Richelle tidak bisa bergerak bebas, dia tersentak ketika Mona menarik erat tali di pinggangnya. Gaun itu sangat ketat, apalagi di bagian pinggangnya. Belum lagi model belahan yang terbuka di punggungnya, memperlihatkan kulit mulut hingga pingganya.“Kenapa harus begini? Apa kau yakin ini hanya latihan, Mona?”“Iya, mau bagaimana lagi! Kau tidak bisa berjalan dengan postur tubuh tegap, kepala mu harus menatap pasti ke depan, pundakmu harus percaya diri, jangan berjalan dengan membungkuk!”Paru-parunya terasa sesak ketika dia bernafas, tidak ada celah baginya untuk lari dari situasi ini.“Berjalan lah sekarang, ke depan sana!” perintah MonaLirikkan matanya memastikan Richelle aman, meskipun dia menahan senyuman karena Richelle terlihat sangat risih dengan balutan gaun berwarna hitam itu.“Kaki ku sudah lelah!”“Kau tidak bisa menyerah Richi, waktumu hanya satu minggu. Selain mendidik postur tubuhmu, kau juga harus membaca semua buku itu, melatih caramu berbicara, dan…”“Dan apa?”“Aku
“Tuan? Apa sebaiknya kita beli bunga?” Sean melirik boss nya yang sedari tadi sepertinya tengah melamun. Dia cemas kalau masalah yang dikirkan Dai sebenarnya bukanlah masalah kantor, melainkan tentang gadis yang kini ada di rumah bossnya.“Bunga? Untuk apa?” Dai membalas lirik, keningnya mengkerut bingung. Dia tidak memiliki urusan dengan bunga, tapi asistennya itu malah membahas bunga.“Kau melukai perasaan nyonya tadi pagi, mungkin dia akan senang kalau kau berikan bunga!”Fikiran Diamiro sejak tadi memang teringat dengan gadi dirumahnya. Rasanya aneh untuk membayangkan hal itu, satu-satunya yang menggangu baginya adalah ekspresi Richella.“Aku tidak butuh bunga, dia juga tidak!”“Yah, mungkin saja kau sedang berfikir tentang dia?”Daimiro melonggarkan dasinya, dia tidak ingin larut dalam permasalahan ini. Ada banyak hal yang lebih penting untuk ia selesaikan “Kau sudah menyiapkan manajemen baru? Aku ingin mangatur ulang mereka semua!”“Sudah! Kapan kita rapat untuk ini?”“Tidak pe
Bodoh menjadi kata, yang tidak asing lagi bagi Richella. Hampir setiap manusia yang berpapasan dengannya, mengatakan hal yang sama. Memangnya kenapa?Apa salahnya yang tidak mampu mempertahankan harta orang tuanya? Apa salahnya juga begitu lemah setelah menyaksikan orang tuanya meninggal dengan cara yang tidak wajar. Dia hanya tidak bisa memupuk dendam, ketika dia besar dengan kerabatnya.“Kenapa diam?” Daimiro menurunkan pandangannya, dia melirik jemari Richelle yang meremas gaun. Pertanda gadis itu tengah menahan diri dan lain hal nya.Apa mungkin Daimiro terlalu bersikap keras. Tidak, dia memang tidak menginginkan cinta terjadi diantara mereka. Semua yang Diamiro butuhkan hanyalah membuat Richelle membalaskan dendamnya.Daimiro belum berfikir, sampai dimana dia akan terlibat dalam kehidupan gadis itu, yang pasti dia sudah memastikan kalau akhir dari semua ini adalah perceraian. Dia tidak tertarik bermain api jauh dari ini.“Kita turun ke bawah, dan makanlah! Sebelum kau yang ku ub
Richella sejujurnya tidak pernah benar-benar memahami, arti kenikmatan dalam percintaan. Dia hanya tau, jika prianya bahagia karena itu, dia akan lakukan. Pemikiran itulah yang menjebaknya, dan membuatnya menjadi semakin hina dimatanya sendiri.Daimiro menahan diri, tidak mungkin untuk dilanjutkan. Dia melepaskan bibir merekah milik Richella dengan gundah. Dia masih berharap untuk menghisap bibir itu dalam, tapi kalau diteruskan gadis itu bisa-bisa tidak berjalan esok pagi dibuatnya.“Pergilah sekarang! Aku tidak tau apa yang akan terjadi, kalau kau tetap disini!” Dai memperingatkan sekali lagiIris mata mereka saling beradu tatap, benda menegang dibawah sana yang tertempel di perutnya sudah menjadi jawaban atas pertanyaan di benaknya. Iya, Diamiro pasti akan melahap habis dirinya kali ini. Lalu apa hatinya ingin pergi?Misi Richella adalah membuat Diamiro mencintainya, maka seluruh harta Daimiro akan menjadi miliknya. Balas dendam mungkin tujuan utamanya, tapi mendapatkan cinta Daimi
Tidak ada gunanya untuk menyingkir, menyadari ini akan menjadi malam yang canggung pun tidak lagi. Richella sudah terlanjur terbuai dengan sapuan lidah Diamiro, bahkan pria itu sudah membuat basah kedua belahannya, dan nafas mereka saling memburu.“Aku tidak bisa menahan lebih dari ini!” Daimiro mengangkat pinggulnya. Dia menjadikan tangan kirinya sebagai tumpuan “Buka lebih lebar, tidak akan sakit karena kau sudah melepaskan itu sejak lama!” ucapnyaMatanya membalas lekat tatapan dari iris mata gadis yang telentang di bawahnya. Pipi gadis itu merona, dan memberikan semangat berbeda untuk Daimiro. Sebuah alasan, yang memacu adrenalinnya hingga menjadi pria yang tangguh dan gagah malam ini.“Sudah?” Richelle bertanya, memastikan apakah renggang pahanya di bawah sana sudah cukup“Jangan pejamkan matamu, tatap aku!” Daimiro menuntut dengan tangan kanannya, menekan perlahan. Jemari Richella tanpa dikomandoi langsung meremas lengan atas Diamiro, keningnya meringis, sementara ia mengigit bi
Napas yang berhembus dengan lembut, perlahan menjadi tenang. Rongga dadanya terisi dengan baik, membuat seluruh aliran darahnya berjalan dengan lancar. Bisa dikatakan, itu adalah tidur ternyaman bagi Richella.Begitu kelopak matanya perlahan terbuka, dia sudah tidak mendapati keberadaan Daimiro di kamar. Tangannya sempat meraba-raba ke bagian samping. Sosok yang hendak dia cari sudah tidak disana, lebih tepatnya Daimiro memang sudah keluar dari kamar itu bahkan sebelum matahari terbit.Richella bangkit, sedikit menyelipkan kakinya. Tidak terasa pegal, tubuhnya sudah melewati rileksnya malam “Tidak seperih dulu! Bagaimana bisa? Apa itu yang namanya nikmat bercinta?” Richelle bergumam.Ia teringat dengan ucapan Daimiro, perihal membuat dirinya merasakan nikmat yang sesungguhnya. Rona wajahnya langsung merah padam. Dia dihangatkan oleh api unggun, yang tidak ada siapapun menikmati kehangatan itu, selain dirinya.“Arghhh!” dia terpekik malu, menutupi wajahnya dengan jari. Cinta?Tidak! Ti
Pria berhati dingin biasanya tidak mudah untuk menjadi budak cinta. Daimiro sudah berperang dengan perasaannya sejak tadi pagi. Mulai dari langkah kakinya meninggalkan rumah, hingga kembali pulang dan mendapati Richella dengan tubuh lembab usai mandi di depan matanya.Suara gumaman dari gadis itu, mengusik daun telinganya. Alih-alih merasa biasa saja, dia malah berfantasi dengan desahan manja dari Richella. Ditatapnya wanita buangan di depannya itu, apa yang bereda dari wanita itu?“Sudah pulang ya! Maaf, aku tidak tau kau akan masuk ke dalam kamar!” Richella memberanikan diri untuk melangkah. Dia harus melewati Daimiro jika ingin menghampiri Lemari pakaiannya.Udara yang terhempas, membawa aroma dari tubuh Richella, menyerbak rongga hidung Daimiro. Itu seperti godaan ketika singa yang lapar haru menerkam mangsanya. Ada debaran khusu yang terdengar oleh Dai, tapi sorot matanya kepada Richella tidak lebih seperti menatap gadis buangan.“Kau tidak makan lagi?” Daimiro bersuara, menyembu
Sex bukanlah sebuah kebutuhan? Apa itu benar?Daimiro terbangun di pagi hari, dan pertanyaan itu langsung menantang fikirannya. Dia bertanya-tanya, mengapa Richella berani mengatakan hal yang merendahkan wanita seperti itu? Hidup sebagai istri tanpa cinta tapi menganggap dirinya pria yang gila sex.Dimiro mandi seperti biasa, dia mencari keberadaan Richella secara naluriah. Sebelum pergi bekerja, sepertinya dia harus melihat wajah gadis itu. Sekedar memastikan kalau tidak ada rasa bersalah yang tersisa.“Richi? Kau sudah sarapan?” Diamiro mendapati gadis itu di ruangan belajarnya. Ruangan khusus dengan bermacam-macam buku yang bertebaran di atas meja. Gelas kaca untuk melatihnya berjalan anggun, dan gaun ketat di bagian pinggang yang terpampang di sebelah kanan.“Sudah” Richella menjawab, ekor matanya melirik kegagahan Daimiro. Sebagai wanita normal, dia berdesir setiap kali melihat Daimiro keluar dari kamar mandi hanya dililit handuk.Mengapa begitu? Karena hanya Daimiro yang mengaja
Rose sedang memulihkan diri di rumah karena patah tulang ringan. Itu hanya seminggu setelah masa-masa indah, karena Sean terstimulasi oleh hasil akhir ujian tengah semesternya dan mengantarnya ke sekolah. Satu-satunya keuntungan adalah dia memiliki sopir untuk menjemput dan mengantarnya selama cedera. Rose belum beradaptasi dengan kehidupan awal. Dia tidur grogi untuk dua kelas. Dalam keadaan linglung, dia samar-samar merasakan seseorang di depan matanya. Ketika dia membuka matanya, ruang kelas kosong. Hanya Matthew dari Kelas 5 yang berdiri di depannya dan menatapnya dengan cemberut. Rose ingat bahwa Matthew dan Andrew menekannya seperti bukit hari itu, hampir sekarat, dan merasakan lengannya sakit lagi. Dia mendongak dan saling menatap miring. "Mengapa kamu di sini?" Matthew memandang rendah Rose, yang cuek dan frustrasi. Senang melihatnya tanpa jalan memutar, tetapi tidak mungkin. Siapa yang membiarkan dirinya memuk
Richelle berusaha untuk menutupi rasa gemetar di tubuhnya. Dia tidak ingin wartawan menilai keterpaksaan dirinya untuk berdiri disamping Daimiro. Tidak, ini bukan karena dia ketakutan. Dia hanya bingung, mengapa Daimiro bertindak sejauh ini? Waktu berlalu, mereka kembali ke rumah ketika sore. Richella langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Matanya melirik pemandangan langit-langit kamarnya yang terasa sendu. Apa yang salah? Dia gelisah dengan tidak menentu “Kenapa tidak mandi?” Daimiro masuk ke dalam kamar. Ia melepaskan dasinya, dan membuat Richelle tersentak karenanya. Ia mengganti posisinya duduk, menekuk lututnya menyatu dengan dadanya dan menatap Daimiro dengan sayu. Fikirannya hanya dipenuhi dengan pertanyaan yang tidak menentu. Meskipun begitu, mulutnya tidak bisa mengatakan apapun. “Kenapa?” Daimiro menyingsing lengan kemejanya hingga siku. Sorot matanya nampu melelehkan hati Richella. Di depan mereka, kalangan pembisnis, rekan kerja, dan media. Daimiro seperti dew
Tubuh Richella masih merasakan getaran hebat sisa semalam. Selama ini, untuk mendapatkan sentuhan seperti itu dari Daimiro, ia membutuhkan dorongan alkohol. Pria itu melakukan hubungan itu dengan kesadarannya.“Apa dia benar-benar cemburu?” Richella bergumam, dan fikirannya membayangkan raut wajah Daimiro. Dia begitu seksi ketika bercinta, tubuh gagah nya, dan keringat yang mengalir di tubuh Daimiro. Itu mengkilap seperti tidak akan pernah usai.“Apa yang kau fikirkan Richi?” Mona menghampiri gadis di depannya, ia meletakkan segelas coklat hangat di depan Richella. Tiba-tiba saja Richella ingin meminum minuman manis itu“Hah? Tidak ada!” Richella tersenyum tipisMona merasa sangat puas, melihat Richella mampu mengendalikan diri di lokasi pesta. Meskipun begitu, Daimiro sudah memikirkan banyak hal yang mungkin saja terjadi ke depannya. Sejak awal, Daimiro lebih dulu mengambil resiko untuk Richella, tanpa gadis itu sadari.“Apa kau merasa terbebani dengan situasi ini?” Mona bertanya, se
“Apa kau tidak menyadari, kalau istrimu ini pembohong tuan Dai?” ucapan terakhir dari Naomi masih tersisa di fikiran Richella. Apa benar dia yang bersalah dalam situasi ini?Kalau saja dia berbohong, maka pernikahan ini juga sebuah kebohongan. Richella merasa gelisah, fikirannya di hantui oleh beberapa hal yang rasanya tidak layak. Apakah jalannya benar? Apa dia harus bertahan? Dia merasa Daimiro tidak akan pernah menjadi suaminya.Ketika segalanya bercampur aduk, dia justru diserang oleh ciuman tiba-tiba dari Daimiro. Suaminya itu bahkan mendorong tubuhnya kasar hingga ia telentang di atas ranjang nya. Matanya membundar begitu melirik Daimiro melepaskan ikat pinggang nya.“Dai? A-ada apa? Kenapa kau marah padaku?”Daimiro mempersempit jarak diantara mereka, hanya 5 cm dalam situasi mereka saling bertatapan.“Apa aku terkesan tidak berguna bagimu?” nada bicara Daimiro lirih, namun matanya menatap dengan putus asa.“Dai? Kau marah kan? Apa kesalahanku? Aku sudah berusaha untuk…”“Kau b
Menyadari sesuatu yang janggal untuk istrinya, Azam pun mendekat. Awalnya dia berfikir kalau isrtinya hanya sekedar bertegur sapa dengan Daimiro. Wajahnya agak menegang begitu melihat ekspresi Daimiro yang terkesan tidak bersahabat.Dia masih tidak yakin kalau Rihcella sudah kembali, sepengatahuannya Richella sudah di urus oleh ayahnya untuk tidak mengusik dirinya. Dia mencoba membangun benteng dirinya, dan meyakini wanita yang berada di samping Daimiro itu hanya sekedar mirip dengan Richella.“Sayang? Kamu ngobrol banyak ya?” Azam menghampiri istrinya dengan nada bicara yang rendah, ia langsung menyentuh pundak istrinya.Richella merasa getir, dia merasa tidak adil. Di masa lalu, Azam begitu mencintainya, terlihat seperti itu. Lalu sekarang apa?Azam, mengangkat kepalanya. Dia memberanikan diri menatap Daimiro “Senang kau kembali Dai!” lalu dia beralih melihat wanita di samping Daimiro “Dan untukmu istrinya…” Azam terdiamTidak ada yang lebih tau dibandingkan dirinya, bagaimana cara
Richella takut, jika saja dia kembali bertemu dengan masa lalu. Apa mungkin dia sudah mengikis habis orang itu dari memorinya?Azam adalha pria yang pertama kali dia cintai. Pria yang membuat luluh dirinya, bahkan sampai di titik dia memberikan segalanya. Richella berfikir, kelak dia harus bertemu dengan pria yang bisa membuatnya aman, maka dirinya akan terlepas dari genggaman keluarga pamannya.“Kau tunggu disini! Aku akan menemui orang tuaku!”Richella menganggukkan kepalanya, semuanya terjadi begitu cepat. Apalagi pernikahan antara dirinya dan Daimiro. Sesuatu yang terkesan tidak nyata. Dia tidak memiliki keluarga, tapi bagaimana dengan Daimiro?Richella hanya melirik foto keluarga Daimiro, mendengar suara ayah mertuanya dari jauh. Meskipun begitu, dia tidak berniat untuk bertanya sebelum Daimiro mengatakan lebih.“Jangan gemetar! Tuan Daimiro akan menjagamu!” Mona mengelus pundak Richella.Richella menundukkan kepalanya, entah seperti apa nasibnya setelah ini. Katakan saja dia sud
Richella harus menetapkan dirinya. Berfikir untuk mulai memahami seperti apa tujuan yang layak untuk ia lakukan. Ini tentang balas dendamnya, tapi sepertinya perhatiannya teralihkan ke hal lain. Pria itu, Diamiro.Mengapa dia begitu dingin? Apakah sekarang pernikahan mereka hanya tentang sex? Tidak! Richella ingin memastikan, wanita terbuang sepertinya layak mendapatkan cinta.Namun sejujurnya, dia sudah kehilangan harga dirinya semenjak ia membuka kakinya di depan Daimiro, membiarkan pria itu menyentuhnya atas permintaannya.Apa yang Richella lontarkan kala itu? Jika dia Daimiro ingin menyentuh tubuhnya hanya karena bercinta, maka dia dengan rela hati akan melakukan hal itu. Dialah yang sudah membuka pintu seperti itu.“Hei, besok pesta itu akan dilakukan! Ucapan tuan Dai, jangan terlalu dimasukkan hati, di memang selalu begitu” Mona meletakkan jus jeruk di depan RichellaGadis di depannya itu, sedari tadi terkesan gelisah dengan lamunan panjang. Hanya ucapannya yang mengatakan dia i
Sapuan angin lembut yang menyapu punggung Richella, membuat nafasnya terengah-engah. Sisa dingin dari batu es masih terasa di tubuhnya, dan angin malam membuat sensasi itu menjadi lebih kental. Dingin itu meresap, dan dera nafas yang tersisa adalah bentuk hasrat yang sudah berada di pucuk kepalanya.“Hak!” Richella tersentak ketika Daimiro mengangkat kakinya ke atas. Paha mulus itu terbuka lebar, dan dera nafas Richella semakin membuatnya bergairah. Dia sudah merasakan panas di dalam tubuhnya terbakar dengan perlahan.“Kau?” Daimiro menatap Richella, mata mereka saling beradu tatap. Rona pipi Richella yang merah, bibir yang dia gigit untuk menahan gejolaknya, dan juga pemandangan dari tubuh sintalnya yang kini tidak di tutupi oleh sehelai benang pun.Sesuatu tengah menampar akal sehat Daimiro. Dia tidak berfikir untuk bisa melanjutkan ini, meskipun hasratnya benar-benar ingin terpenuhi sekarang. Dia benar-benar sudah berada di puncak kenikmatan, hanya harus menikmati saja, namun…“K-k
Gadis ini polos, pikirnya. Atau mungkin Richella memang tidak pernah menikmati hal itu sebelumnya. Aliran sungai di belakang rumah, seharusnya tetap mengarah ke laut. Tidak peduli bagaimana cabang yang dilewati.“J-jangan mengatakan hal yang tidak-tidak! Kau sedang mabuk sekarang!” Daimiro yang paling waras untuk saat ini. Dialah yang seharusnya mengendalikan. Dia bukanlah pria yang melakukan kesalahan dua kali. Apalagi terhadap seorang wanitaRona wajah Richella berubah. Dia menjadi sendu, bibir yang turun ke bawah. Alis yang mengkerut, dan yang lebih menggoda lagi, kali ini Richella menggigit bibir bawahnya “Kau jijik padaku kan?”Richella melontarkan pertanyaan, yang selalu ada di dalam ingatannya. Pertanyaan yang seharusnya tidak pernah ada, lalu menjadi ada. Itu semua terjadi begitu saja. Alam bawah sadarnya, sudah menuntunnya, hingga segalanya menjadi seperti ini.“Jangan berkata seperti itu lagi! Kau tidak tau bagaimana penilaian seseorang terhadap dirimu. Kenapa kau seperti be