Brandon Brown menatap Jaxon yang menahannya untuk tidak pergi ke Lancester, hal itu membuat dia terdiam sembari berpikir cukup lama.
Dan mendengar suara tangis Athena yang memohon-mohon agar dia segera menyelesaikan urusan dengan Hagen semakin membuat pria itu pun terpukul.
Belum lagi karena kejadian ini Brandon harus memikirkan ulang rencana ke depan.
“Aku tidak bisa membiarkan gadis itu menghadapi Hagen sendiri,” gumamnya, sembari memandang wajah-wajah dari para anggota Red Cage yang sedang berkumpul di sekitar. “Dia bahkan dengan berani memberikan uang buka mulut.”
Ekspresi yang Brandon tunjukkan lebih seperti rasa kesal. Dia sadar bahwa sahabatnya itu pastilah di ambang rasa putus asa untuk menariknya ke Lancester, karena Blake Hagen tidak dapat melakukan apa-apa bila Brandon berada di Denver. Daerah ini bukanlah teritorialnya, sehingga menyakiti salah satu anggota Red Cage dapat mengakibatkan perang terbuka bagi keduanya.
Sebuah panggilan dari sekretaris pribadinya membuat Hagen pun menghentikan pekerjaan sejenak. Dia mendengarkan dengan seksama apa yang baru saja Athena sampaikan.“Sir, Mrs. Duncan ingin bertemu.”“Siapa? Ulangi lagi?” tanya Hagen, berpikir bahwa mungkin saja dia salah mendengar. Tetapi saat Athena mengulang satu nama, dia yakin mungkin sekretarisnya itulah yang salah paham.“Dia tidak dipanggil dengan Mrs. Duncan, tetapi sudah berganti menjadi Mrs. Winston,” kata Hagen, meluruskan. “Tapi, bagaimana kau bisa mengetahui bahwa dia Mrs. Duncan?”Untuk sesaat Athena tampak gelagapan. Jelas sekali bahwa dia tidak siap dengan pertanyaan barusan.Hal itu Hagen tanyakan, karena tidak mungkin Amanda mengatakan bahwa dirinya adalah Amanda Duncan disaat-saat wanita itu bersikeras telah mengganti nama.“Ah, itu … beliau mengatakan bahwa dirinya adalah Ibu dari Miss Camellia Duncan.”
Malam itu Hagen memutuskan untuk turun beranjak dari ranjang. Dia menyelimuti Camellia hingga menutupi bahu telanjangnya. Cukup lama pria itu mengamati wajah terlelapnya yang nyaris tenggelam di atas bantal. Namun, sesuatu pun membawa pria itu untuk turun ke lantai bawah.Dia mendatangi Frank yang kebetulan duduk di dalam ruang pertemuan. Dengan secangkir kopi dan cerutu, keduanya menikmati keheningan malam.Jam dinding masih menunjukkan pukul delapan, tetapi Kastil Petunia seakan telah mati suri tanpa suara-suara pelayan yang mengisi. Mungkin saja karena Hagen sudah membebas tugaskan mereka sejak tadi, sehingga sebagian memilih ke kamar masing-masing untuk beristirahat.Dalam suasana tenang, dia menyeruput kopinya sembari menopang kaki pada sandaran di bawah meja.Dan setelah keheningan itu berlalu, Hagen pun mulai bersuara.“Amanda akan segera menikah.”Sengaja Hagen tidak mengatakan hal itu dalam perjalan menuju ke Petunia, ka
Mata Camellia membuka ketika dia merasakan sesuatu yang hangat menyentuh punggung telanjangnya, dan saat itulah dia menyadari bahwa Hagen sedang berada di atas tubuhnya sembari terus mengecup-ngecup pelan di sepanjang tulang punggung hingga ke bawah.Rasa geli dan panas akibat kecupan itu membuat tubuh Camellia bergetar. Hingga dia tidak bisa menahan jempol kaki yang menekuk ke arah ranjang, serta jari-jemari tangan yang meremas seprei yang sedang dia tiduri.“Morning,” bisik pria itu dengan nada suara yang parau, membuat kelopak mata Camellia yang tadi bergetar pun membuka perlahan-lahan.“Mo-morning,” jawabnya terbata ketika merasakan sesuatu mendesak masuk di antara kedua paha. “Uhhh.”Dan saat itulah terdengar suara lenguhan panjang tertah
Hagen tersenyum pada Camellia begitu dia mendapatkan telepon yang mengabarkan berita kematian tersebut. Dia menarik belakang kepala gadis itu, lalu mendaratkan ciuman yang panjang di dahinya. Hal itu tentu saja membuat Camellia tersenyum dengan mata sedikit berkaca-kaca.Gadis itu berpikir bahwa Hagen sangatlah emosional setelah keluar dari rumah sakit. Mungkin, ada baiknya mereka sering melakukan kunjungan.Tetapi, senyum Camellia berubah menjadi ekspresi bingung ketika melihat ekspresi wajah Hagen yang seakan menahan marah.“Ada apa?” tanyanya pelan, sembari terus memegangi dada bidang pria itu.Sadar bahwa dia baru saja memperlihatkan ekspresi terbukanya, Hagen pun memperbaiki itu dengan senyuman yang baru, dan lebih meyakinkan.“Oh, tidak ada, aku hanya memikirkan pekerjaan. Kurasa aku akan menghubungi Athena nanti,” ucapnya, kembali mendaratkan kecupan di kepala gadis itu.Camellia yang mempercayai alasan Hagen p
Camellia sedang membereskan beberapa kotak-kotak paket yang datang beberapa waktu lalu. Dia tampak membuka bungkus dari kotak-kotak itu penuh dengan kehati-hatian, terutama pada benda-benda berupa perhiasan dan berlian.Sementara itu, Erlinda yang ikut menemani hanya bisa mengawasi dan membantu bila diperlukan.“Anda bisa mengatakan padaku jika membutuhkan bantuan,” ucap pelayan muda itu saat hendak pamit ke dapur.“Pergilah, aku bisa mengerjakan ini sendiri,” ucapnya, yang seketika meyakinkan Erlinda.Dan setelah kepergian pelayannya itu, Camellia pun melanjutkan pekerjaannya kembali. Tetapi, dia dikejutkan dengan panggilan dari Bella yang tiba-tiba membuat ponselnya bergetar.Melihat nama sahabatnya ada di layar, gadis itu pun tersenyum saat menyapa pada dering ke dua.“Bagaimana sekolahmu?” tanya Camellia tanpa sapaan pembuka, hal itu tentu saja mengundang tawa Bella.“Menyenangkan, tetapi
Camellia memetik sekuntum bunga Petunia yang baru saja mekar di taman. Cukup lama dia menatap bunga dengan kelopak warna merah muda yang berada dalam genggaman.Dengan pikiran berkelana, gadis itu seolah tidak menikmati keindahan bunga yang berada di hadapan. Matanya terlihat kosong dan hal itu tidak luput dari perhatian Blake Hagen yang sejak tadi mengawasi Camellia dari balkon ruang kerja.Pria itu berdiri dengan posisi kedua tangan berada di dalam saku celana, sedangkan tatapannya tidak sekali pun beralih dari sosok Camellia yang mematung di tengah-tengah hamparan Bunga Petunia.“Apa kau tidak menemaninya, Boss?”Suara Frank yang berasal dari dekat pintu membuat Hagen menghela napas sembari memejamkan mata sejenak. Ketika kedua kelopak matanya kembali terbuka, dia pun menggeleng pelan.“Kehadiranku hanya akan semakin memperburuk suasana,” ucap pria itu.Manik obsidiannya pun beralih pada cakrawala yang membentang d
“Princess.”Suara maskulin itu membuat Camellia berpaling. Langkah kaki gadis itu seketika terhenti, dan dia pun menghadap ke atas balkon, di mana Blake Hagen tampak bersandar pada railing dengan segelas minuman dalam genggaman tangan kekarnya.Awalnya Camellia memutuskan untuk kembali ke Kastil Petunia, dikarenakan angin kencang yang mulai berhembus, menandakan tidak lama lagi badai akan turun. Dan pada akhirnya, di sinilah dia. Tepat di bawah balkon yang sejak tadi menjadi tempat bersantai pria itu.“Apa kau sudah puas jalan-jalannya?”Pertanyaan bernada sederhana itu membuat dahi Camellia berkerut heran. Dan dari cara pria itu berbicara, Camellia pun tahu bahwa Hagen memiliki niat tersembunyi.“Apa kau ingin mengatakan sesuatu?” balas gadis itu, yang Hagen tanggapi dengan kekehan pelan. “Melihatmu yang setengah mabuk, aku yakin kau menginginkan sesuatu!”Delikan tajam yang Camellia lemparkan
Camellia mengelus pelan lengan Hagen yang melingkar di tengah-tengah tubuhnya. Kini, mereka berbaring di atas sofa dengan posisi pria itu memeluk Camellia dari belakang, sedangkan satu tangannya berada di bawah kepala gadis itu. Dan dengan sentuhan ringan, Camellia melarikan jari-jemarinya di sepanjang tangan kekar Hagen, sedangkan mata jernihnya menatap lurus ke depan, pada rangkaian bingkai foto yang terpajang di sepanjang dinding.Di antara mereka, hanya gadis itu yang terjaga. Bahkan, ruangan tersebut hanya diisi oleh suara napas pria itu, yang menghembus hangat ke balik leher Camellia hingga membuatnya terus terjaga.Melihat Hagen yang tidak akan bangun dalam waktu dekat, gadis itu pun segera bangkit dari sofa. Tanpa ada sehelai benang pun menutupi diri.Dia duduk sejenak, lalu menoleh ke wajah rupawan yang terlelap di samping.Dengan satu sentuhan pelan, Camellia mengelus permukaan dahi pria itu.Jari-jemarinya yang lentik mengikuti garis-gar
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Lancester, Tiga Setengah Tahun yang lalu.Camellia baru saja pulang dari sekolah, saat tiba-tiba salah satu butler menyambutnya dengan wajah sedikit masam. Jelas sekali, terjadi sesuatu sehingga membuat seisi rumah menjadi sangat tidak bersahabat dan bersitegang.Mendapati keadaan itu, Camellia pun melirik kembali pada jajaran mobil mewah yang terparkir di halaman.Biasanya, sang ayah; Edgar Duncan, selalu mengundang beberapa orang paling berpengaruh di Lancester dan Denver untuk mengadakan rapat bulanan yang selalu diadakan di rumah mereka.Pemandangan mobil mewah memenuhi parkiran bukanlah hal yang asing baginya. Namun, gadis muda itu tampak khawatir, karena setiap kali pertemuan itu dilaksanakan, pasti ada saja sesuatu yang janggal terjadi.Misalnya beberapa bulan lalu, salah satu anggota parlemen di Lancester menghilang secara misterius, dan keluarga dari parlemen tersebut tidak lagi terdengar kabarnya seminggu kemudian. Dan, Camellia tahu penyebabnya, tidak lain adalah rahasia di
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Hagen dan Camellia, yang kini berdansa di tengah-tengah ballroom yang dipenuhi oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak hanya itu, beberapa orang berpengaruh di Lancester dan juga Denver tampak berkumpul di bawah atap yang sama, menari, berbicara dan tertawa dengan siapa saja yang mereka temui di Kastil Petunia.Camellia yang tampak sangat cantik dengan gaun satin berwarna putih, memahat sempurna pada lekuk tubuh feminimnya, hingga mampu membuat mata Hagen berbinar hanya dengan menatapnya.Pria itu bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari pinggang ataupun jemari lentik gadis itu.Jelas sekali, keduanya hanyut dalam dansa dengan melody lambat di bawah lampu kristal yang menghiasi langit-langit ballroom.Sementara itu, tidak jauh dari keduanya, Erlinda dan Cintya yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna pastel senada, tampak mengagumi pasangan berdansa yang berada di tengah-tengah ruangan.“Ahhhh … aku benar-benar menginginkan pernikah
Petunia tidak seperti hari-hari biasa. Kini, kastil megah itu dihiasi oleh berbagai rangkaian bunga yang menghiasi setiap dinding, meja, dan sudut-sudut ruangan. Bahkan, dengan sangat spesifik, Hagen memesan beberapa jenis bunga atas saran dari Jaxon Bradwood.Tentu saja hal itu dikarenakan mereka menghindari insiden di masa lalu, dimana pernikahan Jaxon berakhir bencana akibat Mia alergi bunga Snow on Mountain. Dengan sangat hati-hati, orang-orang yang bekerja di Kastil Petunia pun memilah dan mengawasi setiap bunga yang datang sebelum menyebarkannya di beberapa tempat.Frank bahkan tampak lebih sibuk dari biasanya.Kini, stelan hitam pria itu dilengkapi alat komunikasi yang terpasang di telinga.Dan dengan mata elangnya yang mengawasi jalannya persiapan, Frank memberi sedikit instruksi di sana sini pada penjaga kastil yang berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya.Sementara itu, Erlinda tampak sibuk menyiapkan beberapa kamar untuk setiap tamu yang akan menginap. Begitu pula deng
Hagen menemani Camellia saat mengunjungi Edgar Duncan di rumah sakit. Dengan perasaan yang berat, Hagen menyadari bahwa pria tua di hadapannya benar-benar tidak memiliki harapan untuk umur panjang, membuat pandangannya jatuh pada Camellia yang tampak setia menunggu sang ayah yang terbaring layaknya tubuh tanpa nyawa dengan bantuan penunjang kehidupan di atas tempat tidur.Tanpa sedikit pun mengganggu gadis itu, Hagen bergegas keluar dari ruangan dan memilih duduk di salah satu rangkaian kursi tunggu, yang berada tepat di depan ruang perawatan Edgar Duncan.Sesekali Hagen menarik napas sembari menengadah pada langit-langit lorong rumah sakit.Saat itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menyembunyikan keberadaan bayi mungil yang kini diberikan pada Danny Johanson.Cepat atau lambat, Camellia harus mengetahui keberadaan bayi itu. Meskipun keduanya tidak berhubungan darah, tetapi Talia Duncan tetaplah adik bagi Camellia. Dan, tidak mungkin dia akan diam saja saat mengetahui sem
“Kau sudah membawa semuanya?” tanya Hagen pada Frank begitu dirinya tiba di Petunia.Setelah meninggalkan Denver, Hagen memutuskan untuk meminta bawahannya agar mengantarkan Camellia kembali ke rumah. Dan mereka pun tiba dalam waktu terpisah.“Aye, Boss,” jawab Frank diikuti anggukan. “Nyonya ada di dalam kamar. Beristirahat,” ujar Frank, yang segera merubah panggilannya pada Camellia.Dalam waktu sangat singkat, kabar pernikahan keduanya pun menghebohkan para pelayan di Kastil Petunia. Bahkan, tidak sedikit yang merayakan bergabungnya nyonya baru di sana. Setidaknya, Hagen telah memilih wanita yang tepat, dan bukannya wanita seperti Irene yang pasti akan menyiksa para pelayan.“Aku meminta Jaxon untuk mengurus Alfred,” ucap Hagen secara tiba-tiba, yang tentu saja membuat Frank mengerti akan maksudnya.Kepala keamanan Petunia itu tampak mengangguk paham dan setelahnya berdeham pelan.“Aku akan datang ke kediaman Ryder untuk memberikan kabar.”Mendengar ucapan bawahannya itu, Hagen tid