“Abang ngomong apa, sih?” tukas Renata sembari membuang muka. Wajahnya terasa panas. Sudah lama tidak ada lelaki yang memujinya dengan tulus.
Satria segera menyadari kelancangannya. “Oh, maaf. Saya tidak bermaksud tidak sopan. Tadi itu hanya spontanitas. Jangan marah, ya?”
“Enggak apa–apa, kok. Abang nggak salah. Saya yang terlalu sensitif.” Renata berusaha menutupi perasaan yang sesungguhnya.
“Maaf,” pinta Satria dengan lirih.
Renata tersenyum. “Jangan jadi sungkan, ah. Saya malah nggak enak sama Abang.”
Film horor yang mereka saksikan memakan waktu hampir tiga jam. Renata bersyukur akhirnya bisa keluar dari gedung, terutama karena ia tidak perlu menyaksikan usaha Ines menarik perhatian Satria.“Ya, ampun, kamu pintar memilih film. Aku hampir nggak berani membuka mata. Hantunya serem banget. Ya nggak, Ta?” tanya Ines seraya menepuk tangan temannya.“Lebih serem teriakanmu,” sahut Renata ketus. Bagaimana tidak? Ines sengaja bergaya penakut, kemudian memiringkan badannya ke arah Satria. Benar – benar mencari kesempatan. Padahal pilihan menonton film horor adalah idenya. Ia yang seharusnya memekik - mekik begitu. Saat masih pacaran dulu, strategi ini sukses memancing pelukan Bagastya.
Renata baru ingat ia dan Bagastya memang tidak pernah secara khusus membicarakan tentang komitmen pernikahan mereka. Renata hanya meminta Bagastya tidak melakukan poligami, akan tetapi tidak membicarakan hal – hal lain. Padahal sebelum menikah, mereka telah berpacaran selama tiga tahun. Apa saja yang mereka lakukan selama masa itu? Apakah hanya bermain – main saja?“Menikah asal- asalan, ya Bang?” Renata kembali meringis.Satria tersenyum lebar. “Saya juga bukan ahlinya, Renata. Tapi itulah yang saya dan Karina lakukan sebelum menikah, yaitu membicarakan komitmen. Dan kami berhasil sampai … semuanya berakhir ketika Karina berpulang.”“
Bagastya termangu di samping tempat tidur rumah sakit di mana sang ibu terbaring. Wajah wanita itu terlihat pias dan bibirnya sangat pucat. Sebuah selang yang mengalirkan darah tambahan tengah terpasang. Ia tak menyangka kondisi ibunya bisa turun secepat ini. Saat ia tinggalkan hari Jumat pagi lalu, wanita itu masih lebih segar walaupun memang kurus.Diam – diam Bagastya menyesal, mengapa berbohong menggunakan alasan kesehatan sang ibu. Sekarang wanita itu benar – benar perdarahan. Mana deras pula. Setiap bergerak, cairan merah segar mengalir ke kedua paha. Kalau tidak ingat bahwa dirinya adalah satu – satunya sandaran sang ibu, barangkali ia sudah pingsan melihat darah berceceran sebanyak itu.Lastri merintih perlahan. Kantong darah ke
Bagastya mengucapkan permintaan maaf dengan sepenuh hati. Renata pasti sudah muak dan sebentar lagi mereka akan terlibat perdebatan. Biarlah. Memang dirinya pantas untuk dimarahi. Di seberang, Renata yang mendengar permintaan maaf untuk ke sekian kali itu menjadi gusar. “Untuk apa kamu meminta maaf terus kalau tidak pernah memperbaiki sikapmu?” katanya dengan nada datar.“Aku juga minta maaf karena tidak bisa berubah sesuai keinginanmu,” jawab Bagastya sekenanya.Renata merengut. “Kalau tidak mau berubah, cepat diurus perceraian kita!” Renata mengatakan itu dengan hati yang perih.“Aku minta maaf juga untuk itu.”
Petang itu cuaca cerah. Langit berawan tetapi matahari bersinar cerah. Saat telah bergeser ke barat, berkas sinarnya meninggalkan jejak berwarna jingga yang indah. Semuanya seolah menyambut datangnya babak baru dalam hidup Bagastya.Sepulang dari kantor, Bagastya bergegas menuju rumah sakit tempat ibunya dirawat. Hari ini adalah hari yang berat karena adaptasi di tempat tugas yang baru. Kepalanya sungguh berat. Niatnya setelah sampai adalah mandi dan membaringkan badan sejenak sebelum makan malam. Ia tidak tahu bahwa Dewi telah menyiapkan pernikahan mereka di kamar perawatan sang ibu.Saat masuk ke kamar ibunya, ia heran. Ternyata kamar itu penuh dengan orang - orang. Yang membuatnya semakin bingung adalah penampilan mereka yang mengenakan baju rapi layaknya m
Renata tidak tahu di mana kakinya berpijak. Pemandangan Bagastya yang berkerudung berdua dengan Dewi membuatnya sulit bernapas. Benar, ia ingin bercerai. Ia telah mengetahui perselingkuhan mereka sejak lama. Ia juga beberapa kali mendapati mereka jalan berdua. Akan tetapi, memergoki pria itu menikah diam-diam di belakangnya, tetap saja bagai menerima hantaman batang kelapa. “Kurang ajar, kurang ajar! Ya, ampuuun! Mama bisa kena serangan jantung kalau begini!” Hetty mencak-mencak sepanjang jalan menuju parkiran.“Mama tidak sangka, ibunya malah mendukung. Ibu macam apa itu? Apa dia lupa kalau dia juga perempuan? Sudah sakit parah, bukannya minta ampun malah membuat dosa!” Hetty menepuk-nepuk dada beberapa kali. “Amit-amiiiiitttt!”
Melihat Renata lebih tenang, Satria beranjak dari ranjang dan beralih ke kursi. “Mau aku ambilkan minum?”Renata mengangguk. “Makasih sekali lagi, Bang.”“Jangan sungkan. Kita kan tetanggaan. Mau minum apa?”“Apa aja asal hangat.”“Gimana kalau kopi? Mmm, kalian punya kopi, kan? Kalau enggak, aku ambil dari rumah.”Renata balas tersenyum. “Punya, Bang. Minta sama Lea aja.”Satria ter
Bagastya mengerang lirih saat memperbaiki posisi duduknya di mobil. Dari balik kemudi, ia masih bisa melihat Satria berdiri di jendela kamar. Ekspresi wajah lelaki itu tidak jelas karena cahaya terang yang berasal dari lampu di belakangnya. Walau hanya siluet yang terlihat, Bagastya bisa menduga pria itu tengah tersenyum. Segores rasa dingin menyusup di hati. Firasatnya mengatakan dirinya akan berurusan dengan orang itu di kemudian hari.Bagastya mengusap darah dari hidung dengan tisu. Sesudah itu ia menjalankan mobil meninggalkan kompleks. Segera terbayang apa yang akan dihadapi di rumah sakit nanti. Bagastya mendesah keras. Barangkali ia akan menerima pukulan pula di sana.Saat sampai di ruang perawatan sang ibu, jam besuk telah habis. Bagastya menggunakan k
Selama seminggu menjadi pacar Satria, Renata mengamati bahwa Ines masih setia mengirim makanan ke sebelah melalui pembantunya. Kadang berupa serenteng rantang. Renata menemukan rantang-rantang kotor itu di tempat cuci Satria. Tak jarang berupa makanan yang dipesan secara online. Renata tahu dari bungkus bekas yang dibuang di tempat sampah. Ada sedikit kekecewaan, namun ia tidak berani menuduh sembarangan. Lagi pula, rasanya tidak mungkin Satria menduakan hati saat sedang panas-panasnya menjadi sepasang kekasih.Pagi ini Renata tak mau kalah. Sebelum subuh ia telah sibuk di dapur. Apa lagi kalau bukan membuat lumpia andalan ala Renata itu. Jam enam pagi, ia sudah siap dengan piring bertutup tisu di mana enam batang lumpia yang masih panas tertata rapi, lengkap dengan saus asam pedas.
Bagas membelokkan mobil ke area perkantoran tempat Renata bekerja yang berupa deretan ruko tiga lantai. Ia sudah berusaha datang secepat mungkin agar tidak berselisih jalan dengan istrinya. Ia ingin makan siang berdua, setelah itu menghadap Pak Fahri untuk pemeriksaan.Bagas menyeringai. Biarkan saja Alfian memaksa untuk membuat surat permohonan. Siapa bilang seorang Bagas kehabisan strategi? Tadi pagi, ia sudah menghadap bosnya, yaitu Kepala Bappeda. Dengan segala cara, ia mengiba agar sang atasan bisa membantu untuk memperlambat proses perceraian, bahkan kalau bisa digagalkan. Sebelum menjadi anak buah pria itu, ia sudah tahu bahwa Pak Fahri adalah penganut paham kesetiaan pada keluarga karena kerap berjumpa saat pertemuan di Kantor Pemda.Mata Bagas beredar
Renata tengah menikmati hari-hari yang penuh bunga. Siang itu, ia duduk berdampingan dengan Satria sembari menghadap sebuah layar monitor besar. Menjelang siang, pria itu tiba - tiba muncul tanpa memberitahu sebelumnya. Sebuah kejutan yang menyenangkan.“Ini pergerakan harga saham saat ini, Bang. Kelihatan dari angka – angka dan grafik yang berubah setiap saat,” terang Renata sembari menunjukkan sesuatu di dalam layar monitor.“Hmm, berubah terus. Kapan berhentinya?” tanya Satria seraya mengerutkan kening.“Ya enggak berhenti, Bang, sampai jam transaksi selesai, atau bursanya ditutup,” sahut Renata dengan sabar dan setengah geli. Selalu begini menghadapi orang baru, perlu kesabaran untuk membuat mereka paham. “Makanya ikutan workshop biar tahu dasar – dasarnya.”“Workshop sama kamu aja, ya?” bisik Satria di telinga Renata. “Oh, jangan! Kalau sama kamu aja nanti jadinya lain.&rdq
Renata mengerjap karena kaget. Walau sepanjang jalan tadi sudah bisa menduga perasaan Satria dari perilakunya, tetap saja, ungkapan perasaan yang terdiri atas tiga kata itu membuat otaknya membeku.“Aku enggak salah dengar? Abang enggak sedang mengigau?” mulut Renata mencerocos begitu saja.“Apa aku kelihatan sedang mengigau atau tidak sadar?” ujar Satria.Renata mengerjap kembali. “Tapi ini kan ….”“Tapi kenapa? Kamu tidak suka? Aku minta maaf kalau begitu. Kamu bebas untuk menolak dan urusan selesai.”
Kompleks pemakaman kelas atas di daerah Karawang itu ditata menjadi taman alam yang indah sehingga keseraman sebuah pemakaman terkikis. Walau demikian, tetap saja aura dingin tempat itu membuat Renata merinding. Ditambah perkataan Satria baru saja, Renata serasa ingin menggigil.Tatapan kengerian Renata menyadarkan Satria. Tidak seharusnya membuat wanita itu semakin pilu dengan perkataan tentang kematian. “Tapi benar kan, hidup itu penuh misteri dan singkat?” sanggahnya disertai senyum lebar yang terkembang.Melihat senyum itu, Renata menjadi yakin dirinya tengah digoda. “Iiih! Tapi kalau diomongin di waktu begini nyeremin, Bang,” keluh Renata.“Kamu mem
Bagastya sengaja berangkat lebih pagi. Ia ingin menemui Renata. Kebetulan, dari rumah sakit tempat ibunya dirawat di daerah Lippo Karawaci menuju kantor harus melalui kompleks rumah istrinya. Bagastya memarkir mobil agak jauh, kemudian berjalan kaki ke tujuan. Baru sampai di depan gerbang, ia melihat Renata keluar dari rumah Satria. Hatinya langsung memanas dan nyeri.“Renata!” Ia bergegas menghampiri. Wanita itu terperanjat mengetahui dirinya datang. Bagastya semakin curiga.“Kamu? Ngapain ke sini?” sentak Renata. Kepalanya berdenyut karena bisa menduga maksud suaminya. Pasti Bagastya berusaha membatalkan perceraian mereka.“Ngapain kamu keluar dari rum
Pagi-pagi, Renata ke dapur untuk memanaskan bebek yang dibeli semalam. Rencananya akan diantar ke rumah sebelah. Mata dan hidungnya berair akibat terkena terkena uap sambal level sepuluh. Ia geli sendiri membayangkan reaksi Satria bila memakannya.Pukul enam lewat sedikit, Renata membawa piring berisi bebek keluar rumah. Baru melewati gerbang, matanya terpaku pada sosok wanita yang tengah berdiri di luar pagar rumah Satria. Siapa lagi kalau bukan Ines!Renata hampir saja memanggil janda cantik itu. Niatnya tertahan saat menyadari bahwa tindak tanduk Ines tidak seperti biasa. Tangan wanita cantik itu menenteng tas plastik hitam. Ia tidak segera membunyikan bel, malah berdiri di ujung pagar, di tanah kosong yang memisahkan rumah Satria dengan rumah ibu Renata. Posisi Ines membelakangi Renata sehingga ia tidak tahu gerak-geriknya tengah di
Sejak semalam, Bagastya memutar kembali peristiwa yang terjadi setahun lalu hingga tiga minggu terakhir. Dua kali sudah ia nyaris menikah dan gagal. Pertama, gagal karena penyakit ibunya. Selama ini, kanker rahim itulah yang mendorong dirinya untuk mencari istri kedua. Bila ternyata penyakit itu pula yang telah menggagalkan ijab kabulnya, pertanda apakah itu? Kegagalan kedua akibat kedatangan Renata. Bagaimana ia bisa menikah saat istrinya nyaris pingsan? Ia masih manusia yang memiliki nurani.Bulu kuduk Bagastya merinding. Tidak ada kejadian yang melulu kebetulan, bukan? Bukankah hati kecilnya memang gamang bila menyangkut pernikahan kedua? Tidakkah semua yang terjadi itu adalah upaya semesta untuk mencegahnya berbuat sesuatu yang melawan hati nurani?Bagastya kembali ke rumah sakit dengan lunglai. Bukan cuma bekas pukulan Dodi yang te
Satria telah menunggu di ruang tamu kantor saat Renata pulang. Wajah rupawan dan tubuh yang atletis, serta kulit yang kuning terang terlihat serasi dengan kemeja hitam bergaris dan celana kain hitam. Agaknya Satria memang gemar mengenakan pakaian serba gelap. Warna – warna serba tua itu bukan membuat penampilan si duda muda menyeramkan, justru semakin menonjolkan aura maskulinnya.“Kita ke mana?” tanyanya.“Abang suka makan apa?” Renata balik bertanya.“Gimana kalau mencoba sesuatu yang lain?”“Apa itu, Bang?”