Rose menatap wajahnya di depan cermin untuk memastikan kembali bagaimana penampilannya. Sedikit bersyukur dia mendapati polesan make – up membuat dirinya tampak lebih segar, hanya perlu menambahkan lipstik merah menyala pada bibir sebagai sentuhan terakhir.
Bukan tanpa alasan Rose memilih warna merah. Selain karena tuntutan pekerjaan yang membuatnya harus terlihat panas, merah juga melambangkan keberanian. Rose mendesah. Perlahan tangannya bergerak mewarnai bibir sendiri dan kini penampilannya tambah sempurna. Sudah hampir jam enam sore, lima menit lagi dia harus segera ke kamar klien melakukan pekerjaan seperti biasa. Mengenai kontrak kerja, pemberi dan penerima jasa sudah menandatangani surat perjanjian. Rose hanya perlu melayani, lalu dibayar—maka semuanya selesai. mumpung mendapat jam kerja lumayan senggang. Begitu pulang awal, dia bisa langsung merebahkan dirinya di dalam kamar.Rose melangkahkan kaki keluar dari ruang ganti mil“Suka menantang. Sepertinya bibir nakalmu perlu dihukum.”Theo menyeringai penuh peringatan. Tangan kiri yang terbebas digunakan untuk menekan dagu Rose agar mendongak. Kebetulan sekali bibir itu setengah terbuka, Theo punya kesempatan langsung melumatnya.Mata yang sempat terpejam terbuka lebar begitu lidah basah itu bertemu miliknya. Sialan! Ada apa dengan tubuh wanita ini, kenapa sangat berefek pada dirinya? Setiap inci tubuh Rose seperti mengandung heroin—meningkatkan kadar dopamin di dalam otak. Theo tidak pernah merasakan lumatan senikmat itu selama sisa hidupnya menjadi seorang bajingan. Dia ketagihan!Sayang sekali, saat hendak mempertemukan kambali bibirnya pada Rose. Wanita itu lebih dulu menyikut tulang rusuk Theo.“Lancang sekali kau menciumku!” Makian keras, disusul injakkan di kaki Theo sontak membebaskan Rose dari kurungannya.“Bar – bar!” kesal Theo tertahan. Kaki yang masih dibalut sepatu pento
“Ka—kau masih perawan?”Tidak ada jawaban dari Rose. Theo rasa bertanya saja tidak cukup. Dia kemudian menunduk, matanya membulat penuh tak percaya melihat darah di bawah. Bagaimana bisa Rose, pelacur yang begitu rendah di matanya adalah seorang gadis suci?Theo pikir Rose wanita munafik yang menjadikan point – point penting pada kontrak kerjanya sebagai alibi agar wanita itu dibayar tinggi. Dia salah besar. Selama sisa hidupnya, tidak pernah sekali pun Theo menyentuh seorang perawan. Bahkan calon mantan istrinya sendiri, Magdalena, adalah wanita bekas pria lain. Theo menggeleng samar. Perasaan bersalah mulai melucuti sebagian besar hatinya. Ntah pada Rose atau pada siapa, yang saat ini Theo pikirkan adalah janjinya. Janji terhadap seseorang yang teringkar pada hari ini.Dara ....Nama itu seketika memukul isi kepala Theo. ‘Berjanjilah padaku, jangan menyentuh seorang gadis, Dore. Jangan merenggut harta paling berharga milik mereka.’Bayangan akan memori usang terngiang – ngiang bag
Kuandaikan kau laut, aku sungainya dan hubungan kita adalah muara, yang mana luasmu takkan mampu menghentikanku menyelam lebih jauh.Bridgette Elen Lagos.--------------------------------“Fine! Kau yang memaksa.” Theo tersenyum sinis. Sekali pekik, suaranya menggelegar memanggil seseorang di luar sana.Lion merasakan perbedaan dari suara bariton milik tuannya. Dia bergerak membuka pintu, masuk menemui Theo yang sedang berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tatapan sinis, angkuh, tajam dan kejam bisa Lion lihat dari sorot abu – abu milik Theo. Sudah lama sekali Lion tidak mendapati pemandangan langka seperti itu. Dia seperti dipaksa mengenang masa – masa di bawah enam tahun silam. Setahu Lion, sejak kepergian Dara, tuannya berubah dari yang serupa dewa yunani kejam menjadi lebih baik dan akhirnya memilih menjalankan kehidupan normal sebagai seorang bos. Tapi sekarang semua seakan kembali, menjerat Theo hingga tak terlihat sisi kebajikan dalam dirinya.“Tarik selimut itu d
Cantik itu lara.-------------------------------- Derap kaki itu menggema mengisi kekosongan di sepanjang keheningan. Sayup – sayup napas yang memburu, seakan membidik perkakas yang dibiarkan dingin sendiri. Suara decitan pintu menjadi petanda ruang dibiarkan kosong kembali dijatuhi harapan. Theo dengan tatapan dingin menusuk berjalan masuk menuju singgasana hampa. Sebuah figura besar tergantung begitu anggun di antara remang – remang cahaya.Langkah putus asanya terhenti. Kakinya ditekuk, dia berlutut di hadapan figura besar tersebut, di mana seorang wanita cantik—tergambar begitu sempurna di dalamnya.“Maafkan aku,” cicit Theo dengan kepala menunduk dalam. “Maaf telah mematahkan janjiku padamu. Aku melakukannya, merenggut kesucian seseorang,” lanjutnya sembari menggeleng pelan.“Dar....”Theo mendongak, memanggil nama yang nyaris tak pernah terucap dari bibirnya.“Kenapa diam?” tanyanya persis seperti manusia tidak waras. Dia tidak bicara pada seseorang yang masih bernyawa. Figura
Rose menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sesekali dia menoleh dan mendapati Oracle-nya sudah tertidur pulas.Rose merasa bersalah telah mengungkap rahasia kecilnya, yang secara tidak langsung membongkar identitas Oracle pada Xelle.Hanya karena satu orang, semua masalah menjadi runyam. Theo memang pembawa petaka, kebohongan yang dilakukan pria itu menimbulkan konflik lain. Rose tidak akan mungkin memberi tamparan pada Xelle, jika saja dia tahu Theo membohonginya.Saat pertama kali mendengar, Rose tak ingin percaya. Tapi kenyataan mengenai fakta, di mana Theo pernah mengungkap kebenaran hubungan pria itu bersama Sean tempo lalu—meragukan Rose untuk mengabaikan pernyataan Theo. Rose sudah dipermainkan, dia merasa bodoh mengingat bagaimana Theo mengerang saat menyentuhnya.Haruskah Rose menyalahkan reaksi tubuh yang tak bisa berontak? Atau lebih baik dia lemparkan semua kesalahan pada Theo yang memiliki tenaga dalam berbeda dari orang biasa? Rasanya
“Akan kukembalikan setelah kau melayaniku secara sukarela, bagaimana?”Perlototan tajam menjadi hadiah. Theo mengedikkan bahu merasa tak terbebani. Semua pilihan ada di tangan Rose. Setuju atau tidak Theo akan tetap menyentuhnya. Sisa – sisa kenikmatan masih berkecamuk dalam kepala, belum terlupa bagaimana perpaduan lendir dan kehangatan Rose begitu menghantuinya.“Buka pintunya! Aku mau keluar.”Theo melirik sinis. Mobil kemudian dijalankan dengan kecepatan tinggi. Oracle sudah bersama Lion, dia tidak perlu memusingkannya. Hanya menjadikan Oracle sebagai umpan untuk memancing ikan segar.“Berhenti! Kau mau membawaku ke mana?”Rose menatap nyalang Theo, pria itu sama sekali tidak memedulikannya. Jalanan yang dilewati bukan jalan kembali ke apartement, lebih menjurus ke pusat kota. “Kau tidak bisa membawaku pergi sesuka hatimu. Aku tidak mau ikut!” seru Rose tidak terima. Tangannya mulai beraksi, berusaha mengambil alih kemudi. Posisi mobil yang sedang melaju k
I’ll make you safe, no matter where you are.-------------------------------- “Anda yakin ingin melakukan hal itu kembali, Tuan?”Hanya anggukan yang diterima Lion setelah berulang kali memastikan keputusan tuannya. Kalau sudah begitu, dia yakin keinginan Theo tidak bisa diganggu gugat. “Bagaimana jika tuan besar mengetahui hal ini, Tuan? Beliau akan murka melihat Anda mengulang kembali kegiatan masa lalu. Bukankah seharusnya Anda tidak membutuhkan uang untuk itu.”“Jangan katakan padanya hal ini. Kau tahu hasrat tidak normalku. Aku membunuh bukan untuk uang.”Theo mengakhiri kalimatnya dengan mengangkat senjata, memeriksa ulang amunisi yang baru saja terisi. Setiba di Italia. Dia memasuki ruang tempatnya dulu beroperasi. Ada begitu banyak senjata usang yang dibiarkan terbengkalai sejak kepergian Dara. Sekarang Theo harus memulai kembali sesuatu yang dipaksa usai. Dengan senjata di tangan, dia melangkah menuju meja bundar. Suasana dingin dan kecam menyelimuti setiap penjuru ruangan.
If I could turn back the time. I would put you first in my life.Hoping the story will twist once again. ________________________ Berkali – kali Theo menegak tequila dari gelas yang sama. Dia menatap keluar jendela, memperhatikan langit setengah gelap dengan gelisah. Theo menggeleng samar, berusaha mengenyahkan pikiran buruk dan perasaan tidak tenang yang terus menyelimuti dirinya—sejak tadi hatinya terus memanggil nama Rose. Ntah karena apa, Theo tidak mengerti.Memang dia akan kembali memberi hukuman pada Rose setelah apa yang wanita itu lakukan. Seharusnya berselang dua hari usai pekerjaan gelapnya terselesaikan. Tapi perasaan kacau yang mengoyak paksa sebagian besar rasa tidak peduli, membawa Theo menuruti kata hati.Sekembali dari tempat melesatkan selongsong senjata. Theo bergegas melakukan penerbangan cepat dengan jet pribadi menuju Kanada. Dari Italia butuh kurang lebih delapan jam baginya sampai, saat detik – detik matahari mulai terbit. Bersyukurla
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk