"Oke oke, jadi gimana? langsung kita mulai aja?"
Aku keluar dari kamar.
Semua orang sudah berkumpul di rumahku. Setidaknya sampai adikku juga ikut bergabung dalam diskusi ini. Semua orang tampak serius. Belum juga dimulai, aku sudah mempunya prasangka buruk tentang dua teman Zulfa ini. Kenapa mereka yang awalnya mendukung Zulfa mendadak ikut dengan diskusi ini yang sudah jelas jelas akan membicarakan sahabatnya itu. Apakah sebelumnya mereka berdua tidak diberitahu oleh yang lain tentang apa yang akan kita bahas sekarang?.
"Eh iya, kalian temannya Zulfa kan? Nama kalian siapa?" Aku memulai percakapan.
"Namaku Zahra, dan dia Alika. Rumah kami berdekatan, jadi kami selalu berangkat sekolah bersama-sama" Ujar salah satu dari mereka.
"Lalu kalian mulai kenal Zulfa dari kapan?" Tanya Hana.
"Sekitar tiga tahun lalu, pas baru pertama kali kita masuk SMK. Awalnya aku sama Zahra yang udah temenan dari kecil suka pulang bareng. Pas baru nyampe rumah, ada tetangga pindahan yang seumuran sama kita yaitu Zulfa" Jelas Alika.
"Lalu udah itu gim-".
"Eh udahlah jangan banyak basa-basi, langsung aja ke inti diskusinya" Teman Ze memotong perkataan Erin.
"Eh ngomong-ngomong kalian berdua siapa sih? dari kemarin ngikut mulu kenal kagak" Sambung Hana.
"JJ, nama panggilanku. Dia DD".
"Wah keren juga nama anak buahmu Ze, emang kepanjangannya apa?" Tanya Erin.
"Jajang sama Dadang".
"Pffttt... Bwuahahaha" Kita bertiga tertawa.
"Lah kukira JJ itu singkatan kayak Jhona jamesons atau apa gitu.. Hahaha" Erin menahan tawa.
Kita semua tertawa seakan sudah lupa tujuan awal kita berkumpul disini adalah untuk membiacarakan tentang masalah Zulfa kemarin. Tapi dengan melihat mereka tertawa seperti ini, menurutku tidak terlalu buruk.
Hari yang biasanya terlihat abu abu, sekarang sedikit berwarna. Setidaknya sekarang aku bisa mulai untuk berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya.
"Oh iya... Kita kan mau ngomongin kasus Zulfa kemarin" Ujar Ze.
"Nah iya, bukannya Erika mau nanya sesuatu ke mereka berdua?" Sambung Jajang.
"Lah mana ada? kan kalian yang bawa mereka. Aku mau nanya nya ke Ze sama kalian berdua doang" Aku mengelak.
"Terus emang mau nanya apaan? bukannya kemarin udah kita jawab semua?" Ujar Dadang.
"Nah itu, aku mau tanya kenapa Zulfa bisa punya luka lebam padahal kalian gak mukul sama sekali?" Sambungku.
"Ya mana kita tau, kemarin kita udah jawab kan? coba tanya sama mereka berdua" Ujar Ze sambil menunjuk Zahra dan Alika.
"Sebenarnya kami juga gak tau, seminggu ini Zulfa jarang banget bareng sama kita. Cuman pas kemarin kita gak sengaja lihat Zulfa nangis di depan kelas, kita langsung samperin dia. Hari ini juga dia gak sekolah ya kan Ze?" Alika mulai menjelaskan.
"Nah, mereka juga tau kan kita gak ngapa-ngapain si Zulfa" Sambung Ze.
"Argh! Makin pusing aja..." Hana mulai merebahkan badannya ke sofa.
"Eh iya Erin?! Kamu kemarin kan nelfon kita malem-malem ngomongin Zulfa sambil teriak terus tiba-tiba keputus. Itu kenapa?!" Aku baru mengingatnya.
"Ah iya, kemarin kan aku pulang telat karena masih ngerjain tugas. Terus sekitar jam setengah enam aku ngelihat Zulfa jalan bareng dua cowok. Mereka pergi ke taman belakang sekolah" Erin menjelaskan.
"Bentar dulu... Kamu kok bisa yakin kalo itu Zulfa?" Tanya Zahra.
"Aku lihat tasnya, warna merah kan?" Jawab Erin.
"Iya... Jangan jangan bener kalo itu Zulfa?" Ze menambahkan.
"Kalian yakin? di sekolah ini yang punya tas merah bukan Zulfa doang loh..." Ujar Alika.
"Ya tapi dari postur tubuh juga aku bisa tau kalo itu Zulfa?" Erin terus membantah.
"Kalo untuk postur tubuh, postur tubuh aku sama Zulfa juga sama. Jangan asal nuduh dulu" Alika kembali mendebat Erin.
"Lah aku gak nuduh, aku cuman berteori kalo yang kulihat ini dia atau bukan...".
Zahra memasang wajah gelisah.
"Ya jelas bukan! Orang aku lihat Zulfa pulangnya jam lima sore. Rumah dia sama rumah kita juga deketan kok"."Rumah kalian dimana emangnya?" Hana mulai angkat bicara.
"Di Perumahan pondok indah, deket kok dari sini" Jawab Alika.
Keadaan semakin memanas, membuatku kembali tak bersemangat untuk menyelesaikan masalah ini. Perdebatan antara dua sahabat Zulfa yang terkesan membela karna tentu Zulfa adalah sahabatanya dengan Erin yang terus yakin dengan teorinya bahwa orang yang dilihat nya adalah Zulfa.
Salahku sendiri yang mulai membesarkan masalah sepele seperti ini. Coba saja kemarin aku tak terlalu egois dengan sok-sokan menjadi pahlawan konyol pembela kebenaran yang bahkan dia sendiri tidak tau tindakannya benar atau tidak.
"Bukan Zulfa...".
Alih-alih Erin sedang berdebat. Adikku, Reiza tiba tiba mulai angkat bicara.
"Apa maksudmu bukan Zulfa?" Erin membentak Reiza.
"Tenang dulu Erin. Jangan bicara dengan nada seperti itu pada adikku. Biarkan dulu dia bicara" Aku menenangkan Erin.
"Kalau kak Erin bilang jam setengah enam adalah waktu yang telat untuk pulang. Maka setengah jam sebelumnya adalah waktu umum untuk jam pulang sekolah kalian" Jelas Adikku.
"Jadi?" Aku mengerutkan dahi.
"Jadi, jika rumah Zulfa dekat dengan rumah Kak Alika dan Kak Zahra yang ada di perumahan gak jauh disini, berarti seharusnya Zulfa akan melewati rumah ini saat pulang" Sambungnya.
"Lah kok bisa Zulfa melewatari rumah ini?" Ze mulai bertanya.
"Rumah kita ini ada di depan gerbang desa, gak ada jalan lain untuk masuk ke perumahan selain jalan ini" Aku menjawab pertanyaan Ze.
"Dan juga soalnya jarak perumahan dan sekolah kakakku itu jauh. Kalau Kak Zahra ngelihat Zulfa sampai dirumahnya jam Lima sore, maka jika berjalan kaki, kemungkinan Zulfa pulang jam setengah Lima sore dari sekolah dan sampai dirumahnya jam lima sore" Adikku menjelaskan dengan rinci.
"Kalau begitu Seharusnya Aku sama Icha juga ngelihat dong? soalnya kita pulang jam setengah lima juga." Tanya Hana.
"Kok kamu bisa tau dari SMA kita ke perumahan memakan waktu setengah jam kalau berjalan kaki?" Jajang memotong perkataan Hana.
"Sekolah kalian dan sekolahku itu jaraknya hampir Dekat beberapa meter. Waktu tempuh sekolah dan rumahku itu sekitar 20 menit, kalau jarak perumahan dari sini gak begitu jauh, maka dengan berjalan kaki akan menambah waktu lagi sekitar 10 menit sehingga hasilnya adalah 30 menit" Jawab Adikku.
"Sebab kenapa kak Hana sama Kakakku gak ngelihat zulfa saat pulang adalah karena kalian memakai sepeda. Walau kalian pulang dengan waktu yang bersamaan dengan Zulfa. Kalian sampai terlebih dahulu dan juga hari kemarin Kak Icha nginep dirumah Hana yang letaknya bersebelahan dengan kita. Ditambah aku juga ngelihat perempuan pake tas merah lewat rumah kemarin" Sambungnya.
Aku tak menyangka. Reiza yang dulu selalu kujahili bersama Hana, sekarang sudah tumbuh menjadi orang yang lebih dewasa di umurnya yang baru menyentuh umur belasan tahun.
Sesaat aku ingin menangis, bola mataku seperti ingin keluar, namun Hana mengerti dan mulai menatapku dengan senyumnya.
"Jadi kalau yang kulihat bukan Zulfa, terus siapa?" Tanya Erin.
Kami pun saling menatap, menaruh kecurigaan masing masing. Mungkin saja salah satu dari yang Erin lihat kemarin ada disini, tanpa terkecuali...
BERSAMBUNG...
"Mamah pulang..."Seseorang membuka pintu depan."Ah, mamah... selamat datang"Aku menyambutnya."Eh... banyak temen Erika ya, kerja kelompok? udah pada makan belum?""Udah kok tante, gapapa"Jawab mereka serempak.Ibuku baru pulang dari toko tempat dia bekerja, jam empat sore tepatnya. Dia membawa kantong belanjaan yang sangat banyak, tak seperti biasanya. Apa mungkin dia akan membuat sesuatu yang spesial hari ini setelah tadi pagi kami berbaikan?."Oh... yaudah, nanti pulangnya jangan kemalaman, nanti dicariin"sambung ibuku.Aku ragu ibu senang dengan kehadiran teman temanku. Terlihat dari raut wajahnya, sepertinya dia ingin mereka segera pulang."Ah iya Dek Hana... Tante Anna gimana kabarnya? baik-baik aja?""Baik kok Tante, sekarang ibu lagi ada tamu temen kerjanya ayah, jadi kita numpang disini"Jawab Hana.Karn
Setelah mengantar Ze pulang menuju stasiun, aku pun pulang dengan menaiki sepeda tua dibawah langit sore yang mulai gelap, sedangkan pikiranku masih membayangkan kejadian beberapa menit yang lalu.Senang dan sedih bercampur, akhirnya hidupku perlahan lahan menunjukan warna yang tak hitam putih lagi. Aku tak tau apa yang sedang terjadi sekarang didalam hatiku. Tapi selama itu membuatku senang, aku tak perduli.Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, aku memacu pedal sepeda sebelum akhirnya langit benar benar gelap."Ah, udah gelap. Mamah pasti udah nungguin"Gumamku.*Sesampainya dirumah..."Aku pulang..."Aku mulai masuk kedalam rumah, tidak ada siapa siapa."Eh kok sepi? gak ada siapa siapa? tapi pintunya kebuka"Aku memutuskan untuk mengecek nya ke dapur...Dan...
*Kring kring kring...Ponsel yang dipegang adikku berbunyi."Kak, ini ada telfon dari mamah""Kamu angkat aja, bilangin kakak lagi beli makanan ke warung"Jawabku."Kenapa gak Icha aja yang angkat?"Tanya Hana."Lagi males aja, palingan juga nanti dia marah marah terus nyuruh pulang, kalo yang angkat si Rei gabakal buru buru disuruh pulang"Sambungku.*******"Halo mah? kenapa?""Kakakmu kemana?""Ini emm... lagi ke warung beli makanan sama kak Hana""Kamu lagi dimana sekarang?"Tanya ibuku."Eng... lagi ditaman deket komplek... kenaoa mah?""Kalo kakakmu udah balik kalian langsung pulang ya, ada yang mau kita omongin"Sambung ibuku."Kita?"Aku bergumam.Aku tau arti kata 'kita' yang dimaksud adalah ibu dan ayahku, tapi entah kenapa aku masih b
"Kak bangun... kata mamah anterin Za ke sekolah"Seseorang membangunkanku dari nikmatnya tidur."Ahh iya iya, kamu mandi duluan, kakak siapin sarapan"Jawabku Sambil menarik kembali selimut.Hari kedua sejak aku di skorsing dari sekolah, aku yang biasa kerja paruh waktu sekarang memutuskan untuk bekerja full time. Setidaknya sampai aku mengingat sesuatu."Eh Rei pulang sekolah nya siang kan? mamah udah berangkat kerja?""Udah, makanya... Aku udah mandi dari tadi, sarapan udah dibuatin sama ayah, tinggal kakak yang siap siap"Jawabnya sambil meninggalkan kamarku.Ah iya, dia tinggal disini sekarang, aku tak perlu repot-repot menyiapkan sarapan lagi. Tapi tetap saja aku masih merasa canggung karena ucapanku padanya kemarin, secara kita baru pertama kali bertemu setelah bertahun-tahun, dan kalimat yang pertama kali muncul di bibirku malah terkesan seperti tak menerima
Mata kami saling bertemu, sebuah kebetulan dia bisa datang ke tempat dimana aku bekerja selama bertahun-tahun, atau mungkin bukan sebuah kebetulan.Dia memakai setelan hoodie dan juga topi. Hampir saja aku tak mengenalinya kalau bukan karna tas merah yang dia pakai di punggungnya."Hei tunggu!" Aku mengejar dia yang berlari keluar meninggalkan toko buku.Dia berlari perlahan, mencoba untuk tidak menarik perhatian orang-orang disekitar. Aku terus mengikutinya sampai tiba disebuah gang buntu nan sempit."Gausah main kejar-kejaran lagi... " Aku menyandarkan tubuhku di tembok kotor yang sepertinya tidak pernah disentuh oleh makhluk hidup manapun."Kenapa kak Erika ada disana?" Dia bertanya dengan kepala yang masih menunduk, tak mau menatapku."Maksudmu toko buku itu? itu tempat aku kerja, lagian yang harusnya bertanya itu aku, kenapa kamu ada disini saat jam seko
Hari ini kami melanjutkan membahas tentang masalah yang baru muncul lagi hari ini, masih tentang hal yang sama."Uang sumbangan kelas perbulan ilang? seriusan?" Aku bertanya seakan tak percaya dengan apa yang kudengar barusan."Iya, uang sumbangan itu kan tadinya buat gantiin peralatan sekolah yang udah rusak" Erin mencoba menjelaskan."Aku takut kita dituduh korupsi lagi Cha..." Sambungnya."Iya aku tau, maksudku... ya masa ilang lagi? lagian kan uang itu disimpan di setiap ketua masing masing kelas?""Tapi Cha, yang kehilangan uang cuman beberapa kelas doang, termasuk kelasnya si Ze" Hana memperjelas."Eh, gimana maksudnya cuman beberapa kelas?" Tanyaku kembali."Cuman tiga kelas doang yang kena. Kelas dua belas B, dua belas D sama Kelas kita bertiga, kelas F" Ze mulai angkat bicara."Ahh....." Kami menghela nafas panjang sambil me
Akhirnya hari ini aku sudah bisa masuk sekolah setelah tiga hari diskors, sampai akhirnya aku harus menerima fakta bahwa sebelum kita menyelesaikan kasus uang hilang ini, kita akan menjadi bahan untuk orang orang melampiaskan emosinya."Tumbenan Hari ini gak ada yang manggil manggil koruptor" Ujar Hana yang baru kembali dari kantin.Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya, aku pribadi memang tak terlalu peduli dengan omong kosong mereka, begitu pun Erin dan juga Hana. Sepertinya mereka sudah mulai terbiasa dengan hal hal semacam itu sehingga orang orang ini sepertinya sudah mulai bosan mempermainkan kami, walaupun sebenarnya Hana cenderung tak mendapat ejekan apa-apa."Orang pada bosen... emang apa yang mereka harapkan dari ngatain kayak gitu kalo bukan reaksi marah dari kita?" Jawabku sambil mengeluarkan beberapa camilan yang dia bawa."Terus, yang kemarin udah ditanyain belum? yang kelas B sama F?" Sambungku.
"Eh eh eh ini seriusan?" Aku memegang erat pundak Hana sambil melihat ke lantai dasar."Tenang dulu Cha, kita periksa dulu ke bawah" Hana menarik tanganku yang disusul oleh Erin.Kami berlari menuruni tangga satu persatu menuju lantai bawah tempat Ze terjatuh. Rasa cemas terus menyelimuti, berharap satu satunya petunjuk yang kami punya tidak hilang begitu saja."OSIS mana OSIS?! Bantu ibu sini!" Seseorang dari kerumunan memanggil-manggil kami sambil melambaikan tangannya."Hadir bu, kita harus bagaimana?" Tanya Erin sebagai ketua kami."Emm..., gini. Erika sama Hana tolong bilang ke murid yang lain untuk masuk kelas terlebih dahulu, Erin bantu ibu menghubungi orang tuanya" Perintah guru BK kami."Tapi bu, kita harus bilang apa sama murid lain?" Tanyaku."Ah Iya, oke gini aja deh. Biar semua gak pada ribut, kamu suruh mereka kumpul di lapangan belakang, karna ini udah mau jam terakhir juga, nan
Gelap malam menjadi titik tumpu pandanganku hari ini, membiarkan pikiran melayang bebas mencari jawaban setelah apa yang terjadi sejauh ini sebelum akhirnya dering telpon menyadarkan ku dari lamunan."Iya Halo?," aku mengambil ponsel di sebelahku."Erin ngajak keluar, ikut gak?" Suara serak Hana mulai terdengar."Kenapa dia gak langsung bilang aja?," Tanyaku. "Pulsa dia gak bakal cukup buat nelpon kamu yang dari tadi di spam gak bales bales".Benar saja, setelah mengecek kembali, Erin mengirim puluhan pesan sejak dua puluh menit yang lalu. Dia mengajak kami berdua untuk datang berkunjung kerumahnya dengan alasan kesepian karena orang tua nya sedang tidak ada di rumah."Iya-iya, tapi kita gak pernah pergi kerumahnya, katanya kemarin Deket perumahan?" Tanyaku."Pokoknya bawa sepeda mu".Dia menutup telfon tanpa menjawab pertanyaan ku, sekali lagi pandanganku teralih pada malam deng
"Eh eh eh ini seriusan?" Aku memegang erat pundak Hana sambil melihat ke lantai dasar."Tenang dulu Cha, kita periksa dulu ke bawah" Hana menarik tanganku yang disusul oleh Erin.Kami berlari menuruni tangga satu persatu menuju lantai bawah tempat Ze terjatuh. Rasa cemas terus menyelimuti, berharap satu satunya petunjuk yang kami punya tidak hilang begitu saja."OSIS mana OSIS?! Bantu ibu sini!" Seseorang dari kerumunan memanggil-manggil kami sambil melambaikan tangannya."Hadir bu, kita harus bagaimana?" Tanya Erin sebagai ketua kami."Emm..., gini. Erika sama Hana tolong bilang ke murid yang lain untuk masuk kelas terlebih dahulu, Erin bantu ibu menghubungi orang tuanya" Perintah guru BK kami."Tapi bu, kita harus bilang apa sama murid lain?" Tanyaku."Ah Iya, oke gini aja deh. Biar semua gak pada ribut, kamu suruh mereka kumpul di lapangan belakang, karna ini udah mau jam terakhir juga, nan
Akhirnya hari ini aku sudah bisa masuk sekolah setelah tiga hari diskors, sampai akhirnya aku harus menerima fakta bahwa sebelum kita menyelesaikan kasus uang hilang ini, kita akan menjadi bahan untuk orang orang melampiaskan emosinya."Tumbenan Hari ini gak ada yang manggil manggil koruptor" Ujar Hana yang baru kembali dari kantin.Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya, aku pribadi memang tak terlalu peduli dengan omong kosong mereka, begitu pun Erin dan juga Hana. Sepertinya mereka sudah mulai terbiasa dengan hal hal semacam itu sehingga orang orang ini sepertinya sudah mulai bosan mempermainkan kami, walaupun sebenarnya Hana cenderung tak mendapat ejekan apa-apa."Orang pada bosen... emang apa yang mereka harapkan dari ngatain kayak gitu kalo bukan reaksi marah dari kita?" Jawabku sambil mengeluarkan beberapa camilan yang dia bawa."Terus, yang kemarin udah ditanyain belum? yang kelas B sama F?" Sambungku.
Hari ini kami melanjutkan membahas tentang masalah yang baru muncul lagi hari ini, masih tentang hal yang sama."Uang sumbangan kelas perbulan ilang? seriusan?" Aku bertanya seakan tak percaya dengan apa yang kudengar barusan."Iya, uang sumbangan itu kan tadinya buat gantiin peralatan sekolah yang udah rusak" Erin mencoba menjelaskan."Aku takut kita dituduh korupsi lagi Cha..." Sambungnya."Iya aku tau, maksudku... ya masa ilang lagi? lagian kan uang itu disimpan di setiap ketua masing masing kelas?""Tapi Cha, yang kehilangan uang cuman beberapa kelas doang, termasuk kelasnya si Ze" Hana memperjelas."Eh, gimana maksudnya cuman beberapa kelas?" Tanyaku kembali."Cuman tiga kelas doang yang kena. Kelas dua belas B, dua belas D sama Kelas kita bertiga, kelas F" Ze mulai angkat bicara."Ahh....." Kami menghela nafas panjang sambil me
Mata kami saling bertemu, sebuah kebetulan dia bisa datang ke tempat dimana aku bekerja selama bertahun-tahun, atau mungkin bukan sebuah kebetulan.Dia memakai setelan hoodie dan juga topi. Hampir saja aku tak mengenalinya kalau bukan karna tas merah yang dia pakai di punggungnya."Hei tunggu!" Aku mengejar dia yang berlari keluar meninggalkan toko buku.Dia berlari perlahan, mencoba untuk tidak menarik perhatian orang-orang disekitar. Aku terus mengikutinya sampai tiba disebuah gang buntu nan sempit."Gausah main kejar-kejaran lagi... " Aku menyandarkan tubuhku di tembok kotor yang sepertinya tidak pernah disentuh oleh makhluk hidup manapun."Kenapa kak Erika ada disana?" Dia bertanya dengan kepala yang masih menunduk, tak mau menatapku."Maksudmu toko buku itu? itu tempat aku kerja, lagian yang harusnya bertanya itu aku, kenapa kamu ada disini saat jam seko
"Kak bangun... kata mamah anterin Za ke sekolah"Seseorang membangunkanku dari nikmatnya tidur."Ahh iya iya, kamu mandi duluan, kakak siapin sarapan"Jawabku Sambil menarik kembali selimut.Hari kedua sejak aku di skorsing dari sekolah, aku yang biasa kerja paruh waktu sekarang memutuskan untuk bekerja full time. Setidaknya sampai aku mengingat sesuatu."Eh Rei pulang sekolah nya siang kan? mamah udah berangkat kerja?""Udah, makanya... Aku udah mandi dari tadi, sarapan udah dibuatin sama ayah, tinggal kakak yang siap siap"Jawabnya sambil meninggalkan kamarku.Ah iya, dia tinggal disini sekarang, aku tak perlu repot-repot menyiapkan sarapan lagi. Tapi tetap saja aku masih merasa canggung karena ucapanku padanya kemarin, secara kita baru pertama kali bertemu setelah bertahun-tahun, dan kalimat yang pertama kali muncul di bibirku malah terkesan seperti tak menerima
*Kring kring kring...Ponsel yang dipegang adikku berbunyi."Kak, ini ada telfon dari mamah""Kamu angkat aja, bilangin kakak lagi beli makanan ke warung"Jawabku."Kenapa gak Icha aja yang angkat?"Tanya Hana."Lagi males aja, palingan juga nanti dia marah marah terus nyuruh pulang, kalo yang angkat si Rei gabakal buru buru disuruh pulang"Sambungku.*******"Halo mah? kenapa?""Kakakmu kemana?""Ini emm... lagi ke warung beli makanan sama kak Hana""Kamu lagi dimana sekarang?"Tanya ibuku."Eng... lagi ditaman deket komplek... kenaoa mah?""Kalo kakakmu udah balik kalian langsung pulang ya, ada yang mau kita omongin"Sambung ibuku."Kita?"Aku bergumam.Aku tau arti kata 'kita' yang dimaksud adalah ibu dan ayahku, tapi entah kenapa aku masih b
Setelah mengantar Ze pulang menuju stasiun, aku pun pulang dengan menaiki sepeda tua dibawah langit sore yang mulai gelap, sedangkan pikiranku masih membayangkan kejadian beberapa menit yang lalu.Senang dan sedih bercampur, akhirnya hidupku perlahan lahan menunjukan warna yang tak hitam putih lagi. Aku tak tau apa yang sedang terjadi sekarang didalam hatiku. Tapi selama itu membuatku senang, aku tak perduli.Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, aku memacu pedal sepeda sebelum akhirnya langit benar benar gelap."Ah, udah gelap. Mamah pasti udah nungguin"Gumamku.*Sesampainya dirumah..."Aku pulang..."Aku mulai masuk kedalam rumah, tidak ada siapa siapa."Eh kok sepi? gak ada siapa siapa? tapi pintunya kebuka"Aku memutuskan untuk mengecek nya ke dapur...Dan...
"Mamah pulang..."Seseorang membuka pintu depan."Ah, mamah... selamat datang"Aku menyambutnya."Eh... banyak temen Erika ya, kerja kelompok? udah pada makan belum?""Udah kok tante, gapapa"Jawab mereka serempak.Ibuku baru pulang dari toko tempat dia bekerja, jam empat sore tepatnya. Dia membawa kantong belanjaan yang sangat banyak, tak seperti biasanya. Apa mungkin dia akan membuat sesuatu yang spesial hari ini setelah tadi pagi kami berbaikan?."Oh... yaudah, nanti pulangnya jangan kemalaman, nanti dicariin"sambung ibuku.Aku ragu ibu senang dengan kehadiran teman temanku. Terlihat dari raut wajahnya, sepertinya dia ingin mereka segera pulang."Ah iya Dek Hana... Tante Anna gimana kabarnya? baik-baik aja?""Baik kok Tante, sekarang ibu lagi ada tamu temen kerjanya ayah, jadi kita numpang disini"Jawab Hana.Karn