"Boo, kau dimana sekarang, aku sudah melintasi langit kedua dengan baik dan hati-hati. Rasanya di sini sangat dingin, tak ada unsur-unsur yang saling bergesekan. Semuanya jauh dari rasa bersalah manusia. Kau yang ada di ruang karbon itu pun, mungkin tak akan mengerti apa yang tengah aku alami bersama Pere. Kalian sudah melihat roh para pedagang kaki lima dan penjual batagor, kan? Bagaimana reaksi Pere memakan bola daging di langit kedua itu, Nyet?”“Pere, kita tidak bisa membuatnya terlalu banyak makan daging-daging langit itu, Buu."“Jadi, kau masih bersama Pere? Ini sudah hari ke berapa sejak kau melewati roh para penjual bakso di langit kedua? Aku tidak tahu pasti jadi aku perlu menanyakannya sekali lagi. Bola-bola ruang karbonku masih dalam perbaikan. Yang pasti aku masih merindukan semuanya berjalan pada alur yang bebas. Itu lah bagian akhir sebelum perjalanan itu dilanjutkan dan diselesaikan. Pere melintasi langit selanjutnya untuk mencari penghubung, yang bisa membuatnya menyel
Aku nyaris terlambat memasuki raga Mislah. Gadis bernama Natalie menceritakan tentang pembalasan dendam yang direncanakan Tobi, melalui kontes itu untuk menjebak Han. Aku meninggalkan Pere lagi sampai peran Mislah selesai. Han adalah seorang sahabat Tobi di masa lalu. Ia bersalah karena membiarkan ibu Tobi meninggal saat menjalani operasi.Sesuatu yang aneh disadari Tobi dan mengetahui kalau Han sembarangan mengangkat telepon saat operasi masih berlangsung. Ia kabur, menikah dengan seorang presdir dan meninggalkan Tobi yang sejatinya mencintainya.Itulah Natalie, Hani, Tobi, diriku dan bagian overview yang aku ceritakan di awal panggung itu dimulai. Itu adalah pembuka yang aku pilih sebagai laporan pada Buu di langit ke tujuh. Awal di mana aku tiba di kota Bandung di bumi ke empat. Sisi lain yang berbeda dari ruangan rahasia yang dimaksudkan Cunnul, sebelum ia diculik.Namun, masih ada hal yang kurahasiakan dari kalian dulu. Aku juga baru menyadarinya pada akhir yang budiman. Saat Han
“Yah, beberapa di antara orang-orang kebanyakan, lebih ingin bercerita dan meninggikan diri. Tetapi sedikit yang mencoba untuk belajar mendengarkan. Termasuk kontestan sebelumnya. Kontestan sebelumnya hanya mengiyakan saja dan lebih senang berbicara tentang kelebihan dirinya semata. Seolah jika itu adalah sebuah novel, itu adalah sebuah dakwah kesombongan yang membosankan. Tak ada upaya untuk mengajak juri berbicara atau memberi pertanyaan balik.”“Semua itu... apakah pujian?”“Maksud kamu?”“Anda sedang menguji saya dengan cara menjelaskan perbandingan cara bersikap dan memberi jawaban?”“Kamu ternyata lebih sensitif dari yang saya kira, Mislah. Apa mungkin itu karena...”“Korban periksakan yang akhirnya jadi pembicara tunggal. Begitu maksud Anda?”“Hmm, kamu gadis yang baik. Sekarang lanjutkan yang tadi. Para peserta lain bersama orang tua mereka menyaksikan kedewasaan di atas rata-rata kamu sekarang. Sekarang, bisakah kita berperan seolah-olah kita sedang berdebat secara elegan dan
"Benar, boleh saja kamu mengubah cara pandang pertanyaan tadi. Tetapi, apakah kita bisa saling memahami satu sama lain jika hanya sepihak yang mengerti arti tulus. Hanya sepihak di antara yang lain bisa memposisikan diri sebagai penghubung keterikatan dan kemudian saling terkait. Sayangnya, individu seperti itu biasanya terkucilkan.""Kita bisa saling mengerti jika semua memiliki kekurangan yang sama. Para korban periksakan seperti diriku, juga mungkin akan bisa dimengerti oleh korban periksakan juga. Sesama korban akan lebih saling bisa menyatu. Sedangkan pelaku, belum tentu.""Hmm, menarik melihat kepercayaan diri kamu. Begitu cara kamu memakai sudut pandang rupanya. Tetapi, bagaimana jika kamu terlahir dalam bentuk sebaliknya? Em, maksud saya... jika kamu adalah pelakunya, Mislah.""Kemungkinan itu tergantung latar belakang dan kemampuan filter diri yang di atas rata-rata.""Bisa begitu kah menurutmu?""Ya, jika kembali ke pertanyaan awal, maka semua hal tentang keterikatan, keterat
Aku ninggalin waktu pelepasan para peserta. Namun ada yang aneh. Han menghilang dari panggung. Ia tak sempat mengerti situasi yang ia tinggalkan sendiri. Betapa bodohnya dia. Aku ngerti kalau Han tipe wanita yang suka kesana kemari atas dasar kesombongan pribadi.Aku juga ngerti kalau apapun bentuk emosional dan psikologi yang dihadirkan dari dialog sebelumnya antara dan para juri, tidak semata-mata membuat perubahan apapun dalam pikiran Han. Dia memang sudah mengerti maksud dari adanya kontes itu. Waktu itu,kami semua ketahuan olehnya. Mungkin dia memang memiliki banyak mata-mata. Tobi mendadak mengirimkan aku pesan agar segera menghadang Han.Dia melarikan diri. Aku bergegas ke luar saat aku sudah yakin, kalau Cunnul dan Nyokap aku memang belum waktunya muncul. Tak ada yang bisa diharapkan lagi. Sesuatu seperti roh jahat melingkupi area ruangan kontes karena pelarian Han. Tanpa pikir panjang aku pun melakukannya.Sulit awalnya, tapi ketika pesanTobi yang berikutnya memintaku untuk m
“Ha, ha! Kau mulai mengada-ngada, Natalie. Semuanya perlu diproteksi dengan ketenangan, dan yang itu aku setuju. Aku mengadu pada semua cerminan diriku kalau asupan itu bisa datang dari mana saja. Datang seperti aliran air mengalir yang bisa saja membunuhku jika terlalu berharap berakhir pada muaranya. Dari nasehatmu, aku akhirnya sadar jika muara itu adalah kebencian. Aku lupa mengambil gayung untuk mengurung kotoran-kotoran kecil dan racun yang ikut mengalir dalam sungai nuraniku. Begitu hebatnya jika aku hanya bisa pasrah dengan diriku sendiri, sampai lupa kalau takdir bisa dirubah. Aku menganggap senyuman terakhir ibuku waktu itu adalah sebuah nasib tag tidak bisa dihindari. Bisa-bisanya aku lupa dengan sebuah perbedaan takdir dan nasib. Aku yang seharusnya mengerti dan bisa membaca pesan ibu, kalau beliau ingin aku masuk dan mengentikan operasi itu. Beliau seminggu sebelumnya juga berkata tidak membutuhkan operasi itu. Kondisi mentalnya memang tidak memungkinkan unt
"Kau sudah ada di sini, bisakah kita bersama-sama dan bekerja keras untuk ini? Melewati berbagai rintangan seperti sebuah sandiwara membutuhkan banyak stamina, Mislah. Kau hebat, aku sangat berterima kasih karena kau sudah mau datang ke Bandung dan tiba di sini. Aku, sahabatmu yang selalu menginginkan akhir baik buat, bersyukur tentang hal itu. Semua yang kau jalani."Aku sadar dan sangat mengerti di sini. Ternyata, kasus penculikan Cunnul itu juga bagian dari keanehan bersama. Suatu sandiwara yang juga bagian dari rencana. Tobi yang mengirimiku pesan itu adalah dia, Cunnul, sahabatku sendiri."Aku tidak menyangka akan jadi seperti, Nul. Aku merasa lebih berbahaya berdiri sendiri sekarang. Bisakah kau jelaskan apa arti semua ini? Menurutmu, apakah kau tidak berbeda sama sekali dari sosok sahabat yang aku kenal selama ini? Aku takut kalau saja...""Aku tetap lah sahabatmu, Mislah. Tak ada yang bisa mengubah status itu. Kau tahu, kau sudah benar berada di sini. Di
"Tapi aku tidak butuh rasa kasihan darimu. Han, dulu rasanya bagiku kau adalah sebuah anugerah tak ternilai. Selalu bisa menenangkan di saat tak ada orang yang bisa diajak bicara. Rasanya kau begitu nyaman untuk didekat dan diajak berpikir tentang hidup. Namun jauh setelah hari itu, semua mengubah persepsiku tentangmu. Kau hadir dengan gerak yang tiada pasti.""Kau tidak mengerti, Cunnul.""Kau yang tidak mengerti! Aku yang mestinya berkata seperti itu! Kau memang pandai bermain seolah kau adalah korbannya! Itu yang kau sebut dengan menyayangiku? Atau kau menganggap dirimu orang yang paling bisa mengerti tentang rasa kasihan? Kau bahkan tidak pernah menghargai setiap usaha kecilku, dan ketika giliran aku yang melakukan itu, kau tidak bisa bersabar layaknya aku.""Baiklah, aku salah. Kau bebas mengeluarkan isi pikiran dan bebanmu sekarang. Setidaknya kau senang karena sebentar lagi aku akan dipenjara, kan?"Cunnul mendadak menangis kecil. Terlihat dari bul
Aku menyampaikan bukan apa yang kuanalisakan. Aku menyampaikan semua kerangka hatiku terhadap PBB. Seperti ucapanku pada Sir Yadin, aku lebih suka menjadi pengamat daripada pendebat.Aku bahkan hanya menyampaikan empat poin dari tujuh poin yang ada di benak pikiranku. Padahal waktu masihlah setia menungguku selesai berargumen. Namun aku memilih menyimpan sisanya untuk sebuah niat yang abstrak.“Jika kita bicara perdamaian, maka kita tidak perlu bicara senjata! Bagiku, perdamaian di dunia ini hanyalah ilusi. Tidak akan pernah ada perdamaian karena manusia tidak akan pernah bisa saling memahami satu sama lain. Sejarah telah mengatakan itu semua,” bukaku menahan kegugupan.“Jika Anda berargumen lima anggota tetap PBB tidak boleh dihapuskan dengan alasan senjata yang kuat, maka pernyataanku tentang perdamaian sebelumnya itu benar. Semua negara hanya memposisikan diri layaknya boneka-boneka manis yang saling memeluk. Sementara di balik itu ada peran
“Bee, kau tak lihat kesusahanku?”“Iya Pak, aku bantu!” responku seraya tersenyum miring. “Kambing ini akan melahirkan daun-daun muda paracendekia juga Pak?”“Ah, kau ini membahas apa? Kau tak tahu kita akan melakukan karantina untuk mahasiswa-mahasiswi terpilih?"“Lomba apa?”“Ini untuk persiapan lomba debat di Bali yang aku ceritakan pada kau waktu itu!”“Oh, iya. Baiklah. Lalu?”“Kau juga harus ikut.”“Tapi Bahasa Inggrisku kurang manjur sebagai alat perdebatan. Akan lebih berfungsi jika digunakan merangkai puisi dan cerita pendek, Pak!”
“Iya, baiklah. Thank you, mr … atas tumpangan berharganya.”“Oh? Maksudnya?”“Hem … tidak. Bukan apa-apa,” balasnya senyum. Ia lalu masuk ke asrama puteri.Dan aku kembali merencanakan sisa impianku yang belum kelar. Picolo akan menjadi tangan kananku untuk bisa meraih langit Melbourne. Aku tak bermaksud mempermainkan kejantanan Picolo. Aku ingin dia menjadi seperti halnya Mus yang dulu. Nama mereka juga sama.Ya, tidak ada pertemuan tanpa maksud. Selalu ada alasan di balik semua wujud perpisahan. Dan gadis berjilbab zebra tadi, akan menjadi loncatan asmara yang menghadirkan relikul pilihan bertubi-tubi dalam hidupku. Aku harus memilih antara bertemu dengan impianku atau menggarisbawahi drama asrama picisan bersamanya.
Kertas bertuliskan Macquarie di atas dinding asrama sudah terlihat lagi lima bulan kemudian. Sebulan kemudian yang kumaksud adalah di bulan Agustus ketika burung-burung camar menyapu udara kotor secara gamblang di langi-langit pagi. Aku menerima kabar perpisahan spektakuler pagi-pagi. Namun hatiku berhijrah ke arah ruang alasan pencabutan kertas putih itu.Pencabutan itu menyisakan kesendirian bagi gambar Melbourne dan deretan impianku bersama Mus. Tak ada lagi orang ketiga. Di antara baris mimpi tertulis itu, hanya impian-impian kecil seperti memiliki laptop, handphone, sahabat, keterampilan pendukung, dan lainnya yang terwujud.Lantas masih banyak target-target kecil dan satu impian besar belum bisa diberi tanda. Dan impian terbesar itu kau tahu sendiri, berjumpa dengannya di Melbourne.Andai aku cekatan dalam menafsirkan maksud, mungkin mudah bagiku menebak esensi Mus berjumpa denganku di Melbourne atau Sidney sementara ia berada di negeri tetangga. Jika kau lebih paham dariku, kau
“Mr melamunkan apa?”“Big Bos?”Picolo dan Zoro tersentuh.“Aku tidak apa-apa. Hanya tiba-tiba tersengat masa lalu.”“Itu filosofi?” tanya Harry Potter yang telah bangun.“Big Bos selalu penuh dengan gramatikal pemikiran baru,” puji Takiya yang ternyata telinganya semakin hidup.Itu adalah tahun permulaan aku merasakan rasanya namaku dipanggil dengan awalan ‘mr’. Aku juga merasa tua dan jiwa pemuda seolah-olah tertimbun kepingan-kepingan polos penasaran mereka. Dan itu berlaku setiap waktu. Untungnya sebutan ‘Amak Toak’ milik Bang Ari tidak bereinkarnasi padaku sebagai pengganti beliau.Namun diskusi aneh itu tak berlanjut. Waktu perkuliahan menggunting kesempatan dari pertanyaan bodoh kami keluar. Meski semua anggota ‘6 Kelana’ mengambil program studi Bahasa Inggris, tidak menutup batang otak kami untuk mendiskusikan hal-hal lain. Ya, mesk
Aku juga pernah mendapat ingatan dari sekuel Room Nakama, tentang kisah seorang yang sudah meninggal. Ia adalah pendiri Room Nakama dan merangkum kisah tawa dan lara. Saat itu, Bee yang dirindukan Natalie memiliki kisah masanya sendiri bersama teman-temannya yang dulu.Dia adalah belahan kisah dari ingatanku. Aku dan sahabatku bernama Mus serta beberapa penggal memori yang dulu.Mimpi terjauh di atas kerak bumi yang mesti kugali sedalam mungkin, timbul liar di baris-baris cerita selanjutnya. Namun sekali lagi, mimpi bertemu dengan Mus di Melbourne masih jauh. Ah! Mungkin kau belum paham lantaran kita masih sampai permulaan. Aku harap kau tahan dengan apapun bentuk pelapisan diri dan perjuangan harapan yang kulakukan nanti.Dan mimpi kejauhan yang kumaksud akan dimulai di pertengahan cerita. Genre-nya tragedi, berlumur asmara, dan kalian tetap mesti bersabar untuk air mata yang kujalani.Dan keringat harga diriku berbuah manis, meski mahasiswa baru yang hadir di angkatan setelahku itu
Sejatinya memang benar, Mus dan Hajar merencanakan pertemuan ini dengan cara yang cukup menyiksa kejiwaanku. Sebab Mus, Hajar, dan para anggota Enam Kelana, detik itu tersenyum ke arahku tanpa merasa berdosa.Aku sedih tapi sangat bahagia. Tak ada kamus tebal manapun yang sanggup mengartikan kebahagiaan sekaligus kesedihanku kala itu. Aku menerjang derita dan tawa tertahan yang seirama. Mereka semua pun menertawakan kelemahan diriku, yang gagal menebak pikiran Mus dan semua permainan itu.Selepas itu, pemandangan baru tercipta di langit Sidney. Aku akhirnya bisa menyaksikan Picolo dan Mus, dua orang dengan nama asli yang sama, berada dalam satu ranah pertemuan paling konyol se-muka bumi Australia. Takiya, Zoro, Wolf, Snoopy, dan Harry Potter juga rela meninggalkan rutinitas formal yang mereka demi menjemputku."Aku berandai-andai bisa mengejutkan kalian semua dengan kepulanganku. Tetapi, yang terjadi malah ...""Kau sehat-sehat saja, Big Bos kebanggaan ka
Di sini aku semakin curiga.Kakek Hwang memutar balik punggung Mus, saat kami turun dari trem. Gerakan itu adalah tanda beliau meminta Mus, menuntun sebuah keputusan. Sebenarnya aku tidak mengerti. Seakan ada yang keduanya sembunyikan dariku.Tetapi bagaimana mungkin? Sebuah perencanaan sandiawara memerlukan tidak hanya sekali pertemuan. Sementara Mus dan Kakek Hwang baru kali itu bertemu dengan kami.Entah kenapa jiwa detektifku kumat. Aku yang sempat berangan-angan menjadi seorang polisi seperti pada cerita Room Nakama, akhirnya pada suatu titik nantinya, memilih meninggalkan Mus dan Hajar sementara. Saat terakhir aku kembali ke Sidney, aku hanya mengerjakan tugas-tugas duniawi dari Professor kesayanganku.Memegangi tingkat depresi secara pribadi di antara gang-gang sempit di dalam ruh pikira
"Hm, mengenai itu ... jawabannya mudah sekali, Bee.""Apa, Mus?""Ia pasti melihat WhatsApp story Hajar. Entah tulisan Hajar itu berisi dirinya yang ingin menemukan kita, atau keadaan dirinya yang baru saja berada di Australi. Seorang yang melihat ponsel orang lain dengan bahasa percakapan asing, pasti langsung mengerti jika seseorang itu berasal dari negara yang berbeda. Apalagi melihat permulaan identitas nomornya.”"+62!""Ya, lantas juga pria itu menghubungi nomormu, karena kemungkin besar nomormu berada di posisi paling atas ... sebagai seorang yang dominan dihubungi oleh Hajar sebagai si pemilik ponsel. Apa aku benar?'"Kau sangat benar, Mus. Tepat dan sangat cerdas.""Haha, dan kau masih khawatir lagi?"