Ayah selalu punya cinta, dan seribu alasan untuk tetap berjuang. Seringakali ia menepis kesedihannya sendiri demi seorang anak yang lahir dari darahnya.
❤️
Rani terhenyak mendengar kata 'Ayah' dia baru sadar kalau Laila punya dua . Apa itu artinya ayah yang ini, pria yang tadi sore menelepon Laila? Kalau begitu ....
"Ran?"
Aji berjalan semakin mendekat.
"Kenapa kamu melihatku seperti sedang melihat hantu?" Pria itu tampak heran, melihat mantan istrinya yang melongo.
Sungguh reaksi yang tak biasa. Kalau di waktu biasa wanita itu bersikap biasa-biasa saja. Ceplas-ceplos menceritakan kegiatan Laila, dan menunjukkan betapa dia bangga bisa lepas darinya. Hidup dengan baik, dan membuat Laila jauh lebih berkecukupan dibanding saat dengan Aji dulu.
Bagaimana tidak? Suami Rani yang sekarang bukan pekerja serabutan seperti Aji. Heru bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji tetap. Bisa memenuhi kebutuhannya dan Laila tanpa perlu berhutang.
"Ah." Rani terhenyak.
Sementara Laila, ketika melihat kehadiran Aji dan adiknya, segera menarik selimut dan menggenggam tepiannya erat-erat. Air matanya terus mengalir meski tanpa suara. Ada ketakutan lebih yang menyelimutinya.
Rani memperhatikan bagaimana reaksi Laila ketika bertemu ayah kandungnya. Ia mnecoba memahami apa yang dipikirkan puterinya tanpa bertanya. Mungkinkah ekspresi ketakutan di wajah ayu gadis itu, karena ancaman Aji.
"Laila apa yang terjadi?" tanya Aji yang kemudian duduk di sisi ranjang, sambil menyentuh anaknya.
Namun, dengan cepat Rani menarik Aji agar tak terlalu dekat dengan Laila.
Pria itu pun keheranan dengan sikap Rani, apa wanita itu sepenuhnya akan memisahkannya dengan Laila?
"A-ada apa?" tanya Aji yang sedang bingung.
Rani mendesah. Menstabilkan perasaan sendiri. Menekan apa yang ia rasa agar tak meledak sebelum semua terang dan jelas.
"Kamu tahu dari siapa Laila sakit, Mas?"
Wanita itu mencoba mencari tahu dari sisi Aji, karena tak mungkin Laila yang bicara. Aneh saja kalau dia tahu Laila sakit tanpa siapa pun yang memberi tahunya. Kecuali jika benar, Aji yang ada di balik kejadian ini.
"Dari Heru, suamimu." Aji menyahut cepat, ia lalu menatap ke arah Ardian adiknya. "Benarkan, Yan?" tanyanya untuk mendukung jawaban.
Kini tatapan Rani beralih pada Ardian, paman Laila.
"Ah, ya. Mbak benar. Mas Heru ngubunginnya ke hapeku, karena hape Mas Aji gak aktif." Pria berusia 25 tahun itu menyahut cepat.
"Oh." Rani membulatkan mulut dengan ragu. Tapi tak mungkin mencecar mereka dengan prasangkanya. 'Aku perlu menanyakan ini pada Mas Heru.'
'Kalau begitu, bisa saja Ardian pelakunya? Dia sengaja memanggil Laila menggunakan ponsel kakaknya sekaligus ayah kandung Laila, agar aku tak curiga.' Batin Rani menduga.
Adik iparnya itu juga memiliki potensi besar menjadi tersangka.
"Tap-tapi aku tak boleh mendekatinya?" tanya Heru keheranan. "Sakit apa dia? Apa typusnya yang kambuh?"
Mendengar pertanyaan itu, Laila semakin takut pada Ayahnya. Bagaimana kalau pria itu tahu bahwa Laila masuk rumah sakit karena kejadian semalam.
"Kamu gak lihat dia ketakutan sama kamu, Mas. Sebenarnya apa yang kamu lakukan padanya sampai ketakutan seperti itu?"
Rani mengucap ketus. Sudahlah ia belum lupa sepenuhnya banyak penderitaan yang dialami ketika bersama Aji, kini harus memiliki prasangka bahwa pelaku pemerkosaan Laila adalah ayah kandungnya sendiri.
"Tapi kenapa takut padaku?" tanya Aji dengan raut cemas.
Tak sabar karena tersiksa banyak prasangka, Rani pun menarik lengan Aji ke luar. Sementara mantan suaminya itu pasrah mengikuti, ia pun ingin tahu dengan jelas apa yang terjadi. Ia tak ingin membuat keributan di depan putrinya yang masih sakit juga ketakutan.
Setelah sampai di luar, kini Rani segera menanyakan sesuatu pada Aji.
"Mas, katakan! Kamu sudah tahu kan apa yang menimpa Laila?" Rani tak tahan terus menduga-duga.
Meski ia senang bukan Heru pelakunya, akan sangat menyesakkan jika pelakuanya adalah ayah kandung Laila sendiri. Pria yang harus menyayangi dan melindungi Laila dengan sepenuh hati. Kalau benar Aji pelakunya, ke mana Laila akan mencari tempat berlindung selain ke pada bundanya?
"Kamu pikir aku dukun?! Aku ke sini karena ingin tahu kondisinya! Aneh kamu ini. Sudah membuat anakku sakit malah ekspresimu nyalahkan aku gitu!" protes Aji yang merasa tertuduh sebagai penyebab sakitnya Laila.
Pria itu benar-benar khawatir sekarang. Mengingat sejak dulu ayah kandung Laila itu adalah sosok yang tegas dalam hal mengatur anaknya.
Laila adalah puteri satu-satunya. Aji ingin melindunginya pasca perceraian dengan Rani, dengan membawa tinggal bersama. Namun, karena ia harus bekerja pria itu dan tak mungkin meninggalkannya di rumah, Aji terpaksa merelakan Laila ikut dengan ayah tirinya.
Lagi pula, dari segi finansial, Laila akan lebih bahagia berada di sisi Rani dan Heru.
"Mas, Laila diperkosa orang." Rani bicara sambil menahan genangan air mata. Ada sesuatu yang terasa meremas hatinya setiap kali ingat dan mengucapkan hal itu.
Laila adalah anak tunggal, selama ini banyak harapan yang diletakkan Rani di pundak puterinya itu.
"Ap-apa?!" Mata Aji membeliak kaget. Emosinya langsung memuncak. Tak percaya apa yang didengar. Puteri yang disayanginya dinodai pria bejat.
"Kamu gimana jagain-nya sih, Ran?! Sampai anakmu diterkam pria bejat!" Ia merasa gagal menjadi seorang ayah, tapi juga perlu orang lain untuk disalahkan, apalagi selama ini Laila tak tinggal bersamanya.
"Hah! Sudah kuduga kamu akan salahkan aku, Mas. Sama seperti dulu-dulu. Setiap ada masalah, aku yang salah. Kamu gak berubah!"
"Ah, sudahlah. Kenapa kamu jadi bahas masa lalu. Semua itu sudah berakhir dan gak penting lagi sekarang!" Aji tak bisa menahan kekesalannya.
"Katakan siapa pelakunya! Oh, sebentar ..." Pria itu tiba-tiba ingat sesuatu. Sikap Rani sejak ia datang, pertanyaan-pertanyaannya, semua itu menjurus pada tuduhan bahwa Rani berpikir Aji pelakunya.
"Kamu ... kira aku yang melakukan?" Mata Aji mendelik tak percaya menatap pada Rani. Tak percaya pikirannya sepicik itu padanya.
Ah, ya. Dia memang selalu buruk di mata Rani, kalau tidak, mereka tak mungkin berpisah sekarang.
"Seburuk dan semiskinnya aku, Ran. Aku tak mungkin memakan anakku sendiri! Kamu gila!" Aji merasa sangat tersinggung. Kecewa.
Ini adalah penghinaan besar baginya. Tak cukupkah wanita itu menghina dan meninggalkannya dulu? Apa Rani pikir Aji adalah binatang yang tak punya hati.
Rani terdiam. Dia sadar telah salah menuduh Aji. Dia mengenal Aji sejak lama.
"Jadi Laila tak mau mengaku?" tanyanya.
Rani mengangguk.
"Kita harus mengusut ini, Ran."
"Ya, ayo kita lapor polisi!" tegas Rani.
"Tidak, tidak. Jangan sampai ini ke polisi. Aku tak akan kuat melihat Laila dipandang buruk oleh semua orang." Aji menolak cepat.
"Apa maksudmu, Mas?" Rani tak mengerti kenapa jawaban Aji sama persis dengan jawaban Heru.
"Kita tak boleh gegabah. Bahkan Ardian tak boleh tahu tentang ini."
"Kamu kenapa ngomong gitu, sih, Mas. Kita perlu tahu penjahatnya, mana mungkin tahu kalau tidak melapor polisi."
"Aku yang akan mencari tahu. Ada Laila, kenapa kamu bingung?! Aku yang akan bicara padanya." Aji melangkah ke kamar Laila kembali, pria itu akan membujuk Laila dengan caranya agar bicara.
"Mas!" panggil Rani yang tak dipedulikan.
Ia sungguh tak mengerti jalan pikiran lelaki. Kenapa membuat semua semakin rumit? Mereka hanya perlu lapor ke polisi, dan meminta agar merahasiakan identitas korban.
Namun, kalau saat Rani berpikir, menyembunyikan identitas di zaman digital seperti sekarang rasanya mustahil. Netizen bahkan memiliki radar yang lebih canggih dari pada CIA. Suatu saat, orang-orang terutama teman-teman Laila akan tahu. Kalau sudah begitu, pasti imbasnya ke Laila.
"Itukah alasan Mas Heru dan Mas Aji?"
_____________
Sampai di kamar dan baru membuka pintu ... mata Aji menyipit, saat melihat Ardian yang bicara begitu serius dengan Laila. Anak gadisnya itu juga tampak begitu tertekan atas sikap pria itu.
"Ardian!" panggil Aji.
Seketika adiknya itu menoleh. Dan lekas menjauh dari ranjang Laila.
Aji hanya heran, kenapa Ardian bisa duduk dan bicara sedekat itu pada Laila. Sejak kapan?
"Yah, tolong. Bawa Om Ardian pergi dari sini!" Suara serak Laila terdengar untuk kali pertama sejak Aji datang. Gadis itu menghiba. Entah takut, atau sebenarnya dia malu pada Ardian? Aji tak mengerti.
"A-ada apa?" tanya Aji terbata. Kini tatapannya beralih pada sang adik.
"E-em. Maaf Mas, aku hanya ingin tahu bagaimana kondisinya." Ardian menyahut dengan nada tak enak.
Hal itu membuatnya curiga. Apa Ardian pelakunya?
Bersambung
Wadeh siapa pelakunya, ya. Menurut temen-temen? Ada yang bisa tebak? Sudah banyak clue. Next bab, Laila akan mengatakan satu nama pelakunya. Jadi tetep stay di cerita ini, ya.
Tap love dan koment, Yok.
Selama ini Aji memahami sekaligus meyakini, orang akan baik jika dia berteman dengan orang-orang baik, dan sebaliknya._____________"Apa yang Kak Aris rahasiakan?" tanya Lintang yang penasaran mencecar sang kakak.Dia yakin jika rahasia Aris yang dimaksud ayah tiri Laila ada sangkut pautnya pada kasus yang menimpa teman sebangkunya itu.Aris mendesah. Ia tak berniat sedikit pun bercerita pada Lintang apa yang Heru ancamkan padanya. Pemuda yang memiliki faras rupawan dan menjadi idola banyak gadis itu lalu berjalan, meninggalkan Lintang ke mobil."Kak! Kok gitu, sih?!" dengkus Lintang yang mendapat respon dari Aris tak sesuai maunya. Ia memprotes sikap sang kakak yang terkesan menutup-nutupi sesuatu darinya.Gadis itu pun mengekor Aris menuju mobil. Sementara pikirannya terus mengembara. Menyangkut pautkan kejadian demi kejadian, agar ditemui benang mer
Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi, maka besi yang tergenggam di tangannya akan selalu ia arahkan untuk menikam perutnya dalam neraka jahanam secara terus-menerus dan ia kekal di dalamnya.__alhadits__💔Laila pun akhirnya meng-eja kata demi kata, di sela isak tangis. Meski hatinya perih mengatakannya. Bukan hal mudah menanggung rasa sakit dan rasa bersalah sekaligus.Kalau saja dia belum pernah mengenal pesantren dan punya iman yang tersemat dal dada, mungkin tak pikir panjang setelah kejadian menjijikkan itu, akan langsung bunuh diri.Gadis itu pernah mendengar dari ustazah di pesantren dulu,"Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi, maka besi yang tergenggam di tangannya akan selalu ia arahkan untuk menikam perutnya dalam neraka jahanam secara terus-menerus dan ia kekal di dalamnya."Ucapan
Seorang pria sejati dinilai bukan dari bagaimana penampilannya. Apa yang lebih penting adalah bagaimana ia bersikap. Aris bukan hanya tampan dan menjaga sikap, lebih dari itu, dia seorang pemuda yang tak rela air mata ibunya menetes.***Lintang yang terbangun karena suara ribut dari depan segera bangkit dari ranjang untuk melihatnya. Kebetulan sejak pulang dari rumah sakit, gadis berparas ayu itu tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan apa yang menimpa Laila dan keterlibatan kakaknya Aris, sampai dipukuli oleh ayah tiri Laila.Besok, saat mamanya bertanya, dia akan menjawab Aris habis bertengkar dengan temannya. Sesuai apa yang kakaknya inginkan.Langkah Lintang sudah berada di ujung tangga.Mata gadis itu melebar dan sontak menutupi mulut mungilnya, melihat Aris tengah diintimidasi oleh seorang pria. Tak membuang waktu, ia pun berbalik dan mengetuk pintu sang mama."Aris. Kami ingin bicara." Bunda Laila langsung mengatakan maksud kedatangann
Setiap manusia yang memiliki hati pasti tahu, besarnya luka dan rasa takut yang dialami perempuan korban pelecehan.....***Pintu toilet terbuka. Tak ada yang Laila lakukan kecuali mennagis depan cermin. Gadis itu tak mengerti apa yang harus dilakukan sekarang selain menangis.Suster yang melihatnya, membiarkan itu. Dia tahu bagaimana rasa sakit yang dialami korban pelecehan. Jiwanya pasti sedang terguncang hebat. Yang penting, ia bisa mengawasi agar tak hal gila yang dilakukannya.Mata Laila melebar. Tubuhnya seketika bergetar. Takut. Kala melihat bayangan seorang pria di cermin mendekatinya dari belakang."Apa yang kamu lakukan?" Heru bertanya dengan lembut. Ada perawat yang tengah beraktifitas di kamar Laila. Namun, hanya ini kesempatannya menemui gadis itu."Jangan takut anak baik, aku ke sini hanya memberikan ponselmu."Pria itu menyodorkan benda pipih ke arah Laila. Ketika menoleh gadis itu bisa melihat ponselnya. Masih de
Kesucian wanita adalah tolak ukur sebuah kehormatan.Manusia patut malu ketika tak bisa menjaga nafsu birahinya sendiri, atau pun memancing orang lain dengan sesuatu yang sifatnya erotis.***Mata Ardian menyipit, baru saja dia kembali dari mushola, untuk menunaikan sholat subuh, seorang pria yang penampilannya tak mirip tenaga medis tengah keluar dari kamar Laila.Ia pun bergerak cepat melihat kondisi Laila. Matanya melebar, melihat gadis itu tengah duduk mennagis tersedu di lantai toilet. Dengan seorang suster yang membujuknya."Ada apa, Sus?" tanya Ardian."Em, saya nggak tau, Mas. Tadi padahal sudah agak tenang berdiri di situ." Suster menunjuk ke cermin.Belum lagi, suster selesai bicara, Ardian segera ingat pria yang barusan keluar dan mengejarnya. Mungkinkah ada hubungannya?"Siapa itu?" gumamnya. Gegas kaki kokohnya bergerak dengan cepat, untuk mencapainya dan mengetahui siapa pria itu.'Apa aku kecolongan? Mungk
FlashbackKutajamkan pandangan saat melihat Laila keluar dari kamarnya. Tumben kali ini tak memakai kerudung. Bibirku seketika tertarik ke atas, membuat sebuah lengkung senyuman, senang melihatnya.Tak bisa kumengerti kesenangan dan tak bisa menarasikannya dengan apa pun.Menyayangi Laila dan menginginkannya sekaligus.Dia tampak cantik, sama seperti ibunya, hanya saja lebih menggemaskan. Terakhir kali memperhatikan anak itu saat pulang dari pesantren, kala usianya masih lulusan SMP.Namun, belakangan ... aku seperti tersihir oleh keberadaannya. Ini bukan salah dan mauku. Ini terjadi begitu saja."Laila!" kupanggil anak yang ceria itu untuk mendekat.Gadis itu menoleh dan mendekat ke meja makan di mana aku berada."Ya, Yah?""Ayah minta tolong bikinin kopi, bisa? Bunda kamu masih ke pasar.""Ya." Gadis itu tersenyum. Sampai lesung pipitnya terlihat menghiasi wajah manisnya.Kuamati pergerak
Laila bergeming. Seolah diamnya membenarkan tuduhan semua orang bahwa dia adalah gadis bi*al yang suka menggoda pria. Pantas saja diperkosa. Karena dia sendiri yang memancing dengan mengirim foto-fotonya bug*lnya.Gadis itu hanya bisa menangis, mendapat sebuah tamparan keras dan makian demi makian dari ayah yang dicintai. Ayah yang diharap perlindungan dan kepercayaannya.Saat akan melayangkan pukulan kedua, Rani segera meraih tangan Aji."Hentikan, Mas! Dia sudah cukup terluka dengan kejadian yang menimpa!" Bunda Laila berusaha menghentikan sambil menangis.Namun, juga tak cukup mampu untuk tidak ikut menyalahkan puterinya. Walau bagaimana, Laila berada di posisi yang salah. Memancing nafsu laki-laki sampai ada niat buruk memperkosanya. Ia bahkan tak sanggup untuk memeluk anak gadisnya itu. Ada perasaan jijik dan kesal, meski ini bukan sepenuhnya salah Laila.Aji yang murka mendesah panjang. Ketika ingat sesuatu, ia segera bergerak membuka semua t
Aji banyak diam. Dia sudah mengusulkan pada Rani dulu agar menaruh Laila di pesantren saja. Pria itu sungguh kecewa saat tahu, Laila pulang dari pondok dan menempuh pendidikan negeri di SMA.Setelah semua upaya, Aji bisa apa? Rani juga tak bisa berbuat apa pun untuk membujuk Laila kembali ke pesantren.Akhirnya, yang terjadi seperti sekarang. Laila dinodai dan harus nikah muda. Padahal gadis itu satu-satunya harapan Aji. Kelak bisa menyelesaikan sekolah. Kuliah hingga jadi sarjana, lalu mendapat pekerjaan yang bagus.Tidak sepertinya, jadi kuli bangunan, pekerja lepas di perusahaan. Kerjanya serabutan dan tak menentu. Aji mendesah. Dia tahu ini bukan takdir yang bisa dipilihnya. Dan ia tahu bahwa Tuhan mengirim ujian tidak mungkin di luar kemampuan hamba-Nya. Akan tetapi tetap saja berat.Ditatap wajah puterinya yang sembap meski telah memakai make up. Menutupi wajah lugu dengan lesung pipit, saat saat sedikit bibirnya ditarik.Laila tampaknya tak
Acara lamaran Lintang berlangsung sangat khidmat. Senyum tak lepas dari bibir gadis itu. Akhirnya pemuda yang selama hampir tiga tahun dekat dengannya ini, membuktikan keseriusannya.Begitu juga dengan Aris, kedua sahabat ini pernah berkelakar bahwa mereka akan jadi sodara ipar. Fanno berkali-kali pernah menawarkan diri untuk jadi adik ipar sahabatnya ini.Ternyata benar, ucapan itu adalah doa, maka ucapkanlah yang baik-baik agar menjadi doa yang baik-baik pula.Selesai acara lamaran, semua yang hadir menyantap hidangan yang telah disediakan oleh Ajeng.Fanno mendekati sahabat sekaligus calon Abangnya itu."Gimana kerjaan lu?""Sopan dikit kek, sekarang gue udah jadi calon Abang lu. Masa masih manggil seperti itu?" Aris protes."Oke, Bang, gue ralat. Gimana sekarang kerjaan lu, Bang?""Tetap aja, ya, tapi gapapa lah gue maklum.""Lagian, begitu aja jadi masalah. Pertanyaan gue kagak dijawab juga.""Lu kepo aja uru
Ekstra Part 19Menuju AkhirAris berusaha untuk menikmati pekerjaannya sebagai tukang cuci mobil. Meski bayaran yang dia terima tidak sebanyak ketika bekerja di kantor Papanya David. Tetap saja ia syukuri.Dua hari sudah waktu yang David janjikan untuk membawa Zara kepada keluarga Aris. Tapi belum ada tanda-tanda pria itu akan menepati janjinya."Gue cuma mau ngingetin, ini sudah hampir 2 x 24 jam, Dav," kata Aris lewat sambungan telepon."Gue usahain nanti malam, Ris.""Bener, ya?""Bener. Entar gue kirim alamatnya.""Lu datang ke rumah gue saja.""Enggak bisa, Ris. Lu tahu Zara seperti apa? Ini juga gue enggak yakin.""Lah, gue pikir udah deal.""Tadi 'kan gue bilang mau usahain.""Oke, gue tunggu kabar selanjutnya."Aris memutus sambungan telepon. Ia berharap David bisa membuktikan ucapannya.***Selepas magrib David mengirimkan alamat pad
Malam itu juga Aris pergi ke rumah David. Tidak sulit baginya untuk menemukan alamat orang kaya dan terkenal seperti keluarga David.Sebelumnya Aris mengirim pesan terlebih dahulu pada pria berambut klimis itu kalau dia sedang dalam perjalanan ke rumahnya.[Gue lagi di luar, Ris. Besok aja, ya, kita ketemu di kantor.]David beralasan.[Tanggung gue udah di jalan. Enggak apa-apa kalau lu enggak ada, gue ketemu Bokap lu aja.]Tulis Aris sambil tersenyum.[Oke, gue balik. Lu tunggu gue, jangan ngadu macem-macem sama bokap gue!]Aris tersenyum membaca balasan dari David. Pria itu ternyata sangat sayang dengan jabatannya, sehingga dia sangat takut kehilangan.Ternyata Aris sampai terlebih dahulu dari tuan rumah. Dia menunggu di dekat pos satpam. Kata Pak satpam barusan, David belum sampai ke rumah.Berselang lima belas menit, mobil David memasukkan pintu gerbang. Ia langsung mengajak Aris masuk melalui pintu samping dan duduk
"Mama tidak menyangka kamu tega mencoreng muka Mama dan Papa. Memberikan kesan buruk pada keluarga kita, Ris. Maksudnya apa ini?" Ajeng mengetuk-ngetuk layar ponselnya."Itu fitnah, Ma. Aris dijebak, Mama tahu 'kan wanita itu yang mengacau di acara wisudaku beberapa bulan ke belakang.""Iya, Mama tahu. Tapi ini tidak bisa dikatakan fitnah. Sedangkan jelas orang di dalam poto ini adalah kamu. Mama tidak bisa membayangkan kalau Papa sampai tahu." Ajeng merasa terpukul.Lagipula, Aris tak habis pikir, dari mana wanita itu mendapat nomor Ajeng."Aku bisa jelaskan, Ma.""Apa lagi yang mau dijelaskan? Semuanya sudah jelas, kamu tidak bisa beralasan." Ajeng berpaling."Adegan dalam poto ini rekayasa, Ma.""Tidak mungkin, kamu tidak bisa membodohi Mama. Kalau kamu tidak mau harusnya berontak dan menolak. Dari segi mana itu dibilang rekayasa. Atau kamu mau bilang itu adegan poto untuk kepentingan komersial? Kalaupun ia, Mama tidak setuju!"
Selama perjalanan menuju rumah sakit, Laila maupun Aris tidak banyak bicara. Keduanya bingung harus bersikap, secara dari semalam Laila masih belum bersikap manis pada suaminya.Aris ingin segera menunjukkan video itu pada Laila. Tapi sepertinya waktunya tidak tepat jika sekarang.Laila pun tak tahu harus bagaimana memulai untuk minta maaf pada Aris. Ia merasa canggung karena dari semalam dia tidak bersikap baik pada suaminya.Keduanya hanya bersikap biasa ketika berbicara dengan Ariel. Selebihnya seperti dua orang asing yang baru saja bertemu.Kaku.Di rumah sakit, untung saja Laila segera datang, karena ternyata Rani sendirian. Beberapa menit yang lalu, Aji pamit pulang dulu untuk mengambil sesuatu di rumah. Itu kata Rani, wanita itu tidak mau berterus terang bahwa Aji sedang mencari pinjaman uang untuk melunasi biaya rumah sakit.Tabungan mereka belum cukup untuk melunasi semua biaya. Aji sedang menemui beberapa teman kerjanya siapa tahu
"Ini surat pengunduran diri saya." Aris meletakkan surat itu dihadapan Pak Jani, pria yang dulu menerimanya bekerja."Saya perlu tahu, kenapa kamu ingin berhenti bekerja di sini. Padahal kamu termasuk karyawan terbaik meski baru dua bulan bergabung bersama kami. Apa kamu ada masalah dengan salah satu karyawan di sini?" Pak Jani bersandar pada kursinya sambil memperhatikan Aris."Saya tidak ada masalah, Pak. Selama bekerja di sini saya sangat senang. Tapi saat ini, saya ingin mencoba mengembangkan usaha sendiri meski kecil-kecilan." Aris beralasan."Saya sangat menyayangkan saja, Ris. Harus kehilangan karyawan baik seperti kamu. Next kalau kamu ingin bergabung kembali dengan kami, jangan sungkan, ya. Pintu selalu terbuka buat kamu.""Baik, Pak. Terima kasih telah memberikan kesempatan buat saya bekerja di sini. Saya permisi." Aris bangkit dan mengulurkan tangannya."Terima kasih juga sudah pernah bergabung bersama kami," jawab Pak Jani sambil meneri
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, Aris seperti kesetanan mengemudikan mobilnya. Ia terus merutuki kebodohannya, kenapa harus menuruti David. Bukankah ia sudah punya janji dengan Laila dan Ariel.Kenapa pula ia harus terus menerus merasa tidak enak pada David, bukankah ia juga punya hak untuk menolak."Sial. Seharusnya aku sudah berhenti kerja setelah tahu David itu sepupuan dengan Zara. Sebab aku tahu Zara itu licik dan nekad." Aris memukul setir.Berkali-kali ia menekan klakson karena ada yang menghalangi jalannya. Hingga satu ketika mobilnya oleng dan hampir saja menabrak pembatas jalan."Astaghfirullah," ucapan sambil memelankan mobilnya.Ia usap wajahnya berkali-kali, lalu membuang nafas perlahan. Ini salah, melampiaskan kekesalan dengan cara ugal-ugalan saat menyetir, memang tidak dibenarkan. Bisa membahayakan dirinya juga pengendara lain. Bukannya mengurangi masalah malah akan manambah masalah jadinya."Papa?!" Matanya membola keti
Ekstra Part 13Hati WanitaLaila mondar mandir sambil terus mengotak-atik ponselnya. Dari tadi ia menghubungi Aris tapi tidak diangkat. Akhir pekan ini, pria halalnya itu berjanji akan pulang cepat demi mengajak Ariel jalan-jalan."Habis ashar kamu dan Ariel langsung siap-siap, ya. Supaya aku tidak nunggu lama dan kita punya banyak waktu untuk mengajak Ariel jalan-jalan." Itu pesan Aris beberapa jam yang lalu lewat telepon.Tapi sampai saat ini suaminya itu belum juga datang. Laila mencoba menghubunginya, tapi tak satupun panggilan darinya diangkat."Mungkin Kak Aris terjebak macet, maklum ini sudah masuk akhir pekan jadi banyak yang ke luar untuk liburan," guman Laila menghibur diri.Matanya tak lepas dari layar ponsel yang masih menyala."Tapi ... kalau memang iya terjebak macet, kenapa sampai tidak bisa menjawab telepon?"Laila bangkit dari duduknya lalu melihat ke luar rumah melalui kac
"Lepaskan aku! Kalian tidak punya hak menangkapku!"Helen terus meronta ketika dua orang sipir memegangi tangannya. Kedua pria itu membawa Helen ke luar sel tersebut."Lepaskan!!" Helen mencoba mengayunkan tangannya agar terlepas, tapi sia-sia karena tenaga dua orang pria itu tentu saja lebih kuat.Tiba-tiba wanita itu berhenti. Ia berusaha mundur ketika dua orang berseragam itu menariknya."Aku bilang lepaskan! Kalian akan membawa aku kemana?""Tindakanmu barusan itu membahayakan penghuni lain. Kamu harus dipisahkan," ujar salah satunya."Tidak mau! Aku tidak mau sendirian! Aku mau bersama dengan yang lain. Lepas, aku bilang lepas!!"Lama-lama tenaga Helen terkuras sia-sia karena terus meronta. Wanita yang dulu selalu berpenampilan bak artis ibu kota itu akhirnya harus pasrah ketika dirinya dimasukkan ke sel terpisah tanpa teman."Heeyy! Lepaskan aku!! Kalian tidak tahu pacarku kaya, banyak duitnya. Sebentar lagi dia akan data