Mikirin Mila
Pulang acara kondangan, Rendra mengajak Dinda makan batagor langganannya. Katanya, batagor ini yang paling enak se-Indonesia raya.
Batagor Amerika, lewaaattt....
Batagor India, lewaaattt....
Apalagi batagor Korea, gak pernah tampak!
Emang ada?
"Gimana, enak kan, Dek?" tanyanya setelah menelan satu tahu isi bakso ukuran jumbo.
"Enak, Bang!" jawab Dinda bersemangat.
"Apalagi makannya sama Abang. Enaknya jadi tiga kali lipat. Enak... enak... enaaakkk!" Dinda melanjutkan sembari mengangkat jempolnya ke hadapan Rendra.
Rendra tersenyum senang mendengar ucapan Dinda. Gadis yang sudah resmi menjadi tunangan nya itu memang pandai menyenangkan hati Rendra. Setiap dekat dengan Dinda, hati Rendra pasti berbunga-bunga.
"Kalau makanan kesukaan Adek, apa?" Rendra bertanya, menunjukkan pada Dinda kalau dia benar-benar calon suami idaman.
"Kerupuk, Bang!" jawab Dinda.
"Kerupuk?" Alis Rendra menaut, sebentar saja habis itu ekspresi wajahnya kembali ke semula.
Rendra lalu mangguk-mangguk kepala sambil tersenyum kecil.
"Nanti kalau sudah menikah, Abang akan beliin kerupuk tiap hari plus bonusnya...." Rendra menghentikan ucapannya, dia tampak berfikir sebentar sebelum melanjutkan ucapan.
"Rengginang!" Akhirnya Rendra memutuskan bonus yang akan dia berikan pada Dinda.
"Makasiiih ya, Bang!" ujar Dinda dengan wajah berbinar. Meskipun cuma dapat rengginang, hati nya tetap senang.
"Iya, Sayaaang."
Mendadak Dinda pingsan.
*
"Din...."
Dinda membuka mata ketika mendengar suara Mak memanggil. Mak terlihat sangat cemas.
"Maaak, Dinda pingsan, ya?" tanya Dinda dengan suara sendat.
"Iyaaa...." Mak membelai lembut kepala Dinda. Gadis itu mengingat kembali kejadian yang membuat dia pingsan secara tiba-tiba.
Panggilan 'sayang'.
Ya, karena panggilan itu jantung Dinda langsung melompat keluar. Selama ini tidak pernah ada yang memanggil dia sayang. Mak dan Bapak saja selalu memanggil nya dengan sebutan nama, Dinda atau Adinda. Rendra-lah orang pertama yang memanggil Dinda dengan sebutan sayang.
Dinda terharu ketika Rendra memanggil nya dengan sebutan itu. Ini panggilan sayang pertama nya. Panggilan sayang dari Rendra tidak akan Dinda lupakan dan akan Dinda toreh dalam sejarah hidup nya.
Terlebih, Dinda sampai pingsan dibuatnya. Sangat cocok untuk Dinda jadikan kenangan yang akan dia ceritakan pada anak dan cucu nya nanti.
Tapi sebenarnya bukan panggilan sayang itu yang membuat Dinda pingsan. Sewaktu Rendra menyebut kata sayang, Dinda sedang mengunyah sebuah bakso ukuran sedang, sehingga dia keselek sewaktu kata sayang tersebut keluar dari mulut Rendra.
"Mak, siapa yang bawa Dinda pulang?" Dinda berusaha bangkit dan duduk bersandar di kepala ranjang.
"Rendra." jawab Mak singkat.
Reflek Dinda melihat ke seluruh tubuh nya. Baju yang dia pakai masih sama, rok yang dia pakai, juga masih sama. Dinda meraba-raba seluruh tubuh nya, kalau-kalau ada yang hilang ataupun berkurang.
"Kamu kenapa?" tanya Mak. Mimik wajah cemas Mak berubah menjadi heran.
"Mak, Dinda tidak kenapa-napa, ‘kan?"
"Kenapa-napa gimana?" Mak tidak mengerti dengan yang Dinda ucapkan.
"Mak, tadi Bang Rendra antar Dinda sama siapa? Siapa yang gendongin?" tanya Dinda penasaran.
"Ya Rendra lah, memang kamu mau di gendong siapa? Mamang batagor?" jawab Mak sewot.
"Makanya jangan pingsan sembarangan. Uli sampai repot bantuin Rendra bawa kamu pulang."
Dinda langsung bernafas lega, ada Uli ternyata disana. Tapi, kok bisa? Apa ini hanya kebetulan belaka? Atau Uli memang mau menjadi mata-mata?
"Yang nikah kan juga teman Uli. Kamu lupa, kalau Rendra dan Uli satu angkatan?" tutur Mak.
"Oh iya," Dinda nyengir kuda. Mak tau saja yang Dinda pikirkan. Apakah Mak pernah menjadi cenayang? Besok akan Dinda tanya.
*
Malam harinya.
"Dinra, mana bayarannya?"
"Bayaran apa, Kak?" tanya Dinda tak suka.
"Bayaran sudah bawa kamu pulang dengan selamat. Coba kalau Kakak tidak ada di sana, Rendra pasti kesulitan."
"Kok mintanya sama Dinda?" Dinda sewot memprotes permintaan Uli.
"Lha, gak mungkin Kakak minta sama Mak?" Uli balik sewot, protes juga dengan ucapan Dinda.
"Minta sama Bang Rendra lah, kan Kakak bantuin dia," ujar Dinda melemah. Dinda mulai takut kalau Uli sudah meninggikan suaranya, apalagi sampai melototkan mata.
Kakak nya itu masih saja matre. Sudah dapat jatah bulanan dari suaminya masih juga suka meras Dinda. Benar-benar tidak berpri ke-adek-an.
"Tapi kan kamu yang bikin repot, Dek!" Dinda juga mulai lembut. Mungkin karena melihat wajah Dinda yang tertunduk.
"Iya, tapi yang Kakak bantuin ‘kan Bang Rendra. Ya minta nya sama dia, Dinda kan gak punya apa-apa Kak. Dinda di sini hanya sebagai korban! Apa Kakak tega minta bayaran sama korban?"
"Iya deh ... iya ... kakak minta maap." Uli membelai lembut kepala Dinda.
“Lain kali kalau sedang makan, jangan banyak bicara, fokus saja ke makanan yang akan kita telan. Untung saja bakso yang kamu makan bisa di keluarkan, kalau tidak… kamu bisa di bawa ke rumah sakit dan di operasi, di bedah lehernya. Mau?” Uli menakuti Dinda, melihat wajah Dinda yang ketakutan menjadi hiburan tersendiri bagi Uli.
Dinda mengangguk, setuju juga dengan yang Uli sampaikan.
“Maafin Kakak ya?” ujar Uli lagi.
"Dinda maapin, tapi ada syaratnya."
"Apa?"
Dinda mengangkat kepala, menatap serius wajah Uli yang sedang tersenyum kepadanya.
"Kak, kakak kenal Mila?"
Dalam hati Dinda merasa yakin kalau Uli kenal sama Mila, kan mereka seangkatan. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Raya merdeka! Eh, ups.
"Kenal, kenapa?" tanyanya penasaran.
"Mila cantik, ya, Kak?" Dinda balik bertanya.
"Cantik."
"Sudah nikah?"
"Belum."
"Pacarnya siapa?"
Kedua mata Uli membesar, tangannya dengan cepat menutup mulutnya.
"Dek, kamu suka Mila?" tanyanya khawatir.
"Iiih, kakak. Aku tuh suka sama Bang Rendra bukan Mila. Kakak gimana sih?" ujar Dinda sengit.
Kak Uli membuang nafasnya lega. Lalu Dinda bercerita, kalau di acara kondangan teman mereka ada yang bilang kalau Mila sudah lama suka sama Rendra.
"Itu mah, dah lama, Dek!" jelas Uli kemudian.
"Tapi masih suka ngejar-ngejar Bang Rendra kan, Kak?" tanya Dinda cemas.
"Kan... Rendra ngejar Dinda, gak ngejar Mila."
Dinda mesem-mesem mendengar jawaban Uli. Dalam hati dia bahagia, kakak nya itu ternyata ada gunanya juga.
"Kak, Mila tau kan kalau Dinda sudah tunangan sama Bang Rendra," tanya Dinda lagi. Berharap jika Mila tau dan dia tidak akan mengejar Rendra lagi.
"Ehm, kalau yang itu, Kakak kurang tau. Dia kemaren gak ikut di acara lamaran kamu. Dia sedang berada di luar kota dan Kakak juga sudah lama tidak bertemu dengan nya."
"Ho-oh," ujar Dinda lega. Setidaknya Mila berada jauh dari mereka berdua.
"Udah, gak usah dicemburuin." Uli menenangkan Dinda.
"Yang dekat di mata, siapa?" tanya Uli.
Dengan lugu Dinda menunjuk dada nya sendiri menjawab pertanyaan Uli.
"Yang dekat di hati, siapa?" tanya Uli lagi.
Mesti agak ragu-ragu, Dinda kembali melakukan hal yang sama, menunjuk dada nya sendiri. Yakin!
"Yang rumahnya dekat dengan rumah Rendra, siapa?" Lagi, Dinda kembali menunjuk dada nya sendiri.
"Trus? Ngapain mikirin Mila. Kek gak ada kerjaan aja!" Uli meninggalkan Dinda dengan tanda tanya besar di kepala.
Dipercepat Saja "Bang...." "Ya...." Sore ini mereka duduk-duduk di teras rumah Dinda. Meskipun mereka sudah bertunangan, Mak dan Bapak tetap tidak mengizinkan mereka untuk pergi berdua jika tidak ada alasan yang tepat untuk keluar. Sedih bukan? Tapi memang itulah peraturan yang di berikan, Mak dan Bapak memang ketat untuk urusan yang begituan. Mereka punya dua anak perempuan dan keduanya tidak boleh sembarangan. Takut salah pergaulan yang nantinya bisa terjerumus ke hal-hal yang bisa memalukan. "Abang kenapa cinta sama Adek?" tanya Dinda antusias. Selama ini Dinda sudah tau seberapa besar cinta Rendra pada dirinya. Namun dia belum pernah menanyakan alasannya. "Kenapa, ya?" ujar Rendra sambil berfikir berat. Tangannya bersidekap di dada, membuat Dinda semakin penasaran saja. "Ayo jawab, Bang!" ujar Dinda mendesak, tidak sabar mendengar jawabannya. "Ehm... tapi Adek jangan marah, ya?" ucapnya hati-hati. Dinda mengangguk cepat, mana mungkin Dinda marah, dia saja sudah sangat pena
Tapi Boong "Dipercepat saja!" "Apaaa?" Dinda berteriak, sungguh keputusan Bapak di luar perkiraan nya, Dinda pikir Bapak akan marah dan menyuruh dia untuk berpisah sementara dengan Rendra sampai hari pernikahan mereka tiba, ternyata Bapak meminta untuk di percepat saja. Sungguh Bapak seorang ayah yang sangat bijaksana, sangat mengerti dengan keinginan putrinya. Sekali lagi, Dinda sangat bahagia…. Reflek Dinda melongo, kedua matanya membesar. Ucapan Bapak diluar ekspektasi nya.Lalu Dinda tersenyum lebar, merasa bersyukur punya Bapak yang sangaaat pengertian. "Dinda kira Bapak tadi marah," ucap Dinda manja, sengaja menampilkan ekspresi bersalah karena perbuatan yang sebelumnya. Lalu dengan tidak sabar, Dinda kembali bertanya. "Apa Bapak sudah memberitahu Bang Rendra?" Bapak terdiam lama, sambil berlalu beliau berkata, "Rendra yang memintanya." Kembali mata Dinda membola. “Ah… Bang Rendraaaa….” * Sungguh Dinda sudah tidak bisa menahannya, usai berbicara dengan Bapak dia lan
Ih…. Mak. "Kak Uliiiii...," teriak Dinda. "Kenapa Kak Uli tegaaa? Dinda tidak menyangka Kak Uli setega ini sama Dinda." Dinda masih merengek, sementara Uli sudah berlari ke kamarnya karena Ziya menangis akibat teriakan keras Dinda. Luar biasa memang kakak Dinda itu. Disaat Dinda serius dia selalu bawa becanda. Apakah Uli bahagia melihat Dinda sengsara? Dinda mengurut dada, menyesali sikap kakaknya yang tidak pernah memikirkan perasaan Dinda. Ingin marah, nanti Mak balik marah. Masa masalah itu saja mesti diributkan? Terpaksa Dinda mengalah. Mengalah bukan berarti kalah! Ya ‘kan? Kembali Dinda melirik ke rumah sebelah. Berharap Rendra yang dilirik menampakkan wujudnya. Apa Rendra tidak kangen seperti Dinda me-ngangeninya? Apa Rendra tidak rindu, seperti Dinda yang semakin merinduinya? Dinda berjalan mendekat, biasanya Rendra suka duduk di teras samping rumah ditemani laptop kesayangannya. Tapi sekarang teras samping itu sepi, tidak ada Rendra di sana. "Dinda cari siapa?" Suar
Kamu Kenapa? Tapi yang di bilang Mak ada benarnya juga. "Awas kamu nanti ya, Bang! Nanti aku kasih perhitungan karena sudah menghilang selama satu minggu ini.” Dinda menggebu-gebu, mengumpulkan amarahnya di dalam kalbu. Kalau nanti bertemu Rendra dia berjanji akan menumpahkan semua emosi yang dia rasa. Hari yang di tunggu pun tiba. Pagi-pagi sekali Dinda sudah di bangunkan Uli. Dinda tak mengira, rupanya dia sudah di tunggu tim MUA. Siapa lagi yang mengurus semua keperluan nya kalau bukan dia yang berada di seberang sana? "Ayo, Dek! Duduk di sini," ajak Uli. Dinda menuruti perintah Uli, sebuah sofa kecil sudah di siapkan di dalam kamarnya. Dalam kondisi saat ini, tak mungkin Uli becanda jadi Dinda mempercayakan pada semua yang Uli ucapkan. Tim MUA mulai beraksi, mereka mengeluarkan semua alat make up yang di perlukan untuk mendandani Dinda seperti boneka barbie, sesuai dengan permintaan Rendra pada mereka. Empat puluh lima menit kemudian. "Waaah, Dinda sangat cantik kalau dan
Kenalkan, Ini Mila."Kamu kenapa?" Uli bertanya di iringi suara tawa.Pelan Dinda membuka mata, kemudian istri Rendra itu menggeser telapak tangan ke dada."Kakaaak...." Dinda memukul tubuh Uli dengan kedua tangan nya.Dinda kesal, Dinda geram, Dinda marah dan yang paling utama... Dinda malu!Dinda malu dipergok Uli dengan ekspresi seperti tadi. Kenapa harus Uli yang masuk ke kamar pengantin mereka? Kemana Rendra?"Kamu kenapa, Dek? Kamu kecewa yang masuk kamar bukan suami kamu, Rendra! Iya?" Uli masih saja tertawa, dari cara tawanya itu Dinda bisa merasa kalau Uli sekarang sedang menghina nya."Cie... cie... kamu mengharapkan kedatangan Rendra ya?" Uli terus saja menggoda, jari telunjuknya mencolek-colek lengan kanan Dinda. Dasar Uli, paling senang menggoda Dinda!Dinda menepis jari telunjuk Uli serta menjauhkan tubuh nya dari kakak perempuan nya itu."Ish, apaan sih Kakak? Masuk-masuk langsung buat orang malu saja. Lagian, Kakak ngapain lagi ke sini? Kamar ini sudah bukan area kak
Dinda Tidak Tega “Nah, Dek. Kenalkan, ini Budi, suami Mila.”Suara Rendra terasa syahdu melintas di indra pendengaraan Dinda. Sontak Dinda mengangkat kepala, wajah nya yang tadi dia palingkan, di posisikan lagi ke tempat semula."Suami Mila?" Mulut Dinda bergumam, wajahnya ikut berbinar."Iya. Ini Mas Budi, suami aku." Mila yang bersuara.Langsung saja Dinda melebarkan senyum nya. Wajah nya yang tadi datar kini lebih bercahaya, ternyata Mila sudah menikah. Artinya anak yang ada di dalam kandungan Mila buka anak Rendra melainkan anak Budi, suaminya."Aku Dinda, Mas! Istrinya Bang Rendra!" Tanpa diminta Dinda mengulurkan tangan. Jelas! Dia bangga dengan status nya yang sekarang."Budi," jawab pria itu sambil menerima uluran tangan Dinda.Dinda duduk manis di samping Rendra, setia menemani mereka bercerita. Sekali-kali dia ikut tersenyum, padahal sebenarnya dia tidak tau apa yang mereka ceritakan.Dinda anggap saja ini bakti nya pada suami di malam pertama.Jam dua belas malam, Mila da
Mundur Jadi Istri“Dinraaa... Dinraaa....” Suara Mak yang besar beradu dengan suara ketukan di pintu kamar Dinda. Suaranya semakin besar karena Dinda yang tak kunjung menjawab panggilan Mak.“Dinraaaa....” Sekali lagi Mak berteriak, sangat kuat.“I-iya Maaak.” Dinda menjawab panggilan Mak.“Bangun! Sudah mau siang ini.”Dinda menggeliat, kemudian Dinda meregangkan otot dengan menarik kedua tangan nya ke atas dan ke dua kaki ke bawah. Lalu dia sadar, ranjang yang dia tiduri menjadi lebih sempit dari biasanya.“Siapa kamu?” Dinda berteriak histeris ketika menyadari ada orang lain yang tidur di samping nya. Dengan cepat dia menarik selimut yang menutupi kepala orang itu, mencari tahu siapa orang yang berani tidur di kamar nya, bahkan berani tidur di ranjang yang sama dengan Dinda.“Hmmm....” Dia mendehem dan menarik kembali selimut yang Dinda buka paksa tadi.Mendengar dehemannya, Dinda membuang nafas lega. Kesadaran nya telah pulih dengan sempurna. Orang itu ternyata Rendra, suami Din
Gak Mau Jadi JandaRendra membesarkan bola mata, lewat pancaran mata itu dia berkata, “Ada apa, Dek?”Tentu saja Dinda merasa salah tingkah, niatnya tadi hanya bercanda malah terdengar sama suaminya.“Hehehe… gak ada, Bang. Adek tadi becanda doang,” jawab Dinda nyengir kuda.“Abang ke masjid dulu, nanti Abang harus mendapatkan jawaban nya.” Rendra langsung berlari ke luar karena tidak mau ketinggalan shalat subuh berjamaah yang sebentar lagi akan di mulai.Mak keluar dari kamar mandi dengan wajah yang basah karena air wudhu, Dinda bernafas lega sambil mengurut dada dengan kedua tangan nya.“Makanya kalau ngomong tu hati-hati, jangan asal bicara,” celutuk Mak sambil lalu.“Iya Mak… iya…. Dinda ngerti.” Giliran Dinda yang masuk kamar mandi untuk menunaikan panggilan alam nya sebelum melaksanakan panggilan Tuhan.Rendra dan Pak Cahyo duduk di kursi depan usai pulang dari Mesjid. Mak meminta Dinda untuk mengantarkan dua gelas kopi dan pisang rebus ke sana.“Mak aja yang antar,” tolak Din
Rumah Tangga SAMARA“Ehemmm…. eheeemmm….”Dinda segera menarik diri dan Rendra pura-pura tidur dengan memejamkan mata.Mak, Bapak, Uli serta Zayn dan Ziya sudah berdiri di depan pintu masuk ruang inap Rendra. Ketiganya mengulum senyum di ikuti dengan tatapan jenaka sementara Zayn dan Ziya menatap heran keduanya.“Jadi… kami ganggu nih?” Seperti biasa, kata yang di lontarkan Uli selalu ucapan menggoda.“Heeh… gak ganggu kok, Kak.” Dinda segera mengatur detak jantung supaya kembali normal, nafasnya masih seperti orang yang selesai berolah raga.“Jadi… Mak sama Bapak boleh masuk?” Gantian Mak yang menggoda.“Boleeeh….” Setengah berlari Dinda menghampiri Mak dan Bapak kemudian membawa dua orang itu masuk ke dalam, mendekati Rendra.“Bang, ada Mak dan Bapak nih. Ada Kak Uli juga.” Dinda pura-pura membangunkan Rendra. Enak sekali menjadi Rendra, setelah apa yang di perbuatnya dia bisa pura-pura tidur dan membiarkan Dinda sendirian menghadapi tatapan jenaka keluarganya.Rendra membuka mata,
Terjadi yang di Harapkan. “Santi,” panggil Bu Sukma pelan.“Ya Bu.” Santi tersenyum lebar.“Duduk Sini,” ajak Bu Sukma.“Tapi Bu, nanti si Neng itu gangguin Bang Rendra. Bagaimana kalau Bang Rendra nanti terganggu dan bangun dari tidurnya?” Santi menolak, dia kemudian berusaha berjalan mendekati Rendra.“Biarkan saja Santi, dia istri Rendra. Dia yang lebih berhak duduk di sana.”Santi menghentikan langkah, terlihat sekali kalau dia sangat terkejut dengan yang di sampaikan Bu Sukma.“Istri Bang Rendra?” tanya Santi tidak percaya.“Iya, makanya kamu duduk sini sama Ibu.” Masih dengan kelembutannya Bu Sukma berkata.Santi melangkah ragu mendekati Bu Sukma, namun tatapan matanya masih mengarah pada Dinda yang sudah duduk di samping ranjang Rendra.“Santi, Rendra sudah menikah,” ucap Bu Sukma memberi tahu.“S-sudah menikah? Santi tidak percaya, Bu,” jawab Santi dengan terbata-bata, Dinda bisa melihat kalau kedua matanya sudah basah dengan air mata.“Tapi memang seperti itu kenyataan nya.
Siapa Wanita Itu?Uli segera memeluk Dinda, “Dek… Dek… tenang dulu.”“Bang Rendra, Kak… mana bisa Dinda tenang kalau kondisi Bang Rendra parah begitu….”“Jangan sedih dulu, sebaiknya kita ke susul ke rumah sakit untuk memastikan.”Dinda mengusap air matanya, dan mulai tenang setelah Uli mengatakan untuk menyusul Rendra ke rumah sakit.“Tadi teman Bang Rendra bilang apa sama Kakak?”“Rendra katanya mau pulang trus minjam motor temannya ini supaya cepat, kalau nunggu naik bis atau travel kan lama,” tutur Uli.Mendengar itu Dinda semakin merasa bersalah karena meminta Rendra untuk kembali.“Kalau Dinda tidak minta Bang Rendra untuk kembali… pasti Bang Rendra tidak akan kecelakaan seperti ini. Semua ini salah Dinda, Kak. Dinda yang bersalah karena terlalu egois seperti yang Kakak bilang. Seharusnya Dinda sabar saja menunggu Bang Rendra pulang.” Dinda masih merengek dalam pelukan Uli. Hatinya sakit karena masih belum bisa menerima berita kecelakaan Rendra.“Biar tenang, gimana kalau kita
Dek, yang Sabar Ya!Dinda berjalan mondar mandir kayak setrikaan di teras rumahnya, sudah hampir tiga puluh menit dia menunggu kedatangan Rendra namun yang di tunggu tak juga menampakkan batang hidungnya.“Bang Rendra… jadi pulang gak sih?” gumam Dinda yang semakin galau.“Dinraaa, lagi apa?” Uli datang menyapa. Zayn dan Ziya Uli pegang di kedua tangan nya.“Kak Uli, lagi apa?” Dinda balik bertanya, menanyakan hal yang sama dengan pertanyaan yang Uli lontarkan kepadanya.“Ini mau bawa main Zayn dan Ziya, mereka berdua habis nangis karena di tinggal ayah nya.”Dinda menghentikan gerakannya, kemudian dia berlari mengejar Uli.“Kak Uli, Mas Reyhan sudah pergi ya?” tanya Dinda.“Sudah, barusan. Makanya anak kembar ini pada sedih lihat ayahnya pergi,” jawab Uli.“Ayo Sayang, kita main sama Nenek aja yuk,” ajak Uli sembari membawa dua anaknya masuk ke dalam rumah.“Kak Uli, Dinda bisa bicara gak?” Dinda menyejajarkan langkah nya dengan Uli.Uli menghentikan langkah, sesaat kedua alisnya te
Adek Rindu AbangDinda terduduk lemas di pinggir ranjang, untung saja dia tadi hanya berteriak di dalam hati saja. Jika dia tidak bisa mengontrol emosi, maka sudah di pastikan saat ini sudah banyak orang yang berlarian ke kamarnya.Gadis itu mengatur nafas yang menjadi sesak, lalu dengan pelan dia memukul dadanya.“Gila! Kenapa aku sampai berfikir Bang Rendra akan meninggalkan aku hanya karena masalah sepele itu?”“Tidak mungkin! Bang Rendra selama ini sangat bucin kepada ku. tidak mungkin dia semudah itu menjadikan aku janda sehari setelah menikahi aku.”Lalu Dinda memukul pelan pipinya setelah mengucapkan kata-kata yang tersimpan di dalam hatinya.Setelah merasa sedikit tenang, Dinda bangkit dan berjalan menuju meja rias. Dia berkaca dan mematut penampilan nya, diambilnya sisir untuk merapikan rambutnya yang berantakan. Setelah dia merasa cukup cantik, dia pun berjalan ke luar kamar.“Dinda istri Rendra? Sudah bangun?” sapa Mak dengan tersenyum lebar.Mak masih saja bersikap biasa
Gak Mau Jadi JandaRendra membesarkan bola mata, lewat pancaran mata itu dia berkata, “Ada apa, Dek?”Tentu saja Dinda merasa salah tingkah, niatnya tadi hanya bercanda malah terdengar sama suaminya.“Hehehe… gak ada, Bang. Adek tadi becanda doang,” jawab Dinda nyengir kuda.“Abang ke masjid dulu, nanti Abang harus mendapatkan jawaban nya.” Rendra langsung berlari ke luar karena tidak mau ketinggalan shalat subuh berjamaah yang sebentar lagi akan di mulai.Mak keluar dari kamar mandi dengan wajah yang basah karena air wudhu, Dinda bernafas lega sambil mengurut dada dengan kedua tangan nya.“Makanya kalau ngomong tu hati-hati, jangan asal bicara,” celutuk Mak sambil lalu.“Iya Mak… iya…. Dinda ngerti.” Giliran Dinda yang masuk kamar mandi untuk menunaikan panggilan alam nya sebelum melaksanakan panggilan Tuhan.Rendra dan Pak Cahyo duduk di kursi depan usai pulang dari Mesjid. Mak meminta Dinda untuk mengantarkan dua gelas kopi dan pisang rebus ke sana.“Mak aja yang antar,” tolak Din
Mundur Jadi Istri“Dinraaa... Dinraaa....” Suara Mak yang besar beradu dengan suara ketukan di pintu kamar Dinda. Suaranya semakin besar karena Dinda yang tak kunjung menjawab panggilan Mak.“Dinraaaa....” Sekali lagi Mak berteriak, sangat kuat.“I-iya Maaak.” Dinda menjawab panggilan Mak.“Bangun! Sudah mau siang ini.”Dinda menggeliat, kemudian Dinda meregangkan otot dengan menarik kedua tangan nya ke atas dan ke dua kaki ke bawah. Lalu dia sadar, ranjang yang dia tiduri menjadi lebih sempit dari biasanya.“Siapa kamu?” Dinda berteriak histeris ketika menyadari ada orang lain yang tidur di samping nya. Dengan cepat dia menarik selimut yang menutupi kepala orang itu, mencari tahu siapa orang yang berani tidur di kamar nya, bahkan berani tidur di ranjang yang sama dengan Dinda.“Hmmm....” Dia mendehem dan menarik kembali selimut yang Dinda buka paksa tadi.Mendengar dehemannya, Dinda membuang nafas lega. Kesadaran nya telah pulih dengan sempurna. Orang itu ternyata Rendra, suami Din
Dinda Tidak Tega “Nah, Dek. Kenalkan, ini Budi, suami Mila.”Suara Rendra terasa syahdu melintas di indra pendengaraan Dinda. Sontak Dinda mengangkat kepala, wajah nya yang tadi dia palingkan, di posisikan lagi ke tempat semula."Suami Mila?" Mulut Dinda bergumam, wajahnya ikut berbinar."Iya. Ini Mas Budi, suami aku." Mila yang bersuara.Langsung saja Dinda melebarkan senyum nya. Wajah nya yang tadi datar kini lebih bercahaya, ternyata Mila sudah menikah. Artinya anak yang ada di dalam kandungan Mila buka anak Rendra melainkan anak Budi, suaminya."Aku Dinda, Mas! Istrinya Bang Rendra!" Tanpa diminta Dinda mengulurkan tangan. Jelas! Dia bangga dengan status nya yang sekarang."Budi," jawab pria itu sambil menerima uluran tangan Dinda.Dinda duduk manis di samping Rendra, setia menemani mereka bercerita. Sekali-kali dia ikut tersenyum, padahal sebenarnya dia tidak tau apa yang mereka ceritakan.Dinda anggap saja ini bakti nya pada suami di malam pertama.Jam dua belas malam, Mila da
Kenalkan, Ini Mila."Kamu kenapa?" Uli bertanya di iringi suara tawa.Pelan Dinda membuka mata, kemudian istri Rendra itu menggeser telapak tangan ke dada."Kakaaak...." Dinda memukul tubuh Uli dengan kedua tangan nya.Dinda kesal, Dinda geram, Dinda marah dan yang paling utama... Dinda malu!Dinda malu dipergok Uli dengan ekspresi seperti tadi. Kenapa harus Uli yang masuk ke kamar pengantin mereka? Kemana Rendra?"Kamu kenapa, Dek? Kamu kecewa yang masuk kamar bukan suami kamu, Rendra! Iya?" Uli masih saja tertawa, dari cara tawanya itu Dinda bisa merasa kalau Uli sekarang sedang menghina nya."Cie... cie... kamu mengharapkan kedatangan Rendra ya?" Uli terus saja menggoda, jari telunjuknya mencolek-colek lengan kanan Dinda. Dasar Uli, paling senang menggoda Dinda!Dinda menepis jari telunjuk Uli serta menjauhkan tubuh nya dari kakak perempuan nya itu."Ish, apaan sih Kakak? Masuk-masuk langsung buat orang malu saja. Lagian, Kakak ngapain lagi ke sini? Kamar ini sudah bukan area kak