Sejak kapan Natasya paling aku Tante? Bisanya juga Bulik dan sejak kapan juga ia panggil ibunya Bunda? Biasanya juga Mama bahkan kadang Mane.Aku menerima amplop itu dengan senang. Segera kuraih dengan kedua tanganku. Mas Bayu dari belakang berucap alhamdulilah."Akhirnya selesai juga drama pinjam meminjam ya, Fit," ucap Mas Bayu saat aku akan membuka uang itu.Kuhitung uang yang terlihat berbeda. Tak sebanyak yang kukira. Uang berwarna biru dan kuhitung hanya sepuluh. Kembali lagi kuhitung uang itu sampai kukeluarkan dari amplop."Mas, kok cuma lima ratus?" cicitku pada Mas Bayu. Ia juga tampak sok. Sedangkan aku langsung menghadap pada Natasya yang ternyata sudah hilang bak dedemit. Memang keluarga songleng."Yang bener, Fit. Kok bisa? Coba itung lagi!" "Udah, Mas. Udah kuhitung bener-bener!""Apa mungkin Mbak Desi udah pikun. Uang lima puluhan di kira seratus ribuan." Ucapan Mas Bayu mampu membuat aku langsung menatapnya."Jangan bilang kamu mau kembali membelanya, Mas! Atau ... K
"Aku ngga mau, Mas. Bilang aja di suruh masak didapur. Pake bilang chef-chef segala. Enak bener, saudara hajatan bukannya ikut pesta malah di suruh masak. Memangnya ngga bisa apa cari tukang masak? Apa karena ngga mau keluar uang besar?" gerutuku langsung di depan Mas Bayu. "Pokoknya, sampaikan pada Mas Rian, Mas. Aku ngga bisa kalau disuruh masak. Aku bantu-bantu semampunya saja!" ujarku sambil membereskan meja.Tak ada protes dari Mas Bayu. Semoga dia mengerti jika semua yang dilakukan saudaranya padaku sudah sangat tidak adil. Kami memang miskin, tapi bukankah tetap jika Mas Bayu adalah memiliki aliran darah yang sama sedangkan aku istrinya.***Sejak hari itu, pembahasan demi pembahasan di grup. Aku tak pernah nimbrung, hanya saja membaca apa yang mereka bicarakan. Tak ingin ikut campur. Berusaha stel kalem.[Bagaimana tentang seragam keluarga?] Malam kemarin, Mbak Desi menayakan itu pada Mas Rian.[Aman.] Balas Mas Rian. Aku hanya diam. Bagaimana Mas Rian bilang aman, sedangkan
Pagi hari ini Mas Bayu tampak senyum sumringah. Ia seperti tengah orang yang memenangkan undian. Pagi hari sudah rajin dan siap. Duduk menikmati secangkir kopi dengan memainkan ponselnya.Tak lama, saat tengah menyeruput kopi, ponselnya berdering. Tentu panggilan masuk. Segera mengeser kursi plastik dan keluar rumah. Aku menguntit. Rasa penasaran yang membuncah membuat aku kepo. Mas Bayu tengah sibuk dengan jawaban baik, Iya dan beres. Itu saja sekitaran yang di sampaikan. Hingga aku tak tahu siapa si penelfon. Bahkan laki-laki atau perempuan aku tak tahu."Kamu ngapain?" tanya Mas Bayu saat ternyata dia masuk kembali. Aku yang tengah di pinggir pintu terlonjak. Karena kukira Mas Bayu belum selesai menelfon."Heee ... Aku cuma penasaran, Mas. Kamu telfon sama siapa? Kayanya girang banget." Aku bertanya apa adanya."Sudah, sudah. Nda usah kepo. Lagian yang menelfon itu pemberi rejeki. Bukan selingkuhan atau apapun!" Mas Bayu mengusuk kepalaku. Aku tersenyum. Ada rasa tenang juga di re
"Tapi kita ke Pasar dulu beli perhiasan." Mas Bayu berkata dengan wajah berbinar. Tak terkecuali aku. Bahkan aku masih terpaku pada isi plastik hitam itu."I-ini nda mimpi, Mas?" tanyaku sambil mengangkat gepokan uang berwarna merah.Aku mebalik-balikan uang itu dan menghitung semuanya berjumlah lima gepok. Artinya lima puluh juta."I-ini?" Duh ... Aku sampai kehilangan kata-kata. Sungguh ini seperti mimpi. Memegang uang sebanyak ini."Sudah, sudah! Sekarang ganti baju sana. Kita pergi sekarang. Belilah apa yang kamu mau!" Mas Bayu mendorong tubuhku tanpa meminta kembali plastik itu."Tunggu, Mas. Ini uang asli?" tanyaku memastikan. Takut-takut aku kena prank."Ya nanti di cek aja, Fit. Aku masih ragu," jawaban Mas Bayu membuat aku menatapnya dalam."Dari mana uang ini, Mas? Kamu ngga ngerampok bank kan? Atau bobol ATM atau menodong atau ...." Aku menatap dengan mata setajam silet. "Memuja setan?""Husst, kamu ini. Itu uang halal. Seratus persen di jamin halal. Udah buruan sana ganti
Aku mengandeng lengan Mas Bayu, beberapa pasang mata terpana melihat kepada kami. Aku tersenyum manis saat pertama kali menginjakan karpet berwarna merah. Natasya yang sudah masuk kedalam tak jua terlihat lagi. Mungkin sedang mengabari yang lain jika aku telah datang.Tiba di depan pintu rumah setelah melewati panggung dekorasi."Fitri, Bayu!" sapa Mas Rian yang sudah berpakaian rapi.Sambutannya beda. Mungkin karena melihat penampilan kita. Mas Bayu memeluk kakaknya erat dengan senyum merekah."Maaf, Mas. Baru bisa datang. Sibuk soalnya." Mas Bayu berbasa basi. Dari dalam Mbak Sarah sedang berjalan menuju kemari."Ngga papa, Yu. Alhamdulilah semua sudah ada yang handle. Ayo, masuk! Yang lain juga sudah didalam," ajak Mas Rian. "Eh, tunggu!" Mbak Sarah menghentikanku. Disusul Mbak Desi yang mengekor. Ia tampak mengamati kami dari ujung kaki sampai ujung rambut."Kamu punya baju seperti seragam kita?" tanya Mba Sarah. "Minjam di mana?"Aku dan Mas Bayu saling bersitatap. Apa kami sere
"Hei, Fit! Pinjam dari mana semua barang-barangmu itu?" tanya Mbak Desi. Ternyata dia bawa aku kesini hanya penasaran dengan apa yang telah aku gunakan. Ia bahkan melebarkan gamisku, kemudian juga melihat tanganku. Tentunya cincin dan gelang yang ia lihat dengan segsama."Maaf ya, Mbak. Aku ngga minjam. Beli sendiri!" Aku membalik badan berniat akan kembali masuk. Pasti Ilham tengah menunggu."Tunggu! Aku belum selesai!" Mbak Desi menahan tanganku. Ia justru membawa aku sedikit masuk kedalam kebun."Lepaskan, Mbak. Banyak nyamuk ah di sini!" gerutuku dengan meronta. Sebenarnya bukan itu alasannya. Tapi aku merasakan hawa dingin di kebun ini."Kamu jawab jujur! Dari mana kamu dapat uang untuk membeli semua itu?" tanya Mbak Desi mengimidasi."Alhamdulilah dapat rejeki dari Allah, Mbak." Aku menjawab santai dengan mengibaskan gamis. Karena sudah banyak nyamuk yang berterbangan di sekitarku."Kamu tak melakukan pesugihan kan?" tanyanya kemudian. Seketika aku menghentikan aktivitas mengus
"Apa maksud, Mbak Desi?" tanyaku langsung mendekat padanya.Dia membuang wajah. Seolah apa yang ia katakan tak ada berita ulang."Ngomong yang jelas, Mbak. Berani ngomong didepan muka orangnya! Jangan beraninya bilang sambil melegos!" Aku mulai terpancing emosi."Kenapa? Memang kamu pake pesugihan kan! Makanya jadi begini, Mbak Sarah jadi kena sialnya. Icha bunuh diri dan pernikahan batal. Mempelai laki-laki minta ganti rugi!" Mbak Desi berkata dengan lantang. Aku makin naik pitam."Kalau aku pakai pesugihan! Kamu sudah kujadikan ganjal di lereng gunung sana, Mbak!" Aku menunjuk gunung yang menjulang tinggi. Tak peduli berapa pasang mata yang memperhatikanku."Bukan Icha atau keluarga Mbak Sarah. Kamu! Karena hanya kamu yang hutang dan tak mau bayar. Itu udah syarat mutlak Buto ijo mau memakanmu karena kamu yang telah memakan uangku!" Emosi sudah tak terkendali. Aku makin di buat jengkel dengan kata-kata nyiyirnya. Beberapa tetangga yang ada disana saling bisik."Sudah, sudah, kalian
"Tadi Desi kesini ketakutan, mengadu semuanya tentang apa yang sudah ia perbuat. Katanya Udin meminta uang yang sudah di berikan pada Desi sekitar sepuluh juta. Kata Udin, dia memberi uang segitu sebagai kompensasi karena telah mempertemukan Udin dengan Icha, juga sebagai tanda pinangan." Mbak Sarah berkata dengan sendu. Kasian. Musibah yang di lalui begitu banyak dan nyatanya di lakukan oleh keluarganya sendiri. Hanya karena memandang harta, mereka tak berfikir sebab akibat. Pikiran mereka hanya tertuju jika kaya, hati bahagia. Miris!"Padahal uang itu sama sekali tak kami terima. Kata Desi pihak laki-laki tak mau acara lamaran dan langsung menikah saja. Entah kenapa saat itu kami menurut. Bahkan pertemuan dengan pihak laki-laki saat diskusi saja, Desi yang memimpin dan seolah dia yang memutuskan. Dengan tanggal yang ditentukan terlalu cepat. Hanya satu bulan saja!" Adunya lagi. Kalau sudah begini, siapa yang di salahkan? Harusnya Mbak Sarah tidak terlalu gegabah. Atau jangan-janga
"Mas!" Aku memanggil Mas Bayu yang berdiri tak jauh dariku. Keringat mulai membasahi kening. "Mas! Takut!" Kembali aku mengoncangkan tubuh Mas Bayu yang dari tadi tak merespon.Aku panik, celingukan kesana-kemari. Mas Bayu memegang tanganku erat. Ia mungkin tahu jika aku terkena serangan panik.Dengan panik aku melihat Panji naik ke podium dan langsung menuju kearah Arumi dan Alif. Mataku tak lepas darinya. Bayangan jika Panji akan melukai adiknya ataupun Alif terngiang.Tak lama mereka berpelukan. Menangis haru Panji dan memeluk erat Arumi. Sejenak aku tertegun. Apa ini semua hanya setingan?"Mas, ayo pergi dari sini! Pasti Panji merencanakan balas dendam pada kita!" cicitku.Aku sedikit menarik tangan Mas Bayu. Tapi dia menahan."Jangan panik, Fit. Panji tak mungkin melakukan itu. Ada polisi yang mengawal!" ujar Mas Bayu tak membuat rasa panikku hilang. Aku tetap gelisah walau mata ini fokus melihat kearah Panji dan Arumi.Mereka seperti tengah saling melepas rindu. Juga meluapkan
"Becanda, Fit! Mukanya jangan tegang gitu." Mbak Desi mencolekku. Aku terkekeh. Sebuah pengalaman tentu mampu membuat seseorang menilai. Tapi, jika benar Mbak Desi mau pinjam uang lagi, tentu tetap aku beri. Bukankah menolong sesama itu wajib, apalagi saudara. Jika tidak berniat mengembalikan, anggap saja sedekeh. Toh, kehidupanku sudah lebih baik dan alhamdulilah, aku sudah kelebihan secara materi."Iya, Mbak. Aku juga pura-pura kaget," jawabku, "Oh ya, kalian jangan pulang dulu sampai nanti malam. Hari ini aku kedatangan tamu yang akan melamar Hani."Semua mengangguk. Beruntung semua sudah kupersiapkan. Makanan kupesan catering dan jajanan juga sudah ada yang mengatur.Tapi ... Ngomong-ngomong kenapa aku sampai lupa untuk melihat wajah calon suami Hani?"Ah! Hani kemana si?" Aku mencoba mencari Hani kebelakang. Hanya ada beberapa karyawanku yang memang sudah kutugaskan di belakang. Toko aku tutup sementara. Aku melihat kekamar tak ada, aku langsung menuju kekamar Ibu. Ibu tengah s
Aku menarik paksa tangan Mas Bayu. Rasanya pengen pulang dan langsung pindah rumah."Kamu kenapa si?" Mas Bayu justru menarik tangannya hingga aku sedikit limbung."Ya kita pulang! Aku takut kalau Panji keluar dari penjara terus mencari kita. Dia itu manusia jahat dan tentu akan balas dendam pada kita semua. Iya kan, Rum?" Aku menatap Arumi yang dari tadi diam saja."Semoga saja tidak, Mbak. Aku sangat berharap Mas Panji keluar dari penjara dalam keadaan sadar." Arumi berkata tanpa menatapku."Mas Panji pongah dan sombong karena memiliki kekayaan. Uangnya berlimpah, dia jadi OKB yang benar-benar kaya, tapi ... Uang itu kini semua menjadi daun," ucapan Arumi membuat aku kembali terduduk. Tentu penasaran dengan apa yang baru saja di sampaikannya."Benarkah?" Kali ini aku dan Mas Bayu bersuara bersama."Sebenarnya ini yang ingin aku bicarakan pada kalian. Masalah Mas Panji dengan masalalunya. Tapi, melihat kondisi Mbak Fitri yang sepertinya panik berlebih, aku memilih diam." Arumi mulai
Aku gemetar. Seolah tulangku lolos dari tempatnya."Kamu kenapa?" tanya Mas Bayu yang melihat aku memegangi perut. "Astaghfirullah!" Mas Bayu beristighfar ketika melihat kakiku yang sudah banyak darah. Aku terduduk karena tak kuat menahan sakit dibagian bawah perutku. Rasanya seperti dicabik-cabik.Lemas, letih dan mata berkunang-kunang. Mas Bayu terdengar ribut meminta bantuan. Tak lama Mas Jali dan Mas Bayu memapah aku menuju keluar. "Titip Arumi!" ucapku pada Alif yang masih tergeletak tak jauh dari tempatku. Ia hanya mengangguk. Tak kulihat Arumi. Mungkin sedang kedapur untuk mengambil sesuatu.Aku di bawa kerumah sakit dengan keadaan yang setengah sadar. Rasa sakit di perutku benar-benar sangat menyiksa hingga seolah aku merasakan mati rasa. Roda brankar terdengar nyaring melewati setiap jalan menuju IGD. Beberapa suster segera memberi pertolongan pertama. Aku pasrah saat selang infus di pasang. Setelah itu, aku tak dapat merasakan apapun.***Hawa dingin menusuk tulang. Aku b
PoV Alif"Maaf, Mas. Sepertinya hubungan kita hanya bisa sampai disini saja!" ucap Arumi. Wanita yang kucintai.Tentu aku tertegun. Tak ada angin dan hujan, tiba-tiba dia minta putus? Padahal, aku sudah berniat untuk meminangnya. Bahkan niat itu, sudah ada dari sejak pertama dekat dengannya.Bawaan yang riang, supel dan super aktif, membuat aku yakin jika dia wanita yang mampu menemaniku sampai Jannah.Tapi ... Yang baru saja aku dengar ini, membuat semua mimpi runtuh tak berkeping. "Tapi ... Kenapa?" tanyaku memastikan penyebabnya."Kakakku tak setuju," jawabnya dengan mata berkaca-kaca.Dia lagi! Dari awal hubungan, hanya dia kendalaku untuk meminang Arumi. Hanya karena dia, yang sok memiliki Arumi seutuhnya hingga ia kira dapat menyetirnya."Tapi, bukankah sudah kita bahas masalah ini jauh-jauh hari? Bukankah kita juga udah sepakat untuk meluluhkan hati Kakakmu?" Aku masih berbesar hati. Tak emosi didepan Arumi walau di dada sudah sangat muak dengan Panji!Bukan sekali dua kali ak
"Kuatkan tubuhmu!" Alif berkata dengan pelan. Ya ... Harusnya aku memang kuat. Kenapa baru dengar suara Mas Bayu begitu saja mau tumbang. Aku mengangguk kemudian dengan pelan langsung berjalan menuju kamar Arumi.Segera pintu didobrak. Terlihat jelas wajah kaget Mas Bayu yang tengah memeluk Arumi dengan paksa."Lepaskan dia!" ucap Alif.Mas Bayu memang melepaskan Arumi. Dengan wajah garang dan mata merah menyala dia mendekati Alif. Aku sampai tak dapat melihat sisi Mas Bayu disana. Dia sudah benar-benar berbeda."Siapa kamu?" tanya Mas Bayu. Bahkan dia tak menatapku sama sekali. Seolah sudah tak mengenaliku.Sedangkan Arumi terlihat matanya berbinar. Ada secercah harapan padanya walau dengan penampilan acak-acakan."Aku calon suami Arumi!" Dengan tegas Alif berkata. Aku mengangguk walau tak di mintai pendapat."Calon suami? Cuihh! Akulah calon suami Arumi!" cetus Mas Bayu. Ada rasa menyayat di hati tapi aku berfikir positif. Aku tahu jika dia bukan Mas Bayu suamiku."Mbak, segera lak
"Tolong, pikirkan sekali lagi!" ungkapku sebelum Alif benar-benar melangkah.Dia melihatku sekilas, aku berusaha memasang wajah melas demi meyakinkan dirinya. Tentu hanya dia harapanku saat ini. Sungguh aku begitu berharap."Akan saya pikirkan!" Akhirnya kata terakhir di ucapkan Alif, sedikit memberi harapan atas apa yang kuminta.Aku menghela nafas berlahan. mengisi rongga paru-paru agar terisi oksigen dengan baik. Kukecap jus jeruk yang tinggal separuh. Aku harus mengusahakan sesuatu.Aku berfikir tentang ustadz. Setelah Googling beberapa kali, aku memutuskan memilih ustadz Danu. Ustadz yang terkenal dengan banyak pasien menggunakan metode ruqyah masal dan mandiri."Hanya dia kali ini harapanku." Aku bergumam.Rasa simpati pada Arumi juga untuk mengakhiri drama yang di buat Panji, aku harus bisa menguak semuanya dan menyelamatkan keluargaku, jika memungkinkan juga Arumi.Kuambil tas yang tergeletak dimeja tak jauh saat aku duduk. Beranjak dengan lemas karena tak jua membuahkan hasil
"Kamu ngapain si, Fit? Datang kesini dan marah-marah!" Mas Bayu segera melepaskan gandengan tanganku saat kami masih menunggu taxi online yang terlihat baru akan tiba dua menit lagi."Lah, aku kesal, Mas. Kenapa kamu harus datang kesini. Mau saja jadi pembantu Panji!" cebikku.Tak berapa lama taxi datang. Aku langsung menyuruh Mas Bayu masuk."Aku pamit dulu pada Arumi," Mas Bayu akan beranjak kembali masuk. Aku melarangnya."Sudah aku pamit kan padanya, ngga perlu repot-repot masuk kedalam lagi!" Protesku. Terlihat Mas Bayu ragu, namun akhirnya menurut juga. Aku menyerahkan ponsel Mas Bayu padanya."Kok ada di kamu? Dan, kenapa kamu datang tiba-tiba. Bahkan aku tak melihat kamu datang dari depan." Mas Bayu mulai curiga."Aku datang lebih dulu dari pada kamu! Saat kamu datang, aku ngumpet di samping sofa, takut ketahuan Panji. Berniat mengambil ponsel kamu yang tertinggal. Eh, ternyata justru kamu malah datang kesini sama Panji!" gerutuku. Mas Bayu hanya menghela nafas. "Harusnya ka
"Kamu sebut Mas Bayu, Suami? Artinya?" Arumi akhirnya mengeluarkan kata-kata, setelah sejenak bergeming. Aku bingung dan celingukan. Bagaimana kalau Arumi marah dan mengamuk padaku. Kemudian dengan brutal menghajarku. Mencabik-cabik tubuhku hingga ... Aku begidig ngeri. Menyiapkan siasat untuk seribu kemungkinan yang terjadi."Mbak? Kamu betul istrinya Mas Bayu?" Kali ini ia mengoncangkan tubuhku. Keringat dingin membasahi pelipis. Aku mengangguk pelan."Benarkah?" tanpa diduga Arumi tersenyum saat berkata menyakinkan. Dia langsung memelukku erat. Aku makin bingung dibuatnya."Alhamdulilah, kalau benar. Do'aku selama ini terkabul."Aku menyempitkan mata, sekilas aku bisa melihat jika Arumi baik-baik saja. Dia benar-benar waras dan pengingat yang baik."Mbak, aku selalu berdoa agar dapat bertemu dengan. Sungguh, aku sudah yakin jika kamu tentu sedang makan hati karena Mas Bayu yang memiliki keinginan untuk menikahiku. Tapi, sungguh, aku tak menginginkan itu. Sudah kuiklaskan jauh-jauh