Nirmala menatap punggung Pak Harsono dari balik jendela kaca ruang tamu. Ia tidak sanggup untuk mengantar keberangkatan sang bapak merantau karena rasa tak karuan yang menyelimuti.Pria itu—pria yang tengah berjalan ke luar pelataran rumah dengan langkah lesu—membuatnya melankolis dan menangis. Bagaimana tidak? Sedari kecil, ia dan pria tersebut terkenal bagai air dan minyak yang tidak pernah akur. Kini, saat sang bapak telah berubah menjadi sosok kepala rumah tangga yang lebih lembut, perhatian dan bertanggung jawab, dirinya justru merasa telah mengecewakan. Hingga, timbul di dalam hati menyalahkan diri.“Bapak pergi pasti gara-gara aku. Bapak malu punya anak perempuan yang hampir lapuk dan belum menikah. Giliran hampir menikah, tapi nggak jadi-jadi. Coba saja kalau Anggara bisa lebih getol meluluhkan hati ibunya, pasti aku sudah menikah dan Bapak tidak harus pergi merantau,” bisik Nirmala dalam hati.Ia menghidupkan ponsel dan memandangi salah satu daftar nama kontak yang terakhir k
Semakin lama membersamai Fitonia, Bu Vera semakin bertekad untuk menebus kesalahan dulu karena telah mencampakan putrinya. Dan, satu-satunya cara terbaik untuk menebus adalah dengan menjadikan nyata impian sang putri menikahi Anggara.Wanita flawless itu jadi teringat dengan kata-kata Bu Diana beberapa waktu yang lalu—saat keduanya membahas mengenai Anggara dan kekasihnya.“Percaya aja sama aku, Mbak Yu. Anggara dan Nirmala itu tidak bakal jadi kawin. Bapaknya gadis itu aja nggak ngrestuin, kok.”“Lha, kok?” Bu Vera terkejut dengan ucapan Bu Diana yang penuh kemantapan itu.“Iya, bener. Ya, aku taunya juga dari waktu Anggara melamar gadis itu dan bapaknya seperti menghalang-halangi biar acaranya berantakan. Ada aja hal yang memang seperti dibuat-buat biar pernikahan mereka itu nggak terlaksana. Jadi, Mbak Yu tenang aja. Jodoh nggak akan kemana. Aku pastikan Anggara hanya akan menikah dengan Mbak Fitonia.”Demi ingin membuktikan ucapan wanita yang seperti saudara itu, Bu Vera berniat me
“Tante, benarkah Tante adalah ibunya Fitonia?” tanya Nirmala begitu antusias. Selama mengenal Fitonia, ia memang belum pernah sekali pun melihat orang tua sahabatnya tersebut. Karena menurut cerita, mereka kurang begitu dekat dan jarang sekali bertemu.“Iya. Saya ibunya. Kamu Nirmala, ‘kan?” Bu Vera ingin memastikan, karena Fitonia tidak pernah memberi tahu ciri-ciri sosok Nirmala ataupun menunjukkan satu potret pun.“Iya, Tante. Bagaimana kabar Fitonia? Tadi Tante bilang, menyangkut hidup dan mati Fitonia. Memangnya dia kenapa, Tante?” Nirmala tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya dengan memberondong wanita cantik di depannya dengan pertanyaan.“Um, iya, dia sedang sakit.”“Sakit apa, Tante? Selama ini aku mencarinya, ternyata dia sakit. Bagaimana ceritanya?”Nirmala tampak sekali begitu khawatir kepada putrinya, sehingga ada rasa tidak nyaman pada diri Bu Vera. Wanita itu terdiam sejenak. Hati nuraninya bergelut dengan bayangan sang putri yang belakangan ini terlihat begitu tersik
Anggara mondar-mandir di kamar. Pemuda itu dilanda rasa khawatir mengenai keadaan wanita yang ingin segera ia nikahi. Telinganya tidak mungkin salah dengar bahwa sang ibu telah memberi tahu Tante Vera arah menuju rumah kekasihnya itu.“Ada apa Bu Vera hendak ke rumah Nirmala? Apa ini ada hubungannya dengan rencana konyol Ibu menjodohkanku dengan Fitonia?” batin pemuda itu bergejolak penuh kekhawatiran.Setelah memikirkan matang-matang, ia mengambil jaket kesayangan, lalu mengendap-endap menuju garasi untuk mengambil motor. Tidak salah lagi, hati nuraninya mengatakan bahwa ia harus segera ke rumah Fitonia untuk mencari tahu kepastian banyak hal. Karena saat pertemuan pertama sejak kepergian gadis itu, ia dipaksa untuk menyudahi obrolan. Bahkan, diminta pulang oleh ibunya. Jadi, ia belum puas untuk berbincang dengan orang yang selama ini sudah dianggap seperti keluarga.Anggara disambut oleh Mbak Duwik. Asisten rumah tangga keluarga Bu Vera itu mengatakan bahwa majikannya sudah ke luar
Fitonia tidak kuasa jujur. Ia justru menangis sejadi-jadinya. Hal itu membuat Anggara tidak nyaman.“Aku antar kamu masuk.” Anggara hendak memegang kursi roda dan membawa Fitonia ke rumah, tapi mendadak tangannya ditepis.“Aku bisa sendiri, Gara. Meski berada di kursi roda, jangan pandang aku sebagai wanita lemah.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Fitonia membawa kursi rodanya ke arah rumah dengan cepat.Anggara terpaku menatap wanita yang masih saja terisak itu. Batinnya terasa tercabik-cabik dengan berbagai rasa, antara sedih, kecewa, heran dan bingung. Ia tidak habis pikir dengan sahabatnya yang rupanya selama ini diam-diam mencintainya.Disamping itu, dirinya harus segera menemukan cara bagaimana memberitahu Nirmala mengenai semua ini. Jangan sampai, kekasihnya yang temperamental itu mengetahui dari orang lain. Karena jika hal itu sampai terjadi, bisa dipastikan dia bisa depresi lagi.Anggara sengaja mematikan ponsel. Ia tidak ingin dihubungi siapa pun saat ini, termasuk ibun
Fitonia benar-benar tidak menduga jika kencan pertama dirinya dengan Anggara akan berakhir dengan air mata. Hal itu justru menambah sakit yang diderita. Kini, ia semakin yakin jika Anggara yang dulu mengejarnya sudah tidak menginginkannya lagi. Semua ini gara-gara Nirmala. Dia yang telah merebut secret admired-nya.Saking kesal, bingung sekaligus malu, Fitonia meninggalkan Anggara di pelataran belakang. Ia biarkan pemuda itu terus menatapnya penuh tanda tanya dan kebingungan. Yang ada di pikirannya saat ini adalah pergi ke kamar dan menangis sekeras-kerasnya.Begitu masuk kamar, Fitonia langsung menjatuhkan diri ke lantai. Kakinya menendang-nendang kursi roda yang belakangan ini menjadi senjata untuk meraih simpati orang. Ya, sejatinya dia sudah tidak membutuhkan benda tersebut.Kemarin, saat kondisi badannya masih begitu lemas, dokter menyarankan untuk menggunakan kursi roda. Awalnya, ia menolak karena membayangkan jika menggunakan alat bantu tersebut akan terlihat seperti gadis caca
“Kamu masih punya impian untuk bahagia? Untuk sembuh?” tanya psikiater yang menggunakan jubah dokter bertuliskan sebuah nama ‘Cyntia Carlianta Hati’ itu menatap lembut ke arah pasien yang telah menghentikan tangisannya. Dipeluknya gadis yang terlihat telah kehilangan banyak energi untuk menangis itu sambil memberikan tisu.“Kamu gadis yang baik dan pintar, pastilah bisa melalui ini semua dengan baik. Coba, ceritakan semua, keluarkan semua apa yang membuatmu merasakan sakit selama ini. Nanti, biar kami bantu mengatasinya. Kita bareng-bareng selesaikan ini sama-sama, ya?”Dokter Cyntia mengeluarkan seluruh rasa empatinya lewat tatapan mata dan sentuhan pada tangan sang pasien. Meski masih terisak, gadis itu berusaha melanjutkan kisahnya.“Aku benar-benar nggak nyangka bakal dikhianati orang yang selama ini sudah kuanggap sebagai pria terbaik untuk mengisi masa depan bersama. Statusnya sebagai ayah biologis dari janin yang dikandung temanku sendiri telah membuat duniaku runtuh.” Tisu di
Begitu mendengar berita bahwa Nirmala kumat, Anggara langsung menuju rumah kekasihnya itu dengan perasaan khawatir, takut dan bingung. Ada penyesalan mengapa tadi dia mengnon-aktifkan ponsel, sehingga telepon dari sang kekasih tidak bisa tersambung.Namun, nasi telah menjadi bubur. Kini, dalam otaknya ia mati-matian mencari cara bagaimana memberitahu tentang Fitonia. Bibirnya senantiasa komat kamit berdoa semoga Tuhan melindungi kekasihnya itu dari keinginan untuk melakukan hal-hal fatal, seperti yang dilakukannya terdahulu apabila tengah dilanda depresi.“Bagaimana keadaan Nirlama, Bu?” Raut wajah Anggara terlihat tegang. Ditatapnya Bu Harsono yang tertunduk lesu di sebuah kursi ruang tamu.“Dia tidak mau merespon apapun, Mas. Tidak berkedip, tidak menoleh, tidak bergerak dan tidak bersuara.” Nada sedih dan prihatin jelas terdengar. Kedua mata wanita ayu itu sudah bengkak dan seperti kehabisan air mata.“Apa yang sebenarnya terjadi, Bu? Bagaimana bisa begini? Maaf, tadi aku mematika
“Kamu yakin, Sayang?” tanya Bu Vera pada putrinya yang beberapa langkah lagi menuju pintu mobil.Dengan mantap mantap, wanita yang masih terlihat pucat itu mengangguk seraya menjawab, “ya, Ma.”Merasa terharu, dipeluknya sang putri dengan penuh kasih.“Aku selalu mendoakan kebahagiaan kamu. Mama akan usahakan pengobatan dan terapi terbaik nanti di sana,” ucap Bu Vera tidak bisa menyembunyikan rasa haru. Wanita yang belakangan merasa begitu dekat dengan putri yang pernah ditinggalkannya itu berkali-kali mengusap usap pundak penuh kasih.Tidak hanya kedua wanita itu yang merasa berat untuk berpisah dengan kampung halaman, rumah kenangan, tapi juga Mbak Duwik. Wanita yang selama Bu Vera di sini selalu siap sedia diperintah itu ikut menangis penuh haru.Seperti mengerti perasaan wanita cekatan itu, Fitonia mendekat, memeluk dan berkata, “ terima kasih ya, Mbak Duwik, selalu ada buat kami.”Wanita yang tadinya mewek dengan suara pelan, kali ini justru sesenggukannya terdengar semakin keras
Nirmala, Pak Harsono, istri dan kakak perempuannya serempak saling pandang menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu rumah. Satu terlihat begitu bugar, gagah dan percaya diri, sementara satunya memancarkan sorot kesedihan mendalam, lemah dan pesimis. Beberapa kali, pria gagah menepuk-nepuk punggung pria tak berdaya di samping sambil mengangguk, seolah tengah menyalurkan kekuatan.“Assalamu’alaikum, Pak Harsono dan keluarga, bolehkah kami masuk?” Karena saking terpananya dengan apa yang dilihat, sekeluarga hanya bisa melongo dan sampai lupa mempersilahkan tamu segera masuk.“Oh, ya, Wa’alaikumsalam. Silahkan masuk,” ujar Bu Harsono seketika sadar.Istri Pak Harsono itulah yang paling awal melihat kedatangan dua pria beda usia tersebut menuju rumah, lalu lari ke kebun samping dan memberi tahukan bahwa ada tamu. Ia sangat penasaran dengan pria yang tengah menuntun calon menantu idamannya, sekaligus kaget dengan keadaan Anggara yang seperti sedang sakit.“Maaf jika kedatangan ka
“Benarkah itu Johan?” Bu Diana hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Sosok yang sebentar lagi pasti mengetuk pintu itu memang bisa dibilang jauh berbeda dengan suaminya dulu, tapi sebagai istri, ia masih tidak lupa dengan cara berjalannya yang gagah dan khas. Terlebih, saat tamu tak diundangnya mengetuk pintu tapi merasa tidak direspon dan wajahnya berusaha mengintai lewat kaca, Bu Diana kini yakin seratus persen bahwa orang tersebut adalah suami yang pernah diusirnya berkali-kali. Hal itu terlihat dari bekas luka sabetan benda tajam di wajah.“Ada apa si Johan kembali lagi ke sini? Bukankah sudah kusuruh tidak lagi menginjakkan kaki di rumah ini lagi? Berani sekali dia!” Bu Diana yang cukup pangling dengan penampilan sang tamu itu berkali-kali mengucek mata untuk memastikan.“Assalamu’alaikum...Assalamu’alaikum,” salam Pak Johan setelah ketukan pintunya yang berkali-kali tidak digubris.Nada suaranya yang kini terdengar adem dan lembut itu mengundang simpati Bu Diana. Wanita
Melihat sosok yang selama ini dirindukannya, Anggara merasa begitu lega. Kali ini, tidak lagi ada kecanggungan. Ia telah menemukan kembali kenyamanan berada di dekat seorang ayah seperti dulu waktu kecil sering bermain dan bercanda.Pak Johan langsung mempersilakan sang putra masuk ke kamar penginapan yang hanya dia sendiri di sana. Entah kebetulan atau memang sudah takdir, biasanya ia akan berada di sebelah tuannya kapan pun. Jika sedang tour kota semacam ini, kalau tidak tidur di pondok pesantren persahabatan, ya menginap di penginapan lengkap dengan tim.Namun, kali ini sungguh berbeda. Gus Hamdan, pendakwah muda yang tengah naik daun itu tengah membersamai istri tercinta pasca melahirkan di klinik dan kini telah dibawa ke rumah sakit khusus ibu dan anak demi mendapatkan fasilitas terdepan.“Bapak istirahatlah. Aku sudah pesankan kamar di penginapan dekat rumah sakit ini. Beristirahatlah setenang mungkin. Jangan pikirkan aku atau Ning. Tenang saja, ada Bik Fatimah dan beberapa sant
“Kabari Ayah kapan pun kamu mau. 082****.”Anggara memandang secarik kertas yang sepertinya ditulis dengan buru-buru itu penuh haru. Ia memang masih menyimpan kenangan indah bersama sang ayah sewaktu kecil dulu, sebelum pada akhirnya kepala rumah tangga itu diusir pemilik sah rumah itu. Dalam hati, ia memang berniat untuk kembali bertemu, bahkan ada secercah harapan untuk bisa hidup bersama lagi seperti dulu.Malam telah cukup larut. Jalanan sudah mulai sepi. Terlebih, klinik bersalin itu berada di pinggir kota. Di jam segini, mana mungkin ada kendaraan umum, kecuali ojek. Setelah berjalan dan bertanya beberapa orang, akhirnya ia menemukan tukang ojek yang langsung dimintanya untuk membawa pulang.Kali ini, ia sebisa mungkin menghentikan sementara pikiran tentang Pak Johan, Nirmala dan Fitonia. Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki sang ibu, Anggara berpikir keras mencari kata yang hendak diucapkan saat bertemu dengan wanita single parent itu.Ia ingat betul bagaim
“Ma, istirahatlah. Aku baik-baik saja. Hanya, aku butuh obat tidur, terlelap, lalu bangun dalam keadaan siap menghadapi takdir yang ada. Maaf, telah membuat Mama, Papa dan keluarga kecewa, malu dan sedih. Setelah ini, aku berjanji tidak akan mengulanginya,” tulis Fitonia di pesan singkat, lalu mengiriminya pada sang mama, yang langsung lemas setelah membaca.Pak Rudi yang ikut membaca karena penasaran dengan penyebab sang istri langsung menjatuhkan diri ke dadanya itu juga tidak tahan untuk tidak bersedih. Terlebih, lelaki sukses itu merasa menyesal, mengapa baru kali ini datang ke mari, kenapa tidak kemarin-kemarin saat istrinya meminta.Ia sama sekali tidak menyangka jika putri sulungnya itu justru akan bertambah parah ketika berada di sini. Dikiranya, kesehatannya membaik karena waktu hendak pulang ke kampung halaman, dia melihat harapan dari senyum semangat sang putri. Ditepuk-tepuknya pundak sang istri seraya berucap,”dia gadis cerdas, pasti bisa bangkit segera. Papa yakin itu, M
“Bapak...” panggil Nirmala pada lelaki brewokan di teras rumah. Beberapa bulan tidak melihat, wajah Pak Harsono yang dulu hampir selalu rapi, kini tampak tidak terurus. Rambut-rambut dibiarkan tumbuh liar di wajah menambah kesan garang.“Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” cecar Pak Harsono sembari menatap tajam ke arah pasangan muda mudi yang terlihat tegang itu.Anggara menatap kekasihnya seolah memberi isyarat apakah dirinya harus jujur atau tidak. Seperti mengerti makna sorotan mata itu, Nirmala menggeleng pelan.“Maaf, Pak. Tadi, abis kontrol. Antriannya panjang, jadi sampai telat pulangnya. Bapak kapan pulang?” tanya Nirmala lirih penuh kehati-hatian.Bersamaan dengan jawaban putrinya, Bu Harsono yang mendengar suara sang suami yang cukup lantang tadi segera ke luar.Ditatapnya muda-mudi itu dengan sorot kecemasan. Sebagai seorang Ibu, Bu Harsono memiliki ikatan batin kuat kepada sang putri yang dari tatapannya seperti tengah meminta bantuan.“Oh, kalian sudah pulang,
“Kamu dari mana aja, Gara? Tante nyariin kamu kemana-mana, kirain ke toilet atau ke luar beli sesuatu.”Begitu sampai di depan ruangan tempat Nirmala diperiksa tadi, terlihat Tante Ayu tengah gelisah. Wanita yang tampak kelelahan dan kebingungan itu langsung lari menyusul saat melihat Anggara muncul.“Nggak dari mana-mana, Tante,” jawab Anggara singkat. Pikirannya masih tersangkut pada sosok yang baru saja ditemuinya.“Kamu lho, seperti linglung begitu. Ada apa? Oh, ya, Nirmala sudah siuman. Tadi Tante udah masuk sebentar. Ini mau jemput ommu di rumah Fitonia. Duh, suasana katanya kacau balau. Kamu di sini tunggu Nirmala, ya. Jaga kesehatan dan mental dia. Tante jemput om dulu,” pamit Tante Ayu terlihat tergesa-gesa.Anggara hanya mengangguk. Langkahnya lesu masuk ke ruangan yang sedari tadi ditunggui tantenya itu. Batinnya senang mendengar sang kekasih sudah siuman, tapi tetap saja masih terasa ada yang mengganjal.Melihat Nirmala menatapnya, ia berusaha tersenyum ceria. Diingatnya b
Melihat ekspresi putranya yang begitu terkejut dan panik, Bu Diana mendelik. Dicubitnya sang putra sebagai bentuk protes sekaligus permintaan untuk tetap duduk melanjutkan prosesi acara lamaran. Seperti tidak mau kehilangan kesempatan, wanita yang tidak menyangka akan ada kejadian tak terduga tersebut pun langsung meminta panitia untuk tetap melanjutkan acara.Ia mengajak calon besan untuk saling mengaitkan cincin di masing-masing calon pengantin. Namun, Anggara yang hatinya terkoyak melihat kekasih hati jatuh pingsan, tidak kuasa untuk bertahan. Ia bangkit tanpa memperdulikan pekikan dan larangan sang ibu. Dipapahnya wanita muda yang tidak sadarkan diri itu ke luar tempat acara.Tante Ayu yang menyaksikan adegan memilukan itu pun tergugah hatinya, lalu bangkit dan meminta kunci pada sang suami. Wanita yang sudah menganggap Nirmala sebagai anak sendiri itu pun menyuruh sang keponakan untuk memasukkan Nirmala ke mobilnya.“Tante yang nyupir,” ujarnya sigap membukakan pintu. Ia benar-be