Saat tengah mengangkat telpon, aku begitu kaget melihat mobil Aini terparkir di depan gedung kantor. kupikir saat ini ia pasti tengah menuju ruanganku. Panik bercampur cemas seketika memenuhi kepala, bagaimana tidak sementara di dalam sana ada Anita.Aku pun buru-buru menyudahi sambungan telpon dan segera kembali ke ruangan. Tiba disana aku tidak mendapati Aini berada di sana, syukurlah. Tapi, kenapa Anita menangis? Anita bahkan terlihat seperti orang yang sedang ketakutan. Begitu melihatku datang ia langsung menghambur ke dalam pelukan, dan menceritakan hal yang baru saja terjadi."Apa kamu mengenalinya?" tanyaku saat Anita mulai tenang, ia hanya menggeleng. Karena Anita bilang orang tersebut menggunakan masker dan menutupi kepalanya dengan topi baju. Aku sangat yakin kalau itu adalah Aini. 'Gawat' batinku.Ternyata benar setelah pulang dari kantor sikap Aini begitu dingin ia tidak menyambut kepulanganku seperti biasanya.Bahkan saat tengah makan malam pun ia masih tetap memilih di
Setelah Bi Jana pergi, aku mencoba berbicara dengan Aini. Memberi perhatian seperti biasanya. Tetapi, Aini masih bergeming tidak menanggapi. Ia kembali berbaring, sambil membelakangiku. Rasanya aku hampir putus asa melihat Aini diam seperti itu."Maafkan, Mas, Ai. Apa yang harus, Mas lakukan agar kamu mau memaafkan, Mas?" tanyaku sedih. "Maafkan, Mas telah mengkhianati pernikahan kita, dan menyakiti hatimu." Aku kembali berucap, mataku terasa berkaca-kaca. Aini tergugu, membuatku semakin bersalah.Aku pun menceritakan panjang lebar pada Aini kenapa aku sampai bisa menikah dengan Anita. Semua karena kebodohanku. Hanya isak yang semakin jelas terdengar dari bibir Aini. Akhirnya ia berkata lirih dan ingin minta cerai. Seketika aku memeluk tubuhnya dari belakang, air mataku jatuh mengenai wajahnya. Tidak! Aku tidak ingin bercerai darinya sampai kapanpun dia tetap Ainiku. Kami pun menangis bersama dalam guguan yang semakin pilu.***Aini kembali tertidur, mungkin ia kelelahan karena terlal
"Sekarang pilih, aku atau wanita itu," ucapku dengan penuh emosi, Mas Arya hanya tertunduk lesu, bibirnya bungkam."Hem ... Sudah kuduga, kamu gak bisa milihkan, Mas?" Sergahku, lalu aku pun pergi meninggalkan Mas Arya dalam kebisuan.Entah apa yang ada dalam pikiran Mas Arya aku pun tak tau, dan apa alasannya ingin tetap mempertahankan semuanya, apakah Mas Arya punya rencana lain? Ah entahlah, yang jelas aku tidak boleh lengah.Aku memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju butik. Selama di perjalanan pikiranku kembali memutar memory bersama Mas Arya sebelum badai menghantam nahkodah rumah tangga kami. Mataku kembali berkaca-kaca, aku segera menghapusnya dengan kasar sebelum benar-benar jatuh membasahi kedua pipiku.Sampai di butik aku memarkirkan mobil, menatap arloji pada pergelangan tangan pukul menunjukkan 07 lebih 45. Sebelum membuka butik aku menyempatkan ke Indo*aret di seberang jalan. Tadi sarapanku sempat terganggu karena tamu tak diundang. Aku ingin mencari cemilan ringan.
Tiba di rumah, aku melihat Mas Arya tengah duduk di atas sofa ruang tamu. Rasanya malas sekali bertemu dengannya. Sementara Mas Arya begitu melihat kedatanganku ia segera bangkit, dan tersenyum. Ah, kenapa hari ini dua manusia mengesalkan itu selalu muncul dihadapanku, sepertinya aku harus mulai berpura-pura dan bermain cantik.Tanpa menghiraukannya, aku melangkah begitu saja, menuju kamar yang terletak di lantai dua. Tak mau menyerah Mas Arya pun berjalan mengekor dari belakang.Aku sedang tidak ingin berbicara apalagi berdebat, capek rasanya membahas sesuatu yang tidak berkesudahan. Aku menekan handle pintu, lalu masuk ke dalam kamar."Ai ...," sapa Mas Arya saat kami telah masuk ke dalam kamar.Aku hanya melambaikan tangan tanpa menoleh ke arahnya dan masuk ke kamar mandi. Aku butuh sesuatu yang membuat pikiran tenang bukan sesuatu yang membuat pikiran semakin ruwet, dan kacau.Berendam dalam bathup dengan aroma bunga mawar seperti yang sering kulakukan membuat pikiran sedikit tena
Aku tengah duduk di balkon kamar, sembari memandangi langit malam yang terlihat kelam. Tidak bintang yang biasa bertabur mewarnai angkasa. Gelap itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan suasana saat ini, seperti masalah yang terjadi padaku akhir-akhir ini menguras tenaga dan pikiran yang terasa semakin kusut, jalan pun terasa buntu.Pandanganku beralih pada benda pipih berukuran 5 inci yang sejak tadi kupegang, menatap foto usang yang sengaja kembali kupotret dan simpan dalam galeri foto. Andai saja Mama ada di sini, ingin rasanya aku memeluk tubuhnya dan menceritakan segala beban yang tengah menimpa. Aku tidak pernah tau bagaimana rasanya disayang oleh seseorang yang dipanggil, Mama!Ah, Mama! Air mataku seketika mengembang. Lalu, detik berikutnya luruh membasahi kedua pipi. Sejak ia pergi bersama lelaki itu aku tidak lagi pernah melihatnya. Inikah yang dirasakan Papa saat itu, ketika mengetahui Mama berselingkuh di belakangnya? Mengingat itu membuat dada ini kembali sesak."Ai,
Aku masih terpaku di depan pintu utama, sembari memandangi perempuan tersebut dengan rasa penasaran, dan berniat memanggilnya."Ma-" Kalimatku terpotong, manakala Mama mertua menyadari keberadaanku."Aini, kamu sudah datang, Nak? Ayo masuk kenapa hanya diam disitu? Mana Arya?" Mama bertanya panjang lebar begitu melihat kedatanganku, dan tak melihat Mas Arya bersamaku.Aku pun melangkah masuk dengan perasaan yang tak menentu. Entah apalagi yang direncanakan Anita, wanita licik itu."Ayo, Nak duduklah! Ini Wati Mamanya Anita," Mama memperkenalakan perempuan itu, yang kutanggapi sekedarnya. Lalu duduk di sebelah kiri Mama.Papa duduk di pojok kursi samping kanan Mama, dan Mbak Elma memilih duduk di kursi dekat Papa. Ia menatapku tak suka, sepertinya gara-gara kemarin aku enggan meminjamkan uang kepadanya. Dasar, Mbak Elma baru sekali kutolak sudah berlagak songong. Aku hanya menyeringai membalas tatapannya, membuat wajahnya semakin terlihat gusar.Sementara Anita dan perempuan itu duduk
Pergi dari rumah Mama, aku melajukan kendaraan dengan pelan. Memoryku kembali memutar ulang kejadian yang barusan terjadi. Ah, Anita kau sungguh ular berbisa sepertinya aku memang harus lebih hati-hati.Aku harus mengambil tindakan lebih cepat, senyumku mengembang kala terpikir sebuah ide untuk mengerjai perempuan tidak tahu malu itu, aku memutar mobil kembali ke rumah."Lho, Non kok pulang lagi?" tanya Bi Jana heran saat melihatku sudah berada di dapur."Hari ini, Anita akan pindah ke sini, Bi!" ucapku santai tanpa ada beban.Mendengar itu Bi Jana begitu terkejut, matanya terbelalak tak percaya."Non, Aini serius?" tanyanya dengan nada tak percaya."Iya, Bi," jawabku tertunduk lesu pura-pura sedih. Lalu kemudian tersenyum."Lho kok, Non sepertinya tidak keberetan?" Bi Jana semakin penasaran melihat ekpresi yang kuperlihatkan.Aku mendekat ke arah Bi Jana lalu membisikkan sesuatu rencana untuk mengerjai perempuan itu, Bi Jana pun manggut-manggut dan langsung tersenyum. Lalu, mengacung
"Nit, kamu kenapa?" tanya Mas Arya panik saat melihat Anita mulai menggaruk-garuk tubuhnya, dengan wajah meringis menahan rasa gatal yang luar biasa."Gak tau, Mas badan aku gatal-gatal semua, aku alergi seafood," jawab Anita sambil terus menggaruk tubuhnya yang mulai memerah.Seperti yang dibilang Mamanya Anita alergi seafood, setelah memakan seafood, tidak perlu menunggu lama tubuhnya langsung terasa gatal. Maaf ya Nit! Habisnya kamu ngeyel sih."Mas, tubuhku gatal semua, Mas," teriaknya, wajahnya terlihat seperti mau menangis. Dalam hati kasian juga, tetapi mau bagaimana lagi aku harus sedikit lebih tega agar dia kapok."Kok, kamu gak ngomong kalau, kamu alergi seafood," ucapku pura-pura tidak tahu dengan ekpresi yang sengaja kubuat-buat agar terlihat panik, dan bersalah. Dalam hati aku tertawa.Ia tidak menanggapi dan masih terus sibuk menggaruk tubuhnya.Saat tengah memperhatikan Anita tiba-tiba ponselku bergetar, sebuah pesan masuk dari Hani, aku sengaja janjian sama Hani. Saa
Akhirnya kami terpaksa pergi dari rumah yang sudah lama kuimpikan menjadi Nyonya di dalamnya. Tentunya aku tak kan kehabisan akal sudah kepalang basah biar sekalian nyebur saja.Bagaimanapun caranya Mas Arya harus kembali ke rumah itu dan meminta maaf. Aku tidak mau kalau mas Arya dan Aini sampai bercerai dan aku tidak dapat apa-apa. Aku harus memperjuangkan hak anak ini, apapun caranya ia tidak boleh hidup dalam kemiskinan.Saat kami tiba di mobil, Mas Arya begitu terlihat marah dan malah ingin menceraikanku, enak saja habis manis sepah di buang setidaknya ia pernah mencicipi madu manisku, meski anak yang dalam kandungan ini bukan anaknya.Setelah kuberi tahu kalau aku lagi hamil, wajahnya seketika berubah. Ada binar bahagia dari kedua matanya. Ia benar-benar terlihat senang. Saat itulah aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan dan membujuknya agar kembali ke rumah Aini."Baiklah," ucap Mas Arya akhirnya melemah, dan kami kembali ke apartemen sumpek itu, sungguh menyebalkan. Tenang,
Aku bergegas mengemasi pakaian ke dalam koper berukuran besar. Hari ini aku akan pindah dan tinggal di rumah Mas Arya. Dia pasti senang melihat kedatanganku, aku tersenyum membayangkan wajah bahagia Mas Arya, sembari terus memasukkan pakaian ke dalam koper. Tetapi, bagaimana dengan Aini, ah itu bukan masalah besar, untuk itu biar kuurus nanti.Kenapa juga kuharus memikirkan perempuan itu, bukankah dia juga hidup menumpang dengan Mas Arya? Jadi, mana bisa dia bisa menghalangiku.Semua pakaian telah tersusun rapi dalam koper, aku segera menutupnya dan memesan taksi online. Aku sengaja tidak minta di jemput MasArya karena ini kejutan untuknya.Aku sudah berada di depan rumah besar milik Mas Arya dengan perasaan senang, aku tidak sabar bertemu Mas Arya.Dengan langkah tergesa aku segera menuju pintu utama, menekan bel pintu beberapa kali barulah keluar perempuan tua dan gendut dari dalam."Lama amat sih," ketusku saat daun pintu mewah itu terbuka lebar hingga menampakkan isi di dalamnya.
Sebal banget rasanya melihat Mas Arya datang ke acara pertunangan teman sekantor bersama istrinya yang gendut itu. Sudah pasti aku tidak akan bisa bersamanya, padahal aku sudah dandan habis-habisan agar Mas Arya tak berpaling dariku.Lelaki yang sudah susah payah kudapatkan, dengan cara menjebaknya. Siapa yang tidak menyukai laki-laki tampan, mapan, baik, lagi perhatian. Ya dia Arya lelaki yang kukenal sebagai atasanku itu memang terlihat menawan, perempuan mana yang tidak menginginkan bisa hidup mendampinginya. Berbagai rayuan sudah kulakukan, tetapi tidak mempan. Hem ... Tipe lelaki setia, pikirku. Aku hampir kehabisan akal agar Arya bisa tertarik denganku, hingga muncul ide gila untuk menjebaknya. Sebelumnya aku sudah mempunyai pacar namanya Doni, lelaki pengangguran dan pemabuk kerjaan hanya menghabiskan uang. Kalau soal tampan memang tidak kalah sama Arya tetapi tampan saja tidak cukup.Hingga tiba saat aku melancarkan aksiku untuk menjebak Arya, dengan pura-pura minta dibenari
Belum hilang rasa keterkejutan dari wajah Mas Arya, atas kebohongan Anita selama ini, aku sudah memberinya sebuah kejutan baru dengan memberinya surat. Aku meletakkannya di atas meja persegi ruang tamu saat Mas Arya tengah duduk termenung."Apa ini, Ai?" tanya Mas Arya ia mendongakan wajahnya menatap lurus ke mataku."Baca saja, Mas," ucapku pelan.Tangan Mas Arya mulai membuka lembaran surat tersebut dengan pelan, setelahnya matanya mulai berkaca-kaca."Baiklah, kalau itu maumu!" balas Mas Arya pelan. Saat ini tidak ada lagi penolakan darinya, mungkin ia menyadari betapa terlukanya hatiku atas tindakan bodohnya.Ia pun bangkit, perlahan menaiki tangga menuju lantai atas, entah apa yang akan dilakukannya. Tidak lama kemudian, ia turun dengan membawa koper."Jaga dirimu baik-baik, Ai!" pelan Mas Arya berucap. Rasanya hatiku, terenyuh. Ah tidak! Aku tidak boleh luluh."Tentu, aku akan menjaga diriku dengan baik," tegasku, aku memalingkan wajah tak berani menatapnya. Jika benar apa yang
Rasanya capek juga setelah menangis berjam-jam. Akhirnya aku memutuskan pulang, dan beristirahat. Merebahakan diri di atas kasur, perlahan mata pun mulai terpejam.Aku terbangun saat ponselku berdering, aku meraba-raba mencari keberadaan benda pipih itu, setelah dapat ku geser tombol warna hijau tersebut, lalu telpon pun terhubung."Iya, hallo," jawabku masih menahan kantuk."Ai, bisa bertemu sekarang? ada hal penting yang ingin kukasih tau, dan tidak bisa dibicarakan lewat telpon," tegas Hardi di ujung ponsel.Aku yang sejak tadi masih dengan posisi berbaring, seketika bangkit, mengubah posisi menjadi duduk."Dimana?" tanyaku, rasa kantuk pun menjadi hilang mendengar berita dari Hardi sepertinya ini benar-benar penting."Di tempat biasa," balasnya singkat."Oke, aku ke sana sekarang." Kami pun mengakhiri topik pembicaraan, dan aku pun segera mencuci muka, dan memoles bedak tipis, lalu segera pergi menemui Hardi."Maaf! Lama nunggunya," ucapku setelah sampai. Lalu,"Its oke," jawabny
Aku termenung teringat pristiwa di rumah sakit kemarin, betapa terkejutnya saat mengetahui kalau ternyata Mama Wati adalah Mama Sila. Itu artinya, Anita?Ah! memikirkan itu membuat kepala terasa pening. Aku harus bertemu Mama Sila, iya harus! Aku menyambar tas yang tergeletak di atas kasur, dan ponsel di atas nakas. Lalu melangkah keluar menuruni anak tangga dengan langkah tergesa.Perlahan mobil yang kukendarai mulai menjauh dari pekarangan rumah, meninggalkan istana tempat tinggal selama ini. Rasanya aku sudah tak sabar ingin segera sampai, dan bertemu Mama Sila mendengar penjelasan langsung dari bibirnya.Setelah menempuh perjalannya sekitar 20 menit, akhirnya aku tiba, setelah memarkirkan mobil pada sisi jalan, aku pun lekas turun, dan melangkah menuju pintu utama. sejenak aku terdiam berdiri di depan pintu rumah Mama. Tanganku bersiap untuk mengetuk pintu, sembari menghela napas beberapa kali, menetralisirkan kecanggungan yang tengah menguasai hati. Saat tangan sudah terangkat d
Perlahan aku mengerjap-ngerjapkan mata, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar, tempat ini sangat asing, dan hanya diisi barang-barang bekas. Aku menggerakkan tubuh, bagian punggung begitu terasa nyeri, akibat pukulan keras tadi. Baru sadar kedua tangan dan kaki terikat sementara mulut tertutup sebuah selotip.Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan diri yang kini tengah duduk di atas kursi dalam keadaan terikat. Tiba-tiba datang seorang laki-laki dari arah pintu, seringainya begitu mengerikan ia melangkah mendekat."Rupanya kau sudah sadar," ucapnya, lalu membuka selotif yang menutup bagian mulutku dengan kasar membuat bibirku terasa begitu perih."Siapa kau? Lepaskan aku? Kenapa kau menyekapku?" Cercaku dengan berbagai pertanyaan.Ia tersenyum miring. "Siapa aku itu tidak penting, ah iya kenapa aku menyekapmu karena kau terlalu banyak tau, Nona," ucapnya lembut tapi penuh arti."Katakan apa maumu?" tanyaku penuh emosi.Ia kembali tersenyum, "Mauku, kau duduk manis saja di sini." Lelak
Setelah pulang dari bertemu Hardi aku melenggang masuk ke dalam rumah, kulihat Mas Arya sedang makan dengan disuapi Anita. Aku menghela napas, sepertinya Mas Arya sungguhan sakit sampai makan pun harus dibantu oleh gundiknya.Melihat kedatanganku Anita menghentikan aktivitasnya dan menatapku dengan tatapan sinis."Dari mana saja kamu, Mbak? Mas Arya lagi sakit malah keluyuran." Anita melayangkan pertanyaan dengan nada tidak suka."Bukan urusanmu, dan mengenai Mas Arya bukankah sudah ada kamu yang mengurus," ketusku sambil melipatkan tangan di dada. Huh! Enak saja aku harus mengurus Mas Arya, sementara dia mau enaknya saja.Anita terlihat gusar, dan ingin mendebatku lagi. Tetapi, segera ditahan oleh Mas Arya. Mas Arya pun beranjak dari duduknya dan menghampiriku, kini tatapan matanya begitu sendu, tidak lagi bengis seperti kemarin. Oh Mas Aryaku sungguh menyedihkannya dirimu, melihatmu aku jadi kasian."Ai, soal kemarin, M-mas minta m-maaf," pelan Mas Arya berucap, wajahnya kini sunggu
Pagi-pagi sekali Anita sudah ribut karena mendapati Mas Arya pulang dalam keadaan yang sangat menyedihkan, sepertinya Mas Arya mabuk. Aku yang lagi duduk santai di teras depan pura-pura tidak melihat, dan terus sibuk membaca koran, melihat berita yang di muat hari ini.Mas Arya berjalan sempoyongan, aroma alkohol mengusik indra penciumanku. Tiba di depan pintu, tubuh Mas Arya terjatuh dan tak sadarkan diri, Anita pun kaget."Mbak, tolongin, Mas Arya!" teriaknya gelagapan, seperti melihat orang yang mati saja."Ya tinggal diangkat, Nit," ucapku santai, pandangan mataku tetap fokus pada koran yang kupegang. "Jangan mau enaknya saja! Giliran Mas Arya kayak gitu gak mau ngurusnya," cicitku yang masih tetap fokus membolak-balik koran yang kupegang.Aku tidak peduli ekpresi apa yang akan ditunjukkannya, dan aku juga tidak peduli Mas Arya mau pingsan ataupun mati sekalian. Hatiku begitu sakit menerima perlakuan kasarnya kemarin sore. Lelaki lemah lembut dan penuh perhatian itu kini sudah ber