“Bagaimana dengan kebebasan Adellia, Tuan?”Jari Joshua berhenti mengetik, ia angkat kepalanya untuk melihat kearah sang tuan kanan. Ia kemudian tersenyum tipis sembari menatap lurus ke manik mata Elliot.“Kenapa? Kau sudah tidak tahan melihatnya berada di penjara itu?” tanya Joshua.“Saya pikir, wanita itu sudah mendapat hukumannya, sepertinya sudah waktunya dia di bebaskan.” Elliot masih mencoba membujuk Joshua untuk menyetujui permintaanya.Joshua kemudian berdiri dari duduknya. Ia memandang wajah Elliot tajam. Joshua sangat tau tujuan Elliot memintanya melepaskan Adellia. Laki-laki di hadapannya ini sangat mencintai pelayan rendahannya itu, ia berpikir kalau Elliot melakukan ini untuk melindungi Adellia.“Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu Elliot. Kau mencintainya, tapi kau juga orang yang membuatnya mendekam di penjara itu. Apa tujuan utamamu melakukan ini? aku sungguh tidak mengerti.” Joshua bersandar di meja kerjanya, masih menatap Elliot dengan segudang rasa penasaran d
“Saya mohon, Tuan. Saya tidak bermaksud untuk berkhianat, itu semua kecelakaan.”Kedua telapak tangan itu saling bergosokan satu sama lain, kepala yang seharusnya menatap lurus kini hanya bisa memandang lantai berbalut karpet polos berwarna merah. Dia bahkan tidak ada rasa malu mencium ujung sepatu hitam runcing yang ada di hadapan matanya.“Tuan... ampuni saya!”“Kau tau berapa banyak kerugian yang black moon tutupi karena kecerobohan mu itu?”“Ampun, Tuan, Ampun.” Bukannya menjawab pertanyaan, orang itu semakin menginggikan volume suaranya, meraung-raung meminta apun sang bos dengan penuh rasa takut di dadanya.“Berisik sekali,” desis Joshua, ia mencungkil telinganya menggunakan jari kelingking.“Saya berjanji akan setia kepada Tuan, hanya Tuan yang ada di hati saya. Mohon ampuni kesalahan saya kali ini, saya ber-”Dor-“Berisik sekali orang ini.”Tubuh orang itu terjatuh di atas karpet merah bersamaan dengan darah mengalir di kepalanya. Joshua tidak suka mendengar omong kosong. Ia
“Saya dengar, anda ini adalah tantenya Karina Elizabeth, ya?” Secangkir teh terhidang di atas meja bundar. Sepasang mata tampak sangat serius memandangi lawan bicaranya yang satu ini. Ia tersenyum tipis untuk menghilangkan kesan sombong dari wajah cantiknya.“Ya, anda benar, saya adalah tantenya.” Wanita paruh baya dengan riasan mencolok dan rambut di sanggul menjawab dengan penuh percaya diri.“Wah, saya tidak menyangka ternyata anda benar-benar tantenya. Saya pikir Karina sudah tidak memiliki keluarga lagi.” Senyum tipis itu tidak lekang dari waha cantik Rebecca. “Saya satu-satunya keluarga Karina. Anak itu sudah saya urus sejak umurnya 15 tahun setelah orangtuanya meninggal karena kecelakaan.” Soraya mengoceh tanpa disuruh. Ia sungguh percaya diri dengan posisinya sebagai tante Karina. “Oh, ya? Yaampun, kasihan sekali.” Rebecca pura-pura empati dengan cerita itu. “Ya, dia itu anak yang teramat malang. Tidak punya apa-
“Silakan, selamat menikmati.” Pelayanan kafe itu sangat ramah. Karina tersenyum tipis menanggapi pelayanan tersebut. Setelah pelayanan itu pergi, Karina mulai menikmati cake redvelvet dan milkshake yang ia pesan tadi. Atensi Karina terarah ke ponsel setelah notifikasi masuk dan terpampang di layar kunci. Satu pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Karina mengabaikan pesan itu karena itu dari orang asing. Ia tidak akan merespon pesan dari orang asing. Namun, notifikasi itu muncul lagi. Tapi sekarang, Karina buru-buru membuka layar kunci ponselnya dan membaca pesan masuk itu. Dari : 0001 xxxx xxxx ‘Lama tidak bertemu, upik abu. Kau jadi makin sombong setelah dibeli tuan kaya raya, ya?’ Rahang Karina mengeras. Ia membaca ulang pesan itu berulang kali. Lalu, pesan lainnya muncul.Dari : 0001 xxxx xxxx ‘Apa kuenya seenak itu? Hahaha, aku jadi iri denganmu. Melihatmu senang membuatku sangat marah. Aku jadi ingin mencabik-cabikmu lagi.’ “Cherin…?” Karina bergumam, suaranya sedikit be
Sedari tadi Karina hanya diam. Matanya memandang jalan dengan tatapan yang kosong. Hal itu membuat Joshua khawatir. Sedari tadi ia terus bertanya, namun tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Karina. “Hei... kita sudah sampai.” Joshua memegang lengan kiri Karina dan menggenggamnya lembut. “O-O-Oh, maaf,” kejut Karina. “Aku melamun lagi.” Karina menatap Joshua penuh rasa penyesalan. “Ada apa denganmu, hnm?” Jari telunjuk Joshua menyingkirkan anak rambut yang menghalangi pandangan Karina. Karina menggeleng. “Tidak ada, aku mungkin kelelahan saja.” “Haruskah kita pulang saja? Sepertinya kau butuh istirahat.” Joshua benar-benar khawatir dengan keadaan Karina. Karina menggeleng, “Jangan! Aku sudah lama menunggu momen ini. aku tidak mau waktu senggangmu sia-sia.” Karina tersenyum tipis, ia tidak mau Joshua kecewa karena keputusannya. Joshua pun mengangguk setuju, “Kalau kau merasa tidak enak badan, langsung katakan padaku, mengerti?” Joshua mengecup punggung tangan Karina lalu ter
“Karina… lama tidak bertemu.” Kaki Karina berhenti di belakang Joshua. Matanya langsung menatap tajam ke arah depan tempat wanita beranggul itu berada, Soraya. Tante Karina yang sudah lama tak ia dengar kabarnya.Kelihatannya tantenya itu hidup dengan baik. Tambah glamor dan tetap menyebalkan untuk dilihat. “Kau terlihat semakin cantik saja, tante iri, loh.” Gigi Karina beradu tajam, bunyi gemerutuk itu terdengar jelas di telinga. Tinju Karina mengepal penuh emosi, dadanya naik turun secara cepat. Ia tidak akan lupa dengan kelakuan buruk tantenya itu.“Kau tidak mau menyapa tante, Karin?” Soraya tersenyum, namun senyumannya terlihat seperti mengancam Karina. “Tidak tau malu,” desis Karina.Senyum Soraya memudar, matanya menatap tajam Karina. Seolah ia tidak takut dengan Joshua yang ada di samping wanita itu.“Apa yang kau katakan, Karina? Siapa yang tidak tau malu di sini?” Soraya menyeringai, ia mendekati Karina lalu berbisik di telinganya halus. “Kau gadis bodoh tidak tau diri,
“Dari mana kau tau tentang Soraya?” Joshua menembak Rebecca langsung dengan pertanyaan sesaat ia tiba di ruangan kerja Rebecca.Mata Rebecca terlihat berbinar saat melihat Joshua mendatanginya secara langsung. Ia berlari kecil menghampiri Joshua namun menahan diri untuk tidak memeluknya. “Kak Josh, kapan kau datang? dan kenapa tidak mengabariku?” Seolah tidak mendengar pertanyaan pertama yang Joshua lontarkan. Joshua menatap tajam Rebecca. Tatapan itu seperti sedang menguliti Rebecca. Namun, Rebecca tidak takut lagi dengan sorot mata tajam yang Joshua berikan untuknya. Sudah terlalu sering jadinya terbiasa.“Jawab pertanyaanku, Rebecca Barnard!” tegas Joshua.Rebecca merotasi bola matanya malas. Joshua selalu tau apa yang ia lakukan. Rebecca berdecak sebal. Kapan laki-laki ini akan berpihak padanya. “Bukan urusanmu!” Rebecca marah, suaranya meninggi.“Tentu ada, kau mengganggu Karina melalui benalu itu, tentu kau juga akan berurusan denganku, mengerti?!” Joshua menekan setiap kalim
“Kau tau? Seseorang mengikutiku hari ini.” Gia membuka suara setelah beberapa menit diam memikirkan kejanggalan hari ini. Joshua menghentikan kegiatan mengetiknya dan berpaling mentap Karina. Wanita itu sedang sibuk menatap langit-langit ruangan kerja Joshua dengan tangan yang ia taruh di dagunya. Karina sedang mengabaikan tugas kuliahnya sekarang. Joshua tersenyum tipis. Karina sudah sangat nyaman berada di ruangan Joshua. Ia bahkan hampir setiap hari datang ke kantor Joshua untuk sekedar mengerjakan tugas. Padahal, dia bisa melakukannya di rumah. “Siapa yang mengikutimu?” tanya Joshua, ia bangkit dari kursinya, berjalan perlahan mendekati Karina secara diam-diam. “Entahlah, aku tidak lihat wajahnya. Aku hanya lihat kamera yang muncul dari jendela kaca, siapa orangnya aku tidak tau.” Gia masih memandang langit-langit dengan perasaan bingung. Ia mencoba menerka-nerka, tapi tidak dapat jawabannya. Tangan Joshua menyingkirkan laptop dari perut Karina. Secara tiba-tiba ia mengangkat