Sampai di mansion, sesuatu yang tidak pernah Rose bayangkan menyapa di depan mata. Surat gugatan cerai lengkap dengan tanda tangan kedua belah pihak, terhampar di atas ranjang bersama tiga mawar tergeletak asal. Di tangkainya terselip selembar kertas putih, ada pula kantong kecil berisi darah kental, yang dapat Rose pahami dengan baik apa fungsi dan tujuan Theo menyerahkan darah tersebut.Jantung Rose berdebar meraih mawar, yang tak lagi merah. Maksudnya, untuk kali ini Theo memilih pink mendium sebagai suatu pemberian.[Those roses are my last.]Begitu yang tertulis di sana. Mawar – mawar itu menjadi mawar terakhir yang akan Rose terima. Berikutnya tidak akan ada lagi tumbuhan perdu seperti yang Theo ucapkan—365 hari yang bahkan belum berlalu separuh.Tidak mengapa. Rose tidak mempermasalahkan keputusan Theo terhadap pilihan yang satu itu. Tetapi cerai ....Dia sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan gugatannya sampai ke pengadilan. Justru kesalahpahaman menjadi duri dan mempertaruhk
“Ada yang tahu istri Theo sudah makan malam apa belum?”Rose mendatangi Lion dan beberapa rekannya saat mereka sedang berkumpul di ruang tengah. Dia tidak melupakan keberadaan Theo yang terlalu fokus seorang diri di sofa single, memainkan laptop di atas pangkuan. Bukan pemandangan baru bagi Rose—Theo dan robot kencannya tidak akan bisa dipisahkan.“Istri tuan? Maksudnya ... Anda, Nona?” Kening Lion mengerut. Sikapnya jauh lebih hangat setelah Rose mengajak mereka semua makan malam bersama.“Kau tadi lihat sendiri aku sudah makan. Yang kutanya istri Theo. Istri cantik dan berbulu itu.” Rose menunjuk dengan dagu posisi Esmeralda yang meringkuk di bawah kaki sofa. Nyaris. Dia nyaris mendengar kekehan, yang kemudian tertahan dari keempat pria di hadapannya. “Aku serius bertanya padahal,” lanjut Rose turut tak bisa menahan diri. Tetap—sorot yang menajam ke arahnya, membuat Rose menetralkan nada bicara. “Jadi ada yang tahu?”“Sepertinya belum, Nona.”Wajah Rose manggut – manggut, memikirka
Rose tak pernah setenang ini menikmati embusan angin laut. Senyum di wajahnya tipis membayangkan kejadian malam itu. Ini mungkin awal yang baru, secercah harapan bergulung di depan mata. Ntah akan sejauh mana badai yang pernah ada menepikan diri. Pelan – pelan Rose akan menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Sedikit lebih tenang, ya, meski dia tidak pernah menyangka Binari akan membawanya menuju Theo. Dan bagaimana Theo adalah pembunuh bayaran, itu merupakan pertanyaan paling besar. Tetapi Rose tahu teka – teki demikian tidak akan berakhir mudah. Terutama Theo ... Rose sudah memutuskan untuk tidak mencari tahu banyak hal tentang kehidupan terdahulu suaminya. Terlalu melelahkan harus mengingat respons tertutup dan yang tidak pernah sesuai harapan. Jika Rose harus membayangkan kembali. Seharusnya tanpa Sean pun, dia dan Theo pasti akan bertemu. Sayang sekali kebetulan yang sudah – sudah bagian dari ekspektasi tak terduga. Takdir seakan telah dirancang khusus. Namun, ada satu tambahan di
“Begitu?”“Tidak bisa pergi dari sampingku?”Netra Rose bergerak waspada tak kuat akan seringai yang mencolok di garis bibir itu. Sepertinya dia salah bicara hingga memancing Theo sekadar memastikan dan menatapnya penuh hasrat yang membakar. Rose mengetatkan genggaman—antisipasi. Theo kembali menghujani tubuhnya sedikit dengan perasaan. Sesap lidah di garis bahu Rose merayunya untuk menegadah. Jiwa Rose semakin gersang tatkala Theo mematikan pancuran air, yang meninggalkan tetes demi tetes di atas marmer. Hal tersebut diikuti dekapan yang mengendur, tepatnya Rose harus berpijak menghadap dada bergemuruh Theo saat pria itu memisahkan pernyatuan mereka. Ikut ke mana Theo akan menuntunnya. Rose berusaha menetralkan wajah yang mungkin sudah semakin padam. Sejujurnya, ada perasaan tidak nyaman yang harus Rose tahan saat tak mengenakan apa pun di hadapan Theo selama waktu yang mereka habiskan bersama. Terlebih Theo sibuk mengurus bath up—menekan keran, sekaligus menuangkan liquid dan aroma
Satu jam setelah penerbangan Theo mendaratkan helikopter di dataran tinggi yang dipenuhi batu – batu berukuran sedang, seperti lava yang telah mengering. Rose pikir mereka akan tetap berada di udara, tapi dia suka bagaimana harus duduk bersisihan di samping Theo dengan menjuntaikan kaki di atas permukaan laut yang jauh dari posisinya.Kawah Haleakala.Rose bisa menyebut seperti itu. Dia dan Theo berada di puncak tertinggi dari ‘rumah matahari’. Tempat yang memiliki sudut pandang paling bagus untuk menyaksikan matahari terbit dan terbenam dengan warna – warna cerah yang menggoda.Memang suatu paksaan bagi Theo saat Rose tak mau berpindah ke mana pun, atau sekadar kembali ke pulau pribadinya. Namun, hal itu didukung dari kisah menarik yang Theo ucap beberapa menit lalu. Sebuah legenda dari dewi Hina yang pernah mengeluh kepada putranya, Maui, bahwa matahari terlalu cepat melintasi langit. Kemudian di pagi hari Maui mendaki ke puncak Haleakala. Menjerat matahari dan membuatnya setuju unt
“Aku tidak bisa melakukannya sekarang.”[Tapi kau sudah menyetujui tawaranku dan menerima bayaran.]“Hanya uang muka. Aku bisa menggantinya dua kali lipat jika kau mau.”[Aku tidak akan terima uangku kembali. Kesepakatan tetaplah kesepakatan.]“You’re asshole, I can’t do that fucking shit right now.”[Aku tidak peduli. Selesaikan kesepakatan kita atau ini akan menjadi sesuatu yang buruk.]Di dalam kegelapan. Satu ruang itu terasa dingin merayap di seluruh tubuh Rose. Dia masih berdiri di tempat, sembunyi di balik visual tak terlihat demi mencerna saksama sayup – sayup pembicaraan merambat di kupingnya.Untuk beberapa saat tidak ada sahutan apa pun, hanya deru napas kasar yang mendesak Rose hingga kesusahan menelan ludah.“Sial!”Umpatan penuh amarah tersebut berasal di salah sudut pojok kanan. Cahaya minim bersumber dari layar monitor, bahkan tidak mampu membawa kaki Rose sekadar mendekat. Jika Theo tahu keberadaannya saat ini, kemarahan itu akan bertambah makin besar.Krak!Prang!Bu
Kembali ke kamar dan tidak pergi ke mana pun. Rose turuti semua yang Theo inginkan, tentu disertai tindakan mengunci pintu, membiarkan dirinya tenggelam di keheningan. Rose pikir Theo akan menyusul, minimal mengucapkan permintaan maaf telah membuatnya tersinggung. Tidak. Bukan seperti itu yang terjadi. Setelah penyataan di malam kemarin. Rose bahkan lebih sering terbayang akan suara yang mendesis, bagaimana Theo mengingatkan Rose siapa dia di masa lalu. Seorang pelacur yang menikahi pembunuh bayaran, tapi juga pria kaya yang memiliki segalanya ....Begitu kira – kira, apabila Rose menyimpulkan kebenaran dari diri sendiri. Dia akan lebih sadar bahwa mereka tidaklah sepadan. Untuk sementara waktu Rose akan menjaga batasan antara status mereka. Atau mungkin seterusnya—dia tidak bisa memastikan keputusan yang dimiliki akan tetap pada pendirian. Banyak faktor bisa mengubah pemikiran seseorang. Rose salah satu yang terkadang melenceng dari sisi konsistensi. Dia tersenyum kecut. Pagi – pagi
Sulur angin kencang meramu ombak di laut malam. Rose duduk termenung di tengah paviliun bersama Esmeralda di sampingnya. Hasil pendekatan Rose sukses membuat siberian husky itu selalu ikut ke mana pun dia pergi. Tidak ada kata kecuali, hanya saja Rose masih berusaha menyangkal banyak hal. Kenyataan dari informasi Lion tidaklah benar. Rose tidak menemukan sosok yang akan kembali setelah tiga hari berlalu. Tidak ada kepulangan. Rose harus menunggu lebih lama dari waktu yang ditentukan.Tepat delapan hari berlangsung. Siapa yang akan mengira Theo pergi selama itu. Lion tidak mendapat kabar, begitu dengan Rose. Sempat, dia berpikir untuk terbang ke Italia, barangkali Theo sudah kembali ke mansion tanpa mengingatnya. Namun, Lion justru mencegah dan meminta Rose bersikap lebih sabar. Kesabaran yang bahkan tidak membuahkan hasil. Beruntung selama hari – hari berkiprah di pulau Hawai, Esmeralda menjadi teman setia yang menjanjikan.“Kau lihat apa, Esme?”Rose keluar dari lamunan berkat lolonga