Bel berbunyi, waktu juga sudah menunjukkan pukul satu kurang dua puluh menit. Itu artinya sekolah sudah usai. Aku pun bergegas kembali ke ruang guru untuk mengembalikan peralatan mengajarku ke dalam meja kerjaku. Tak lupa aku juga berpamitan pada Tiwi dan guru-guru yang lainnya.Setelahnya aku bergegas pulang tapi aku sebelumnya singgah terlebih dahulu ke masjid di dekat sini. Aku tidak pernah mau melewatkan kewajibanku meskipun sedang sibuk. Bahkan, saat sakit pun aku tetap akan melakukan kewajiban lima waktuku itu. Setelah selesai melaksanakan kewajibanku, aku pun kembali menjalankan motor sekop kesayanganku menuju rumah. Aku mematikan mesin motor saat sudah sampai di depan rumahku. Aku turun dari motor dan membuka pintu gerbang. Dahiku mengernyit saat melihat ada mobil yang biasa mami pakai. Benar saja saat mataku mengedar ke sekeliling, aku mendapati pak Yadi sedang duduk di kursi di teras. Huft, kuhembuskan napas untuk menetralkan dadaku yang terasa sesak secara tiba-tiba. Kar
"Astaga Zea? Ini beneran Zea? Tapi kenapa sampai seperti ini? Ya Allah, aku gak nyangka Zea sudah sejauh ini," gumamku lirih sembari masih menatap tak percaya pada layar ponsel yang masih aku genggam. Di dalam video itu jelas terlihat kalau Zea tengah meliuk-liukkan tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Ia juga tengah melakukan gerakan seperti mengocok alat kelamin pria dan memainkan lidahnya seolah-olah tengah menjilati suatu benda yang membuatnya berhasrat. Hal itu berlangsung selama dua menit. Yah, hanya dua menit durasi video yang masuk ke nomor whatsappku. Bahkan, aku pun tidak tahu nomor siapa yang mengirimiku video ini. Kenapa orang misterius ini bisa tahu nomorku. Ah, aku malah jadi penasaran sama si pengirim video ini. Aku bangun dari posisi dudukku lalu aku berjalan ke arah kamar karena ingin mengganti baju kerjaku dengan daster kebanggaanku. Namun, baru saja aku melepas kancing bajuku bagian atas tiba-tiba terdengar suara pesan masuk kembali. Aku bergegas mengecek kembali
***Aku memejamkan mata untuk menetralisir degup jantungku. Baru saja aku dan mas Rama saling melepaskan hasrat. Yah, kami memang baru selesai menyelami indahnya surga dunia setelah kepergian mas Rama untuk merantau selama kurang lebih dua minggu. "Mas," panggilku pada mas Rama. Saat ini kami masih sama-sama merebahkan diri di atas kasur king size di kamarku dan masih sama-sama belum memakai apa pun, hanya memakai selimut saja. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanya mas Ramaa. Kini wajahnya sudah menatapku. Aku pun kini menghadap ke arahnya dan juga menatapnya. "Aku boleh bertanya sesuatu? Mungkin ini agak sensitif tapi ini juga hal yang penting menurutku." "Ada apa memangnya?" "Tolong jawab dengan jujur. Apa kamu sudah melakukan hubungan seperti kita ini dengan Zea?""Kok kamu tiba-tiba tanya begitu? Kenapa memangnya?" "Jawab saja dulu, sudah ataukah belum. Nanti akan aku jelaskan.""Belum." Degh. Belum? Itu artinya selama tiga bulan ini mereka ngapain aja kalau saat satu rumah? "Bel
***Adzan maghrib berkumandang. Aku dan mas Rama sudah siap dengan pakaian wajib kami untuk sholat berdua. Yah, beginilah yang kami lakukan jika mas Rama sedang berada di rumah. Alih-alih mas Rama berjamaah di masjid, dia lebih suka jika berjamaah di rumah saja berdua denganku. Katanya sih biar aku juga mendapatkan pahala shalat berjamaah juga. Ah, betapa romantisnya suamiku ini. Alhamdulillah, aku memang tidak salah memilih imam. Iqamat pun sudah dikumandangkan. Kini aku dan mas satria sudah bersiap di tempat kami masing-masing untuk melakukan ibadah shalat maghrib. "Assalamualaikumwarrahmatullahiwabarakatuh.""Assalamualaikumwarrahmatullahiwabarakatuh." Setelah salam ke kanan dan ke kiri, aku meraih tangan kanan mas Rama dan mencium takzim punggung tangan yang sudah beberapa tahun ini mencarikan dan memberikanku nafkah dengan sangat layak. Setelahnya aku menengadahkan tanganku dan berdoa kepada sang pencipta agar rumah tanggaku dengan mas Rama dilanggengkan hingga akhir hayat d
Aku dan mas Rama pun akhir nya mengarungi indahnya malam yang penuh bintang dengan hasrat halal yang menggebu-gebu. Setelah kelelahan kami berdua pun terlelap sembari berpelukan dan menutup tubuh polos kami dengan selimut tebal yang disediakan pihak hotel. ***"Jadi, berapa lama kira-kira kami mendapatkan sertifikat itu?" tanya mas Rama pada sang pengacara. Aku dan mas Rama memang sedang berada di kantor advokat yang tentunya sudah terpercaya di kota kami. Yah, pada akhirnya aku dan mas Rama benar-benar melakukan apa yang mas Rama janjikan kepadaku kemarin. "Kurang lebih satu minggu, Pak. Tidak terlalu memakan waktu yang lama. Tapi saya ingin tegaskan apakah Bapak sudah yakin untuk mengalihkan semuanya menjadi atas nama istri?" tanya pengacara yang bernama Ibrahim itu pada mas Rama. "Sangat yakin, kenapa memangnya, Pak? Kok sepertinya anda meragukan?" tanya mas Rama pada pak Ibrahim. "Tidak ada hanya saja saya perlu tekankan jika sudah menjadi atas nama istri Bapak maka segala se
"Kurang ajar! Berani-beraninya kamu Anin!" hardik mami dengan matanya yang sudsh melotot seolah-olah mata itu ingin sekali melompat dari tempatnya. "Lho, kok Mami nyalahin Anun? Kan Mami sendiri yang mau nyerang Anin? Anin dari tadi enggak ngapa-ngapain lho, Mi," ucapku dengan santai seolah-olah memang aku tidak bersalah. Eh, kan memang aku enggak salah sih? Hahahaha."Sialan kamu ya Anin! Sini kamu biar tak unyet-unyet jadi peekedel!" maki mami lagi sembari tangan tua itu ingin menggapai rambut panjangku dan mungkin saja ingin menariknya. Sebenarnya sih tenaga mami tentu saja tidak sebanding denganku, karena sudah pasti mami kalah tenaga dan kalah usia. Hanya saja sepertinya bermain sandiwara kali ini akan terasa menyenangkan. Baiklah aku akan bermain peran di depan mereka semua seolah-olah aku ini istri yang tersakiti. Yah, meski memang aslinya sudah tersakiti sih. "Mami, sebenarnya Anin ini punya salah apa sih sama Mami? Padahal Anin ini mnantu Mami sudah lama lho. Mami juga ken
***"Anin, Sayang, bangun dong, jangan bikin Mas khawatir." Aku mengerjapkan mata berkali-kali saat telingaku mendengar suara dari pria yang sangat kucintai. Tepukan pelan dapat kurasa di sekitar pipiku. "Mas," ucapku saat aku sudah tersadar sepenuhnya. Entah apa yang terjadi padaku karena yang kurasakan terakhir tadi aku merasakan perutku sangat mual seperti diaduk-aduk. Ditambah sekarang ini kepalaku terasa sangat pusing. "Anin, kamu sudah sadar Sayang?" tanya mas Rama sembari ia menangkup wajahku. Aku berusaha tersenyum tipis meski rasanya kepalaku masih sangat pusing."Mas aku kenapa?" tanyaku lirih. Sesekali aku meringis merasakan kepalaku ini. Namun, tidak kunjung mendapatkan jawaban dari mas Rama. Aku kembali menatapnya dan bertanya lewat tatapan mataku ini. "Anin, terimakasih Sayang. Mas sangat bahagia sekali. Akhirnya apa yang kita impikan dan kita inginkan terwujud juga." Aku mengernyitkan dahi saat mendengar ucapan mas Rama. Sungguh aku tidak mengerti dengan apa yang di
"Kenapa kamu diam, Zea? Berarti benar kan apa yang Mas Rama katakan?" tanyaku akhirnya pada Zea. "Apaan sih, Mbak Anin? Ikut campur aja deh urusan orang!" ketus Zea. Aku menatapnya sinis. Namun, tidak dengan mas Rama, dia tampak tidak suka dengan jawaban Zea."Hei Zea! Anin ini istriku! Istri sah secara agama dan negara! Jadi yang berhubungan denganku maka berhubungan juga dengannya. Paham kamu!" harfik mas Rama. "Sudahlah Rama, Mami rasa kalian hanya salah paham saja. Iya kan Zea? Mana mungkinlah seorang gadis baik-baik dancantik seperti Zea melakukan perbuatan hina seperti itu. Bukankah begitu Zea?" tanya ibu mertuaku sembari menatap pada Zea dan bergantian menatap ke arah kami. Zea dengan cepat mengangguk dan kembali berkata dengan percaya dirinya yang tinggi. "Tentu saja aku tidak akan melakukan itu, Mi, ini pasti bisa-bisa nya saja si Mbak Anin. Dia pasti iri karena Mami jauh lebih menyayangiku ketimbang dirinya," ucap Zea dengan pongahnya. Aku merasa tidak terima lantas aku
Bugh. Anin memukulkan sepotong bambu sepanjang tangan orang dewasa ke arah Siti secara cepat sehingga membuat Siti tersungkur ke arah samping dan pisau itu terlepas dan mendarat di bawa kaki Anin. Jadi, Anin sudah melihat bambu itu sejak tadi dan Anin sudah memikirkan ke arah sana karena ia hanya menunggu saat yang tepat saja. Kini pisau itu sudah aman berada di tangannya. Reno dan pak Slamet segera memegangi Siti yang berniat ingin menyerang kembali Anin meski dengan tangan kosong. Tidak lama kemudian tiga orang polisi pun masuk ke dalam rumah pak Slamet dan membantu Reno juga pak Slamet mengamankan Siti. Siti meronta dan berteriak minta untuk dilepaskan. Ternyata para polisi itu juga diminta Anin untuk datang ke rumah Siti. Namun, di tengah perjalanan ban mobil mereka pecah sehingga mengharuskan mereka menggantinya terlebih dahulu dengan ban serep. "Lepaskan aku dasar bangsat kalian semua. Lepaskan!" Siti terus saja berteriak dan meronta membuat para tetangga yang sejak tadi k
"Tolong buka pikiranmu, Siti. Lepaskan Rama, biarkan dia hidup tenang bersama keluarganya sendiri," ucap pak Slamet, "Kalau kau sayang pada lelaki itu ... Kau pasti tidak akan tega melihatnya menderita dan jauh dari keluarganya seperti sekarang ini bukan?"Suaranya kini terdengar melemah dan tulus. Ia menatap Siti dengan tatapan dalam, sampai-sampai membuat gadis itu tampak terdiam dan menundukkan kepalanya.Sepertinya ucapan pak Slamet sedikit berpengaruh, membuat senyuman pak Slamet mulai terlihat.Sedangkan mak Jumi, wanita itu masih terisak dan terus berharap sebuah keajaiban datang dan merubah jalan pikiran Siti.Beberapa detik berlalu, Siti mulai mengangkat wajahnya, dengan sedikit melemahkan bahkan meSitiunkan pisau yang menempel pada pergelangan tangannya.Hal itu sontak membuat mak Jumi dan pak Slamet sedikit tersenyum simpul."Tidak!" ucap Siti dengan lantang. Membuat sepasang suami istri tersebut kembali tercengang.Kening pak Slamet kembali mengerut karenanya, senyuman yan
Siti yang merasa frustasi karena keinginannya tidak tercapai dan mendapat penolakan dari Bapaknya langsung emosi. Tanpa pikir panjang, dia meraih pisau yang berada di rak dapur.Siti mengacungkan pisau itu ke arah Mak Jumi dan Pak Slamet yang bergidik ngeri.“Apa yang kamu lakukan Siti?” teriak Pak Slamet.“Kalau Bapak tidak mau menikahkan aku, maka aku akan bunuh diri.”“Siti..”"Astagfirullah, Siti! Apa-apaan kau ini, Nak!?" teriak mak Jumi yang mulai terlibat histeris.Betapa terkejutnya mak Jumi tat kala anak gadis satu-satunya tengah memegangi sebilah pisau, bahkan tanpa rasa takut sekalipun.Mak Jumi tidak menyangka jika Siti akan bertindak sejauh ini, setan apa yang tengah merasuki gadis itu? Sungguh tak dapat dipercaya.Siti yang sudah terobsesi oleh ambisinya sendiri, oleh rasa cintanya
“Tidak seperti itu Mak, Mas Rama itu belum sepenuhnya ingat apa yang terjadi, jadi kita harus cepat, tolong nikahkan aku dengan Mas Rama,” Siti tetap bersikukuh untuk menikah dengan Rama.Tapi Pak Slamet masih bertindak waras, sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan, dia tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan. Lebih baik tidak jadi menikah jika kedepannya pernikahan itu tidak bisa di jamin kelanggengannya.Dan dia yakin Rama akan sadar dengan sepenuhnya, jika waktu itu tiba, dia yakin Rama akan membuang anak gadisnya.Dengan latar belakang yang di miliki Rama, dia yakin Rama akan melakukan itu. Masih untung jika hanya di ceraikan, bagaimana kalau putrinya di laporkan ke polisi dengan pasal penipuan.Pak Slamet sendiri sudah berkonsultasi dengan orang-orang pintar seperti Pak RT, Pak Kepala desa bahwa tindakan penipuan bisa berakhir di penjara, bukan hanya anaknya tapi j
“Kamu itu Siti, Bapakmu baru datang, sudah kamu cerca pertanyaan, buatkan minum sana dulu,” cerca Mak Jumi.Mak Jumi tak habis pikir dengan perubahan sikap Siti yang sangat drastic antara sebelum berangkat ke kota dan sesudahnya, hingga Mak Jumi berpikir apakah kehidupan kota begitu cepat merubah sikap seseorang?“Iya Mak, aku kan cuman nanya saja, kok Mak marah,” gumam Siti sembari masuk ke dapur, tidak lupa dia menghentak-hentakkan kakinya tanda kesal karena omelan Mak Jumi.“Apakah kita salah mendidik anak kita Mak?” tanya Pak Slamet sedih. Dia kecewa dengan perubahan sikap Siti yang semakin menjadi-jadi, minim sopan santun dan sangat suka menggerutu, sama sekali tidak menunjukkan kasih sayang kepadanya.“Entahlah Pak, selama ini kita juga menyayangi dia dengan tulus ikhlas, Mak ini juga selalu mendoakan Siti agar menjadi anak sholehah, tapi kok jadinya be
Maka dari itu, pak RT kini sudah mengizinkan semua pelaku keributan itu untuk pulang ke rumah masing-masing."Yasudah, kalau begitu kalian pulanglah!" ucap pak RT."Terimakasih, Pak," ucap pak Selamet dengan senyuman yang samar."Terimakasih untuk semuanya, Pak." Pun juga dengan bu Lela yang juga mengucapkan terimakasih untuk pak RT.Tak berselang lama, kini pak Selamet pun menangkup bahu sang istri. Di mana ia menuntun mak Jumi untuk segera pulang dari rumah pak RT. Sedangkan bu Lela ... dia berjalan di depan kedua pasangan suami istri itu.Tetapi setelah berjalan cukup jauh dari rumah pak RT, pak Selamet yang sedari tadi menatap punggung bu Lela dengan tajam dan penuh amarah itu, pun pada akhirnya membuka suaranya."Bu Lela, tunggu sebentar!" ucapnya dengan cukup penuh ketaj
"Ya itu bukan urusan saya! Kan memang Bu Lela yang maunya menunjukkan ke orang-orang kalau anak saya itu berbuat zina! Ya kalau tidak ada buktinya, mau dibawa ke pengadilan pun tidak bisa dibuktikan! Selama ini saya yang jadi saksi kuncinya bersama Mak Jumi. Kalau saya sudah bilang anak saya tidak tinggal sekamar, tanyakan saja kepada Rama, kasarannya dia sebagai korban pun juga akan berkata jujur kalau dia tidak pernah sekamar dengan anak saya. Mau apa kalau sudah begitu? Dia bisa saja mengatakan kalau dia tidak ingin dibawa Siti ke sini, tetapi saya yakin dia pasti dengan jujur mengatakan kalau tidak melakukan hal zina itu. Dia ini pria yang bertanggung jawab, Bu. Dia sendiri juga tidak tahu selama ini kenapa walaupun anak saya mengaku istrinya, tapi tidak pernah bersentuhan dengannya. Kalau memang dia pria seperti kebanyakan, sejak awal juga pasti menagih-nagih, Bu, untuk diberikan haknya dia sebagai suami oleh anak saya dan anak saya pun kalau memang tidak bermoral
Pak Slamet masih dengan tatapannya menghina itu langsung berceloteh, "Mau apa lagi, Bu? Tidak bisa membalas, ya, karena ketahuan? Begini sajalah, Bu, selama ini saya tidak mau mengikuti langkah Ibu. Ibarat kata gajah dipelupuk mata tidak kelihatan, kuman di seberang lautan kelihatan yaitu Bu Lela sendiri. Kesalahannya sendiri saja sebesar gunung tidak ditampakkan ke publik, tapi kalau tahu ada kesalahan orang lain saja paling cepat mengompori yang lainnya. Memangnya semua orang di sini sempurna apa? Tidak pernah membuat dosa begitu? Lagi pula, Siti ini anak saya! Buat apa turut campur? Orang, saya saja tidak pernah ikut campur masalah Ibu. Saya sendiri sudah tahu dari dulu kelakuan Ibu, tapi saya pendam sendiri saja. Tidak ada untungnya juga. Buat apa saya suka lihat ibu dikeroyok massa?"Bu Lela menelan ludah menutupi rasa gugupnya yang sudah merebak di dada. Ia tidak mau terlihat kalah, karena kalau seandainya ia sampai gemetar di hadapan Pak Slamet, maka otom
Pria paruh baya itu pun terus berusaha untuk menjelaskan secara rinci permasalahan yang sebenarnya terjadi. Tetapi bagaimanapun penjelasan yang diutarakan oleh Pak Slamet sama sekali tidak mengubah pemikiran Bu Lela dan juga Bu Sri. Kedua wanita itu terus saja berusaha keras menepis penjelasan yang Pak Slamet berikan. Bahkan Pak RT pun dibuat kewalahan dengan ulah kedua wanita itu. Terlebih ucapan Bu Lela dan Bu Sri yang terkadang tidak bisa untuk di sela."Apa pun alasannya tetap saja yang dilakukan oleh Siti itu tidak benar, Pak Slamet. Walaupun tidak berbuat zina di sini, tetapi aku yakin Siti dan pria kota itu pasti sudah pernah berbuat zina saat berada di kota. Ulah mereka justru hanya akan membuat malapetaka untuk desa kita. Siti sangat pantas untuk diusir dari Desa ini dan jangan biarkan dia kembali lagi," seru Bu Sri dengan begitu lantang."Benar apa yang dikatakan oleh Bu Sri, Pak RT. Sebagai rukun tetang