Pov Pandu***Aku benar-benar tak menyangka jika aku dalam keadaan seperti ini. Tak pernah sedikitpun ada di pikiranku jika Vita benar-benar akan meninggalkanku. Kupikir perempuan itu benar-benar cinta padaku, kupikir dia benar-benar rela dimadu. Namun ternyata semua tak seperti dugaanku. Apalagi Lidya juga meninggalkanku. Aku yakin, ia saat ini ada di rumah kedua orangtuanya. Namun aku tak cukup punya nyali untuk pergi ke sana. Ponsel yang ada di atas nakas berdering, ada panggilan masuk. Ya, sudah dua hari aku pulang dari rumah sakit. Setiap hari pekerjaanku hanyalah berdiam diri di kamar. Memulihkan kondisi badan yang terasa begitu remuk redam. Kuraih ponsel yang sedari kemarin tergeletak di sana. Nama Andi terpampang sebagai pemanggilnya. Kuhembuskan napas berat lalu kuusap layar pipih itu ke atas, sedetik kemudian kudekatkan benda pipih itu ke telingaku sebelah kanan. "Hm ...," ucapku begitu panggilan itu sudah kuangkat. "Kamu di mana?" tanya Andi dari seberang sana. "D
"Halo, selamat siang," sapa seseorang dari seberang sana setelah mengangkat panggilanku setelah beberapa kali berdering. "Halo, selamat siang juga, Mbak," jawabku. "Ada yang bisa dibantu Pak Pandu?" ucap penata rias yang sempat disewa jasanya oleh Lidya."Mbak, saya mau minta sisa uang pembayaran kemarin. Kan acara batal, jadi uang bisa kembali dong," ucapku. Ya, aku ingat betul kesepakatan yang diucapkan oleh perias itu saat Lidya menanyakan soal pembayarannya. Perisa itu meminta uang full dibayar dimuka. Andai kata ada pembatalan, uang bisa kembali separoh."Baik, Pak. Bisa. Sesuai kesepakatan, uang akan kembali setengah dari harga kesepakatan," ucapnya. "Nggak bisa kembali semuanya, Mbak? Kan bukan saya yang membatalkan," ucapku berusaha menego. Barangkali uang itu bisa kembali sepenuhnya."Maaf, Pak. Semua kembali ke sepakatan awal," ucapnya kekeh dengan pendirian. Kuhembuskan napas berat. "Oke. Saya ke sana sekarang." "Baik, Pak. Saya tunggu," jawabnya. Tanpa berbasa-bas
"Sudah sampai, Pak," ucap sopir itu setelah berhenti di depan alamat yang aku berikan.Aku keluar setelah membayar tagihan lalu berjalan menuju ke arah toko. Toko aksesoris yang selama ini menjadi sumber penghasilanku. Saat aku melangkah masuk ke dalam toko, salah satu karyawan kepercayaan Vita melihat kedatanganku. Hendri namanya. Aku berdiri di depan meja kasir miliknya. "Hen, uang setoran mana?" tanyaku."Uang setoran apa, Pak?" tanya Hendri dengan wajah yang terlihat bingung. "Ya uang setor bulanan. Kasih aja semua uang yang ada di brangkas. Berikan semuanya, termasuk yang buat kulakan," ucapku masih dengan anda lemah. "Maaf, Pak, ini bukan menjadi hak Bapak lagi. Karena ...."Brak!Suara dentuman akibat gebrakan tanganku begitu memekakkan telinga. Tak kupedulikan keberadaan orang-orang yang sedang melihat-lihat di dalam sini. "Lancang sekali kamu! Ini milik saya, berani-beraninya kau mengatakan itu karyawan sial*n!" geramku dengan emosi yang sangat membuncah. Terlihat rau
Aku berjalan lalu berhenti di depan gerbang yang menjulang tinggi. Kuraih gagang pintu gerbang itu. Lagi-lagi aku bernapas kasar saat mencoba membuka pintu gerbang itu, ternyata terkunci dari dalam. Pandanganku beralih ke bawah, mencari sesuatu yang bisa kugunakan untuk mengetuk pintu gerbang agar menimbulkan suara nyaring. Mataku menangkap ada bongkahan batu sebesar kepalan orang dewasa. Aku sedikit berjongkok untuk meraih bongkahan batu itu.Tok! Tok! Tok!Aku mengetuk pintu gerbang, namun belum ada tanggapan setelah kutunggu beberapa detik. Tok! Tok! Tok!Kuketuk lagi pintu gerbang itu dengan semakin kencang. Tak berselang lama terdengar seperti ada seseorang yang sedang berusaha membuka kunci gerbang itu. Pintu yang menjulang tinggi itu terbuka hanya sebatas bahu dengan kepala melongok keluar. "Pak Pandu? Ada apa, Pak?" tanya perempuan berambut yang berkuncir kuda itu. "Nggak dibuka dulu pintunya?" tanyaku saat perempuan itu tak kunjung membuka pintu gerbang, membiarkanku
Kedua mataku membelalak saat melihat seorang nenek tergeletak di atas jembatan dengan kondisi yang mengenaskan. Ada bercak darah di lengan tangan kanannya. Dengan perasaan malu yang luar biasa aku langsung memutar tubuh kemudian dengan langkah cepat dan kepala yang menunduk aku berjalan ke arah belakang. Kasak-kusuk masih tertangkap di indra pendengaranku. Tak sedikit dari mereka mengeluarkan gelak tawa melihat kekonyolanku. Kupikir perempuan yang menjadi pusat perhatian itu Lidya, mengingat tadi malam ia menelponku agar aku cepat datang ke sini. Tak mungkin aku salah dengar, aku masih ingat betul siapa pemilik suara itu. "Mas mau ke mana? Ini istrinya bagaimana?" Pertanyaan itu dilontarkan saat aku menjauhi kerumunan itu. Pertanyaan yang disambut gelak tawa dari mereka semua. Aku terus melangkah tanpa berniat berhenti walau hanya sekedar menjawab ucapan mereka. Rasa malu kali ini benar-benar menguasaiku. Bagaiamana mungkin aku bisa seyakin itu jika yang ada di depan sana adalah
Aku memikirkan ucapan yang dilontarkan oleh Lidya. Benar yang dikatakan olehnya. Vita perempuan yang begitu licik. Ya, licik sekali. Mengingat apa yang selama ini ia lakukan padaku untuk mengusirku dari rumah itu. "Kamu yakin kalau rencana itu akan berhasil, Lid?" tanyaku dengan sedikit ragu."Iya, Mas. Vita itu kan begitu mencintai anaknya. Pasti dia rela memberikan harta itu demi keselamatan anaknya," ucap Lidya dengan suara yang begitu meyakinkan. Aku mengangguk-anggukan kepala. Tapi tegakah aku melakukan itu semua pada Daffa?"Tapi aku nggak tega, Lid. Masa iya aku menyakiti Daffa sih," ucapku. "Astaga, Mas ... aku nggak nyuruh kamu buat nyakitin Daffa beneran ya. Gila kali aku jika aku beneran mau nyakitin dia," sahut Lidya yang membuatku menoleh ke arahnya dengan kening yang berkerut."Kita culik saja Daffa. Hanya menculik. Kita minta saja sebagian harta itu sebagai tebusan. Beneran, Mas, aku nggak yakin jika orang yang dipercaya untuk menjalankan kontrakan itu akan mengikuti
"Pak, berhenti di depan sana," ucapku seraya jemari menunjuk ke arah pohon yang tumbuh di depan rumah Vita. Lebih tepatnya di depan gerbang. "Di sini, Pak?" ucap tukang ojek seraya memperlambat laju kendaraannya hingga lambat laun kendaraan terhenti dengan sempurna, tepat di bawah pohon. "Bapak tunggu di sini. Saya cuma sebentar. Nggak ada sepuluh menit," ucapku seraya melepas helm yang membingkai di kepalaku lalu kuserahkan pada tukang ojek itu.Sebelum aku melangkah, kupastikan sudah kukenakan masker untuk menutupi sebagian wajahku. Tentunya supaya tidak ada yang mengenali. Aku berjalan dan berhenti di depan pintu gerbang lalu kepalaku melongok untuk melihat suasana di dalam. Tak kulihat siapa pun di sana. Hanya sebuah mobil hitam yang terparkir di halaman dengan pintu rumah utama yang terbuka dengan lebar. Mataku membelalak sempurna saat melihat sosok lelaki yang begitu asing keluar dari rumah itu. Seorang diri.Lelaki yang kutafsir usianya hampir sama dengan Papaku itu berjal
"Mas! Berhenti!" Cepat kutarik kuat-kuat rem tangan ini saat mendengar pekikan Lidya sembari menepuk pundakku berkali-kali. Karena remnya terlalu mendadak hingga membuat kendaraan sedikit oleng dan hampir saja terjatuh. "Ada apa? Ngagetin saja sih," gerutuku saat kendaraan sudah berhenti di tepi jalan. "Ini anak siapa yang kamu ambil?" tanya Vita dengan posisi tubuh masih berada di atas jok motor. Mendengar pertanyaan itu seketika membuatku mengerutkan kening. "Ya anak Vita lah, anak siapa lagi?" sahutku dengan cepat sembari menoleh ke arah Lidya yang mulai turun dari motor sembari menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Ini bukan Daffa, Mas! Gimana sih kamu, masa sama anak sendiri nggak tau! Parah kamu, Mas!" ucap Lidya dengan nada sedikit geram. Cepat kujagang motor lalu aku turun dari kendaraan roda duaku. Aku melihat ke arah wajah bayi itu. Mataku menyipit, memastikan kembali apa yang diucapkan oleh Lidya. "Nih lihat ada antingnya!" ketus Lidya sembari menyingkap selimut ya
Pov Pandu**Bertahun-tahun lamanya aku mendekam di balik jeruji besi karena kasus penculikan anak yang tak jadi itu. Selama bertahun-tahun itu pula aku hidup dalam penuh perasaan penyesalan. Apalagi aku hanya bisa memantau perkembangan Daffa melalui foto-foto yang ditunjukkan oleh Mama yang tentu saja membuat diri ini semakin sesak tiada terkira. Andai, andai dan andai. Andai aku tak melakukan perselingkuhan itu, pasti sampai saat ini aku hidup bahagia bersama keluarga kecilku. Hidup bersama Vita dan juga Daffa. Namun, penyesalan hanya tinggallah penyesalan. Tak berguna. Hukuman dengan beberapa tahun hidup di balik jeruji besi bagiku tak ada apa-apanya dibandingkan hidup dalam kungkungan sebuah penyesalan.Memang, kehancuran seorang lelaki akan terjadi jika ia telah menyakiti pasangannya. Dan aku telah membuktikannya. Soal Lidya, aku sudah tak tahu lagi bagaimana kabarnya. Perempuan itu tengah hidup bahagia di sana. Ia sedang menikmati perannya sebagai seorang psk. Tak bisa
Pov Author**Dua orang polisi ditugaskan untuk berpura-pura menjadi pelanggan yang tengah mencari gadis belia pada Mami Zessy. Tentunya hal ini ada campur tangan dari Indah. Indah beralasan di hadapan mami Zessy jikalau kedua polisi yang tengah menyamar itu adalah salah seorang kenalannya yang berniat untuk mencari jasa esek-esek. Oleh sebab itulah Indah mengajaknya ke tempat dirinya bekerja dan bernaung selama ini. Kedua polisi yang menyamar itu pun masuk ke dalam club rahasia milik mami Zessy tanpa adanya kendala yang berarti. Cukup lancar sebab Indah lah jalur mereka masuk ke dalam sana. Hingga akhirnya kedua polisi itu benar-benar berada di dalam club di mana di dalamnya benar-benar seperti apa yang Indah ceritakan saat pelaporan kemarin. Diam-diam kedua polisi itu merekam setiap kejadian dan perbuatan orang-orang yang ada di dalamnya. Mulai dari penari striptis, para ladies escort peneman para pria hidung belang, serta model bug*l yang siap disewa bagi siapa yang berani memb
Mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Mami Zessy, seketika membuat dadaku terasa bergemuruh dengan hebat dan tanpa sadar tanganku terkepal dengan kuat. "Bagaimana pun caranya, kalian harus berhasil menyingkirkan Indah secepatnya. Perempuan itu sudah tak guna. Penyakitan pula. Jika penyakit yang diidap oleh Indah terdengar oleh pelanggan, takutnya nanti akan memberikan nilai buruk," ucap Mami Zessy yang seketika membuat jantung berdegup dengan kencang. "Kenapa tidak disuruh pergi saja, Bos? Nggak perlu repot-repot melenyapkan dia kan," ungkap salah satu orang yang ada di sana. Aku hapal betul siapa pemilik suara itu. Parto. Ya, suara itu adalah Parto. Anak buah Mami Zessy. "Kalau dia keluar begitu saja, dia bisa menyebarkan keberadaan lokalisasi ini. Bisa gawat jika ada polisi yang dengar," ucap Mami Zessy. Kali ini nada suaranya sedikit meninggi. Tentu karena tak suka dengan apa yang dikatakan oleh anak buahnya itu. "Baik, Bos. Secepatnya kami akan membereskan
Pov Indah**Mataku mengerjap beberapa kali saat samar-samar aku mendengar suara yang sangat aku kenal sedang menggerutu. Sejenak aku diam, mengumpulkan kesadaranku yang sepenuhnya belum kembali. Aku memindai ke segala sudut ruangan. Ternyata aku sedang di dalam kamar milikku. "Bukankah aku tadi sedang melayani tamu?" batinku bertanya pada diri sendiri. Ya, aku ingat betul. Tadi aku melayani tamu dalam keadaan kepala yang begitu pusing. Tubuh terasa begitu tak sehat. Sekelebat aku teringat jika aku tadi pingsan saat akan memulai tugasku. Aku menatap Mami Zessy yang tengah berdiri dengan posisi memunggungiku. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Dengan gerakan pelan, aku bangkit dari pembaringan. Baru saja tubuhku ingin bangkit, tiba-tiba kepala terasa berdenyut sakit. Seketika kembali kurebahkan tubuhku sembari kupijit pelipisku dengan pelan. Mendengar suara yang kutimbulkan dari pergerakanku, seketika membuat tubuh Mami Zessy memutar. Kini pandangan kami salin
Pov Indah**"Kamu udah denger kalau Lidya telah meninggal secara mengenaskan?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu teman seprofesiku itu seketika membuatku tersentak kaget. "Maksud kamu mati mengenaskan bagaimana?" tanyaku sembari menatapnya dengan bingung. "Lidya meninggal sewaktu melayani pelanggan yang memiliki kelainan seks. Kamu tahu kan Om Handoko? Nah, itu dia orangnya," ucapnya yang semakin membuat keningku berkerut. Ya, aku tahu saat Om Handoko berjalan mesra dengan sebelah tangan merangkul pinggang Lidya menuju ke arah kamar. Banyak yang mengidam-idamkan dibooking oleh Om Handoko karena uangnya yang berlimpah, apalagi setiap ke sini, Om Handoko selalu menyewa kamar VVIP. Dan sempat ada kabar jika siapa pun yang melayani lelaki itu, pasti akan diberikan bonus yang terbilang begitu banyak. Tak ayal juga kalau Om Handoko juga terkadang berani membayar dua kali lipat. Wajar saja jika Om Handoko memberikan bonus sebanyak itu, pada para ladies yang hanya menemaninya
Pov Author**Jarum jam di dinding sedang menunjukkan pukul sepuluh malam. Hanya detak jarum jam yang memecah keheningan malam, sedangkan di sudut kamar di mana meja rias itu berada, Lidya sedang duduk di depan cermin sembari memoleskan aneka make up ke wajah cantiknya. Perempuan itu menghabiskan waktunya lebih lama untuk mempercantik dirinya di malam ini, karena akan ada tamu yang selalu ia tunggu-tunggu kedatangannya. Tentu saja Lidya ingin terlihat paripurna di depan pria yang akan membayar jasanya malam ini. Ia merupakan pelanggan paling royal. Pria itu akan membayar Lidya mahal. Tidak hanya itu, Lidya juga akan mendapatkan uang jutaan rupiah untuk bonus jika Lidya berhasil memuaskan hasratnya. Selama bertahun-tahun bekerja menjadi pemuas napsu, Lidya sudah lebih dari lima kali melayani pelanggannya yang akan ia temui malam ini.Lidya tak pernah kapok dengan lelaki ini. Ya, lelaki yang malam ini akan menyewanya adalah salah satu pelanggannya yang memiliki kelainan seks. Sesuai
"Kamu kerja di sini?" tanya Pak Gunawan dengan raut wajah mencemooh saat sudah berdiri di hadapanku. Aku mengalihkan pandanganku. Ternyata si tua bangka ini selain doyan kawin juga suka jajan kayak gini. Emang keterlaluan. Udah mau bau kamboja, eh malah berkilah. Nggak sadar umur kayaknya ini orang."Kalau kamu dulu mau nikah sama aku, kamu nggak bakalan jadi pelac*r di sini. Sok-sokan nolak. Padahal kalau kamu mau nikah denganku, hidupmu bakalan enak." Aku hanya mencebikkan bibirku saat mendengarkan penuturan lelaki itu sembari memutar bola mata malas. Terlihat Pak Gunawan seperti sedang mencari seseorang tak berselang lama ia berjalan menuju ke arah Mami Zessy. Terjadi perbincangan di antara mereka lalu tak berselang lama Pak Gunawan kembali mendekat ke arahku. "Sekarang layanin aku," ucap Pak Gunawan sembari menarik tanganku begitu saja. Aku menepis cekalan tangan yang sudah dipenuhi oleh keriput itu. Mendapatkan penolakanku, tentu saja membuat Pak Gunawan langsung menolehkan
"Pelayanan kamu sungguh memuaskan. Tak menyesal saya bayar kamu mahal," bisik lelaki yang baru pertama kali membooking jasaku. Aku tersenyum samar lalu berkata, "Sering-sering ke sini ya." Aku memainkan jemariku di dada lelaki itu sembari sesekali mencubit kecil dada yang ditumbuhi beberapa bulu halus di bagian sana. Ya, aku dan dia saat ini sedang merebahkan tubuh di ranjang setelah merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kugunakan lengan lelaki itu sebagai bantalan kepalaku. "Pasti," ucapnya kemudian. Bergegas aku bangkit dari pembaringan lalu beringsut dari ranjang dan mengambil satu per satu pakaianku yang tercecer di lantai kamar ini. Aku mulai menggunakan baju-bajuku dengan posisi memunggungi lelaki itu. "Kamu nggak pulang? Masih betah di sini?" ucapku sembari mengerling nakal ke arahnya setelah semua baju sudah kukenakan. Sedangkan ia masih merebahkan tubuhnya dengan kedua lengan ditekuk ke belakang sebagai bantal, sembari menatapku dan tersenyum samar. "Sebenarnya aku masi
Pov Pandu**"Meskipun saya hanya seorang pembantu, saya juga harus memilih soal pasangan lah, Pak. Masa iya saya mau dijadikan istri kedua?""Pembantu?" tanya kami serempak. Lidya mengangguk cepat. "Iya, saya bekerja di sini sebagai pembantu. Tentunya atas keinginan saya sendiri. Bukan karena seperti yang dikatakan oleh dia kalau saya dijadikan alat pelunas hutang. Ini saya baru pulang belanja." Lidya memperlihatkan kantong kresek yang ada di tangannya. Terkejutlah aku dengan pengakuan yang Lidya kemukakan. Bagaimana mungkin ia mengatakan jika aku hanyalah sekedar teman yang sempat ingin memilikinya namun ia menolak? Bagaimana mungkin ia mengatakan jika ia di sini bekerja hanya sebagai pembantu. Aku yakin, pasti ada yang tidak beres di sini. Pasti Lidya disuruh dan diancam agar tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku yakin Lidya dalam pengaruh tekanan. "Sayang, kamu jangan takut. Ada dua polisi di sini. Bicaralah dengan jujur. Katakan jika kamu diculik dan dijadikan psk di sini.