Malam ini akhirnya datang juga, acara perpisahan sekolah Budi Mulia. Halaman sekolah didecor semenarik mungkin, di depan pusat halaman sudah ada panggung untuk para murid yang akan memberikan pertunjukan. Panggung dihiasi bunga-bunga palsu dan daun hijau. Band music juga sudah disewa sekolah.
Dipinggir lapangan sudah ada bazar makanan dan juga tenda yang didecor untuk background foto. Tema malam ini adalah party, semua boleh mengenakan pakaian pesta sesuai kemauan sendiri.
Nayla melangkahkan kakinya ke arah bazar makanan. Dia mengambil Sosis Mozarella kemudian duduk di bangku depan panggung menikmati band sekolah yang sedang pentas. Nayla melihat kanan kiri mencari seseorang. Raka sudah berjanji akan menjemputnya tapi kenyataannya laki-laki itu ingkar.
Nayla melihat ke arah luar ada bunga selamat datang untuk mempermanis lorong masuk. Re
Nayla berjalan sedikit menendang angin dan mengarah pada rumput yang ada di bawah tanah. Untuk siapa dirinya berdandan secantik ini, bahkan manusianya pun belum terlihat atau memberi kabar. Nayla melihat acara sangat meriah, tapi sungguh dia sangat bosan. "Raka belum dateng, La?" Tina datang tanpa tahu dari mana datangnya. Nayla hanya menggeleng tidak ingin mengeluh. Itu akan membuat Tina ngoceh tidak jelas. Kali ini Nayla lagi tidak mood dengan itu. "Yok kita duduk dekat panggung aja daripada lo nekuk muka di sini, bagusan dengerin music." Tina menggandeng tangan Nayla, sahabatnya itu mengikuti dengan pasrah. "Apa mau gue telpon Doni, nanyain dimana Raka." "Nggak usah Tina, gue nggak mau keliatan maksa. Dia pikir dia siapa! Bikin gue nungguin kayak gini. Dia terlalu
"Dateng terlambat ngapain, bagusan nggak usah dateng, kan kasian orang yang nungguin! Kamu udah janji loh, Yang. Kalau kamu lupa." "La, dengerin aku. Aku minta maaf ya." Minta Raka sungguh-sungguh. "Ada urusan yang mesti aku urus, penting La." "Kamu harusnya jangan janjiin aku apa-apa. Kalau kamu nggak bisa datang ya gakpapa." Nayla menghela nafas menatap Raka. "Aku nggak suka dijanjiin. Aku bisa cari cowok lain." Raka membalas tatapan Nayla. "Aku tau kamu cintanya sama aku." "Raka Nicholas Ciputra kamu terlalu percaya diri! Bisa aja hati aku itu cepat berubah." Nayla menaikan bahunya dengan sombong. "Aku berdoa sama Tuhan biar kita sama terus dan kamu akan selalu cinta sama aku."Raka memeluk Nayla dengan manis. "Maafin ya. Aku cinta sama kamu sampai aku sendiri nggak bisa ngendali
Nayla menghentikan langkahnya saat Raka sudah dekat dengan mobilnya. Jangan nangis! Jangan lagi manggil! Jangan lagi manggil Nayla. Wanita itu menggigit bibirnya mencoba sekuat tenaga untuk membiarkan laki-laki itu pergi. "Raka Nicholas Ciputra! Lo mau gitu aja ninggalin Nayla?! Sebenarnya dia itu siapa lo?" teriak Tina yang sudah berdiri di depan Nayla, matanya tajam memandang Raka. Raka menghentikan tangannya yang sudah memegang pintu mobil, pikirannya sangat kacau. Ia baru sadar melepaskan tangan Nayla. Tapi, Jenni sedang membutuhkan dia. Jenni pingsan dan sekarang ambulans sedang membawanya ke rumah sakit.Raka membalikan tubuhnya melihat ke arah Nayla yang sedang berdiri menatapnya. "Lo tegas dong, La. Jangan diem aja!" Tina pasang badan paling depan m
Beca memandang Tina yang duduk di depan, gadis itu diam tak bersuara, lalu Beca melihat Nayla yang duduk di sampingnya. Nayla kusut dengan wajah yang sedih. Beca hanya diam, prihatin. Kedua kawannya itu tampak tidak sedang ingin mendengar suara orang. "Lo gakpapa? Kita nginap bareng gimana?" tanya Beca pada Tina, mobil mereka sudah berhenti di depan rumah Tina. "Sorry Bek, gue lagi butuh sendiri," jawab Tina, lalu berkata pada Nayla. "Lo gakpapa kan, La?Sorry gue tadi ikut campur," ucap Tina pada Nayla. "Gue-- Gue malah makasih banget sama lo. Tenang aja gue baik-baik aja kok. Lo juga jangan sedih." Nayla tersenyum, kemudian Tina keluar dari mobil Rangga. "Istirahat ya Tina besok gue telpon," ucap Rangga, Tina tersenyum.Mungkin Tina benar. Nayla sud
Nayla mencoba tidur, tapi tidak bisa tidur. Dia bangun dari tempat tidurnya, berdiri dan berjalan mundar-mandir sambil mengigit jarinya.Tidak dia tidak menunggu kabar dari Raka, sebagian kecil hatinya sedang tidak mau bicara dengan Raka.Pukul satu malam matanya masih segar, kemudian duduk di meja belajarnya membuka laptop dan mengutak-atik. Dia membuka kembali formulir yang ingin dia isi dulu. Nayla menatap layar itu dengan lekat, masih ragu lalu menutup laptopnya. * Nayla * "Raka dari mana aja kamu? Mama nungguin dari semalam. Kamu nginap dimana? Kok kucel banget," ucap Anjani, saat melihat Raka sudah duduk di meja makan melahap mie instan. Sebenarnya dia tidak terlalu suka makan mie instan tapi pernah makan. Entahlah dia hanya rindu ingin makan mie instan. &
Tok! Tok! "Sayang, Raka ada di depan. Keluar sana temuin dia," ucap Ayu di depan pintu. "Maa..." "Udah sana keluar temuin dia, selesain masalah kalian. Udah berapa hari ini kamu di kamar mulu. Mama nggak tahu apa masalah kalian tapi kamu nggak boleh ngindar. Orangnya udah nungguin di depan," rujuk Ayu. Nayla mengangguk pelan, menutup laptopnya dan merapikan pakaian. Sedikit liptint untuk membuatnya terlihat lebih fresh, tak ingin terlihat kusut di depan Raka. Nayla menghampiri Raka yang berada di teras rumah, laki-laki itu tersenyum saat melihat Nayla. Keadaan canggung diantara mereka. Nayla duduk diseberang Raka, sejenak mereka terdiam Raka menatap terus ke arah Nayla, berharap gadis di depannya membuka suara. "Maafin aku ya. Aku nggak bermaksud bikin kamu sedih," ucap Raka menatap Nayla. Seharusnya Raka datang dari kema
"Tadaaa... Aku udah siap." Nayla keluar dengan tersenyum lebar, ia ingin memberikan surprise dengan penampilannya. Dress casual selutut dan rambutnya diberi jepitan. Wanita itu sangat cantik, hingga membuat Raka tidak tega mengatakan bahwa mereka tidak jadi keluar. "Jenni pingsan, sekarang dia di rumah sakit, Yang," ucap Raka gugup, kali ini dia tidak berharap Nayla akan mengalah dan tersenyum ataupun menerima alasannya. Senyum Nayla hilang dengan posisi mematung. Nayla sudah berdandan dengan semangat dan berharap hari ini bisa berlama-lama dengan Raka. Tangannya memegang tas yang terselempang pada bahunya dengan erat. "Kamu mau ke sana? Yaudah, kita nggak usah jadi keluar," ucap Nayla berusaha baik-baik saja, dia tersenyum kecil. Cewek itu masih berdiri di depan pintu tidak
"Coffee..." Doni menyerahkan segelas coffee pada Raka, dia membelinya pada mesin otomatis yang ada di rumah sakit, sangat praktis bukan. "Thanks," ucap Raka, dia lagi tidak ingin tersenyum pada Doni. Mereka duduk di kursi yang berada diluar kamar Jenni padahal Raka sedang ingin sendiri tapi Doni menghampirinya. "Gue tahu hati lo lagi bercabang. Dari dulu gue iri sama lo, selalu aja banyak cewek yang ngejer-ngejer lo," ucap Doni dengan senyum pahit, laki-laki itu duduk di samping Raka. Raka tidak menggubris omongan Doni, apakah tepat membicarakan hal seperti itu dalam situasi seperti ini. Raka menaikan bahunya sedang menyeimbangkan posisi duduknya. "Dan yang paling gue iri. Lo bisa dapetin cewek kayak Nayla Anastasya Susanto. Menurut gue dia sedikit bodoh." Doni te