuju gerbang rumah. Hari ini dia akan mencari lowongan pekerjaan. Tidak ada kata menyerah dalam kamusnya. Baginya, Blake Hagen hanya ngengat pengganggu bukan sesuatu yang harus dia takuti. Dia bersumpah tidak akan menyerah pada pria itu. “Lihat saja, Tuan Tanpa Hati, aku akan buktikan padamu bahwa kau bukanlah seorang dewa!” Camellia melangkah
Langkah Hagen terdengar berat ketika dia melintasi ruangan kantor miliknya di pusat kota Lancester. Gedung lima puluh lantai yang dia beri nama Blake Tower itu tampak berdiri gagah di antara rimba bangunan beton lainnya.Athena, sekretaris pribadi Hagen tampak pucat pasih begitu melihat kedatangannya dari arah lift. Wanita dua puluh lima tahun itu tergagap dan langsung mengejarnya dengan gesture gelisah.“Pa-Pak CEO,” panggil wanita itu halus dengan tangan saling bertaut.Dia tampak sengaja menghalangi langkah Hagen yang hendak menuju ruang kerja pribadi.Mendapati gelagat Athen yang familiar, Hagen mengerti apa yang terjadi, membuatnya menyipitkan mata hingga tangannya yang berada di saku celana mengepal seketika.Langkah kakinya yang lebar pun terhenti, dan dengan tatapan setajam belati, dia melirik ke arah pintu dan Athena bergantian.“Apa si brengsek itu melakukannya lagi di ruanganku?”Suara Hagen terdenga
Beberapa kali Camellia memukuli ranjang begitu mengingat kembali apa yang telah dia lakukan pada Blake Hagen saat di terminal. Ingatan akan insiden penamparan pada wajah maskulinnya membuat gadis itu ingin bersembunyi beberapa waktu.“Apa yang kau lakukan, bodoh,” sungutnya sembari membenamkan kepala pada bantal.“Bisa-bisanya kau melakukan itu. Bagaimana bila dia membalasmu dengan sesuatu yang tidak terduga,” kutuk Camellia sembari menggigiti kuku jempolnya gugup.Dia mengingat-ingat lagi kejadian tadi. Saat itu Blake Hagen dan Camellia sama-sama terkejut setelah tangan feminimnya mendarat di permukaan pipi maskulin pria itu.Bahkan, waktu seakan berhenti sesaat. Namun, suara tercekat dari arah mobil pria itu menyadarkan keduanya. Asisten keamanan Hagen yang sejak tadi diam di balik kemudi akhirnya keluar dan mendekat, akan tetapi suara Hagen yang tegas menghentikan langkahnya.“Tetaplah di dalam, tidak ada yang terja
Camellia mencoba menghubungi Bella saat malam setelah insiden penamparan itu, dan dari pembicaraan panjang keduanya, sahabatnya itu pun memberikan satu saran yang sangat beresiko. “Apa maksudmu?” tanya Camellia dengan nada sedikit tidak percaya akan usul sahabatnya. Terdengar tarikan napas lelah di seberang sambungan, membuat Camellia merasa bersalah. Dia sudah banyak meminta bantuan pada satu-satunya teman yang dia punya, dan mendengar Bella menarik napas, rasanya Camellia ingin melakukan hal yang sama. “Dengar, kau tidak akan tahu bila tidak mencoba. Jadi, ini adalah jalan terakhir bila kau memang ingin mencari pekerjaan,” ucap Bella dengan percaya diri. “Lagi pula, aku sangat mengenal laki-laki ini. Dia pasti akan membantumu. Percayalah padaku.” Mendengar itu, Camellia berjalan mengitari ruangan kamarnya yang nyaris kosong dari perabotan. Beberapa kali dia menggigit bibir bagian bawah sembari melirik ke arah jendela. Entah m
Camellia menatap ruangan yang penuh dengan pakaian kotor di lantai dan sofa. Dia bahkan melihat dengan horror ke sekitar, seolah-olah serangga dapat muncul secara tiba-tiba dari balik benda-benda yang berserakan di sana.“Apa yang sudah kulakukan?” bisik gadis itu sembari mengedarkan pandangan.Dengan sapu dan beberapa alat kebersihan di tangan, Camellia pun berjalan pelan memasuki ruangan yang terlihat seperti tempat penyiksaan baginya.Dia hendak melangkah lebih jauh, saat tiba-tiba saja kaki gadis itu menginjak sesuatu yang lembek. Dan dengan menahan napas, dia pun menunduk perlahan hendak melihat apa yang baru saja dipijak tanpa sengaja.Napas tertahannya kemudian berubah menjadi jeritan kecil begitu dia menyadari bahwa benda lunak itu adalah tumpahan pudding berwarna merah darah yang berceceran di lantai.“Oh … my god,” gumamnya dengan tubuh menggigil.Seketika dia merasa sangat lemas, karena di temp
“Kau membunuh Brandon Brown?” Camellia terkesiap. Gadis itu kembali mendekati jendela dan melihat ke arah Hagen yang masih berdiri di tempatnya semula. Pria itu tersenyum dingin dengan tatapan yang menunjukkan seolah-olah perkataannya barusan layaknya sebuah pujian terhadap cuaca, meskipun jelas sekali hari itu badai akan turun. “Ya, Princess. Jadi kuharap kau berhenti melakukan hal-hal tidak masuk akal dan memberiku jawaban secepatnya.” Sudut bibir Hagen bekedut sedikit, membuat Camellia menatap pria itu geram. Dan tanpa sadar, dia pun meremas ponsel di telinga sembari menutup panggilan lebih dahulu. Keduanya masih tetap saling berpandangan sebelum akhirnya Camellia memutuskan untuk menyudahi pekerjaan hari itu. Dia merasa sangat marah, karena Black Hagen seolah mempermainkan hidupnya. Pria itu bahkan tampak sangat santai. Namun, Camellia merasa tidak percaya Hagen dapat melakukan sejauh itu, sehingga dia pun menghubungi kantor Brando
Hagen keluar dari mobil begitu melihat tubuh Camellia yang terbaring di bahu jalan. Dia menarik napas sejenak, memijit kepala, lalu menengadah ke langit sembari mengumpat pelan sebelum akhirnya berjalan dengan langkah biasa. Tidak sedikit pun terlihat terburu-buru atau khawatir, padahal jelas sekali matahari sangat terik siang ini. “Boss?” panggil Frank yang membuka jendela kaca mobil dan melihat atasannya itu mendekati si gadis keras kepala. Padahal dia sudah bilang pada bosnya itu untuk tidak perlu datang menemui gadis tersebut, namun tentu saja tidak ada yang bisa menghentikan Blake Hagen. Satu tangan Hagen naik ke udara, dan dia mengisyaratkan pada bawahannya untuk tetap di mobil, membuat Frank membuat gesture tangan menyerah. Ketika tinggal beberapa langkah lagi saat mendekati tubuh Camellia, Hagen mengeluarkan ponsel dan mendial nama Brown. Saat dering ke tiga, terdengar suara serak sahabatnya itu, yang tampaknya sedang menahan sakit. Go
Hagen membawa tubuh Camellia melintasi halaman sampai ke depan pintu. Dia kesulitan mengeluarkan kunci rumah gadis itu dari balik saku celana di saat kedua tangannya sibuk menggendong Camellia. “Shit,” umpatnya ketika kunci itu nyaris terjatuh dari genggaman. Kemudian, dia pun menatap wajah tertidur Camellia cukup lama sebelum akhirnya memperbaiki posisi gendongan gadis itu kembali dengan merebahkan kepalanya di bahu. “Kau tidak berat, jangan salah paham, Princess. Hanya saja …” Hagen bergumam disaat dia sibuk memutar kunci pada pintu. Berkali-kali dia menarik napas sembari menggeram, dikarenakan melakukan dua aktivitas bersamaan. “Hanya saja … aku tidak bisa memelukmu terlalu lama.” Beberapa kali Hagen menghela napas ketika dia merasakan benda di balik celananya mulai membentuk tenda. “Oh, shit,” bisiknya sembari memperbaiki celana yang mulai menyesaki. “Itu benar-benar ketat,” gumam Hagen dengan gigi mengatup rapat. Begitu pintu ruma
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Lancester, Tiga Setengah Tahun yang lalu.Camellia baru saja pulang dari sekolah, saat tiba-tiba salah satu butler menyambutnya dengan wajah sedikit masam. Jelas sekali, terjadi sesuatu sehingga membuat seisi rumah menjadi sangat tidak bersahabat dan bersitegang.Mendapati keadaan itu, Camellia pun melirik kembali pada jajaran mobil mewah yang terparkir di halaman.Biasanya, sang ayah; Edgar Duncan, selalu mengundang beberapa orang paling berpengaruh di Lancester dan Denver untuk mengadakan rapat bulanan yang selalu diadakan di rumah mereka.Pemandangan mobil mewah memenuhi parkiran bukanlah hal yang asing baginya. Namun, gadis muda itu tampak khawatir, karena setiap kali pertemuan itu dilaksanakan, pasti ada saja sesuatu yang janggal terjadi.Misalnya beberapa bulan lalu, salah satu anggota parlemen di Lancester menghilang secara misterius, dan keluarga dari parlemen tersebut tidak lagi terdengar kabarnya seminggu kemudian. Dan, Camellia tahu penyebabnya, tidak lain adalah rahasia di
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Hagen dan Camellia, yang kini berdansa di tengah-tengah ballroom yang dipenuhi oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak hanya itu, beberapa orang berpengaruh di Lancester dan juga Denver tampak berkumpul di bawah atap yang sama, menari, berbicara dan tertawa dengan siapa saja yang mereka temui di Kastil Petunia.Camellia yang tampak sangat cantik dengan gaun satin berwarna putih, memahat sempurna pada lekuk tubuh feminimnya, hingga mampu membuat mata Hagen berbinar hanya dengan menatapnya.Pria itu bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari pinggang ataupun jemari lentik gadis itu.Jelas sekali, keduanya hanyut dalam dansa dengan melody lambat di bawah lampu kristal yang menghiasi langit-langit ballroom.Sementara itu, tidak jauh dari keduanya, Erlinda dan Cintya yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna pastel senada, tampak mengagumi pasangan berdansa yang berada di tengah-tengah ruangan.“Ahhhh … aku benar-benar menginginkan pernikah
Petunia tidak seperti hari-hari biasa. Kini, kastil megah itu dihiasi oleh berbagai rangkaian bunga yang menghiasi setiap dinding, meja, dan sudut-sudut ruangan. Bahkan, dengan sangat spesifik, Hagen memesan beberapa jenis bunga atas saran dari Jaxon Bradwood.Tentu saja hal itu dikarenakan mereka menghindari insiden di masa lalu, dimana pernikahan Jaxon berakhir bencana akibat Mia alergi bunga Snow on Mountain. Dengan sangat hati-hati, orang-orang yang bekerja di Kastil Petunia pun memilah dan mengawasi setiap bunga yang datang sebelum menyebarkannya di beberapa tempat.Frank bahkan tampak lebih sibuk dari biasanya.Kini, stelan hitam pria itu dilengkapi alat komunikasi yang terpasang di telinga.Dan dengan mata elangnya yang mengawasi jalannya persiapan, Frank memberi sedikit instruksi di sana sini pada penjaga kastil yang berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya.Sementara itu, Erlinda tampak sibuk menyiapkan beberapa kamar untuk setiap tamu yang akan menginap. Begitu pula deng
Hagen menemani Camellia saat mengunjungi Edgar Duncan di rumah sakit. Dengan perasaan yang berat, Hagen menyadari bahwa pria tua di hadapannya benar-benar tidak memiliki harapan untuk umur panjang, membuat pandangannya jatuh pada Camellia yang tampak setia menunggu sang ayah yang terbaring layaknya tubuh tanpa nyawa dengan bantuan penunjang kehidupan di atas tempat tidur.Tanpa sedikit pun mengganggu gadis itu, Hagen bergegas keluar dari ruangan dan memilih duduk di salah satu rangkaian kursi tunggu, yang berada tepat di depan ruang perawatan Edgar Duncan.Sesekali Hagen menarik napas sembari menengadah pada langit-langit lorong rumah sakit.Saat itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menyembunyikan keberadaan bayi mungil yang kini diberikan pada Danny Johanson.Cepat atau lambat, Camellia harus mengetahui keberadaan bayi itu. Meskipun keduanya tidak berhubungan darah, tetapi Talia Duncan tetaplah adik bagi Camellia. Dan, tidak mungkin dia akan diam saja saat mengetahui sem
“Kau sudah membawa semuanya?” tanya Hagen pada Frank begitu dirinya tiba di Petunia.Setelah meninggalkan Denver, Hagen memutuskan untuk meminta bawahannya agar mengantarkan Camellia kembali ke rumah. Dan mereka pun tiba dalam waktu terpisah.“Aye, Boss,” jawab Frank diikuti anggukan. “Nyonya ada di dalam kamar. Beristirahat,” ujar Frank, yang segera merubah panggilannya pada Camellia.Dalam waktu sangat singkat, kabar pernikahan keduanya pun menghebohkan para pelayan di Kastil Petunia. Bahkan, tidak sedikit yang merayakan bergabungnya nyonya baru di sana. Setidaknya, Hagen telah memilih wanita yang tepat, dan bukannya wanita seperti Irene yang pasti akan menyiksa para pelayan.“Aku meminta Jaxon untuk mengurus Alfred,” ucap Hagen secara tiba-tiba, yang tentu saja membuat Frank mengerti akan maksudnya.Kepala keamanan Petunia itu tampak mengangguk paham dan setelahnya berdeham pelan.“Aku akan datang ke kediaman Ryder untuk memberikan kabar.”Mendengar ucapan bawahannya itu, Hagen tid