Pagi ini, sebelum Giselle berangkat bekerja, wanita itu menemui Dokter Benny untuk menanyakan seputar kondisi dan perkembangan kesehatan Elodie. Di dalam sebuah ruangan bernuansa putih, kini Giselle duduk berhadapan dengan dokter laki-laki yang sudah berambut putih tersebut. "Bagaimana dengan perkembangan kondisi Elodie, dok?" tanya Giselle dengan raut wajah yang menanti-nanti. Dokter Benny tersenyum setelah membaca surat hasil pemeriksaan. "Kondisi Elodie sudah cukup membaik, Nyonya. Sudah saya amati beberapa hari ini, Elodie juga sangat ceria, gembira, nafsu makannya juga sudah stabil. Dan saat saya bertanya tentang sakitnya, dia tidak pernah mengeluhkan lagi." Giselle tersenyum lega. "Syukurlah, dok. Saya senang mendengarnya," ujar wanita muda itu berkaca-kaca. Anggukan diberikan oleh Dokter Benny, ia pun juga tersenyum. "Mungkin ini semua bentuk dari rasa senangnya karena Papanya sudah pulang. Jadi, Elodie sedikit melupakan rasa sakitnya dan mengisi kejenuhannya dengan kedat
Malam ini Gerald mendatangi sebuah restoran mewah milik keluarganya yang berada di tengah-tengah kota Luinz. Ia datang bersama Laura. Kedua orang tua Gerald sudah menunggu sejak beberapa menit yang lalu. Kedatangan mereka berdua disambut dengan hangat oleh Marisa dan Charles. "Datang juga akhirnya kalian berdua," ujar Marisa tersenyum. "Tentu saja kami pasti datang, Tante. Maaf kalau sudah membuat Tante dan Om menunggu," ujar Laura, lalu memeluk Marisa. "Iya Laura, tidak masalah. Ayo, silakan duduk." Laura langsung duduk di samping Gerald. Ekspresi dingin Gerald tidak menunjukkan tiada rasa bersemangat sedikitpun dalam dirinya untuk mengikuti berjalannya acara makan ini. Melihat raut dingin wajah Gerald, Charles—Papanya pun berdehem pelan. Gerald langsung meliriknya dengan sorot mata yang begitu tenang. "Bagaimana dengan kantormu yang baru, Gerald? Papa dengar kau mengalami peningkatan yang cukup baik akhir-akhir ini?" tanya Charles, di sela para pelayan menyiapkan menu makan
Tidak seperti yang Giselle pikiran, kini Gerald mengajaknya ke sebuah rumah makan yang berada di hotel bintang lima. Laki-laki itu masih menarik tangannya dan memilih meja makan yang tepat untuknya. "Duduk!" Gerald melepaskan tangan Giselle dan memerintahnya untuk duduk. Giselle langsung duduk dan memangku paper bag yang ia bawa. Wanita itu melayangkan tatapan kesal pada Gerald. "Kenapa Pak Gerald mengajak saya ke sini?" tanya Giselle menahan geram. "Temani aku makan malam," jawab Gerald, ia menyerahkan buku menu pada Giselle. "Pilih makanan apapun yang kau kau mau." Giselle menggeleng. "Pak Gerald tidak perlu repot-repot, saya tidak lapar. Terima kasih." Alih-alih Gerald mengiyakannya, laki-laki itu malah tertawa sumbang sambil menatap Giselle dengan begitu rendahnya. "Kau tidak perlu sungkan, kapan lagi kau bisa memakan makanan mahal setelah berpisah denganku?" ujar Gerald. "Bukankah hidupmu sekarang sangat susah?" Gerald menatap buku menu di hadapan Giselle dan ia menunjuk
Giselle berjalan pelan di lorong rumah sakit, wajahnya sembab dan air matanya masih menetes bila ia teringat perlakukan Gerald padanya. Ia tidak bisa membayangkan tangisan Elodie sebentar lagi, ini sudah terlalu malam untuk mencari makanan yang Elodie minta tadi. "Ya Tuhan ... bagaimana kalau anakku marah?" lirih Giselle mengusap wajahnya. Wanita itu melangkah gontai menuju kamar Elodie. Dari pintu kamar yang terbuka, Giselle berdiri di sana dan terpaku menatap sosok Dean yang berada di dalam bersama Elodie. Elodie tampak senang, anaknya yang kini memakan cake di tangannya dan terlihat sibuk dengan buku-buku gambar yang kemungkinan Dean bawakan untuknya, sambil tersenyum cerah ceria. Dean, laki-laki berhati malaikat itu membuat Giselle tidak bisa menghindarinya. "Mama..." Suara kecil Elodie menyandarkan lamunan Giselle. Dean pun menoleh ke belakang dan langsung beranjak dari duduknya mendekati Giselle di ambang pintu, berdiri dengan mata sembab berkaca-kaca. "Giselle, kau dari
Di sela rasa kesal yang kini Gerald rasakan karena Giselle yang tidak datang dan tidak kunjung menjawab panggilannya, tiba-tiba pintu ruangannya pun terbuka. Muncul sosok Dean berjalan masuk ke arah mejanya sambil membawa beberapa berkas yang akan mereka bahas untuk meeting pagi ini. Gerald tak peduli dengan kehadiran Dean saat ini. Ia masih berusaha menghubungi Giselle lagi dan lagi. "Siapa yang kau hubungi? Ada apa dengan ekspresimu yang seperti itu?" tanya Dean. "Bukan urusanmu," jawab Gerald. "Giselle?" Dean langsung menebak dengan tepat. Gerald menatapnya dengan tatapan benci. Ya! Dia tidak suka pada Dean yang terlalu ikut campur, bahkan dia yang beraninya berdebat dengannya hanya karena Giselle. Helaan napas terdengar dari bibir Dean, ia duduk menyilangkan kakinya dan menatap Gerald dengan sama dinginnya. "Apa kau tidak sadar, Gerald? Semua hal yang kau lakukan pada Giselle sangat keterlaluan!" seru Dean jujur. "Tidak ada atasan di luar sana yang memberikan waktu kerja s
Hari ini Giselle sudah kembali bekerja setelah seharian kemarin dia mengambil cuti.Giselle juga sudah menjelaskan pada Gerald kalau kemarin ia ada kepentingan yang tidak bisa dtinggalkan. Tapi Gerald tidak mempedulikan hal itu. Di dalam ruangan meeting, Giselle menata beberapa berkas-berkas penting. "Nona Giselle, berkas dari perusahaan saya, saya taruh di sebelah sini," ujar seorang laki-laki berambut putih pada Giselle. "Iya, Tuan Darren. Saya akan merapikannya," ujar Giselle dengan ramah. Giselle meletakkan tumpukan berkas di meja yang berada di hadapan Gerald. "Semuanya sudah saya kumpulkan, Pak," ujarnya. "Letakkan di sini dulu," ujar Gerald dengan dingin seperti biasa. Ruangan itu pun kembali sunyi saat satu persatu anggota meeting berjalan keluar meninggalkan ruangan tersebut. Giselle duduk di hadapan Gerald sambil membuka laptopnya. Baru saja Giselle fokus beberapa menit, deringan ponselnya menyita perhatiannya dan juga Gerald. Panggilan dari rumah sakit itu membuat
Setelah hasil pemeriksaan keluar, Giselle merasa lega dan senang karena Elodie sudah membaik, meskipun belum seratus persen sembuh dan memerlukan pemeriksaan kesehatan tiap satu minggu sekali. Pagi ini, dokter mengizinkan untuk Elodie dibawa pulang. Elodie sangat gembira, apalagi Dean yang menjemput mereka dan mengajaknya pulang bersama. "Sekarang Elodie sudah sembuh. Anak pintar tidak boleh sakit-sakit lagi ya, Sayang," ujar Dean mengusap pipi gembil Elodie. Anak perempuan itu mengangguk dalam pelukannya dan merengkuh leher Dean dengan erat. Sedangkan Giselle berjalan di samping Dean membawa dua tas berukuran besar dan kecil, berisi pakaian dan beberapa barang-barang milik Elodie. "Sudah tidak ada yang tertinggal, kan?" tanya Dean pada Giselle."Tidak ada, Dean. Semuanya sudah aku rapikan," jawab wanita itu. "Baguslah. Ayo ... aku akan mengantarkan kalian pulang," ujar Dean. Giselle menatapnya sekilas. "Dean, sebenarnya aku dan Elodie bisa pulang dengan taksi. Kau pasti hari i
Rasa sakit hati dua hari yang lalu membekas dalam hati Laura setelah ia melihat Gerald dan Giselle bermesraan di kantor. Wanita dua puluh delapan tahun itu tidak segan mendatangi kediaman Keluarga Gilbert pagi ini dengan penuh kekecewaan. Laura mengadukan semuanya pada Marisa, karena ia tahu kalau Mamanya Gerald sangat membenci Giselle. "Saya benar-benar tidak menyangka kalau Gerald terus mengundur waktu pernikahan ternyata karena Giselle, Tante. Saya benar-benar kecewa pada Gerald,” ungkap Laura dengan wajah tertunduk dan air matanya yang mengalir. Marisa menatapnya tajam dan tak percaya. "A-apa?! Karena Giselle?!" pekiknya. "Bagaimana mungkin, Laura?!" Laura semakin tertunduk. "Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri kalau Giselle dan Gerald bermesraan di lorong kantor di lantai lima belas. Giselle memeluk Gerald dengan erat dan ... saat saya ke sana, sepertinya mereka baru saja berciuman." Laura menatap kedua orang tua Gerald yang kini mendengarkannya secara saksama. "B
Setelah kepergian Marisa beberapa menit yang lalu, Giselle pun masuk ke dalam ruangan kerjanya. Wanita itu duduk di kursi dan tampak diam tidak menyapa Gerald sedikitpun. Sedangkan Gerald merasa ada yang aneh pada Giselle saat ini. Ia pun melirik Giselle yang tampak tertunduk membuka berkas-berkas di pangkuannya dan kedua mata Giselle tampak sedikit sembab. "Giselle," panggil Gerald. Giselle langsung menoleh. "Iya, Pak?" Gerald beranjak dari duduknya dan melangkah mendekati Giselle membawa selembar kertas di tangannya. Laki-laki itu mendekat dan menelisik wajah Giselle. Dugaan Gerald benar, Giselle terlihat seperti baru saja menangis. "Ada apa, Pak?" Giselle menatap Gerald yang berdiri di sampingnya. Kedua iris mata hitam milik Gerald menatapnya tak biasa. Alisnya bahkan menukik tajam. "Apa Mamaku mengatakan sesuatu padamu?" tanyanya dengan suara rendah. Giselle tampak kaget. Ia dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Ti-tidak ada, Pak. Nyonya Marisa tidak mengatakan apapun,"
"Kenapa? Kaget melihatku di sini?!" Marisa menatap tajam pada Giselle yang berdiri mematung di hadapannya. Giselle langsung menundukkan kepalanya. Jemari tangannya terasa kaku dan mengepal meremas rok hitam selutut yang ia pakai. Wanita tua ini, satu-satunya orang yang membuat hidup Giselle menjadi sangat menderita dan kehilangan orang yang sangat ia cintai. "Kenapa Nyonya ingin bertemu dengan saya?" tanya Giselle kembali menatap Marisa. Marisa tersenyum sinis. "Kau masih berani bertanya seperti itu setelah apa yang kau lakukan pada anakku, heh?!" serunya. "Apa maksud Nyonya?" Giselle benar-benar tidak paham. Marisa maju satu langkah mendekati Giselle dan menatapnya dengan tatapan jijik pada Giselle. "Kau berusaha menggoda Gerald lagi, bukan?" tanyanya. "Lancang sekali kau, Giselle! Kau pikir dirimu ini siapa? Kau sudah menjadi sampah di keluargaku, kau sudah dibuang oleh putraku, berhenti menggoda Gerald dan bermimpi kalau aku akan membiarkan wanita miskin dan hina sepertimu
Rasa sakit hati dua hari yang lalu membekas dalam hati Laura setelah ia melihat Gerald dan Giselle bermesraan di kantor. Wanita dua puluh delapan tahun itu tidak segan mendatangi kediaman Keluarga Gilbert pagi ini dengan penuh kekecewaan. Laura mengadukan semuanya pada Marisa, karena ia tahu kalau Mamanya Gerald sangat membenci Giselle. "Saya benar-benar tidak menyangka kalau Gerald terus mengundur waktu pernikahan ternyata karena Giselle, Tante. Saya benar-benar kecewa pada Gerald,” ungkap Laura dengan wajah tertunduk dan air matanya yang mengalir. Marisa menatapnya tajam dan tak percaya. "A-apa?! Karena Giselle?!" pekiknya. "Bagaimana mungkin, Laura?!" Laura semakin tertunduk. "Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri kalau Giselle dan Gerald bermesraan di lorong kantor di lantai lima belas. Giselle memeluk Gerald dengan erat dan ... saat saya ke sana, sepertinya mereka baru saja berciuman." Laura menatap kedua orang tua Gerald yang kini mendengarkannya secara saksama. "B
Setelah hasil pemeriksaan keluar, Giselle merasa lega dan senang karena Elodie sudah membaik, meskipun belum seratus persen sembuh dan memerlukan pemeriksaan kesehatan tiap satu minggu sekali. Pagi ini, dokter mengizinkan untuk Elodie dibawa pulang. Elodie sangat gembira, apalagi Dean yang menjemput mereka dan mengajaknya pulang bersama. "Sekarang Elodie sudah sembuh. Anak pintar tidak boleh sakit-sakit lagi ya, Sayang," ujar Dean mengusap pipi gembil Elodie. Anak perempuan itu mengangguk dalam pelukannya dan merengkuh leher Dean dengan erat. Sedangkan Giselle berjalan di samping Dean membawa dua tas berukuran besar dan kecil, berisi pakaian dan beberapa barang-barang milik Elodie. "Sudah tidak ada yang tertinggal, kan?" tanya Dean pada Giselle."Tidak ada, Dean. Semuanya sudah aku rapikan," jawab wanita itu. "Baguslah. Ayo ... aku akan mengantarkan kalian pulang," ujar Dean. Giselle menatapnya sekilas. "Dean, sebenarnya aku dan Elodie bisa pulang dengan taksi. Kau pasti hari i
Hari ini Giselle sudah kembali bekerja setelah seharian kemarin dia mengambil cuti.Giselle juga sudah menjelaskan pada Gerald kalau kemarin ia ada kepentingan yang tidak bisa dtinggalkan. Tapi Gerald tidak mempedulikan hal itu. Di dalam ruangan meeting, Giselle menata beberapa berkas-berkas penting. "Nona Giselle, berkas dari perusahaan saya, saya taruh di sebelah sini," ujar seorang laki-laki berambut putih pada Giselle. "Iya, Tuan Darren. Saya akan merapikannya," ujar Giselle dengan ramah. Giselle meletakkan tumpukan berkas di meja yang berada di hadapan Gerald. "Semuanya sudah saya kumpulkan, Pak," ujarnya. "Letakkan di sini dulu," ujar Gerald dengan dingin seperti biasa. Ruangan itu pun kembali sunyi saat satu persatu anggota meeting berjalan keluar meninggalkan ruangan tersebut. Giselle duduk di hadapan Gerald sambil membuka laptopnya. Baru saja Giselle fokus beberapa menit, deringan ponselnya menyita perhatiannya dan juga Gerald. Panggilan dari rumah sakit itu membuat
Di sela rasa kesal yang kini Gerald rasakan karena Giselle yang tidak datang dan tidak kunjung menjawab panggilannya, tiba-tiba pintu ruangannya pun terbuka. Muncul sosok Dean berjalan masuk ke arah mejanya sambil membawa beberapa berkas yang akan mereka bahas untuk meeting pagi ini. Gerald tak peduli dengan kehadiran Dean saat ini. Ia masih berusaha menghubungi Giselle lagi dan lagi. "Siapa yang kau hubungi? Ada apa dengan ekspresimu yang seperti itu?" tanya Dean. "Bukan urusanmu," jawab Gerald. "Giselle?" Dean langsung menebak dengan tepat. Gerald menatapnya dengan tatapan benci. Ya! Dia tidak suka pada Dean yang terlalu ikut campur, bahkan dia yang beraninya berdebat dengannya hanya karena Giselle. Helaan napas terdengar dari bibir Dean, ia duduk menyilangkan kakinya dan menatap Gerald dengan sama dinginnya. "Apa kau tidak sadar, Gerald? Semua hal yang kau lakukan pada Giselle sangat keterlaluan!" seru Dean jujur. "Tidak ada atasan di luar sana yang memberikan waktu kerja s
Giselle berjalan pelan di lorong rumah sakit, wajahnya sembab dan air matanya masih menetes bila ia teringat perlakukan Gerald padanya. Ia tidak bisa membayangkan tangisan Elodie sebentar lagi, ini sudah terlalu malam untuk mencari makanan yang Elodie minta tadi. "Ya Tuhan ... bagaimana kalau anakku marah?" lirih Giselle mengusap wajahnya. Wanita itu melangkah gontai menuju kamar Elodie. Dari pintu kamar yang terbuka, Giselle berdiri di sana dan terpaku menatap sosok Dean yang berada di dalam bersama Elodie. Elodie tampak senang, anaknya yang kini memakan cake di tangannya dan terlihat sibuk dengan buku-buku gambar yang kemungkinan Dean bawakan untuknya, sambil tersenyum cerah ceria. Dean, laki-laki berhati malaikat itu membuat Giselle tidak bisa menghindarinya. "Mama..." Suara kecil Elodie menyandarkan lamunan Giselle. Dean pun menoleh ke belakang dan langsung beranjak dari duduknya mendekati Giselle di ambang pintu, berdiri dengan mata sembab berkaca-kaca. "Giselle, kau dari
Tidak seperti yang Giselle pikiran, kini Gerald mengajaknya ke sebuah rumah makan yang berada di hotel bintang lima. Laki-laki itu masih menarik tangannya dan memilih meja makan yang tepat untuknya. "Duduk!" Gerald melepaskan tangan Giselle dan memerintahnya untuk duduk. Giselle langsung duduk dan memangku paper bag yang ia bawa. Wanita itu melayangkan tatapan kesal pada Gerald. "Kenapa Pak Gerald mengajak saya ke sini?" tanya Giselle menahan geram. "Temani aku makan malam," jawab Gerald, ia menyerahkan buku menu pada Giselle. "Pilih makanan apapun yang kau kau mau." Giselle menggeleng. "Pak Gerald tidak perlu repot-repot, saya tidak lapar. Terima kasih." Alih-alih Gerald mengiyakannya, laki-laki itu malah tertawa sumbang sambil menatap Giselle dengan begitu rendahnya. "Kau tidak perlu sungkan, kapan lagi kau bisa memakan makanan mahal setelah berpisah denganku?" ujar Gerald. "Bukankah hidupmu sekarang sangat susah?" Gerald menatap buku menu di hadapan Giselle dan ia menunjuk
Malam ini Gerald mendatangi sebuah restoran mewah milik keluarganya yang berada di tengah-tengah kota Luinz. Ia datang bersama Laura. Kedua orang tua Gerald sudah menunggu sejak beberapa menit yang lalu. Kedatangan mereka berdua disambut dengan hangat oleh Marisa dan Charles. "Datang juga akhirnya kalian berdua," ujar Marisa tersenyum. "Tentu saja kami pasti datang, Tante. Maaf kalau sudah membuat Tante dan Om menunggu," ujar Laura, lalu memeluk Marisa. "Iya Laura, tidak masalah. Ayo, silakan duduk." Laura langsung duduk di samping Gerald. Ekspresi dingin Gerald tidak menunjukkan tiada rasa bersemangat sedikitpun dalam dirinya untuk mengikuti berjalannya acara makan ini. Melihat raut dingin wajah Gerald, Charles—Papanya pun berdehem pelan. Gerald langsung meliriknya dengan sorot mata yang begitu tenang. "Bagaimana dengan kantormu yang baru, Gerald? Papa dengar kau mengalami peningkatan yang cukup baik akhir-akhir ini?" tanya Charles, di sela para pelayan menyiapkan menu makan