“BARON! GARENG! Cepat kemari! Usir lelaki busuk ini dari hadapanku, aku muak melihatnya di sini! CEPATTTT!” teriakan Raden Wanara menggelegar memanggil abdinya. Mendengar teriakan itu, kedua abdi yang dipanggil bergegas menuju ruangan utama. Mereka berjalan membungkuk mendekati majikannya itu. Gareng tercengang melihat Hasta yang tampak menyedihkan, pemuda itu terlihat sedang menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya. Sedangkan Sri Respati menangis tersedu di pelukan ibunya.“Romo, jangan usir Kang Hasta. Aku mohon Romo, kami saling mencintai! Aku tidak peduli dengan derajat atau apa pun itu. Aku hanya ingin hidup bersama dengan orang yang aku cintai Romo!” ucap Sri Respati memohon.“Selama ini aku selalu memanjakanmu! Semua keinginanmu selalu aku turuti apa pun itu. Aku memberikanmu tempat tertinggi dengan semua harta yang aku miliki! Tapi sekarang kau mau menghianatiku Nduk! Jangan mimpi! Buang semua pikiran bodohmu itu! Aku tak akan membiarkanmu menghancurkan martabat keluarga
“Memang akulah yang melakukannya, aku memang sangat menginginkanmu, dan kulakukan apa pun agar keinginanku itu tercapai! Akulah satu-satunya orang kejam di sini! AKU!” seru Raden Wanara membuka kembali cerita masa lalunya.“Dan kini kau juga akan melakukan hal yang sama kepada anakku? Kau akan melakukan apa pun demi memenuhi egomu! Belum puaskah kau membuatku menderita selama ini Kang!” teriak Nyai Larasati histeris.“Penderitaan apa yang kamu maksud? Apakah aku pernah menyakiti hatimu, apakah aku pernah mencari wanita lain meskipun tidak sedikit pun kamu memberikan perasaan cintamu kepadaku? Apakah aku pernah memperlakukanmu dengan kasar seberapa pun murkanya aku? Apakah aku pernah menolak keinginanmu? Jawab Diajeng! Jawab!” teriak Raden Wanara meluapkan penat di hatinya. Nyai Larasati membisu. Dalam hatinya ia membenarkan semua ucapan Raden Wanara. Meskipun ia telah memisahkannya dari lelaki yang ia cintai, tapi tak pernah sekali pun ia diperlakukan dengan buruk. Raden Wanara sangat
Sri Respati bersama Ki Mangun berangkat pada siang harinya. Nyai Larasati mempersiapkan salah satu kereta kuda milik Raden Wanara untuk digunakan Sri karena tempat tujuan mereka yang lumayan jauh. Mereka pergi tak lama setelah Raden Wanara menuju kotaraja untuk menyampaikan jawaban atas pinangan yang telah diterima.…Kereta kuda telah berjalan lumayan jauh meninggalkan Dusun Kembang Kuniran. Mereka sudah seperempat perjalanan dan kini sedang berada di jalan utama antar dusun. Kereta kuda berjalan pelan karena jalanan yang dilalui basah dan licin. Mungkin daerah ini didera hujan besar semalam. Roda kereta yang terbuat dari kayu itu bahkan sempat amblas di tanah yang berlumpur. Saat seperti inilah keahlian Ki Mangun dalam mengemudikan kereta kuda diperlihatkannya. Ki Mangun termasuk seorang sais yang sangat ahli. Ia sudah mahir mengemudikan kereta kuda sejak usia muda. Pengalamannya sudah tidak diragukan lagi. Apalagi dia adalah orang yang pintar mencari arah serta paham jalur-jalur ya
Sri Respati membuka pintu kereta dan turun perlahan dibantu oleh Ki Mangun. “Menakutkan Ki,” ucap Sri Respati. Bulu kudunya seketika berdiri merasakan suasana hening bercampur mistik di tempat ini. Sri Respati menyapu pandangannya ke sekeliling. Baru kali ini ia menginjakkan kaki di tempat yang mampu membuat nyalinya langsung ciut. Entah hanya perasaan atau karena ketakutannya yang terlalu besar, Sri Respati seperti mencium aroma busuk sekaligus aroma kemenyan yang menusuk hidungnya. Tiba-tiba angin yang cukup kencang bertiup membuat dedaunan di sekeliling tempat itu bergerak ringan ke kiri dan ke kanan. Sontak Sri Respati mendekap lengan Ki Mangun. Lelaki paruh baya itu tersenyum geli melihat tingkah ndoro ayunya. Meskipun begitu ia tidak menampik bahwa suasana di tempat ini memang sangat berbeda. Dari luar gerbang hanya terlihat pepohonan yang rimbun, seperti tidak ada kehidupan di dalam sana. Apa mungkin Jaya Wijaya ayah Sri Respati tinggal di tempat seperti ini. Kalau memang benar
“Romo, sepertinya Romo sudah mengetahui semua tentang diriku dan yang terjadi padaku, apa selama ini Romo mengawasiku?” pancing Sri Respati.“Heeemm, bukan aku yang mengawasimu Nduk cah ayu, tapi yang ada di atas sana, Sang Dewata!” jawab Ki Jaya Wijaya. Senyuman tipis tersungging di bibirnya.“Aku tidak paham Romo.”“Nduk, saat aku kehilangan ibumu dan harus minggat dari tempat kelahiranku, dunia ini seperti runtuh menimpa kepalaku. Aku terus berjalan tak tentu arah, hingga sampailah aku di tempat ini. Apa kamu tahu apa yang ingin aku lakukan di tempat ini dulu?” tanya Jaya Wijaya. Pandangannya tertuju pada Sri. Gadis itu menggeleng pelan ketika dilihatnya sang ayah seperti menunggu jawabannya.“Aku ingin mengakhiri hidupku di sini. Tapi setelah berdiam diri beberapa lama, aku malah mendapatkan ketenangan batin. Jiwa ragaku bersatu dengan alam dan membuatku semakin mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widi Maha Pencipta. Akhirnya aku dapat melepaskan diri dari urusan duniwi. Aku sudah
Hampir dua belas purnama Misah menjadi bagian dari keluarga bangsawan karena diperistri oleh Raden Wikrama Manggalayuda. Ia tinggal di salah satu kamar di kediaman suami barunya itu. Kamar yang luas dengan segala perabotan lengkap di dalamnya. Pakaian bagus hingga perhiasan emas telah dimilikinya. Untuk mendapatkan apa yang dia butuhkan, Misah hanya perlu memintanya kepada para emban. Nyai Sri Gandawangi tak pernah memperlakukan dia dengan buruk. Wanita itu sebenarnya jarang sekali bertegur sapa dengan Misah sejak hari pernikahan. Ia lebih sering berada di dalam kamarnya dan kadang ia pergi untuk bertemu ibu dan ayahnya di Dusun Kembang Kuniran. Sedangkan Raden Wikrama Manggalayuda sangat sibuk dengan urusan-urusannya di istana. Prabu Sentanu meminta bantuannya untuk menyelesaikan beberapa masalah kerajaan. Sehingga ia sering pergi bolak balik ke kotaraja. Bahkan terkadang ia harus menginap di istana dalam waktu yang cukup lama. Seperti saat ini, sudah empat puluh hari Raden Wikrama t
Selesai makan Raden Wikrama menyusul istrinya ke kamar mereka. Dilihatnya Nyai Sri sedang termenung di tepi pembaringan. Wajahnya murung dan tidak memiliki semangat.“Dek Sri,” panggil Raden Wikrama. Suara lelaki itu seketika membuyarkan lamunan Nyai Sri. Senyuman tipis tersungging di sudut bibirnya melihat suaminya datang menghampiri.“Kakang, sudah selesai makan?” ucap Nyai Sri tak bertenaga.“Dek Sri, kamu kelihatan lemas sekali. Aku akan minta Nyi Darsan membuatkan makanan kesukaanmu. Sepertinya kamu tidak berselera dengan makanan tadi. Ayo katakan, kamu ingin makan apa?” ucap Raden Wikrama lembut. Ditatapnya wajah cantik istrinya yang tidak pernah pudar. Diusapnya pundak Nyai Sri dengan penuh kasih sayang. Nyai Sri tidak bergeming mendengar ucapan suaminya. Dia hanya diam dan sesekali memilin-milin rambut panjangnya yang menjuntai di pundak.“Dek Sri, tolong berceritalah! Katakan apa yang terjadi! Apa yang mengganjal di hatimu sehingga sikapmu tidak seperti biasanya? Kalau kamu
Hari ini tak seperti biasanya Nyai Sri bangun kesiangan. Mungkin karena semalam ia sibuk memikirkan siasat untuk bisa membuat suaminya tunduk kembali padanya. Sepanjang malam Raden Wikrama tak melepaskan pelukannya. Terlihat sekali bahwa ia sangat takut kehilangan Nyai Sri. Saat terlelap pun Raden Wikrama bahkan sempat mengigau memanggil-manggil nama istrinya itu meskipun dia ada di sampingnya. “Sebegitu besarkan cintamu untukku Kang. Kau pernah bilang bahwa kau mencintaiku pada pandangan pertama meskipun kau belum mengenalku?” ucap Nyai Sri lirih. Dipandanginya wajah tampan suaminya yang terlelap tidur di sisinya. Nyai Sri bisa mendengar suara napas Raden Wikrama karena lelaki itu memeluk tubuhnya dengan erat. Sebenarnya wajah Raden Wikrama tidak kalah tampan jika dibandingkan dengan Hasta. Kulitnya bersih bercahaya khas pria bangsawan. Sedangkan Hasta memiliki kulit coklat yang membuatnya tampak manis dan maskulin. Garis wajah mereka sama tegasnya. Mungkin Hasta juga bisa setara den
“Misah! Tenanglah!” Raden Wikrama menahan tangan Misah yang tidak berhenti memukul dadanya. Ia bisa merasakan tangan kurus istrinya begitu dingin dan lemah. Digenggamnya tangan itu kuat-kuat. Misah mencoba meronta melepaskan diri, tapi tenaganya hanya sekuat ranting pohon kering yang dengan mudah dipatahkan. Raden Wikrama mencoba menenangkan Misah dan berusaha mendekapnya. Entah mengapa gadis itu tidak bisa menahan diri lagi dihadapan suaminya, ia terus meronta seperti orang kesetanan. Misah ingin sekali melubangi dada Raden Wikrama dan merobek tabir sandiwara yang sedang menyelubunginya. Tangis Misah semakin menjadi, ia menumpahkan segala kesedihannya di dada Raden Wikrama.“Hentikan sandiwaramu Raden! Hentikan! Sampai kapan kau akan terus berbohong!” ucap Misah disela amukannya.“Misah!” teriak Raden Wikrama. “Bicaralah baik-baik agar aku paham!” ujarnya gemas. Raden Wikrama kembali mencengkeram pundak Misah dan mengarahkan wajah gadis itu agar menatapnya. Misah tak sanggup melawan
“Misah akan diasingkan ke hutan Kang, dan kalianlah yang akan mengawalnya!” Rangga dan Galuh kembali saling pandang.“Bukankah gadis itu baru saja melahirkan? Bagaimana dengan bayinya?” cetus Galuh.“Anak haram itu akan ikut bersama ibunya!” jawab Nyai Sri dingin.“Apakah perselingkuhan ini sudah terbukti? Bagaimana dengan lelaki selingkuhannya? Apa dia juga akan mendapat hukuman? Tolong ceritakan lebih rinci Nyai! Kami butuh kejelasan agar tidak terjadi kesalahan di kemudian hari!” ujar Galuh meminta kepastian. Sejujurnya kedua prajurit itu belum sepenuhnya tahu kejadian yang sebenarnya. Mereka hanya mendengar sedikit dari abdi yang memanggilnya dan dari ucapan para warga yang sedang membicarakannya.“Ceritanya sederhana Kakang. Misah hamil dan melahirkan anaknya di saat Raden Wikrama menunaikan tugas dari istana. Saat itu suamiku tidak pulang selama lebih dari satu tahun. Ketika Raden Wikrama pulang, dia merasa kaget karena istri mudanya memiliki seorang anak padahal dia merasa belu
Nyi Sambi duduk di antara kerumunan warga yang sedang menunggu kejelasan berita yang tersebar. Berita tentang pengkhiatan istri kedua Raden Tumenggung membuat gempar seluruh warga Dusun Manis Jambe. Jika berita itu terbukti benar maka mereka bisa menyaksikan secara langsung hukuman yang akan dijatuhkan nantinya. Ini adalah kali ketiga seorang wanita dihukum karena melakukan pengkhianatan. Sebelumnya ada seorang wanita menjalani hukuman diasingkan ke hutan karena berselingkuh meskipun tuduhan itu belum terbukti benar. Tak lama setelah kejadian pertama warga dusun dibuat geger dengan kejadian kedua ketika seorang lelaki memergoki secara langsung istrinya tengah melakukan tindakan tidak senonoh dengan pria lain. Saat itu si suami yang tidak terima langsung membabat leher lelaki selingkuhan istrinya itu hingga tewas di tempat. Hati yang sedang panas dan pikiran yang kacau membuat lelaki itu melakukan hal gila. Tanpa belas kasihan ia mengarak istrinya berkeliling dalam keadaan telanjang bu
“Sudahlah Nduk! Jangan keras kepala! Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan hidupmu dan anakmu ini. Tidak peduli bagaimana caranya, turutilah usul Jalu Nduk!” sahut Nyi Darsan.“Mbok, bagaimana aku akan hidup nantinya jika di dahiku tertulis kata pengkhianat. Aku tidak sanggup menanggung omongan buruk orang lain Mbok!” jawab Misah. Hatinya sudah benar-benar beku. Kebencian dan rasa kecewa membuatnya tak kenal takut. Lagi pula dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Hidup terasing di hutan atau hidup di sini sama saja baginya. Dia akan merasa kesepian.“Hidup di mana pun sama saja Mbok!” ucap Misah sendu. Matanya kembali mengembun.Jalu merasa sangat kesal dengan sikap Misah yang terlalu pasrah. Tapi dalam hati ia memahami semua pemikirannya. Memang benar bahwa ucapan buruk manusia lebih kejam dari serangan binatang buas mana pun.“Baiklah jika itu keputusanmu! Jangan menyesalinya Misah! Dasar kepala batu!” Jalu mengakhiri ucapannya dan bergegas angkat kaki dari kamar Misah. Tat
“Nduk cah ayuuuuuuu Misah!” dengan hati yang hancur Nyi Darsan berjalan cepat mendekati Misah kemudian memeluknya. Gadis itu tampak termangu, matanya membelalak gelap memandang lurus ke depan. Ia sedang berusaha menahan tangis yang tadi sempat mereda. Dengan lembut Nyi Darsan membelai punggung Misah. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu dingin dan gemetar. Santi yang tadi sempat terbangun kini sudah tidur kembali. Nyi Darsan menggapai bayi itu saat akhirnya Misah tidak sanggup lagi menahan air matanya. Gadis itu menangis dengan suara tertahan. Perasaannya begitu terluka dan kecewa hingga kata apa pun tidak sanggup untuk menggambarkannya. “Misah! Kenapa kamu tidak mau berkata jujur! Kenapa kamu selalu memendam sendiri apa yang kamu rasakan Nduk! Seharusnya sejak awal kau ceritakan semua yang terjadi pada Simbok. Meskipun Simbok tidak bisa meringankan bebanmu, tapi setidaknya Simbok bisa membelamu di saat seperti tadi Nduk!” ujar Nyi Darsan panjang lebar. Wanita tua itu memandang Misah d
Suasana petang ini begitu mencekam, suara binatang malam mengiringi tangisan lirih Misah yang sedang mendekap Santi dalam pelukannya. Bayi mungil itu terbangun mendengar ribut-ribut di kamarnya yang sejak tadi belum juga selesai. Tampak Nyai Sri duduk di kursi kayu sedang Raden Wikrama masih membeku di pembaringan berhadapan dengan Misah.Para emban dan abdi yang sejak awal asyik menjadi penonton belum ingin beranjak dari tempatnya. Mereka saling berbisik mencoba menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Nyi Darsan yang merasa sangat cemas terus memanjatkan doa kepada Dewata demi keselamatan gadis lugu itu. Sedangkan Jalu yang sejak tadi duduk berjongkok tak henti mengobrak abrik rambut panjangnya karena merasa gelisah. Ia merasa cemas memikirkan nasib sahabatnya itu. Tuduhan yang dilontarkan oleh Raden Wikrama kepada Misah bukanlah tuduhan yang main-main. Misah bisa mendapatkan hukuman berat jika semua tuduhan itu terbukti benar. Dalam budayanya, secara tidak tertulis ada peraturan
Perlahan Raden Wikrama menyibak kelambu itu. Terlihat tubuh Misah yang menjadi lebih kurus dari sebelum ia meninggalkannya.“Kamu jadi lebih kurus Nduk, apa kamu sakit?” Misah tidak menjawab, Raden Wikrama mengalihkan padangannya pada bayi mungil di sampingnya. Bayi itu tampak tenang dengan tubuh yang terbungkus kain hingga terlihat seperti kepompong, “Bayi ini cantik sekali, siapa namanya?”“Apakah Raden senang melihat bayi ini?” ucap Misah dengan suara bergetar. Raden Wikrama terdiam, ia bingung harus menjawab apa.“Apakah ini yang Raden harapkan dariku!” cetus gadis itu.“Apa maksudmu Nduk? Katakan dengan jelas apa yang ingin kamu sampaikan! Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Raden Wikrama tanpa berbasa-basi lagi.“Kenapa Raden bertanya padaku! Bukankan ini yang Raden inginkan dariku!” seketika Misah bangkit dari posisinya. Ia menatap tajam Raden Wikrama yang berlaga bodoh dengan yang terjadi padanya. “Bukankah Raden tahu sendiri kejadiannya! Raden bohong padaku, Raden sudah mengin
“Apa kau bersungguh-sungguh Dek Sri, jangan menggodaku!” ucap Raden Wikrama seakan tak percaya. Wajahnya seketika memucat, ia mengalihkan pandangan mencoba menyembunyikan kekagetannya.“Kenapa Kang, aku tidak bohong. Untuk apa aku menggodamu, aku bersungguh-sungguh! Apa ada masalah Kakang?” pancing Nyai Sri. Ia mencoba mencari tahu apa yang ada di benak suaminya setelah mengetahui bahwa Misah juga telah melahirkan. Nyai Sri yakin suaminya sedang bingung dan berprasangka buruk terhadap gadis itu. Ia pasti berpikir bahwa anak yang lahir itu bukanlah darah dagingnya.“Kang?” seru Nyai Sri membuyarkan lamunan Raden Wikrama.“Eh, Iya Dek Sri,”“Kakang melamun?”“Tidak Dek Sri, aku cuma sedikit lelah!”“Ya sudah Kang, sebaiknya Kakang istirahat dulu! Aku akan menyuruh Nyi Darsan menyiapkan makanan,” Nyai Sri meraih Gandara dari gendongan suaminya, kemudian ia meletakkan tubuh mungil yang masih terlelap itu di atas pembaringan. Dengan lembut, Nyai Sri mengecup kening Raden Wikrama kemudian b
“Apa maksudmu Misah?” ucap Jalu pelan. Pemuda itu seketika kaget sekaligus takut mendengar ucapan Misah yang lumayan keras. Buru-buru ia berjalan mendekat kemudian memanjat teralis jendela kamar itu.“Apa maksudmu?” ulang Jalu berbisik. Ia takut ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka.“Aku bilang, aku benci pada suamiku Kang! Benci! Dia sudah melanggar janji,” ucap Misah dengan raut menahan amarah. Pemuda itu masih bingung dengan ucapan Misah, ia berencana melompat masuk ke kamar sebelum akhirnya urung dilakukan karena kedatangan Nyi Darsan yang tiba-tiba.“Le, Cah Bagus, kamu ngapain nangkring di jendela? Kamu tadi dicari Lek Parmin di belakang, cepat sana!” ujar Nyi Darsan. Jalu menarik kembali kakinya yang telah setengah jalan masuk ke dalam kamar.“Eh, Simbok,” ucap Jalu canggung. Pemuda itu mengurungkan niatnya untuk mencari tahu lebih dalam tentang apa yang sebenarnya dialami Misah. Ia memutuskan untuk memperjelasnya lain waktu. Dengan lincah Jalu turun dari jendela tem