"Kenapa tak bunuh dia aja?" Hime menawarkan.
Lucien mendengkus mendengar penawaran Hime."Seandainya bisa semudah itu, Hime. Orang-orangnya berada di mana-mana. Magracia mungkin bisa saja mati, tetapi akan tetap ada yang mempertanyakan kebecusan Marvel.""Aku bisa saja membunuhnya, tetapi aku tidak ingin dia mati dengan mudah, Hime. Aku ingin dia melihat kejayaan yang dia bangun runtuh di depan matanya sendiri.""Bagaimana denganmu, Lucien?" Hime menolehkan kepalanya dan melihat ke arah Lucien."Semua terserah kepada Barrio, bukan?" Lucien mengambil botol wiski, mengisi gelasnya lalu meneguknya hingga tandas."Kuharap dendammu tertuntaskan, Marvel.""Kuharap kau melihat kalau apa yang kulakukan tidak hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga orang lain yang berada di sekitarku.""Bagaimana dengan Grace? Wencel?""Ini bukan pertama kalinya bagimu dan bagiku, mengorbankan satu dua orang demi keuntungan kita bersama. Berhentilah bersikap seperGrace tersentak kaget saat tiba-tiba Marvel memberikan sebuah kecupan seringan kupu-kupu di pundaknya. Perhatian gadis itu seluruhnya teralihkan dari meja kerja Marvel ke pemilik meja itu sendiri."Aku bukan barang," ucap Grace lirih ketika kecupan Marvel bergerak menuju lehernya.Pria itu tiba-tiba menangkup bokongnya, mendorong tubuhnya merapat dengan dinding, lalu menaikkan kedua kakinya ke pinggangnya agar gadis itu bergelayut kepadanya."Aku membencimu.""Aku tahu." Pria itu mengecup lehernya, sebuah senyuman bisa Grace rasakan di permukaan kulitnya."Kamu gila." Grace mendesis marah.Marah kepada Marvel, marah kepada dirinya sendiri. Bagaimana dengan Madrigal sahabatnya? Bagaimana mungkin dia mengikuti permainan pria ini?"Aku lebih daripada gila, Sayang. Kukira kamu tahu?"Ya. Dia memang lebih daripada sekedar gila. Pria itu psikopat. Penculik mana yang akan menghadiahkan sebuah pistol kepada korbannya? Hanya Marvel yang mampu melakukan
"Oh, Tuhan."Grace mengerang kesakitan, tangannya meremas selimut kuat-kuat. Tangannya yang lain mendorong tubuh Marvel akan melepaskan dirinya, tetapi pria itu tetap terdiam dan malah meraih tangan Grace lalu mengecup telapak tangannya."Tenanglah."Marvel mengecup bibirnya lalu bergerak perlahan, berusaha menemukan ritme yang tepat untuk keduanya hingga dia dapat meraih org*smenya."Shit."Grace terengah, matanya menatap Marvel berusaha menemukan sesuatu yang tidak bisa ia mengerti."Aku berjanji yang berikutnya akan lebih baik, Sayang." Marvel mengecup pipinya yang basah karena air mata lalu perlahan melepaskan dirinya."Tidurlah."Marvel menarik selimut untuk menyelimuti tubuhnya yang tel*njang. Grace mungkin memejamkan matanya, dia berusaha tertidur, tetapi ingatannya mengulang terus apa yang baru saja dia lakukan dan rasa bersalah itu menyerang kembali. Dua bisa merasakan Marvel yang perlahan beranjak turun dari atas kasur lalu embusan n
"Apa yang kau inginkan, Marvel?""Aku membayangkan salah satu Paman lainnya yang akan mengkhianati Barrio, tapi tidak kau Paman." Marvel menatap Molan tajam lalu tersenyum tipis."Mata untuk mata, gigi untuk gigi. Itu semua ada di dalam alkitab, Paman Filawan." Marvel memerhatikan tangan Molan yang mengambil segelas anggur merah lalu meneguknya."Dia akan memiliki luka yang sama seperti yang telah ia lakukan kepada yang lain." Molan menyelesaikan sepenggal kalimat di dalam alkitab."Siapa musuhmu di perang ini, Marvel?""Semuanya." Marvel menembak ke langit-langit, membuat istri Molan terperanjat kaget lalu segera meringkuk di bawah meja sembari menangis ketakutan."Apa yang kau lakukan?!" Molan yang nampak terpukul bangkit dari duduknya.Tidak menyangka MARVEL akan mengeluarkan pistolnya dan meletuskan tembakan peringatan. Pria itu tidak main-main, Marvel. Molan sungguh akan membunuhnya saat ini."Percayalah, ini yang terbaik untukmu sebelum
"Apa yang kau bicarakan?" Madrigal muak melihat pria itu.Seumur hidupnya, Stroam Sehar tidak pernah peduli dengan hanya butuh sekejap bagi Stroam Sehar untuk menghancurkan apa yang sudah Grace perjuangkan seumur hidupnya."APA YANG KAU BICARAKAN, BAJINGAN?!""Berada di tangan Tuan Marvel tidak ada bedanya dengan sudah mati, Mad." Stroam terkekeh lalu mengembuskan napas gusar."Aku tahu aku salah. Seumur hidupku aku tidak peduli kepada gadis kecil itu. Dia seperti kecoak yang tidak bisa kusingkirkan.""Brengsek." Madrigal menumpahkan seluruh amarahnya kepada Stroam, memukul pria itu membabi buta hingga wajah Stroam membengkak dan hidungnya patah."Apa yang aku lakukan sekarang tidak akan pernah bisa menebus apa yang kau lakukan kepada Grace.""Aku tahu." Stroam membiarkan dirinya dipukul berkali-kali oleh Madrigal."Kukira hanya kau .... ""Apa?" Madrigal menatap Stroam dan uang yang bertebaran di sekeliling mereka."Kenapa kau tidak
"Syukurlah kamu udah bangun." Grace melihat gelas berisi lelehan es yang berada di atas nakas lalu melemparkan isi gelas itu ke wajah Marvel."Bajingan kau Marvel!"Marvel mengusap wajahnya yang basah dengan tangannya lalu menatap Luca."Ada apa ini?""Kau membunuh suami Fanya!" Grace berteriak kembali ke hadapan Marvel."Bajingan kau!" Grace baru saja hendak beranjak ke arah Marvel dan mencakar wajah pria itu ketika Desoacido menahan badannya dan menyeretnya menjauh."Pembunuh! Kau membunuh suami Fanya, bajingan!"Marvel mengenakan kemejanya dengan tenang lalu berjalan menuju Grace yang terduduk di atas karpet di bawah pitingan Desoacido."Siapa yang bilang aku membunuh suami Fanyamu?" Marvel menunduk memperhatikan mata Grace yang balas memelototinya.Rambut hitam wanita itu acak-acakan sementara badan wanita itu berusaha keras itu melepas pitingan Desoacido dan menghajarnya kembali."Apa dia yang bilang aku membunuh suami Fanya?" M
"Apakah kau ingin aku berbicara dengannya?" Frenny yang biasanya duduk di belakang cermin memperhatikan interaksi keduanya kemudian berbicara.Meski ia sendiri tidak yakin dapat membuat gadis itu bersuara. Zaimone bahkan psikiater yang datang tidak sanggup membuat gadis itu mengeluarkan sepatah kata pun. Bagaimana dengan dirinya yang tidak ada apa-apanya?"Cobalah." ucap Zaimone putus asa.Frenny beranjak dari kursinya mengambil sebuah bundel map yang berisi informasi gadis itu dan sebuah alat perekam suara. Bundel itu berisi banyak informasi, sekumpulan kertas yang terlalu tebal untuk gadis seukuran dirinya, dia terlihat terlalu muda untuk terlibat jaringan kejahatan besar di Chicago. Frenny masuk ke dalam ruang interogasi dengan hati-hati. Untuk pertama kalinya berada di depan cermin menatap gadis itu langsung tanpa adanya pembatas kaca. Frenny duduk di hadapan gadis itu, membuka bundelnya diatas meja lalu menatap gadis itu lurus. Menyadari kedua mata cokelat terang
"Grace." Madrigal memeluknya lebih erat."Aku berada di sini, kau akan baik-baik saja.""Apa aku akan baik-baik saja, Mad? Apa kau akan baik-baik saja?" Grace mencengkeram lengan kemeja Madrigal."Apa kita akan baik-baik saja?""Ada apa Grace? Apa yang telah dia lakukan kepadamu?""Dia kembali, Mad," ucap Cara lirih."Marvel itu kembali."***Acara makan-makan berakhir begitu saja, Grace bahkan belum sempat menyantap makanan yang dipesan oleh Frenny ketika Madrigal memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah."Tidak, tidak kau tidak mengerti! Dengar aku sialan, dia datang menghampirinya! Gadis itu ketakutan!" Suara Frenny terdengar semakin keras seiring berjalannya waktu."Apa maksudmu kau akan menyerahkannya begitu saja kepada bajingan itu?!"Grace menatap Frenny yang berjalan mondar mandir di dapur, cukup jauh darinya yang duduk di sofa ruang tamu. Madrigal menunduk di hadapannya, menggenggam tangannya
"Apa kau baik-baik saja?" Ginie mengusap lengannya prihatin."Ya, tidak. Aku tidak tahu." Grace menggelengkan kepalanya.Apa dia perlu bersimpati kepada pria tanpa nama yang hendak memperk*sanya itu? Hanya rasa lelah yang tersisa dari kemarin malam, pergi ke Asphere tidak pernah menjadi ide yang baik."Omong-omong, ada apa?""Marvel memintaku mempersiapkanmu."Mempersiapkan, seperti seekor kalkun. Marvel meminta ini, Marvel meminta itu. Tidak ada hal di dunia ini yang ia lakukan atas kemauannya sendiri, semua hal harus melewati Marvel Zeroun Montefalco terlebih dahulu."Kejadian semalam di Barrio." Ginie melihatnya sekilas sebelum melanjutkan."Paman-paman Marvel mengetahuinya dan mereka tidak senang.""Apa mereka pernah senang denganku?""Tidak, tetapi jelas saat ini posisi tidak aman, Grace." Ginie nyaris mengguncang kedua bahunya."Kenapa kau kembali, Grace? Kau memiliki kesempatan untuk lari dan pergi sejauh mungkin. Seharusnya k
"Sekarang buka gerbangnya, kalian bisa memastikannya saat aku sudah pergi," ujar Nantsu menatap sinis pada pengawal.Pengawal itu berpikir keras, mungkin saja itu benar. Nantsu adalah salah satu orang kepercayaan tuannya, jadi tidak mungkin dia berbohong."Baiklah, tetapi cepatlah kembali!" pengawal kemudian membuka gerbangnya.Tanpa mengacuhkan pengawal tersebut, Nantsu kemudian mengemudikan mobilnya dengan sangat kencang. Nantsu tersenyum puas dan sangat lega, karena semua rencananya berjalan dengan lancar. Sesekali dia melihat ke belakang dan melihat Grace yang masih tidak sadarkan diri di sana."Sebentar lagi Sayang, sebentar lagi!" Nantsu berujar dengan smirknya yang licik.2 jam lamanya Nantsu mengemudikan mobilnya, dia ha
Kemudian dia segera mencari kamar Marvel, dan ketika dia membuka pintu kamarnya dia tersenyum senang melihat Grace di sana. Akhirnya tujuannya akan tercapai yaitu merebut Grace dari Marvel dan membawanya pergi. Nantsu masuk dan menutup pintunya kembali. Terlihat seorang gadis sedang terlelap tidur di atas ranjang.'Oh, jika saja aku sedang tidak terburu-buru, akan aku pastikan kita akan bercinta saat ini juga,' batin Nantsu melongo menatap keindahan tubuh Grace meskipun dari belakang.Nantsu berjalan mendekat ke arah Grace dan duduk di sampingnya. Perlahan Nantsu membelai lembut pipi Grace membuat Grace terganggu dan mengerjap membuka matanya. Seketika Grace membuka matanya lebar dan menjauhi Nantsu."Apa yang kau lakukan?! Bagaimana bisa kau sampai di sini?! Untuk apa kau kemari?!!" bentak Nantsu merasa terkejut akan keberadaan Nantsu di kamar Marvel."Waktu kita tidak lama, pergilah bersamaku
"Ah tidak, aku akan menerimanya. Tapi aku tidak akan memakainya, bagaimana jika tergores, bagaimana jika hilang dan bagaimana jika kalung ini diambil orang. Aku akan menyimpannya, dan akan aku pakai lain kali di acara penting saja," lanjut Grace merasa sayang dengan kalung itu."Terserah padamu saja!" Marvel kembali memasukkan kalung itu pada kotak beludru itu dan menyerahkannya pada Grace.Grace menerima kotak itu dan menatap mata Marvel begitu dalam. Lalu dengan tiba-tiba dia berdiri dan meraih tengkuk Marvel Menciumnya dengan penuh kelembutan, memainkan lidah Marvel dan menyesapnya dalam. Marvel terkejut tetapi sangat menikmati ciuman ini, dia terkejut dengan ciuman Grace. Rasanya masih tidak percaya jika saat ini Grace sedang menciumnya. Grace melepas ciumannya dengan nafas yang masih tersenggal-senggal dan dengan cepat dia berlari ke kamar mandi menahan malu. Grace merutuki kebodohannya sendiri yang dengan tiba-tiba mencium Marvel.
Grace hanya diam dan kembali mengeratkan selimut untuk menutupi tubuhnya. Marvel berdiri dari duduknya dan mengambil sebuah buket bunga dan kotak beludru biru yang cukup mewah. Entah apa isinya tetapi Grace bisa menebak bahwa isinya pasti sebuah kalung atau perhiasan lainnya."Pilihlah salah satu, ini hadiah untukmu!" Marvel menyodorkan buket bunga sederhana di tangan kanannya yang menurut Grace itu benar-benar payah, karena bunga itu cukup berantakan dan dapat Grace tebak jika bunga itu dipetik dari kebun belakang, sementara kotak beludru biru di tangan kirinya."Hadiah? Untuk apa?" Grace menatap Davian bingung. Hari ini bukan hari ulang tahunnya lalu mengapa Marvel repot memberinya hadiah, Grace menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Untuk semalam."Grace yang semula menunduk kemudian menatap mata Davian. Ingatannya kembali kepada kejadian semalam, saat dirinya dengan paksa harus mengulum junior Marvel. Oh, sun
Marvel berjalan memasuki mobilnya dan berlalu pergi ke kantor meninggalkan mansion mewahnya. Setelah melihat mobil Marvel pergi, Grace bergegas masuk. Grace mulai menjalankan semua aktivitas paginya, tanpa tahu seseorang sedang mengawasinya dari jauh. Hari berlalu begitu cepat, jam menunjukkan pukul 7 malam. Dan benar saja, Marvel mengirimkan seseorang untuk meriasnya. Grace bingung dibuatnya, pasalnya dia tidak tahu alasan dibalik ini. Dia hanya bisa Grace semua perintah Marvel. Satu jam kemudian Grace sudah siap. Grace berdiri di depan cermin dan memandangi dirinya, dia menelan ludahnya sendiri.'Ke mana dia akan mengajakku pergi, mengapa aku harus memakai gaun terbuka seperti ini,' batin Grace menghela napasnya.Grace berjengit kaget ketika tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang. Marvel memeluk erat Grace dari belakang dan mendaratkan ciuman di leher jenjang Grace, kemudian menumpukkan dagunya di bahu Grace.
Jeol berhenti di tepi jalan yang sepi setelah tadi usai kebut-kebutan di jalanan. Jeol berteriak, memukul kepalanya sendiri dan berulang kali menghantam kemudinya dengan keningnya."Bego lo Jeol! Gila! Sinting!" maki Jeol pada dirinya sendiri."Dia Grace, istri Marvel, sahabat lo!" teriaknya yang tentu di tujukanpada dirinya sendiri."Jeol gila!" Lagi, Jeol kembali menghantam kemudi dengan keningnya sendiri."Kak ... jangan nyakitin diri sendiri." Sebuah suara halus, lembut dan begitu ia kenali membuat Jeol cepat-cepat mengangkat kepalanya, menatap kursi di sebelahnya yang semula kosong namun kini sudah terisi dengan objek kegilaannya tadi. Jeol berteriak, memukul kepalanya sendiri guna menghilangkan sosok Grace di sampingnya."Pergi Grace! Pergi!" teriak Jeol frustasi.Setelah bermenit-menit kemudian, baru Jeol berani membuka mata, di tatapnya kursi sebelahnya yang kini telah kosong seperti semula. Jeol lelah, ia menyandarkan punggung dan kepalan
la kembali ikut tertawa begitu melihat Bryan dikerjai oleh ayahnya, tawa kosong, tawa yang diam-diam di penuhi rasa iri hingga membuat matanya di isi buliran air yang siap jatuh kapan saja. Marvel yang sedari tadi memperhatikan istrinya, kini sedikit bergerak merapatkan kursinya agar lebih dekat pada istrinya. la genggam jemari Grace yang di letakkan di paha lalu membawanya ke pahanya sendiri. Begitu Grace mengalihkan tatapan ke arahnya, Marvel makin mengeratkan genggaman tangannya, ia berikan tatapan seteduh mungkin, sehangat yang ia bisa untuk menyalurkan rasa hangat pada istrinya. Grace tersenyum kecil, matanya yang sedikit memerah jadi menyipit kala bibirnya tertarik ke atas. "Mau nambah?" tanya Grace sebisa mungkin meredam rasa sesaknya. Marvel menggeleng, ia malah meletakkan sendoknya dan beralih mengusap pelan pipi Grace. "I'm here," bisik Marvel pelan, Grace mengangguk dengan mata memerahnya yang cepat-cepat ia usap dengan gerakan seolah mengusap hidungnya.
"Terus nanti kalau mogok lagi, Bapak gimana?" tanya Grace. "Gini ajalah, kebetulan di depan sana sekitaran beberapa meter lagi ada pom bensin. Bapak berhenti di situ, nanti saya carikan tukang bengkel yang bisa jemput Bapak," ucap Jeol pada Pak Didit. Grace kali ini setuju, Pak Didit pun mengiyakan. Sebelum menaiki mobil Jeol, Grace berjalan menuju mobilnya terlebih dahulu guna mengambil tasnya. Setelah segala macam barang bawaannya sudah di tangannya, Grace menghampiri Jeol dan Pak Didit yang masih menunggu. "Bapak duluan Pak, biar kita ngiringin di belakang," ucap Grace sebelum masuk ke dalam mobil Jeol. Setelah mobil Pak Didit melaju, barulah Jeol juga ikut melajukan mobilnya tepat di belakang mobil Pak Didit. Sementara Jeol sibuk menyetir, Grace sendiri sibuk mengistirahatkan badan. "Capek, ya?" tanya Jeol yang diangguki Grace. "Aku boleh numpang tidur nggak, Kak?" tanya Grace dengan suara lelah dan bercampur ngantuk. Jeol menoleh kearah Graxe
"Ya biarin," jawab Grace tak acuh.Marvel hanya tersenyum kecil, ia tahu Grace hanya ingin dirinya istirahat, tapi ya mau bagaimana lagi, pekerjaannya masih ada sedikit lagi, dan ia pun baru selesai makan. Dengan Grace masih berada di gendongan depannya, Marvel kembali menuju sofa tempatnya bekerja tadi, ia duduk di sana dengan Grace yang juga ikut duduk di pangkuannya. Marvel mulai kembali bekerja, sementara Grace hanya bisa cemberut karena Marvel kembali berkutat pada laptopnya.Merasakan gerakan abstrak jemari Grace di punggungnya, Marvel membujuk, "sebentar ya, ini dikit lagi selesai."Setelahnya, ia kembali fokus pada laptopnya. Dua keluarga besar kini sudah berkumpul memenuhi meja makan Marvel, para orang tua sedang asik berbincang sambil menunggu masakan siap di sajikan. Sementara Bryan dan Gio asik berdebat mengenai ajang badminton yang memang sedang diadakan di Korea. Marvel? Marvel ya Marvel, ia hanya akan bersuara ketika di tanya, atau bahkan hanya mengangg