SABRINA
Sabrina turun dari apartemen Samudra untuk berangkat ke kantor. Seperti biasanya walaupun dia bermalam di sana, mereka tidak pernah berangkat ke kantor bersamaan. Kali ini Sabrina terlebih dahulu, dia meninggalkan Samudra yang masih mematutkan diri di walk in closet miliknya. Mereka berdua masih belum banyak bicara setelah pembicaraan kemarin sore tentang Teddy. Samudra cemburu dengan kedatangan Teddy dan dia sangat kesal dengan munculnya Eloise. Para mantan yang bikin rusuh, pikirnya.
Eloise benar-benar membikin hatinya gusar bukan kepalang, wanita itu seperti ular yang setiap saat bisa menerkam kepalanya.
Bel lift berbunyi di lantai 5, pertanda ada orang yang menunggu. Pintu lift terbuka dan di sana berdiri dengan sangat elegan wanita yang sedari tadi memenuhi otaknya. Eloise!
Dia tersenyum sumringah secerah matahari pagi begitu melihat Sabrina. “Sabrinaa … what a surprise” sapanya renyah dengan
SABRINASabrina melangkah riang menuju apartemen Samudra, lagi-lagi hari ini dia harus sendirian, Samudra mempunyai business dinner dengan salah satu klien. Akhir-akhir ini memang dia sangat sibuk, di kantor jarang bertemu dan pulang ke apartemen selalu malam. Untungnya dia juga adalah seorang wanita karir yang sangat mengerti kehidupan seorang pengusaha seperti Samudra.Aku bisa berenang, pikirnya riang. Setelah tadi pagi dia tidak sempat melakukan yoga karena … dia tersenyum … bercinta dengan Samudra. Dua kali! Lagi-lagi dia tersenyum mengingat kejadian tadi pagi. Tidak cukup momen panas di tempat tidur sehabis mereka bangun, momen panas masih berlangsung di shower kamar mandi. Terlalu panas sampai-sampai mereka berdua telat ke kantor. Samudra harus berakrobat berpakaian karena dia harus menghadiri breakfast meeting, di salah satu hotel dekat kantor. Sabrina membantu memakaikan dasinya ketika dia sibuk menyematkan cufflinks di tan
SABRINAApa aku tidak salah lihat? Pikirnya.Dia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan tidak ada yang salah dengan penglihatannya. Ternyata matanya masih sehat, hatinya yang berubah perih dan pilu melihat pemandangan di depannya. Tangan Samudra mengusap lembut pipi Eloise, lalu perempuan itu menggenggamnya sebelum mencium tangan Samudra. Sangat mesra. Samudra seperti menikmati momen itu, memandang lembut ke Eloise.Dadanya naik turun penuh kemarahan. Baru beberapa waktu lalu dia bilang bahwa dia mencintainya, sekarang dia sedang berasyik masyuk dengan perempuan yang sangat dibencinya itu. Dia merasa tertipu, sangat tertipu. Apakah dia telah salah menilai Samudra? Berulang kali Samudra mengatakan bahwa dirinya berbeda, dirinya sangat special buatnya, kini dia mulai meragukan perkataan Samudra. Sangat naif menganggap bahwa laki-laki playboy itu berubah setelah bertemu dengannya. Mungkin memang benar perkataan Eloise, dia tidak ada bedanya
SABRINADia memarkir mobilnya di area parkir apartemen Teddy, terlihat ragu-ragu untuk keluar dari mobilnya. Setelah berdebat dengan diri sendiri dia memutuskan untuk menelpon Teddy tadi malam, belum sampai dering ke dua teleponnya sudah diangkat. Sepertinya Teddy juga sedang mempunyai insomnia seperti dirinya, suaranya tidak terdengar seperti baru saja bangun dari tidur.Dia menanyakan apakah bisa mampir ke apartemen Teddy untuk mengembalikan barang-barang miliknya yang masih berada di apartemen Sabrina.Bohong!Tentu saja, alasan mengembalikn barang hanyalah kedok belaka. Dia ingin bertemu dengan Teddy, ada atau tidak barang yang bisa dikembalikan.Dia menarik nafas sebelum akhirnya membuka pintu mobil. Sudah lama dia tidak menjejakkan kaki ke area apartemen ini, terasa sangat lama. Dia memasuki lobby dengan gamang.“Mbak Sabrina”Dia menoleh untuk mencari suara yang memanggilnya. Ternyata satpam yang sudah
SAMUDRA“Aku ke apartemen Teddy.”Satu kalimat pendek Sabrina, kalimat pendek yang terasa seperti hantaman tinju ke rahangnya. “We need to talk” katanya, setelah dengan susah payah dia menenangkan diri.Sabrina menatapnya lurus dan tajam. “Pertama kamu mencium dia, lalu kamu bermesraan berdua di bar hotel. Terlalu gampang menganggap bahwa dua kali adalah kebetulan belaka,” katanya sinis.Dia menarik nafas panjang, seperti maling tertangkap basah, sulit menjelaskan ke Sabrina bahwa pertemuannya dengan Eloise yang terakhir adalah murni ketidaksengajaan. “Aku pergi ke sana sendiri, lalu tiba-tiba Eloise muncul …”“That is very convenient,” sergah Sabrina cepat.“Aku tahu kamu marah, tapi bukan dengan melampiaskan bertemu dengan tunangan kamu,” dia tidak bisa menutupi kecemburuannya.“Mantan!” Sergah Sab
SAMUDRA“Jadi sekarang dia rajin berkunjung ke sini?” katanya, setelah Teddy meninggalkan mereka.Sabrina terlihat menghela nafas. “Aku tidak tahu, dia tiba-tiba saja muncul di sini.” Ada nada bersalah dalam kalimat Sabrina.“Nanti selanjutnya apa? Tau-tau dia berada di apartemen kamu?”“Jangan ngaco, mana mungkin.” Sabrina membuang muka, seperti tidak yakin dengan perkataannya sendiri. Samudra memandang wajah kekasihnya, atau paling tidak itu yang masih dia yakini, Sabrina masih kekasihnya. Dia menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan oleh wanita di depannya ini. Pertama adalah masalah Eloise yang menurut Samudra sudah sangat jelas hanyalah kesalahpahaman belaka, sekarang seperti ada sesuatu yang terjadi antara dia dan mantan tunangannya.“So ... kamu sudah siap untuk bicara lagi dengan aku?” Katanya sembari menyandarkan punggungnya ke dinding. Sabrina menatap ke arahnya, da
SAMUDRAEloise harus dirawat di rumah sakit.Dia menemani wanita itu dari mulai ditangani di ruangan gawat darurat hingga akhirnya mendapatkan kamar untuk menginap. Harus mengenyampingkan dahulu janjinya ke Sabrina untuk tidak berhubungan lagi dengan Eloise, dia saat ini sedang butuh bantuan dan dia tidak punya siapa-siapa di Jakarta.“Call me when you need anything ok.” Katanya, sebelum pergi meninggalkan rumah sakit dengan tidak tega. Bagaimanapun dia pernah sangat dekat dengan Eloise, dia pernah menjadi emergency contact wanita itu begitu juga sebaliknya, ketika mereka tinggal bersama di Paris. Meninggalkannya ketika dia sedang sakit membuatnya gundah.Sudah lewat tengah malam ketika dia sampai di apartemen. Mungkin Sabrina sudah tertidur, pikirnya. Walaupun dia tidak banyak berbicara ketika dia berpamitan untuk mengantar Eloise ke rumah sakit, dia tahu Sabrina tidak suka.Dengan berhati-hati dia membu
SABRINALebih gugup dari biasanya dia berjalan ke arah restoran tempat dia berjanji bertemu dengan Teddy untuk makan siang. Matanya berkali-kali menyapu keadaan sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang dia kenal melihat, apalagi Samudra.Ketika dia sampai di restoran Teddy sudah menunggu di sana, tersenyum sumringah menyambut kedatangannya. Melihat Teddy membuatnya sedikit lega walaupun dalam hati dia memendam rasa bersalah, dia sudah meminta Samudra untuk menyudahi hubungan dengan Eloise tetapi kenapa dia masih terus saja bertemu dengan mantan tunangannya di belakang Samudra.Baginya Teddy adalah smooth sailing, berlayar tanpa rintangan ombak, membelah biru lautan dengan lepas dan tanpa halangan. Entah kenapa dia meninggalkan cinta yang tenang tanpa ombak itu, untuk cinta lain yang penuh gejolak.“Hai, aku sudah pesenin makanan kesukaanmu.” Kata Teddy riang, tentu saja dia selalu tahu apa kemauan Sabrina, termas
Dia memandangi Sabrina yang tengah asik tenggelam dengan bacaannya, kisah cinta antara Elizabeth Bennet dan Mr. Darci yang menurutnya terlalu angkuh. Buku itu terlihat sudah cukup usang, entah sudah berapa kali dibuka oleh Sabrina untuk membaca kisah percintaan pada abad ke 19 tersebut.Dia sendiri sedang memegang buku tentang camp Auschwitz, yang sudah beberapa saat dia coba untuk baca tetapi tidak satupun kata berhasil terekam di otaknya. Pikirannya berkecamuk tentang Eloise, dengan ciuman itu. Shit! Bagaimana dia akan menjelaskannya ke Sabrina.“What do you think about Mr. Darcy?” Tanya Sabrina tiba-tiba, dia menurunkan buku sehingga hanya menutupi setengah dari wajahnya.“I don’t like that arrogant dude.” “That arrogant dude? Hey … yang kamu bicarakan itu Mr. Darcy.” Katanya seolah tidak rela dengan perkataan Samudra. dia menurunkan bukunya, menampakkan seluruh wajahnya yang tetap ter
SABRINA “Si Pak bos Ke mana mbak?” tanya Sabrina ke Nia melalui sambungan telephon kantor. “Belum balik dari makan siang mbak,” jawab Nia. Dia mengerutkan kening, dia melirik jam di pergelangan tangannya sudah hampir jam 3 sore dan Samudra belum balik dari makan siang. “Memang ada business lunch mbak?” Tanyanya lagi. “Nggak tuh, tadi dia pergi sendiri” Mereka sudah berbaikan kembali, setelah dia berhasil mengusir Eloise dari ruangan kantor Samudra tempo hari. Tetapi setelah hari itu dia menemukan ada yang aneh dengan Samudra, dia terlihat lebih pendiam dari biasanya. Agak cool, dia memang selalu cool tetapi yang ini mencurigakan, membuat bulu kuduknya merinding seperti ada jelangkung yang bisa lewat setiap saat. Dia kembali “pulang” ke apartemen Samudra, bercinta lebih panas dari biasanya, mungkin ini karena faktor marahan selama beberapa hari. Tetapi seperti ada yang ditutupi oleh Samudra. Mudah-mudahan bukan El
Dia tersenyum mendapati kiriman bunga untuk ke dua kalinya. Perempuan mana yang tidak suka bunga? Dan Samudra tahu betul bunga favoritnya, mawar putih dengan warna pink di ujungnya. Dia membuka kartu kecil yang terselip di rangkaian mawar “je t’aime” tertulis disitu, lagi-lagi dia tersenyum kecil “I love you too” pikirnya. Dia memandang sekilas Samudra yang sedang berada dia di area kopi, ingin melemparkan senyum lebar tetapi dia tahan. Belum ada orang lain yang tahu mereka berpacaran, dan entah bagaimana reaksi para staf nantinya kalau mereka tahu sang bos rajin berkirim bunga kepadanya.Beberapa stafnya langsung menyerbu ke ruangannya, mengagumi rangkaian mawar putih keduanya dan tentunya memburu untuk mendapatkan informasi siapa pengirimnya. Sabrina hanya menjawab dengan senyuman. Belum waktunya, dia berfikir dalam hati, nanti kalau saatnya sudah tepat. Untuk saat ini cukup mawar-mawar putih ini saja yang bisa menjadi konsums
Dia memandangi Sabrina yang tengah asik tenggelam dengan bacaannya, kisah cinta antara Elizabeth Bennet dan Mr. Darci yang menurutnya terlalu angkuh. Buku itu terlihat sudah cukup usang, entah sudah berapa kali dibuka oleh Sabrina untuk membaca kisah percintaan pada abad ke 19 tersebut.Dia sendiri sedang memegang buku tentang camp Auschwitz, yang sudah beberapa saat dia coba untuk baca tetapi tidak satupun kata berhasil terekam di otaknya. Pikirannya berkecamuk tentang Eloise, dengan ciuman itu. Shit! Bagaimana dia akan menjelaskannya ke Sabrina.“What do you think about Mr. Darcy?” Tanya Sabrina tiba-tiba, dia menurunkan buku sehingga hanya menutupi setengah dari wajahnya.“I don’t like that arrogant dude.” “That arrogant dude? Hey … yang kamu bicarakan itu Mr. Darcy.” Katanya seolah tidak rela dengan perkataan Samudra. dia menurunkan bukunya, menampakkan seluruh wajahnya yang tetap ter
SABRINALebih gugup dari biasanya dia berjalan ke arah restoran tempat dia berjanji bertemu dengan Teddy untuk makan siang. Matanya berkali-kali menyapu keadaan sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang dia kenal melihat, apalagi Samudra.Ketika dia sampai di restoran Teddy sudah menunggu di sana, tersenyum sumringah menyambut kedatangannya. Melihat Teddy membuatnya sedikit lega walaupun dalam hati dia memendam rasa bersalah, dia sudah meminta Samudra untuk menyudahi hubungan dengan Eloise tetapi kenapa dia masih terus saja bertemu dengan mantan tunangannya di belakang Samudra.Baginya Teddy adalah smooth sailing, berlayar tanpa rintangan ombak, membelah biru lautan dengan lepas dan tanpa halangan. Entah kenapa dia meninggalkan cinta yang tenang tanpa ombak itu, untuk cinta lain yang penuh gejolak.“Hai, aku sudah pesenin makanan kesukaanmu.” Kata Teddy riang, tentu saja dia selalu tahu apa kemauan Sabrina, termas
SAMUDRAEloise harus dirawat di rumah sakit.Dia menemani wanita itu dari mulai ditangani di ruangan gawat darurat hingga akhirnya mendapatkan kamar untuk menginap. Harus mengenyampingkan dahulu janjinya ke Sabrina untuk tidak berhubungan lagi dengan Eloise, dia saat ini sedang butuh bantuan dan dia tidak punya siapa-siapa di Jakarta.“Call me when you need anything ok.” Katanya, sebelum pergi meninggalkan rumah sakit dengan tidak tega. Bagaimanapun dia pernah sangat dekat dengan Eloise, dia pernah menjadi emergency contact wanita itu begitu juga sebaliknya, ketika mereka tinggal bersama di Paris. Meninggalkannya ketika dia sedang sakit membuatnya gundah.Sudah lewat tengah malam ketika dia sampai di apartemen. Mungkin Sabrina sudah tertidur, pikirnya. Walaupun dia tidak banyak berbicara ketika dia berpamitan untuk mengantar Eloise ke rumah sakit, dia tahu Sabrina tidak suka.Dengan berhati-hati dia membu
SAMUDRA“Jadi sekarang dia rajin berkunjung ke sini?” katanya, setelah Teddy meninggalkan mereka.Sabrina terlihat menghela nafas. “Aku tidak tahu, dia tiba-tiba saja muncul di sini.” Ada nada bersalah dalam kalimat Sabrina.“Nanti selanjutnya apa? Tau-tau dia berada di apartemen kamu?”“Jangan ngaco, mana mungkin.” Sabrina membuang muka, seperti tidak yakin dengan perkataannya sendiri. Samudra memandang wajah kekasihnya, atau paling tidak itu yang masih dia yakini, Sabrina masih kekasihnya. Dia menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan oleh wanita di depannya ini. Pertama adalah masalah Eloise yang menurut Samudra sudah sangat jelas hanyalah kesalahpahaman belaka, sekarang seperti ada sesuatu yang terjadi antara dia dan mantan tunangannya.“So ... kamu sudah siap untuk bicara lagi dengan aku?” Katanya sembari menyandarkan punggungnya ke dinding. Sabrina menatap ke arahnya, da
SAMUDRA“Aku ke apartemen Teddy.”Satu kalimat pendek Sabrina, kalimat pendek yang terasa seperti hantaman tinju ke rahangnya. “We need to talk” katanya, setelah dengan susah payah dia menenangkan diri.Sabrina menatapnya lurus dan tajam. “Pertama kamu mencium dia, lalu kamu bermesraan berdua di bar hotel. Terlalu gampang menganggap bahwa dua kali adalah kebetulan belaka,” katanya sinis.Dia menarik nafas panjang, seperti maling tertangkap basah, sulit menjelaskan ke Sabrina bahwa pertemuannya dengan Eloise yang terakhir adalah murni ketidaksengajaan. “Aku pergi ke sana sendiri, lalu tiba-tiba Eloise muncul …”“That is very convenient,” sergah Sabrina cepat.“Aku tahu kamu marah, tapi bukan dengan melampiaskan bertemu dengan tunangan kamu,” dia tidak bisa menutupi kecemburuannya.“Mantan!” Sergah Sab
SABRINADia memarkir mobilnya di area parkir apartemen Teddy, terlihat ragu-ragu untuk keluar dari mobilnya. Setelah berdebat dengan diri sendiri dia memutuskan untuk menelpon Teddy tadi malam, belum sampai dering ke dua teleponnya sudah diangkat. Sepertinya Teddy juga sedang mempunyai insomnia seperti dirinya, suaranya tidak terdengar seperti baru saja bangun dari tidur.Dia menanyakan apakah bisa mampir ke apartemen Teddy untuk mengembalikan barang-barang miliknya yang masih berada di apartemen Sabrina.Bohong!Tentu saja, alasan mengembalikn barang hanyalah kedok belaka. Dia ingin bertemu dengan Teddy, ada atau tidak barang yang bisa dikembalikan.Dia menarik nafas sebelum akhirnya membuka pintu mobil. Sudah lama dia tidak menjejakkan kaki ke area apartemen ini, terasa sangat lama. Dia memasuki lobby dengan gamang.“Mbak Sabrina”Dia menoleh untuk mencari suara yang memanggilnya. Ternyata satpam yang sudah
SABRINAApa aku tidak salah lihat? Pikirnya.Dia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan tidak ada yang salah dengan penglihatannya. Ternyata matanya masih sehat, hatinya yang berubah perih dan pilu melihat pemandangan di depannya. Tangan Samudra mengusap lembut pipi Eloise, lalu perempuan itu menggenggamnya sebelum mencium tangan Samudra. Sangat mesra. Samudra seperti menikmati momen itu, memandang lembut ke Eloise.Dadanya naik turun penuh kemarahan. Baru beberapa waktu lalu dia bilang bahwa dia mencintainya, sekarang dia sedang berasyik masyuk dengan perempuan yang sangat dibencinya itu. Dia merasa tertipu, sangat tertipu. Apakah dia telah salah menilai Samudra? Berulang kali Samudra mengatakan bahwa dirinya berbeda, dirinya sangat special buatnya, kini dia mulai meragukan perkataan Samudra. Sangat naif menganggap bahwa laki-laki playboy itu berubah setelah bertemu dengannya. Mungkin memang benar perkataan Eloise, dia tidak ada bedanya