Malam beranjak larut, meski dengan terpaksa El mau juga pulang. Mereka terlalu asik bermain. Besok mereka harus sekolah, ini sudah hampir jam sembilan. El anak yang sopan dan penurut, Mas Bima sudah mendidiknya dengan baik. Cukup salut karena dia seorang pria, ternyata mampu menjalankan yang sebenarnya menjadi tugas wanita."Terima kasih waktunya," ucap Mas Bima saat berpamitan. "Terima kasih juga, dah belikan anak-anak mainan. Banyak banget, makasih ya." Aku juga berterima kasih karena membelikan Al dan Luna banyak mainan.Mas Bima melihat ke arah kedua anakku yang masih merapikan mainannya. Bibirnya tersenyum, senyumnya tulus sekali. Aku bisa merasakan hal itu. "Emm … aku ada meeting di kantor pusat selama tiga hari. Kalau kamu tak keberatan, aku titip El ya. Bi Nur nggak pernak keluar, selain antar El dengan mobil antar jemput. Nanti tolong tanyakan kalau Bi Nur butuh sesuatu." "Tentu saja, nggak keberatan. Malah seneng, atau sekalian bareng Hana sekolahnya. Nanti, Hana yang ante
"Siap." Ketiganya menjawab hampir bersamaan."Bunda, Abang El mau bareng kita." Luna mendekat padaku."Iya, kita berangkat bareng," ucapku kemudian.Senang sekali melihat keceriaan terpancar di wajah para malaikat kecil itu. Senyumku terkembang, meski ada rasa sakit sedikit menelisik. Mengingat mereka memiliki kisah yang sama. Entah, mataku tiba-tiba memanas. Aku jentik air mata yang mengembun di kedua sudut mataku. "Bunda, Baik-baik saja?" tanya Bi Nur tiba-tiba. Rupanya dia menyadari senyum getir dan air mataku."Iya, Bi. Saking senengnya lihat mereka, jadi terharu." Aku beralasan. "Alhamdulillah, Den El senang ada temannya. Suka kasihan, kalau di rumah mainnya sama Bibi aja," ucap Bi Nur, dengan senyum senang. Aku tersenyum mendengarnya.Ketiganya berlarian menuju menuju mobil sambil tertawa. Aku sedikit menoleh ke wanita setengah baya yang berjalan bersisian denganku. Wanita itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.Anak-anak langsung masuk ke dalam mobil. Aku berpamitan pada
Dan ternyata itu adalah Raya? Untuk apa dia kemari. Dan tau dari mana kalau aku sekarang disini."Haduhhh, tamu itu salam dulu kek, Permisi. Ini teriak-teriak kayak orang nggak punya adab." Aku berucap kesal."Hahahaha, kalau punya adab nggak akan jadi pelakor, Yang," sindir Yola."Iya, juga." Aku menimpali."Ada apa? Teriak-teriak di rumah orang." Yola bicara sinis."Aku nggak ada urusan sama kamu." Raya menunjuk ke arah Yola. Sahabatku itu tambah tertawa."Aku tak mau basa-basi, aku selaku istri Mas Andrian, ingin menuntut bagian atas penjualan rumah ini." Raya mengangkat wajahnya."Hah, situ waras?""Terserah, aku sekarang hamil anak Mas Andrian. Dan, anakku harus mendapat bagian yang sama." Teriak Raya.Hamil?"Kalau ngomong itu dipikir, mikirnya pake otak, jangan pakai pant*t. Darimana ceritanya … anak hasil melakor minta pembagian harta. Apalagi jelas-jelas Andrian udah nggak ada hak lagi atas rumah ini." Yola melangkah mendekat ke tempat Raya berdiri."Kamu, nggak usah ikut camp
Anak-anak duduk di sofa panjang, sedang mengerumuni Kezia yang menunjukkan sesuatu di ponselnya. Aku dan Yola duduk bersisian di kursi. "Iya, ntar aku tanyain ke Mas Bima. Bisa sekalian aku angkut juga kan?!" Aku menjawab sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tasku.Tidak berapa lama, makanan yang dipesan datang. Pelayan berbaju krem dengan apron hitam datang dan menata makanan dimeja. Fokus anak-anak berpindah pada makanan yang sudah disajikan untuk mereka."Doa dulu," ingatku pada anak-anak. Seperti halnya anak seusia mereka. Mereka berdoa dengan suara nyaring sambil menengadahkan tangan. "Pelan-pelan makannya, awas masih panas."Meskipun mereka sudah paham, tetap saja selalu keluar kalimat khas seorang ibu. Aku mengaduk lemon tea dingin di hadapanku, sambil memperhatikan anak-anak yang mulai menikmati makanannya."Saiy," Yola memanggilku lirih, kakinya menyenggol kakiku. Aku menoleh ke arahnya, dan mengangkat dagu."Papa Luna," bisiknya kemudian.Deg … Jantungku tiba-tiba berdetak
Rutinas yang hampir sama selama tiga hari berturut-turut. Kegiatan yang padat cukup mengalihkan perhatian dari masalah pribadiku. Beberapa hari lagi adalah sidang pertamaku. Aku ada janji dengan Awan hari ini. Membahas persiapan untuk sidang, Awan menghubungiku untuk dapat bertemu hari ini."Pagi, Bang." Aku menyapa pria berkemeja biru muda yang dilipat sampai siku itu. Kami janjian di sebuah kafe tak jauh dari sekolah anak-anak."Hai, pagi." Awan berdiri menyambutku dengan uluran tangan. Aku membalasnya, dia kemudian menarikkan kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk."Terima kasih," ucapku kemudian. "Nunggu lama?" "Baru juga, kamu udah sarapan belum?" tanyanya kemudian, tangannya diangkat ke atas memanggil pelayan kafe."Sudah, Bang. Hana minum saja," jawabku kemudian.Segelas lemon tea hangat aku pesan. Awan memesan segelas kopi. Setelah mencatat pesanan pelayan berseragam hitam itu beranjak meninggalkan meja."Gimana sudah dibawa semua bukti-buktinya?" tanya Awan kemudian.Aku me
"Iya, sepanjang aku membantu klien mengurus perceraian. Memang anak adalah hal yang menjadi alasan utama mereka untuk bertahan," cerita Awan lagi."Anak adalah sumber kekuatan. Tapi, bisa juga menjadi hal yang melemahkan." Aku menyadari sepenuhnya hal itu."Kamu benar, pengalamannya seperti itu." Awan menimpali."Tapi, jangan karena kebanyakan ngurus orang cerai. Abang jadi takut nikah, banyak kok yang bahagia sampai maut memisahkan," ucapku. Mencoba tak terlarut dengan perasaanku sendiri. "Nggaklah hahaha, memang belum ketemu yang klik aja. Kalau dah dapet yang klik pasti langsung abang halalin." Awan tertawa mendengarku."Hana doain, segera ketemu jodohnya. Langgeng sampai Jannah" ucapku kemudian."Amin." Awan mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya.Obrolan ringan mewarnai pertemuanku dengan Awan. Tak terasa sudah jam sembilan lewat. Aku mengingatkan Awan kembali, karena dia bilang ada janji dengan klien tadi."Ya sudah, ini semua aku bawa ya," ucap Awan memasukkan foto-foto M
"Bund, makan steak aja." Belum aku merespon kalimat Mas Bima, anak-anak sudah selesai dengan rapatnya. Luna si cerewet yang bicara."Di Dapur Queen aja ya, kan banyak pilihan selain steak." Aku menawarkan sebuah kafe tempat biasa aku dan Yola beserta anak-anak yang sering didatangi."Eh, kok jadi Hana yang mutusin. Kan Mas Bima yang nawarin tadi." Kebiasaan memang, aku yang sering mengambil keputusan."Sama aja, yang penting anak-anak senang." Mas Bima tersenyum kearahku. "Dan, kamu juga.""Hana selalu bahagia, melihat tawa anak-anak. Mereka happy, Hana lebih happy lagi," ucapku kemudian."Mas kenapa lihatin Hananya sampai gitu? awas numbur loh." Aku menyenggol lengan Mas Bima, dari tadi dia melihat ke arahku, tak melihat jalan.Mas Bima terlihat kaget, kemudian menggelengkan kepala. Wajahnya tampak bersemu, sebuah senyum terkulum di bibirnya. Akhirnya kami sampai di parkiran, aku memberikan kunci mobilku padanya. Mas Bima membukakan pintu untuk anak-anak kemudian kembali menutupnya.
"Jangan lari," seruku ke anak-anak. Tapi tetap saja mereka berlarian.Baru saja anak-anak duduk, makanan yang kami pesan sudah diantar oleh pelayan. "Jangan lupa berdoa, makannya pelan-pelan," ucapku saat semua sudah bersiap dengan makanannya. Setelah berdoa semua sudah fokus pada makanannya sendiri-sendiri."Terima kasih ya, atas bantuannya." Entah ucapan terima kasih yang keberapa, yang Mas Bima ucapkan. Kami baru saja sampai di rumah."Sama-sama, Mas," jawabku kemudian. "Ya udah, Hana masuk dulu ya, Mas." "Oh, Iya. Makasih ya.""Iyah … hehehe," jawabku smbil tertawa kecil. Aku beranjak sambil mengandeng Al dan Luna untuk masuk ke dalam."Cuci kaki, tangan tidur siang yah," ucapku pada Abang Al dan Luna. Keduanya langsung bergegas masuk kedalam kamarnya. Aku menghempas pelan diri di sofa ruang tivi. Sejenak menyandarkan tubuh lelahku, hatiku juga. Mencoba terlihat kuat dan terlihat semua baik-baik saja itu sangat berat. Tapi, aku harus tetap waras untuk anak-anakku. 'Drttt'Seper
Pantai …Perjalan yang lumayan melelahkan terbayar dengan pemandangan pantai yang menakjubkan. Sebuah hotel yang langsung menghadap ke pantai Mas Bima pilihkan. Satu kamar deluxe dan satu vila sudah di pesan. Setelah menaruh barang bawaan semua langsung berlarian menuju ke pantai.Ini pengalaman baru untuk anak-anak pergi ke pantai. Dulu hanya mengisi liburan di dekat rumah saja. Tak ada cerita spesial di masa lalu tentang pantai. Sepertinya hari ini akan menjadi cerita spesial di waktu mendatang. Wajah-wajah ceria bersanding dengan birunya hamparan air laut. Kaki kecil mereka menapak tanpa alas di atas pasir. Ombak yang cukup tenang membuat anak-anak mulai berlarian menujunya tanpa rasa takut."Mama disini aja," ucap Mama memilih duduk di sebuah bangku yang menjadi bagian dari fasilitas hotel."Bima pesankan minum ya, Ma." Mas Bima yang masih berdiri di sampingku menawari mama minuman."Hana juga mau … es kelapa muda." Aku ikut menambahkan."Mama air dingin saja, jangan dingin-ding
"Tadi ketemu Raya di Swalayan depan, sepertinya dia bekerja disana," ceritaku pada Yola saat dia mengantar Kyla."Terus?""Ya … dia ketus gitu, masih bahas rumah. Terus nuduh aku sama Mas Bima selingkuh, sama bilang gara-gara aku sama Mas Bima Mas Andrian dipecat dari pekerjaannya.""Andrian dipecat?" tanya Yola."Kata Mas Bima enggak, cuma downgrade dan ditempatkan di Kalimantan," jelasku pada Yola."Kok Raya bilang dipecat?" tanya Yola bingung. Aku hanya mengangkat bahu kemudian menggeleng."Raya kerja di swalayan?" tanya Yola lagi."Iya." Aku mengangguk mengiyakan.Sesaat Yola terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Bagaimana juga mereka adalah bagian dari masa laluku. Hal tentang mereka terkadang masih mengundang rasa ingin tahuku juga."Apa … itu hanya alasan Andrian aja, bilang dipecat, biar bisa jauh dari Raya. Kalau dah nggak ada kerjaan kan nggak ada duit, maleslah si Raya itu mungkin. Perkiraan aku aja sih," ucap Yola kemudian."Masak gitu? Tapi, bisa juga sih … entahlah.
Selesai sarapan aku mempersiapkan semua keperluan untuk anak-anak dan juga diriku serta Mas Bima. Meski hanya tiga hari, bawaan kami sudah seperti orang yang akan pindahan saja. Maklum kami memang membawa pasukan bocil. Bahkan mereka membawa serta juga sekontainer kecil mainan."Mas … Hana mau swalayan depan, ada yang perlu Hana beli." Aku menghampiri Mas Bima yang sedang memasukkan barang-barang ke dalam mobil."Mas antar," ucap Mas Bima kemudian."Enggak usah … kan deket.""Aku ada juga yang mau dibeli," balas Mas Bima kemudian. Entah alasan atau memang ada keperluan aku tak tau. Lagian bukan hal yang perlu dipikirkan. Apapun itu intinya Mas Bima ingin pergi bersamaku. Aku langsung masuk ke dalam mobil begitu juga Mas Bima. Sebuah swalayan yang ada di dekat jalan masuk perumahan menjadi tujuan kami.Toko swalayan ini memang tidak terlalu besar. Tapi, cukup lengkap dan juga tidak jauh dari rumah. Keadaan tidak terlalu ramai saat aku dan Mas Bima masuk. Seorang karyawan yang duduk di
"Sayang … bangun."Ciuman bertubi-tubi aku rasakan meski belum sepenuhnya sadar. Pelan aku paksakan untuk membuka mata yang serasa dilem ini. Tampak Mas Bima yang tepat berada di atas wajahku sedang tersenyum. Ketika kesadaran hampir hilang kembali karena kantuk yang teramat berat, sebuah tarikan menyasar ke hidungku."Sayang … bangun, sudah adzan subuh." Aku kembali memaksa untuk membuka mata. Perasaaan baru saja aku tertidur, tau-tau sudah pagi. Iyah benar saja, seingatku aku tidur hampir jam tiga pagi. Harusnya aku yang bangun duluan tapi, justru Mas Bima yang terlebih dulu bangun. Bahkan dia terlihat sudah segar dan aroma wangi sabun menguar dari tubuhnya.Meski mengantuk aku memaksakan diri untuk bangun. Mas Bima menarik tanganku, sesaat aku masih terduduk di atas ranjang. Melebarkan mataku dan menunggu kesadaranku penuh."Mau digendong pa sekalian dimandiin?" Mas Bima mengangkat alis dengan senyum lebar di bibirnya. Aku hanya nyengir dan bergerak turun dari ranjang kemudian be
Baru saja dipikirkan sudah menjadi kenyataan, aku dan Mas Bima saling pandang dan kemudian sama-sama tertawa mendengar teriakan para bocil itu. Anak-anak benar-benar datang dan mengetuk pintu kamar."Dah … yuk, paling sudah ditungguin sama yang lain," ucapku kemudian."Iya." Mas Bima mengiyakan, tapi, dia malah memajukan kembali wajahnya dan menaut kembali bibirku."Mas, ada anak-anak." Aku mendorong tubuh Mas Bima pelan. "Iya," balas Mas Bima dengan tatapan sendu. Wajah Mas Bima mendekat, memangkas kembali jarak yang ada. Membungkam lembut saat aku hendak bicara. Aku kembali mendorong dada bidang pria yang tadi pagi sudah sah menjadi suamiku itu. Hanya saja sama sekali tak ada pergerakan. Diluar anak-anak masih terus gaduh memanggilku dan Mas Bima."I love you," ucap Mas Bima setelah melepaskan tautannya. Kening kami beradu, pelan Mas Bima menggesekkan hidung mancungnya di hidungku. Dadaku bergetar, wajahku menghangat, rasanya … entahlah susah untuk aku gambarkan. Sebuah kecupan
Sungguh hari yang benar-benar melelahkan untuk jiwa dan raga. Aku dan Mas Bima yang mengurus segalanya. Keluarga Rima tinggal diluar kota, satu kota denganku dan Mas Bima. Dan ternyata mereka berdua tidak mengatakan kejadian ini pada keluarganya yang lain. Pantas saja mereka hanya berdua menunggui bayi itu.Suami Rima juga tidak terlihat sama sekali. Padahal memurut Ibu Rima dia sudah memberi tahu pada menantunya. Tapi, pria itu tidak menampakkan batang hidungnya. Berdasarkan keputusan keluarga. Bayi itu tidak dimakamkan disini, melainkan dibawa pulang ke kota Ibunya.Sekarang masih menunggu Ambulance yang tengah dipersiapkan oleh pihak rumah sakit untuk membawa pulang jenazah. Sedari tadi Mas Bima tak melepas genggamannya padaku. Aku tau itu hanya cara Mas Bima agar Rima tak mendekat padanya. Aku sampai mengabaikan keluarga di rumah. Padahal hari ini hari pernikahan kami, dan waktunya berkumpul dengan keluarga merayakan pernikahan ini. Baru menjelang magrib semuanya selesai. ••
"Ada Bu Rima datang." Bi Nur muncul di belakang anak-anak yang masih bergerombol."Bi, anak-anak bawa ke kamar atas saja," ucap Mas Bima. "Bim … " Ibu muncul dari belakang Bi Nur yang baru saja akan beranjak."Iya, Bu."Ibu sesaat terdiam sambil melihat anak-anak yang pergi bersama dengan Bi Nur. Setelah anak-anak menaiki tangga Ibu baru mendekat ke Mas Bima."Anak Rima harus operasi secepatnya, atau nyawanya tidak akan tertolong." Ibu bercerita dengan suara pelan. Mas Bima masih terdiam, tidak menjawab apapun."Mereka membutuhkan uang untuk operasi segera. Mereka berniat meminjam pada kita," cerita Ibu lagi.Aku hanya menyimak apa yang Ibu ceritakan, tentang kondisi Rima sekarang. Melihat Ibu yang masih begitu memikirkan Rima dan keluarganya, aku merasa hubungan keluarga ini bukan sekedar teman."Keluarga kita punya hutang budi pada keluarga mereka. Tapi, bukan hanya karena itu, Ibu kasihan melihat mereka. Kasihan pada bayi itu, ibu tidak tega." Kembali Ibu berbicara.Mas Bima melih
"Oh, mau sama Papa ya. Em … nanti kalau Papa Luna sudah nggak sibuk, pasti diajak jalan-jalan. Sekarang sama Papa Bima dulu ya?! Besok Papa Bima ajak semuanya ke pantai gimana?" Mas Bima merayu Luna yang masih manyun."Main pasir?" tanya Luna kemudian."Iyah … main pasir, Luna suka?" tanya Mas Bima kemudian."Suka …." Gadis kecilku itu tersenyum lebar, "Sama Abang Al, sama Abang El, sama Kak Kyla juga ya," ucapnya lagi."Boleh … papa Bima ajak semuanya. Tapi, Luna janji nggak boleh sedih-sedih. Harus senyum yang manis, mana papa Bima lihat senyumnya." Mendengar permintaan Mas Bima Luna tersenyum manis dan memeluk Papa Bimanya.Aku menggigit bibir melihat ketulusan dan kasih sayang yang Mas Bima berikan. "Cium dulu," ucap Mas Bima kemudian."Eh … keliru," Aku kaget saat sebuah kecupan mendarat di pipiku. Luna malah tertawa melihatnya."Hem … dasar modus, ntar dilihat yang lain," ucapku pelan. Untung semua terlihat sibuk sendiri-sendiri."Biarin … kan dah boleh. Ibadah …." Aku hanya nye
"Tanpa diminta pasti Hana lakukan." Aku menjawab pelan setelah mulai bisa mengatur hatiku."Mereka tanggung jawabku sekarang. Biarkan aku yang mengurus mereka." Mas Bima ikut menimpali."Aku percaya kamu bisa melakukannya. Tapi, hanya hal itu yang sekarang bisa aku lakukan. Biarkan aku melakukan tugas dan kewajibanku sebagai seorang ayah," pinta Mas Andrian kemudian."Tolong jaga mereka, bahagiakan mereka." Mas Andrian mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Mas Bima. "Mereka akan bahagia bersamaku, tak perlu kwatir." Mas Bima kembali meyakinkan Mas Andrian."Mas selalu berdoa untukmu dan anak-anak," ucap Mas Andrian yang berjalan mendekat dan berdiri tepat di depanku."Jangan menangis, ini hari bahagiamu. Tak seharusnya aku datang, tapi, aku harus pergi sebentar lagi. Aku harus berpamitan pada kalian bukan." Mas Andrian memintaku tak menangis tapi, dia sendiri menangis. Begitu tak terduga segala hal yang menjadi takdir hidup setiap manusia. Sepasang anak manusia ini dulu