Home / Romansa / OUCH IT'S YOU / dear Gugi [ 3 ]

Share

dear Gugi [ 3 ]

Author: brokolying
last update Last Updated: 2024-02-20 02:02:27

"Halo?" Aku menyapa. Gugup. Takut kamu mikir suara aku jelek atau kebapak-bapakan.

"Nat?"

"Gie? Suara aku ada?"

"Iya ada. Suara aku?"

"Ada."

"Seneng deh akhirnya bisa denger suara kamu." Kalimat panjang pertamamu kudengar dengan khusyuk.

"Mendoan kali enak. Katanya mau ngomongin sesuatu."

"Buru-buru amat. Nggak mau nanya kabar dulu nih?"

Aku tertawa. Kamu juga.

Aku gugup. Kamu juga.

Kita ngobrol lama. Tentang banyak hal. Juga mengulang beberapa topik yang pernah kita bahas sebelumnya. Sekedar memuaskan rasa ingin tahu bagaimana kalau pembahasan itu dibicarain langsung.

And then there you are.

"Nat, aku mau ngomong."

Mungkin kamu nggak tau, tapi aku nelan ludah berapa kali sebelum akhirnya berhasil respon kamu.

"Hm?"

Kamu diem. Ragu.

"Aku nggak tahu harus ngomongin ini gimana."

"Kamu udah ngulur waktu lama loh hanya untuk bahas ini. Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Toh nggak bakal berubahkan apa yang pengen kamu omongin?"

"Tapi Nat."

"Aku nunggu." Kataku sambil menggigit bibirku sendiri.

"Nat...."

"Hm?"

"Kamu pernah bilangkan nggak peduli mau aku udah punya pasangan apa belum?" Holy moly. This is it.

"Uhumm."

Ada jeda di situ. Lama.

"Nggak bisa. Aku nggak bisa ngomong ini."

"Apasih. Kaya nggak pernah ngomong sama cewek aja. Udah, nggak apa-apa. Ngomong aja."

"Nggak."

"Gi. Apa?"

"Nggak bisa Nat!"

"Apa? Kamu udah punya pasangan?" Saking nggak sabarnya, akhirnya aku mewakilimu mematahkan hatiku.

"Iya Nat. Maafin aku."

Blank. Aku

blank.

Aku mencoba menghirup udara sebanyak mungkin. Aku tercekat. Dikit lagi nangis.

"Ouh, ok." ucapku mencoba setenang mungkin.

"Maafin aku Nat. Aku nggak tahu kalau perasaan aku bisa sedalam ini ke kamu."

Brengsek.

"Aku nggak bisa nyalahin kamu."

"Tapi aku salah Nat."

"Iya kamu salah. Tapi aku juga. Udah tahu lama tapi pura-pura nggak peduli karena masih pengen komunikasi. Maafin udah egois."

"Aku yang egois. Aku harusnya bilang ini di depan kamu. Senggaknya aku bisa meluk kamu sambil mohon maaf Nat."

Aku diem. Saat itu, air mataku mulai netes.

"Tapi semakin aku pikir, semakin aku sadar kalau ini nggak adil buat kamu." Sambung cowok orang ini.

Aku masih belum bisa menjawab. Nangis itu ngerepotin.

"Aku tahu ini nggak bakal berhasil Nata. Hubungan ini. Makanya aku putusin buat jujur ke kamu."

"Dia tahu?"

"Dia udah curiga Nat."

"Kalian udah lama?"

"Perlu kita bahas ini?"

"Jawab aja."

"Lumayan."

"Kamu sayang sama dia? Bahagia ama dia?"

"Nggak usah dibahas Nat. Aku nggak mau nyakitin kamu lebih dari ini."

No

comment. Aku diem. Asik menangis.

Saat sayu-sayu kudengar kamu juga terisak di sana. Dua menit kita saling bertukar suara kesedihan.

Dan ternyata menyakitkan. Mendengarmu menangis aku tidak suka.

Menyakitkan.

"Aku jahat ya Nat. Aku brengsek. Jahat aku Nat. Kamu nggak pantes aku giniin. Tai emang aku."

"Udah Gi. Tahu udah punya pasangan, malam ini, aku bersyukur. Makasih sudah mau jujur sama aku."

Kudengar tangismu pun makin jadi. Haha Aku benci denger kamu nangis ternyata.

"Gugi diem ah. Apa coba cowok nangis." Kali ini kucoba lebih tenang lagi. Mengatur nafas agar kata-kataku terucap tanpa terpotong. Berhasil. Agak.

"Aku nggak mau berhenti komunikasi sama kamu Nat. Aku mau kita tetap ngobrol. Seminggu lagi? Setahun lagi? Aku nggak mau kita kaya gini. Tapi kalau dilanjutin, aku nyakitin kalian berdua.”

Kini tangismu lebih besar. Seolah-olah aku yang selingkuhin kamu. Brengsek.

"Gi aku ngerti. Udah. Stop. Jangan nangis lagi. Pokoknya aku seneng kamu jujur. Makasih. " Sekali lagi kata-kataku terpotong tangis.

"Nat, please jangan nangis lagi. Aku nggak pantes kamu tangisin." Halah.

"Aku tahu tapi aku nggak bisa berhenti Gi nangisnya. Kamu sih nangis mulu. Harusnya kamu lega. Kamu bisa fokus ke dia lagi."

"Tapi aku udah buat kamu nangis Nat. Aku brengsek. Kamu nggak pantes diperlakuin seperti ini."

Aku menarik nafasku. Mengaturnya. Menenangkan diri sendiri.

Menurutku cukup. Kamu udah bohongin aku, nggak pantes kalau sekarang kamu ngasihanin aku.

"Udahlah Gi. Doain aja biar aku cepet dapat Uda-uda ganteng. Haha," jawabku bercanda. Menyinggung Uda mengingat kamu orang Padang, yang begitu suka ketika ku panggil Uda.

Kudengar kamu cekikikan sesaat, sebelum akhirnya terdiam lagi. Pria Padang ini, entah apa yang sedang kamu pikirkan, kuharap candaanku barusan bisa menenangkanmu.

"Yaudah Gi, kamu sehat-sehat. Semoga kerjaan kamu lancar. Sukseslah pokoknya." Dengan sisa-sisa tangis yang masih bisa keluar. Brengsek.

"Kamu juga Nat. Bahagia ya."

"Iyalah. Masa kamu aja yang bahagia. Bye Gi."

Kututup telepon itu,sebelum kamu denger aku nangis lagi.

Sialnya malem ini, sakit hati terasa lebih menyakitkan. Mungkin karena kita belum pernah bertemu sebelumnya. Nelpon pun baru tadi. Ada ketidakrelaan-ketidakrelaaan kecil yang masih mengganjal.

Hpku bunyi. Line dari kamu.

"Please izininin aku buat denger suara kamu lagi."

Setelahnya kamu nelpon. Tidak ku hitung. Tidak ku angkat. Hingga aku memutuskan untuk membalas Linemu.

"Kita udahin aja Gi. Bener kata kamu. Ini nggak bakal berhasil. Tapi aku pengen kamu tahu, apapun yang kamu bilang ke aku malem ini, itu nggak ngurangin sedikitpun perasaan aku." 

"Tapi aku sayang sama kamu. Nggak bohong."

"Aku tahu. Makanya kamu jujur."

"Please Nat, kasih aku waktu lebih lama buat ngobrol sama kamu."

"Mau bahas apa lagi?"

"Denger nafas kamu aja aku udah seneng Nat. Please." Brengsek. Perasaan tidak rela itu makin membucah. Hingga aku kehilangan akal sehat, untuk sepersekian detik.

"Boleh aku liat foto kamu sama dia?" Aku meminta.

"Buat apa Nat? Aku nggak mau nyakitin kamu."

"Mungkin kalau aku lihat kamu bahagia sama dia, aku bakal relain kamu."

"Nggak. Itu bakal nyakitin kamu."

"Tapi aku bakal cepet moveon Gi." Kali ini aku yang memohon.

"Nggak! Aku nggak mau nyakitin kamu lebih dari ini. Cukup kamu tahu aku bahagia sama dia."

Sekali lagi aku tercegat. Tahu kamu nggak bakal ngirimin, entahlah. Ada perasaan kalah yang aku rasain.

Sampai akhirnya aku ngalah. Dan ngirimin kamu setumpuk chat di line.

Kamu nggak mau ngirim?

Fine! Nggak apa-apa. Aku nggak pernah nuntut apapun ke kamu.

Tapi malam ini tebak siapa yang memohon Gi? Memohon buat kamu sakitin lebih?

Aku!

You are such a beautiful breaker Gi.

Pecundang.

Kenal kamu, buang-buang waktu.

SENT!

Setelah mastiin kamu langsung baca chat panjang itu, keputusan selanjutnya adalah....

Block.

Lalu.....

Nangis.

Nangis sebodoh-bodohnya orang patah hati. Malem itu seperti ada perasaanku yang dengan sengaja aku hancurkan sendiri tapi lewat tanganmu.

Ingin rasanya menelan ego mentah-mentah, kemudian menelponmu. Memaksamu untuk menjadi pendosa yang terlanjur.

Pendosa yang nggak setia. Kalau memang sayangmu ke dia terlalu besar hingga kamu nggak mampu ngelepasin dia, maka nggak ada pilihan lain selain minta untuk berdosa bersamaku. Mungkin dalam dosa-dosa yang kita sengaja kelak, kita bisa berdoa. Untuk di ampuni, juga di jodohkan.

Tapi nggak. Ternyata aku wanita yang cukup baik. Wanita yang percaya bahwa menyakiti wanita lain dengan sengaja adalah suatu ketidakperluan, meski sempat aku lakuin.

Maka malam ini dengan mantap, aku ngelepasin juga ikhlasin kamu.

Bahagia ya sama dia.

Selamanya kalau perlu.

Aku nggak mau kamu kelak balik, hanya buat nyoba lagi.

Karena saat itu, mungkin, langkahku, sebagaimana kerasnyapun kamu paksain, nggak bakal bisa seirama sama langkah kamu lagi.

Lantas aku nangis. Lupa aku sedang berada dimana. Kuharap mbak Ana punya modal lebih dulu untuk memfasilitasi ruangan ini dengan pengedap suara. Minimal kecengenganku nggak kedengaran tamu lain.

Tapi no, keesokan harinya, jam sarapan,  ketika aku duduk di meja makan, sambil memegang segelas kopi item panas di tangan kananku,

Seseorang yang keluar dari kamar sebelah menyapa.

"Nggak baik habis nangis langsung minum kafein. Nih minum air putih dulu," sapanya, dengan suara bariton yang dalam.

Ah Gugiiiiii, kuharap pagi ini ban kendaraanmu pecah dan jauh dari bengkel.

Aamiin.

Related chapters

  • OUCH IT'S YOU   [ 4 ]

    Aku melipat kedua bibirku ke dalam sambil mendongak. Menahan ekspresi yang demi Tuhan aku sedang malu semalu-malunya.Dan pria itu di sana. Dengan Lengan kirinya terjulur menawarkan sebotol air mineral yang ada rasa manis-manisnya.Aku menelan ludah dengan susah payah, sebelum akhirnya menerima uluran botol itu."Jadi kedengeran ya?" Kataku membuka percakapan yang tidak kuinginkan ini."Banget." Jawabnya singkat sambil menarik kursi makan di depanku, dan duduk di sana. Mengambil selembar roti, kemudian menggigitnya. Tanpa selai, dan tanpa malu-malu menatapku."Well, I thought there's some kind of soundproof.""Nope, there's not." Jawabnya sekali lagi, singkat dan mulai menjengkelkan. Tatapannya itu. Gelengannya juga."Well, sorry. And oh, thank you." Ucapku seraya berdiri dan menggoyangkan botol minuman itu, kemudian berbalik dan masuk ke kamarku. Memalukan. Mbak Anaaaaaa....Tapi dia!Hey!Kebetulan macam apa ini!Pria di kedai kopi kemarin, pria brewok dan berkacamata itu, kenapa di

    Last Updated : 2024-02-21
  • OUCH IT'S YOU   [ 5 ]

    Aku baru saja menyuapkan sendok terakhir makan siangku hari ini ketika seorang wanita berteriak di pintu masuk, memanggil nama seseorang. Yang jika kulihat dari ekspresi pria yang tengah duduk di depanku, kemungkinan besar, wanita itu memanggilnya. "BEN! YOU KIDDING ME? APA-APAAN INI? KAMU NGGAK NGANGKAT TELEPON AKU, WA AKU NGGAK KAMU BALAS SATUPUN, TERUS TAHU-TAHU SEKARANG INI ALASANNYA? IYA? MAKAN SIANG SAMA CEWEK LAIN! SIAPA NI CEWEK? PEREK KAMU?" Mie goreng jawa yang rasanya ternyata memang lebih enak dari mie goreng jawa di kantorku itu dengan susah payah kutelan ketika mendapati diriku jadi pusat amukan seseorang, dan pusat perhatian seisi ruangan. Aku menatapnya. Pria itu. "Kamu yang namanya Ben?" Tanyaku sambil meneguk es jeruk dengan setenang mungkin. Mengkonfirmasi saat baru sadar kami berdua bahkan belum berkenalan satu sama lain. Bagaimana mungkin aku mau-mau aja diajak makan oleh orang yang namanya aja belum aku tahu? Dan ya, dia mengangguk. Ben mengangguk. "Is she

    Last Updated : 2024-02-28
  • OUCH IT'S YOU   [ 6 ]

    Melihat Ben yang masih tidak bergeming, aku menarik tanganku dari genggamnya. "Ben?" "Hm?" “You ok?” Ben mengangguk meyakinkan. “Ben..” Panggilku sekali lagi. “Hm?” "Pengen desert." Ucapku membuka topik baru. Apapun, karena aku engap berdua saja dalam lift dengan keadaan yang aneh ini. "Tadikan udah." "Yang mana?" Ini bukan pura-pura bodoh. Tapi memang aku nggak inget apapun soal makanan penutup. Yang mana yang dia maksud dessert tadi? Momen kita dilabrak mantannyakah? "Es jeruk." Keterlaluan. "Itu minuman Ben." Ben akhirnya tertawa.Ah leganya. "Aku traktir desert besok ya. Boleh?" Kuangguki setuju. Sesampainya di lantai yang Ben tuju, kami berjalan keluar dengan tidak lagi berpegangan tangan. Ah sayang sekali. Aku melihat plang yang di gantung di salah satu sisi.Ada nama kantor Ben di situ. Kami berjalan menelusuri sekat-sekat hingga berhenti di depan sebuah pintu kaca di ujung ruangan. Ben membukanya dan mempersilahkanku masuk. "Ini ruangan kamu?" "Bukan. Jabata

    Last Updated : 2024-02-28
  • OUCH IT'S YOU   [ 7 ]

    Ben mengantarku pulang. Ke kantor.Di perjalanan kami berdua nggak ngobrol banyak sejak kecupan dan ketukan itu. Bahkan sesampainya di apartemen, aku langsung mandi, uring-uringan, berguling-guling kesana kemari seperti adonan moci di tepung kacang, sampai hpku bunyi. Telepon masuk. Ben."Hm?" Sapaku nggak semangat."Assalamualaikum kek Nat.""Waalaikumsalam.""Lagi apa?" Tanyanya ragu."Uring-uringan." Jawabku jujur."Maaf soal yang tadi.""Yang mana?""Jangan judes makanya biar aku nggak takut jelasinnya."Aku hampir ngakak. Apa iya aku judes? Tapi pas ngomong gitu dia lucu. Cakep pula.."Iya Ben. Minta maaf soal yang mana? Gitu?""Iya gitu Nat." Sambungnya ketika mendengar intonasiku lebih halus."Yaudah jawab.""Tapi kamu pasti tahulah aku mau minta maaf soal apa.""Kamu kalau nggak niat minta maaf, nggak usah nelepon!" Bentakku.Dan sedetik sebelum telepon dari Ben kuputuskan, aku mendengar pria itu berbicara di ujung sana."Maafin aku udah nyium kamu tanpa izin. Maafin aku udah

    Last Updated : 2024-02-29
  • OUCH IT'S YOU   [ 8 ]

    Besoknya sesuai apa yang Ben bilang, dia benar-benar menjemputku makan siang lagi. Kami makan di resto dekat kantorku. Siang itu Ben nggak menggunakan baju seformal kemarin."Kamu nggak ngantor?""Kenapa?""Nggak pake dasi.""Emang aku CEO pake dasi mulu?""Aamiin.""Kamu mau punya suami CEO?""Maulah.""Yaudah kalau gitu aku bakal jadi CEO."Aku tersedak. Ben senyum cepat-cepat membukakan segel botol air."Jangan gitu lagi.""Gimana?" Tanyanya menyebalkan. Nggak menganggapiku serius."Kamu kalau ngomong suka nggak mikir ya Ben?""Iya. Perihal kamu, semuanya dari hati. Nggak perlu dipikir dulu." Ucap Ben lanjut menyuapi bibirnya dengan sepotong pizza dengan toping entahlah aku lupa tadi dia pesan apa.“Oh sure, bullshit,”“Hahahahha, kita lihat nanti.” Ucapnya entah bermakna apa.Aku mengamatinya diam-diam. Siapa tahu ada clue dari ekspresinya tentang siapa dia, apa maunya. Apapun. Kenapa Tuhan bisa kepikiran pertemuin aku dengan Ben.Tapi bagiku, mungkin seperti itulah Ben. Dia denga

    Last Updated : 2024-03-01
  • OUCH IT'S YOU   [ 9 ]

    "Kamu apa-apaan sih? Keluar nggak!" kupikir-pikir, Gugi emang doyan mancing emosiku kapanpun dimanapun. Dengan alesan apapun."Nggak. Naik buruan!" Titahnya."Nggak. Kamu turun dulu. Ini mobil aku. Kamu ngapain?" aku masih nggak habis pikir, dan melototin di habis-habisan. Menolak diperintah, apalagi tunangan orang."Kamu mau naik sendiri apa harus aku paksa?""Enak banget kamu perintah-perintah! Turun!" Protesku nggak percaya dia punya keberanian memerintahku setelah semua kelakuannya belakangan ini. Hebat.Gugi mengangguk. Lalu turun. Kupikir akhirnya dia mengalah. Tapi yang terjadi adalah, pria ini menarik tanganku, kemudian dia giring naik ke kursi penumpang. Menutup pintu. Dan berlari kembali ke kursi pengemudi. Menatapku sekilas, menginjak gas, dan mobil inipun melaju. Persis adegan penculikan anak SD. Meninggalkan gedung itu. Meninggalkan gadis itu.Sudah sekian kilo kami duduk bersama. Tidak sedikitpun dia bicara."Kamu mau kemana sih Gi? Minimal jelasin!" Tanyaku kesal."

    Last Updated : 2024-03-02
  • OUCH IT'S YOU   [ 10 ]

    Oke mungkin ini salahku. Kecewaku belakangan ini, semua salahku.Bermain-main dengan perasaan yang belum sembuh. Berpikir bahwa baik-baik aja memulai secepat ini.Tapi, siapa yang bisa nolak perlakuan manis saat lagi galau? Apa lagi perlakuan itu datang dari sosok setampan Ben.Percaya deh, Ben bukan sosok yang bisa kalian hindarin gitu aja.Tatapannya yang nggak mampu untuk nggak kalian balas, ucapan-ucapan manisnya yang spontan, sentuhannya yang begitu hati-hati.Nggak butuh aku waktu lama untuk ingin tetap ada di samping Ben. Untuk ngebayangin gimana kedepannya.Serius. Ben se-magic itu.Ben tipe pria yang membuat ‘nyaman' itu mudah untuk kita rasain. Nggak tahu deh.Pokoknya, kecewaku yang kali ini pure kesalahan sendiri. Bukan salah Ben, bukan waktu.Salahku.Aku yang salah.Well, kurasa Jenata Soebandono sampai pada umur cukup dewasa untuk nggak nyalahin siapapun atas patah hatinya.Rupanya, cinta itu mendewasakan.Mendewasakan siapapun yang mau berpikir di sela-sela tangisnya,

    Last Updated : 2024-03-03
  • OUCH IT'S YOU   [ 11 ]

    “Tahu gini aku nggak dateng tadi,” bisikku ke Mbak Nana yang sedang riweuh dengan pom-pom yang dia buat dari kantor itu.“Hah? Kenapa emangnya?”“Nggak. Brisik banget!”“Ah lu-nya aja yang norak. Eh lucu kali ya kalo kita joget sambil lompat-lompat mini di depan tuh. Kayak anak puber lagi cheerleader, Nat. Tu wa ga pat, tu wa ga pat,” ucapnya percaya diri sambil mengayun-ayunkan kedua pom-pomnya naik turun, kaya mau nahan angkot.“Nggak-nggak-nggak-nggak. Gila lu Mbak,” ucapku memalingkan muka dari Mbak Nana, yang justru kemudian kusesali, karena mataku dan mata pria itu bertemu lagi. Kulihat keringatnya sedang diseka oleh tunangannya.“NAT! NATA!”“Hah? Apa?”“You oke?” Mas Rumi yang menghampiri kami di pinggir lapangan, dan langsung menyadari kemana arah mataku. “Heeeey..” Sapanya sekali lagi sambil mengelus kepala sambil merangkulku. Menarikku dari pemandangan yang nggak bagus. Untuk mata, maupun hatiku. Sekali lagi, bukan cemburu. Emosiku masih menggebu-gebu melihat tampang Gugi ya

    Last Updated : 2024-03-04

Latest chapter

  • OUCH IT'S YOU   [ 40 ]

    [ Gugi’s POV ]Terlalu bising. Ini harusnya bising yang membuatku bahagia. Tapi nggak. Aku benci bisingnya. Orang-orang lain sibuk kecuali aku. Mama yang sedari tadi bolak balik memastikan aku sudah siap dan nggak kekurangan apapun, papa yang nggak kalah sibuknya dengan Crew Wedding Organizer, dan orang-orang lain yang merasa punya kepentingan di ruang ini. Demi apapun aku nggak suka.“Raf,” panggilku pada Raffi yang standby menemaniku sejak subuh tadi. Assistenku di kantor, juga sahabatku.“Kenapa Mas?”“Pinjem HP lu dong,”“Buat?”“Gue butuh ngomong sama Nata,” bisikku.“Mas, please lu jangan aneh-aneh,” ucap Raffi memelototiku yang langsung kubalas.“HP lu. Sekarang!”Tahu watakku seperti apa, Raffi mau nggak mau minjemin HPnya.Kutekan nomor Nata yang sudah kuhapal di luar kepala itu, dengan jariku yang sedikit gemetar. Aku berjalan ke balkon. Menjauh dari kebisingan, setelah pamit ke orang-orang dengan alesan ada telepon dari salah satu klien penting. Dan harus kuangkat.Nggak ad

  • OUCH IT'S YOU   [ 39 ]

    Kalian pernah nggak sih suka tiba-tiba sibuk sama pikiran sendiri? Ngobrol sama diri sendiri? Aku sering. Seperti sekarang, saat pikiranku lagi penuh-penuhnya, lagi berisik-berisiknya.Udah banyak loh penelitian soal itu. Gimana ngobrol dengan diri sendiri, atau self talk itu bisa begitu berperan penting dengan kesehatan mental kita. Tentu saja tergantung dari yang kita obrolin itu apa. Positif kah, negatif kah.Dari banyaknya hal menyakitkan yang beterbangan di isi kepalaku belakangan, selama hamil, aku nyoba buat memilah-milah mana dan siapa yang perlu dan nggak perlu dipikirin.Dan ternyata sulit.Gugi selalu berhasil ngedobrak semua tembok pertahanan yang kubuat. Meski kini tembok itu berupa manusia sebaik Ben.Setelah kubalas chatnya malem itu dan ngeblok nomornya for good, kucoba ngejalanin hari-hariku sebagai wanita hamil tanpa suami dengan sangat percaya diri.Tapi entah kenapa, ada aja titik dimana aku tiba-tiba ngebutuhin Gugi brengsek itu. Dalam wujud apapun. Kehadirannya k

  • OUCH IT'S YOU   [ 38 ]

    “Oh,” ucapku ngembaliin HP milik Mas Rumi sambil berbalik, ngatur nafas, berjalan kembali ke kursiku. “Kirain apaan.”“Kamu tahu?”“Tahu,” ucapku bersandar pada kursi kerjaku yang empuk. Menjawab setenang mungkin.Mas Rumi menatapku. Tanpa berkedip. Aku tahu dia kahawatir. Lebih dari itu, entah apa lagi yang dia pikirin.“Oh Im good, kok Mas. Mamanya bahkan ngundang aku buat hadir,” jelasku sekali lagi. Agar temenku itu makin percaya bahwa aku sungguh baik-baik aja dengan kabar pernikahan Gugi. Cepat atau lambat, toh itu bakal terjadi. Kita semua tahu itu. Kan?“Kamu ketemu Mamanya?”“Uhum,”“Kapan?”“Di bandara, pas kita baru balik dari Singapura kemarin,”“Waktu sama Ben?” kuangguki. “Jadi kamu mau hadirin acara itu?” tanya Mas Rumi sekali lagi.Yang ini hanya kurespon dengan mengangkat kedua bahuku. Karena aku beneran masih belum tahu harus hadir apa nggak. Kuat hadir atau nggak.“Makan siang yuk Mas,” ajakku.Sebenarnya, adalah ketololan kalau aku benar-benar menghadiri pernikahan

  • OUCH IT'S YOU   [ 37 ]

    Ben sekali lagi menghabiskan seminggunya menemaniku di Yogyakarta. Nggak hanya Mamah Papah, dia juga ikut serta mendampingiku konsul kembali ke Dokter Lendro sebelum kami balik ke Jakarta berdua.Nggak mau kalah denganku, dia bahkan lebih fokus dan memperhatikan penjelasan Dokter kandungan itu dengan teliti. Mencatat semua suplemen dan segala hal yang baik untuk menunjang kesehatanku janinku dan aku. Kami juga berkesempatan ngobrol dengan salah satu bidan senior yang direkomendasiin Dokter Lendro untuk bertanya-tanya hal-hal yang mungkin saja lebih enak jika ku obralkan ke sesama perempuan.Selain itu, Mamah Papah juga ngajak ngajak kami ngelakuin kegiatan-kegiatan ringan yang bisa menghiburku juga Ben. Entah kenapa mereka berpikir Ben juga butuh dihibur. Tapi setelah kupikir-pikir, emang benar. Disini, sekarang, nggak hanya aku yang punya beban. Mereka bertiga juga memiliki beban pikiran yang nggak kutahu serumit apa hanya karena masalah-masalahku ini.Perasaan bersalah yang kerap mu

  • OUCH IT'S YOU   [ 36 ]

    Ruang makan rumah kami selain dipenuhi aroma masakan buatan Mamah yang udah sibuk di dapur sejak berjam-jam yang lalu, juga dipenuhi alunan instrumen Sunda yang samar-samar. Salah satu hobby Papah. Menurutnya, makan sambil dengerin instrumen Sunda ngerasa dia makan di kampung halamannya. Dan nggak ada yang protes, walaupun aku kurang suka makan diiringin suara suling.“Assalamualaikum Mah, Pah,” salamku sedikit keras. Berusaha menarik perhatian kedua pasangan yang lagi sibuk Nata piring itu.“Waalaikumsalam. Eeh udah pada dateng? Ayo-ayo sini nak, kita langsung makan ya. Takut keburu dingin supnya,” ucap Papah menghampiriku dan Ben.Aku memeluknya sebentar, sebelum dia beralih ke Ben. Ben tertunduk menyalim Papah, sambil Papah puk-puk punggungnya ringan. Aku berjalan lebih dulu ke meja makan sebelum kemudian mereka susul.Kuperkenalkan Ben secara resmi dan singkat ke kedua orang tuaku. Sepanjang sarapan bareng yang hangat itu, kulihat gimana antusias Ben ngobrol dengan Mamah Papah, sa

  • OUCH IT'S YOU   [ 35 ]

    Menjadi seorang Ibu tanpa suami, apa aku mampu?Lagi, kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan. Aku nggak fokus ngedengarin penjelasan dan obrolan orang tuaku bersama Dokter Lendro. Satu tanganku turun mengelus perutku, sedang tanganku yang lain digenggam Mamah.Malam ini berat. Tapi ringan berkat mereka.Sesampainya di rumah, aku masuk kamar yang sudah beberapa lama nggak kutempati. Nggak ada yang berubah. Kuyakin Mamah Papah repot ngebersihin kamar ini sejak pagi.Kunyalakan kembali Ponselku. Beberapa pesan masuk, nggak kuperdulikan. Mataku fokus pada Ben. Dia mengirimiku beberapa chat. Mengabari kegiatannya, juga menyampaikan khawatirnya.Kutelpon.“Nat? Assalamualaikum. Kamu dimana sekarang? Kok hp kamu baru nyala?”“Waalaikumsalam Ben. Maaf ya. Tadi ngurus sesuatu dulu.”“Gimana? You oke now?”“Aku perlu ngasih tahu kamu sesuatu Ben,”“Please jangan bilang kamu dijodohin di sana. Malam ini juga aku jemput kamu kalau sampai benar!”“Hahaha. Kamu pikir segampang itu jodohin anak jaman s

  • OUCH IT'S YOU   [ 34 ]

    Suasana jalan siang ini cukup padat. Perjalanan menuju kantor kutempuh dengan perasaan yang bingung dan banyak takutnya. Kalian tahu betul alasannya apa. Aku nggak mau nyimpulin apapun di luar sepengetahuanku. Yang jelas, yang kutahu, sangat wajar jika seorang wanita dewasa mengalami terlambat datang bulan. Iyakan? Maksudku, nggak semua yang telat menstruasi itu hamil. Nggak perlu panik, nggak perlu takut. Aku juga nyoba buat kerja senormal mungkin. Mencari distraksi agar fokusku terpecah ke hal-hal lain. Seperti memperhatikan teman-teman kerjaku yang sedang santai. Beberapa bahkan asik ngobrol satu sama lain perihal kerjaan atau pasangan mereka masing-masing, sampai rasa itu muncul di satu pagi. Mual yang kurasa sejak bangun tidur dua hari belakangan ini, membuat pikiranku makin kacau. Aku nyoba mikirin kemungkinan-kemungkinan lain. Maagku kambuh misalnya. Atau efek dari makanan yang kukonsumsi di malam sebelumnya. Semua selalu dipatahkan dengan mual yang kembali muncul, lagi dan

  • OUCH IT'S YOU   [ 33 ]

    Mencoba menyembunyikan panikku, aku berdehem dengan susah payah, lalu tertawa. Sungguh sebuah tawa yang juga susah.“Hm? Kok bisa? Haha,” nggak tau harus tersinggung atau gimana.“Waktu aku awal-awal hamil dia nih, aura aku kaya kamu persis. Kelihatan capek banget, kaya kurang tidur. Bawaannya lemes.”“Oh hahahhha. This, is what work did to me Mbak,” ucapku menjelaskan sambil menujuk wajahku sendiri.Kami sempat ngobrol beberapa saat, sebelum Mbak-Mbak itu meminta maaf sekali lagi pada akhirnya. Mungkin dia bisa melihat kepanikan dari wajahku. Ia kemudian berlalu. Pamit untuk mencari suaminya.Aku melanjutkan kegiatan ini hingga rampung dan bersiap pulang. Vipa mengantarku sampai di unit. Memastikanku sampai di tempat tujuan dengan aman.Ku bereskan semua belanjaan. Menempatkannya di tempat yang seharusnya. Setelah semua rapi, entah kenapa, kalimat di supermarket tadi terlintas kembali di kepalaku.Gimana mungkin seseorang mengira aku sedang hamil. Kuraba perutku yang rata. Cepat-cepa

  • OUCH IT'S YOU   [ 32 ]

    Aku bangun dengan keadaan yang, sebut saja berantakan. Rambutku yang awut-awutan, mataku yang bengkak, dan badanku yang terasa lemas. Ternyata nyakitin orang itu semelelahkan ini ya? Kok banyak yang doyan ngelakuin itu?Aku berjalan keluar kamar, menuju balkon. Menyibakkan tirai berwarna abu tua yang juga belum pernah kucuci sejak kubeli setahun lalu. Pandanganku jauh melihat langit di luar. Pagi ini mendungnya enak.Setelah beres mengamati cuaca Jakarta, aku berjalan ke arah westafel. Mencuci mukaku, sebelum mengambil dan meneguk segelas air putih. Mataku menangkap gelas yang digunakan Gugi tadi malam. Belum kucuci. Masih bertengger manis di meja depanku, sedang orangnya sudah pergi. Sudah benci.Saat sibuk dengan isi kepala, kudengar pintu unitku diketuk.“JENATAAAAAAAAAAA, BUKAAAAA!”Kalau kamu dengar teriakan itu langsung, minimal ritme jantungmu sedikit mengencang. Sensasinya seperti diteriakin Guru BP pas lagi usaha manjat pagar samping sekolah.“Utang lu banyak ya ke gue!” sempr

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status