Umi: “Hmm, kalau pergi keluar roomku karena alasan membuang si kuning berharga ya gak apa-apa Bee.”Bee: “Ho oh, berharga.” (Emot mata datar)Umi: “Tapi awas ya Bee..main kabur-kabur, gak boleh nakal.”Bee: “Seperti lagunya PASTO ya Bun, Tapi kau jangan kau nakal, aku pasti kembali.”Umi: “Bee hanya pergi tuk sementara.Dan percakapan di tanggal ini, membuat aku merenung. Candaan yang bertolak belakang dari kenyataan. Kenyataannya Umi yang pergi dan tak pernah kembali. Bee selalu bercanda dengan keluar masuknya dia ketika menonton live streaming Umi. Dan selalu kembali. Itu adalah candaan dari Bee agar Umi tak bosan. Namun sekalinya Umi yang pergi, Bee benar-benar tak mampu masuk kemanapun lagi. Karena pintu itu telah ditutup. Pemilik rumah meninggalkan rumah dan lupa menutup pintu belakang.Bee: “Mi, aku mau tanya. Apakah semua cewek PMS gini maunya?” (Bee mengirim gambar pesan messanger dengan adiknya)Umi: “Itu kenapa bahas cilok? Cewek kalau PMS suka makan yang pedes-pedes.”Bee:
“Bee gak mungkin deh, Nat, tiba-tiba sedih karena ada perkataan buruk dari si Kurama. Di surat itu Bee memang menyebutkan si Kurama pertama kali, tapi jelas-jelas itu adalah ungkapan kebahagiaan Bee bisa bertemu langsung dengan si Kurama sesuai harapannya.”“Artinya tak ada masalah dalam pertemuan itu?”“Aku pikir begitu.”“Nul, Bee adalah orang yang aku kenal pandai menyembunyikan segalanya dari balik layar. Dia bisa saja menulis kebahagiaan untuk ditunjukkan ke Umi tentang pertemuan dengan Kurama, hanya semata-mata menjaga sesuatu hal yang Bee rasa tak perlu dibesar-besarkan.”“Apa pertemuan itu ada hubungannya dengan Bee membatalkan pengiriman suratnya?”“Coba lihat tanggal suratnya lagi.”“Mana ada tanggalnya. Itu bukan surat resmi Naat...”“Tapi disitu Bee ngomong kalau dia mau nemuin Umi bulan Maret.”“Eh, iya benar. Benar, Nat. Terus artinya apa?”“Maret yang dimaksudkan Bee itu Maret 2021. Kemungkinan Bee nulis surat itu seminggu atau beberapa hari setelah ia ketemu sama Kuram
Umi: “Gini, si cewek mencintai si cowok pertama, tapi dia tidak mau menyakitinya dengan berpacaran. Karena si cewek bakal pergi..dia mengidap kanker stadium akhir.”Bee: “Yah, sad ending. Hidup tak semenyedihkan itu.”Umi: “Jangan happy ending terus, sekali-kali bikin penonton mewek.”Bee: “Tanpa hati. Semoga aku gak alami itu dan Umi juga.”Umi: “Kalau aku terima aja dua-duanya cowok itu, lumayan nambah buaya di kebun.”Bee: “Tapi aku jadi punya ide. Cowoknya aja bikin meninggal karena penyakit tanpa sepengetahuan si cowok. Dan di akhir hidup, si cewek baru tahu dari dari si cowok kedua kalau si cowok pertama juga cinta sama dia.”Umi: “Gaak...maauuu. Sakit banget di tinggal seperti itu weh.” (Emot nangis)Bee: “Ya udah gitu aja.”Umi: “Suek Bee mah (Emot ketawa normal). Tapi gitu aja lah, daripada dia si cowok pertama hidup menderita.”Bee: “Cowok itu gak menderita juga, cuman dia bingung aja sama sikap si cewek, dia itu tulus. Kasihan si ceweknya malah.”Umi: “Hmm, sedih banget saa
Surat itu tak akan pernah terkirim. Bee sejatinya hanya mengingkan ruang untuk melihat ke dalam dirinya sendiri. Bee mengajarkan aku kalau kehidupan adalah seni terindah untuk belajar menderita. Aku tak pernah menjejali latar belakang keluarga dan usulnya. Yang aku paham, Bee adalah sahabat baik dan hebat.Kebanyakan dari kita mungkin hanya menginginkan kotak kebahagiaan. Sementara sisi lainnya enggan menerima segelas coklat dingin. Layaknya Bee dari sudut bumi berbeda, aku meraba-raba pikiran kalau dirinya lupa bagaimana cara jatuh cinta benar. Ia salah mengartikan kepergian Umi dan terlalu memaksa diri mencapai langit angan-angannya.Aku detik itu memutuskan keluar sebentar malam hari dari hotel. Setelah menemui Wija bersama Cunnul, aku mencari pori-pori angin di atmosfer petang. Menyusuri jalanan Surabaya terdekat bersama wangi kehidupannya. Aku butuh menyembuhkan pikiran. Memperbaiki perasaan setelah dibuat berpikir keras bersama Cunnul oleh Bee dengan jejak-jejak tulisan dan rasa
“Lo sudah tahu jawabannya?”“Belum. Yang jelas aku akan bertahan pada keyakinan aku tentang itu.”“Nat, lo?” Warda menatap tajam ke sudut mata aku. “Apa sebaiknya kita udahin aja semua teori gila ini?”Sesuatu seperti roh jahat mengalir deras di pinggiran hati aku. Aku tahu apa maksud Warda. Keinginan kuatnya sungguh teramat parah untuk dimengerti. Bahwa ia ingin merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta pada Tuhan.Dan ini menjadi perjalanan singkat yang terasa begitu lama. Serasa mengelilingi ribuan cakrawala berdasarkan kecepatan cahaya.Saat itu aku kehilangan dirinya lebih cepat. Beberapa kopi tanpa gula Warda minum tanpa kewajaran. Aku meninggalkan kafe itu dan kembali ke Bandung pagi-pagi sekali. Entah bagaimana keadaan Warda dengan keyakinan barunya.Aku pun sedikit penasaran. Serdadu nista bermodal dusta merayap keimanan aku sepersekian detik. Penyebabnya tak lain adalah apa yang aku beritahukan pada kalian tentang pesan itu. Mungkin aku perlu membacanya kembali. Yang jelas kal
Aku terburu-buru berlari setelah membaca pesan horor Bee. Ia benar-benar kembali seperti saat pesan pertama saat menginap di rumah Wija, malam terakhir dulu. Kebanyakan melamun dan merenungi masa tadi membuat aku gak sadar sudah berjalan sangat jauh dari hotel. Perut aku bergetar. Lapar. Ada tukang somay di tepi jalan. Aku langsung menyeberang tanpa pikir panjang. Melintas. Saat sampai, kepala aku pusing."Jadi beli Non?”"Eh, iya Pak. Sepuluh ribu ya?" Aku masih memegang kening.“Non sakit?”“Eh..enggak kok Pak. Makasih ya?” sambil mengambil bungkusan somay hangat.“Duduk aja dulu di sini Non. Habisin Somaynya. Mungkin pusingnya karena lupa makan,” saran bapak itu.Iya sih, sejak nemuin surat Bee dan rahasia-rahasianya, aku sampai lupa makan. Entah karena terlalu bersemangat atau memang terhipnotis diri sendiri. Satu hal yang gak mungkin aku lakuin saat itu; bangun tiba-tiba untuk kembali ke hotel.“Iya, Pak,” kata aku lalu duduk di sandaran tepi jalan. “Enak pak, somaynya.”“Mantap
Saat sampai di ruang pemilik hotel, yaitu Bang Jo...aku dan Cunnul mengumpulkan keberanian terlebih dulu. Tak biasanya, kali itu menatap Bang Jo entah kenapa menjadi hal paling menyeramkan dalam hidup. Mendadak menjadi sesuatu hal sederhana yang sulit dilakukan. Mungkin benar, sesuatu hal sulit tidak terletak pada masalah itu, melainkan menempel ketat di pikiran kita sendiri. Jadi aku memutuskan mengontrol pikiran dan hati.“Santai aja, Nat. Bang Jo pasti paling mengerti tentang semua pertanyaan Lo itu,” ujar Cunnul cukup membuat aku tenang.Cunnul aku lihat jemarinya begitu lambat mengetuk pintu. Pusing aku kumat lagi. Aku berasa mau mati. Berasa mau jatuh. Ternyata bukan Cunnul yang lambat. Memang kaburnya aliran darah di kepala aku membuat segala yang terlihat jadi buram.“Lo pusing lagi? Nat, lihat aku,” setidaknya itu kalimat Cunnul yang masih bisa telinga aku cerna.Cunnul memegangi kedua pundak aku. Aku memang berasa akan lunglai di lantai. Cunnul mengantisipasi itu tapi...mend
“Hmm, Nat..kondisi lo begitu ya jangan berangkat besok,” saran Cunnul tiba-tiba menjadi manusia paling perhatian.“Nata kenapa bisa pingsan? Gak telat makan, kan? Ada yang dipikirin?” Bang Jo memberi pertanyaan horor.Dalam situasi itu, aku mendadak linglung kembali dan tak tahu apakah waktu yang tepat membahas informasi dari tukang somay sebelumnya.“Saya cuma cari angin sebentar tadi Bang Jo,” jawabku. “Itu kenapa dipakaikan tripod, Nul?”“Cunnul menghadapkan live streaming Mbk Wisya dan Beya ke hadapan kami semua dengan tripod tegaknya.”“Mbk Wisya yang minta live multi bareng,” terang Wija. “Nah, naikin Nul.”Cunnul menekan permintaan lambang logo video agar bisa tersambung ke Mbak Wisya dan Beya. Saat tersambung, “Naaaatt!!” Jeritan khas itu terlansir kembali sejak dua belas purnama.“Mbak Wis biasa aja!” ucap Beya di sebelahnya, di ruang live yang berdampingan. “Kirain Cunnul boong kalian ngumpul di tempatnya Bang Jo.”“Gak mungkin boong,” balas Bang Jo. “Kalian sehat-sehat yee.
Aku menyampaikan bukan apa yang kuanalisakan. Aku menyampaikan semua kerangka hatiku terhadap PBB. Seperti ucapanku pada Sir Yadin, aku lebih suka menjadi pengamat daripada pendebat.Aku bahkan hanya menyampaikan empat poin dari tujuh poin yang ada di benak pikiranku. Padahal waktu masihlah setia menungguku selesai berargumen. Namun aku memilih menyimpan sisanya untuk sebuah niat yang abstrak.“Jika kita bicara perdamaian, maka kita tidak perlu bicara senjata! Bagiku, perdamaian di dunia ini hanyalah ilusi. Tidak akan pernah ada perdamaian karena manusia tidak akan pernah bisa saling memahami satu sama lain. Sejarah telah mengatakan itu semua,” bukaku menahan kegugupan.“Jika Anda berargumen lima anggota tetap PBB tidak boleh dihapuskan dengan alasan senjata yang kuat, maka pernyataanku tentang perdamaian sebelumnya itu benar. Semua negara hanya memposisikan diri layaknya boneka-boneka manis yang saling memeluk. Sementara di balik itu ada peran
“Bee, kau tak lihat kesusahanku?”“Iya Pak, aku bantu!” responku seraya tersenyum miring. “Kambing ini akan melahirkan daun-daun muda paracendekia juga Pak?”“Ah, kau ini membahas apa? Kau tak tahu kita akan melakukan karantina untuk mahasiswa-mahasiswi terpilih?"“Lomba apa?”“Ini untuk persiapan lomba debat di Bali yang aku ceritakan pada kau waktu itu!”“Oh, iya. Baiklah. Lalu?”“Kau juga harus ikut.”“Tapi Bahasa Inggrisku kurang manjur sebagai alat perdebatan. Akan lebih berfungsi jika digunakan merangkai puisi dan cerita pendek, Pak!”
“Iya, baiklah. Thank you, mr … atas tumpangan berharganya.”“Oh? Maksudnya?”“Hem … tidak. Bukan apa-apa,” balasnya senyum. Ia lalu masuk ke asrama puteri.Dan aku kembali merencanakan sisa impianku yang belum kelar. Picolo akan menjadi tangan kananku untuk bisa meraih langit Melbourne. Aku tak bermaksud mempermainkan kejantanan Picolo. Aku ingin dia menjadi seperti halnya Mus yang dulu. Nama mereka juga sama.Ya, tidak ada pertemuan tanpa maksud. Selalu ada alasan di balik semua wujud perpisahan. Dan gadis berjilbab zebra tadi, akan menjadi loncatan asmara yang menghadirkan relikul pilihan bertubi-tubi dalam hidupku. Aku harus memilih antara bertemu dengan impianku atau menggarisbawahi drama asrama picisan bersamanya.
Kertas bertuliskan Macquarie di atas dinding asrama sudah terlihat lagi lima bulan kemudian. Sebulan kemudian yang kumaksud adalah di bulan Agustus ketika burung-burung camar menyapu udara kotor secara gamblang di langi-langit pagi. Aku menerima kabar perpisahan spektakuler pagi-pagi. Namun hatiku berhijrah ke arah ruang alasan pencabutan kertas putih itu.Pencabutan itu menyisakan kesendirian bagi gambar Melbourne dan deretan impianku bersama Mus. Tak ada lagi orang ketiga. Di antara baris mimpi tertulis itu, hanya impian-impian kecil seperti memiliki laptop, handphone, sahabat, keterampilan pendukung, dan lainnya yang terwujud.Lantas masih banyak target-target kecil dan satu impian besar belum bisa diberi tanda. Dan impian terbesar itu kau tahu sendiri, berjumpa dengannya di Melbourne.Andai aku cekatan dalam menafsirkan maksud, mungkin mudah bagiku menebak esensi Mus berjumpa denganku di Melbourne atau Sidney sementara ia berada di negeri tetangga. Jika kau lebih paham dariku, kau
“Mr melamunkan apa?”“Big Bos?”Picolo dan Zoro tersentuh.“Aku tidak apa-apa. Hanya tiba-tiba tersengat masa lalu.”“Itu filosofi?” tanya Harry Potter yang telah bangun.“Big Bos selalu penuh dengan gramatikal pemikiran baru,” puji Takiya yang ternyata telinganya semakin hidup.Itu adalah tahun permulaan aku merasakan rasanya namaku dipanggil dengan awalan ‘mr’. Aku juga merasa tua dan jiwa pemuda seolah-olah tertimbun kepingan-kepingan polos penasaran mereka. Dan itu berlaku setiap waktu. Untungnya sebutan ‘Amak Toak’ milik Bang Ari tidak bereinkarnasi padaku sebagai pengganti beliau.Namun diskusi aneh itu tak berlanjut. Waktu perkuliahan menggunting kesempatan dari pertanyaan bodoh kami keluar. Meski semua anggota ‘6 Kelana’ mengambil program studi Bahasa Inggris, tidak menutup batang otak kami untuk mendiskusikan hal-hal lain. Ya, mesk
Aku juga pernah mendapat ingatan dari sekuel Room Nakama, tentang kisah seorang yang sudah meninggal. Ia adalah pendiri Room Nakama dan merangkum kisah tawa dan lara. Saat itu, Bee yang dirindukan Natalie memiliki kisah masanya sendiri bersama teman-temannya yang dulu.Dia adalah belahan kisah dari ingatanku. Aku dan sahabatku bernama Mus serta beberapa penggal memori yang dulu.Mimpi terjauh di atas kerak bumi yang mesti kugali sedalam mungkin, timbul liar di baris-baris cerita selanjutnya. Namun sekali lagi, mimpi bertemu dengan Mus di Melbourne masih jauh. Ah! Mungkin kau belum paham lantaran kita masih sampai permulaan. Aku harap kau tahan dengan apapun bentuk pelapisan diri dan perjuangan harapan yang kulakukan nanti.Dan mimpi kejauhan yang kumaksud akan dimulai di pertengahan cerita. Genre-nya tragedi, berlumur asmara, dan kalian tetap mesti bersabar untuk air mata yang kujalani.Dan keringat harga diriku berbuah manis, meski mahasiswa baru yang hadir di angkatan setelahku itu
Sejatinya memang benar, Mus dan Hajar merencanakan pertemuan ini dengan cara yang cukup menyiksa kejiwaanku. Sebab Mus, Hajar, dan para anggota Enam Kelana, detik itu tersenyum ke arahku tanpa merasa berdosa.Aku sedih tapi sangat bahagia. Tak ada kamus tebal manapun yang sanggup mengartikan kebahagiaan sekaligus kesedihanku kala itu. Aku menerjang derita dan tawa tertahan yang seirama. Mereka semua pun menertawakan kelemahan diriku, yang gagal menebak pikiran Mus dan semua permainan itu.Selepas itu, pemandangan baru tercipta di langit Sidney. Aku akhirnya bisa menyaksikan Picolo dan Mus, dua orang dengan nama asli yang sama, berada dalam satu ranah pertemuan paling konyol se-muka bumi Australia. Takiya, Zoro, Wolf, Snoopy, dan Harry Potter juga rela meninggalkan rutinitas formal yang mereka demi menjemputku."Aku berandai-andai bisa mengejutkan kalian semua dengan kepulanganku. Tetapi, yang terjadi malah ...""Kau sehat-sehat saja, Big Bos kebanggaan ka
Di sini aku semakin curiga.Kakek Hwang memutar balik punggung Mus, saat kami turun dari trem. Gerakan itu adalah tanda beliau meminta Mus, menuntun sebuah keputusan. Sebenarnya aku tidak mengerti. Seakan ada yang keduanya sembunyikan dariku.Tetapi bagaimana mungkin? Sebuah perencanaan sandiawara memerlukan tidak hanya sekali pertemuan. Sementara Mus dan Kakek Hwang baru kali itu bertemu dengan kami.Entah kenapa jiwa detektifku kumat. Aku yang sempat berangan-angan menjadi seorang polisi seperti pada cerita Room Nakama, akhirnya pada suatu titik nantinya, memilih meninggalkan Mus dan Hajar sementara. Saat terakhir aku kembali ke Sidney, aku hanya mengerjakan tugas-tugas duniawi dari Professor kesayanganku.Memegangi tingkat depresi secara pribadi di antara gang-gang sempit di dalam ruh pikira
"Hm, mengenai itu ... jawabannya mudah sekali, Bee.""Apa, Mus?""Ia pasti melihat WhatsApp story Hajar. Entah tulisan Hajar itu berisi dirinya yang ingin menemukan kita, atau keadaan dirinya yang baru saja berada di Australi. Seorang yang melihat ponsel orang lain dengan bahasa percakapan asing, pasti langsung mengerti jika seseorang itu berasal dari negara yang berbeda. Apalagi melihat permulaan identitas nomornya.”"+62!""Ya, lantas juga pria itu menghubungi nomormu, karena kemungkin besar nomormu berada di posisi paling atas ... sebagai seorang yang dominan dihubungi oleh Hajar sebagai si pemilik ponsel. Apa aku benar?'"Kau sangat benar, Mus. Tepat dan sangat cerdas.""Haha, dan kau masih khawatir lagi?"