"Mas, ambilin kantong es dong, Mas. Badanku mulai panas dan perih, jadi aku ingin menghilangkan sakitnya dengan kantong es."Aku yang tadinya hampir memejamkan mata di sofa seberang tempat tidurnya, langsung terjaga dan sambil menahan rasa sakit di kepala karena tidak bisa tidur dengan tenang, aku segera menarik nafas dan bangkit dari tempatku. "Esnya ada di kulkas, kantungnya tanyakan saja pada mama."Ah, aku malas sekali juga berhubungan dengan ibu mertua. Kupikir, dia sedang ada di kamarnya istirahat. Aku sungkan mengetuk pintu kamar wanita itu dan kembali mendapati kemarahannya. "Kenapa diam Mas? Akhir-akhir ini kamu sering melamun deh. Kamu sibuk mikir, seolah kamu kehilangan jati diri dan lupa dengan dunia yang ada di sekitarmu," ujar mila dengan ungkapan yang pelan namun menusuk hatiku. "Enggak kok, kupikir aku akan mencari sendiri kantong es sebab aku yakin mamamu sedang tidur."Aku segera beralih ke dapur, mengambil es dari dalam kulkas dan meletakkannya ke dalam kantung p
"Mas..." aku mengguncang suamiku yang sudah di pembaringan. Dia menggeliat dan menetap diri ini dengan seulas senyum tipis di bibirnya, yang kini jadi suamiku tak pernah sedikitpun menunjukkan wajah tak senang meski ia dalam keadaan lelah beda sekali dengan mas Kevin yang mudah berubah suasana hatinya dan marah-marah. "Kevin mau numpang tidur, Mas. Dia izin untuk numpang tidur di gudang.""Lho, kenapa?" Suamiku terheran heran."Entahlah, kupikir dia mengalami konflik di rumah mertuanya.""Apa kau sudah mengizinkannya?""Ya, kupikir dia telah berada di sana.""Astagfirullah kurasa Mas harus bicara pada tante Jihan agar dia mau membantu Kevin dan menerima kembali putranya.""Aku juga yakin kalau Ibu Jihan sudah membuka hati untuk anaknya.""Bukannya apa Fathia... Aib bagi kita, jika salah satu anggota keluarga terlantar, sementara keluarga kita cukup dihormati oleh orang-orang. Bayangkan, rumor apa yang akan beredar.""Iya, Mas, tapi untuk malam ini biarkan saja dia istirahat Aku yakin
Kami kembali ke rumah untuk hanya mengambil koper, baru dengan seorang supir kami dibawa meluncur ke bandara, Mas Fadli harus terbang ke Surabaya dalam satu jam lagi Jadi kami bergegas ke sana."Selama di rumah hati-hati ya sayang. Kalau kau tidak berkenan datang ke gudang kau boleh memeriksa laporan secara online saja lewat email. Jika kau terbebani maka suruh saja anak-anak gudang untuk mengirimkan emailnya langsung padaku. Maaf karena aku terlalu banyak melibatkan dirimu dalam pekerjaan.""Kita adalah suami istri dan kita satu tim dalam membangun kehidupan dan usaha. Aku justru senang Mas melibatkan dan percaya pada pendapatku, sehingga aku merasa dihargai.""Aku ingin kamu meninjau lahan untuk lokasi pabrik dan pengolahan limbah, kita harus memilih di pinggir kota, agar lingkungan pemukiman tidak tercemar dengan bau dan sampah produksi." "Iya, Mas, bila asisten sudah bicara dengan makelar maka aku akan meninjau lahannya.""Baiklah, aku menghargainya," ujar Mas Fadli membelai pucu
Lelaki itu terdiam begitu aku menyebut tentang hutang-hutangnya, dia terguncang dengan wajah pucat, bibirnya terus bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu tapi dia urung mengucapkannya. Kini dia terjatuh dalam posisi duduk di kursi ruang tamu, tatapannya lurus ke depan tanpa berkedip sedikit pun, pria itu pucat pasi seakan baru melihat sesuatu yang mengerikan. "Dari semua kata-kataku, apa ada yang sudah kau mengerti?" tanyaku dengan nada rendahDia diam."Kenapa kau terus menggangguku dan datang di saat suamiku tidak berada di rumah! apa kau ingin menciptakan fitnah diantara kami?"Dia tak kunjung menjawabku"Apa kau suka jika seseorang melakukan hal yang sama antara kau dan istrimu?!" Sampai saat itu aku masih mengucapkan kata-kata dengan nada suara yang kutahan agar tidak terdengar sampai ke tetangga dan membangunkan anak-anak. Meski dia berteriak, tapi aku tetap berusaha tenang."Jawab aku!"Dia masih diam membisu. "Apa kau pikir aku menyukaimu dengan cara seperti ini. Kau piki
Aku merasa bersalah memutuskan gelang Fatiya, harusnya aku tidak mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya dan membuat dia makin kesal. Aku harusnya tak memaksakan bahwa dia harus merasakan hal yang sama seperti apa yang kurasakan, tak mencegah tangannya dengan kasar sehingga gelang itu tidak putus dan berantakan."Itu pemberian suamiku!"Ya, kata 'suamiku' membuatku benar-benar sadar bahwa dia bukan milikku, dia sudah bersuami dan hidup bahagia dengan segala fasilitas yang diberikan Mas Fadli padanya. Pun anak anak, interaksi mereka jadi bias dan aku seperti orang asing baginya. Sapaan dan kehangatan tak lagi kurasakan begitu bertemu dengan mereka, anak-anakku seakan tak mengenal diriku bahkan mereka tak menikmati setiap pelukan dan apapun yang coba aku berikan untuk membuat mereka bahagia. Kurasa kasih sayang yang diberikan Mas Fadli sudah jauh melampaui diriku, sehingga anak-anak tak membutuhkan apapun dari diri ini lagi. "Bagaimana kau akan mengganti gelangku? Harganya mahal!" It
Selagi mencoba membujuk Mila tiba-tiba ponselku berdiri dan itu adalah panggilan dari Fatia. Melihat namanya berpendar di layar ponselku aku agak ragu untuk menjawabnya, namun karena ada Mila di hadapanku yang nampak memicingkan mata dan curiga, aku jadi tak punya pilihan."Sebentar, ya.""Angkat saja di sini? Kenapa kau takut?"wanita itu menekanku dengan menunjuk jarinya agar aku tetap berdiri di depannya. "Ini bosku, sebenarnya sudah 3 hari aku tidak kerja karena sakit di apartemen. Aku baru mau masuk esok hari." Dengan gugup kukatakan itu, aku kesulitan mencari alasan yang terdengar masuk akal. "Bukannya kau bilang ... kau tidak kemana-mana dari gudag itu?! Tapi kau malah mengunjungi Fatia dan sempat tinggal di apartemen kita. Kenapa kau bohong. Sepertinya kau mempermainkanku, Mas." Mila mulai marah, dia menatapku, nafasnya mulai cepat dan memburu. Aku tahu ketidak-konsistenan kata-kata dan kalimatku membuat wanita itu semakin curiga dan kebingungan sendiri. Mau bagaimana lagi
Setelah sekian lama menikah dan jarang bertemu dengan mantan mertua tiba-tiba Ibu Jihan menelponku. Sekitar pukul 10.00 malam Ibu Jihan menghubungiku kebetulan saat itu aku belum tidur."Halo, assalamualaikum Bunda.""Kamu sudah tidur ya?""Belum, Bunda.""Begini, Ibu ingin bertanya, apa kau tahu apa yang terjadi dalam keluarga Kevin? Kudengar anakku menumpang tidur di gudang kalian selama seminggu.""Maaf Bunda saya tidak tahu detailnya, beliau minta izin untuk istirahat di sana dan kami pun mengizinkan."Meski aku membenci Kevin, tapi aku tetap menunjukkan rasa hormat di hadapan ibunya."Tumben malam ini Kevin pulang ke rumah Ibu, dan mau tidur di sini. Sebenarnya Ibu sudah mengusirnya tapi dia bersikeras minta maaf dan ingin istirahat. Saat ibu bertanya apa yang terjadi dia diam saja.""Sebenarnya tidak dijelaskan pun itu sudah menerangkan segalanya Bunda. Jika Mas Kevin pulang ke rumah Bunda, itu artinya ada yang tidak beres di sana.""Apa kau tahu perlakuan mertuanya padanya? Apa
Foto itu jatuh ke depan sepatuku, foto yang diambil beberapa tahun lalu saat kami sedang piknik keluarga. Foto saat diriku memeluk kedua anak dan tertawa bahagia. "Maaf Nyonya, saya tak menyadari kehadiran Nyonya ucap lelaki itu sambil menahan wajahnya yang malu lalu merangkak mengambil foto yang ada di hadapanku. Aku diam saja saat ia mengambilnya sambil berjongkok di depanku. Adalah hal tersakit saat hubungan yang pernah begitu indah, berubah kaku seakan kami adalah orang asing yang tidak pernah terhubung dalam ikatan pernikahan dan cinta. Interaksi yang terjadi sekarang tidak lebih hanya sebatas bos dan karyawannya, tidak lebih. Jika menelisik lebih dalam, lubuk hati tidaklah benar benar benci, hanya kesal dan kecewa yang telah mengubah sudut pandangku tentang dirinya. Kelebatan peristiwa yang pernah terjadi di antara kami mulai terlihat lagi di pelupuk mata. Pertengkaran demi pertengkaran, perdebatan, air mata, konflik serta bagaimana ending sampai akhirnya dia memutuskan unt
setelah rangkaian kesulitan hidup yang susah sekali dikembalikan untuk jadi lebih baik, perlahan aku mulai berjuang untuk Mila, mulai membuka hati dan serius mencintainya. mulai menerima kenyataan bahwa Fathia bukan jodohku dan istriku sekarang adalah Mila. Aku berhenti mengejar Fatia dan berharap dia akan bersimpati padaku, aku memutuskan untuk menerima kenyataan, berdamai dengan apa yang kumiliki dan menjalani apa yang bisa kujalani. Aku tahu aku punya banyak hutang pada Mas Fadli yang itu merupakan suami Fatia, meski ingin sekali keluar dari tempat ini tapi aku terikat kontrak dengan mereka sehingga aku harus bertahan untuk melunasi semua itu sembari bertahan hidup untuk istriku. Hutang pengobatan Mila juga masih ada padaku, berikut juga dengan PR untuk memperbaiki apartemen kami serta mengembalikan sisa uang pembeli yang tempo hari membatalkan pembeliannya. hidupku seakan di lantai oleh hutang-hutang yang tidak terhitung banyaknya. jika aku menanggapi itu dengan pikiran ke rumah
Besok hari, sebelum berangkat kerja aku mampir ke rumah ibuku, Aku ingin bicara sedikit dengan beliau dan mendiskusikan tentang istriku. ucapkan salam dan kebetulan Ibu sedang ada di meja makan, beliau sedang sarapan dan menikmati secangkir kopi bersama ayah. "selamat pagi bunda?" "pagi sayang." Ibu menerima kecupan dariku, dan ayah juga kucium tangannya. "tumben mampir kemari, biasanya kau akan langsung ke gudang dan pabrik kakakmu?""Aku rindu dengan ibu karena sudah lama tidak mampir, Aku benar-benar merindukan kalian.""ah kau ini...." Ibu menepuk bahuku sambil tertawa. "Bu aku ingin bicara sedikit denganmu.""ada apa?" Ibu mengalihkan perhatian dan menatapku. "meski sulit dan menyebalkan ... tapi aku benar-benar berharap Ibu mau memaafkan kami... Tolong maafkan aku dan berilah mila kesempatan untuk jadi menantu yang baik," pintaku dengan nada yang berhati-hati. "tumben bilang begitu?" Ayah yang heran menatap diri ini dengan lekat. "kemarin itu ucapan Bunda membuat istrik
karena diusir sedemikian rupa kami tidak punya pilihan lain selain pergi. ku bawa istriku kembali lalu bersama dengannya kami menaiki mobil perusahaan untuk kembali ke rumah. "kupikir ibumu ada benarnya Mas," desah wanita itu memecah keheningan di mobil kami. "apa maksudmu?""baginya menantunya hanya Mbak Fathia, dia menyayanginya dan wanita itu memang pantas mendapatkan kasih sayang yang besar.""tapi dia bukan lagi istriku, jadi Ibuku harus menerima kenyataan bahwa kamulah satu-satunya menantu." aku menggenggam tangannya, berusaha membuat dia tenang. terasa sekali kasarnya kulit karena bekas luka bakar, membuat hati ini terenyuh. aku tahu istriku salah terlalu banyak bersikap sombong dan arogan, tapi kekesalan jadi kecemburuannya setiap hari bertemu dengan Fathia terpatik gara-gara diriku. andai aku lebih bisa menjaga hati dan perasaannya mungkin semua musibah itu tidak akan terjadi. mungkin jika istriku akan lebih tenang tidak perlu terjadi musibah yang betul-betul membuat di
"sepertinya kau terkesan dengan kebaikan fatia barusan?"tanya istriku saat aku dan dia mencuci piring dan Fathia sudah pulang. "aku terkesan karena dia mau memaafkan kita dan mau turun tangan membersihkan tempat ini untuk membantumu," jawabku. "aku sendiri terpukau dengan kebaikan mantan istrimu itu. kupikir dia akan terus memusuhi kita tapi ternyata dia punya ketulusan yang tidak kubayangkan." istriku mencuci tangannya dan mengeringkannya disobek, aku tidak mengerti maksud tetapannya tapi sepertinya dia sedikit resah. "mungkin wajar saja jika kau masih mencintai dan berharap bisa berhubungan baik dengannya."aku segera meraih tanganmu lah begitu mendengar dia mengatakan hal tersebut. tersenyum diri ini sambil mengetuk keningnya dan kupeluk dia dengan erat. "dia memang sebaik itu tapi sekarang hanya kau satu-satunya cinta di hatiku.""tidak usah menghiburku dengan kalimat itu,"jawab Mila sambil mendorong dada ini dengan ujung jemarinya, wanita yang kulit wajahnya belum begitu rata
hampir 20 menit berkendara dengan segala kegalauan hati memikirkan apakah apartemen itu masih layak dihuni atau tidak mengingat hampir 1 tahun tidak di sana kupikir sudah ada beberapa bagian yang merembes, kamar mandi juga merembes dengan cat dinding yang sudah mengelupas, beberapa bagian dinding juga retak dan tidak layak, mereka juga lembab dan jamuran tapi aku bisa apa hanya itu satu-satunya tempat yang bisa dituju untuk sementara ini. mungkin aku bisa membayar kontrakan, tapi bagaimana aku akan mencukupi pengobatan Mila, sementara uang itu juga untuk makan dan transportasi sehari-hari. aku harus berusaha mencukupi gajiku ditambah dengan potongan perusahaan yang sempat ku pinjam untuk operasi istriku. kupandangi wajah Mila dan raut kesedihan yang terlihat di matanya, dia berkaca-kaca tapi wanita itu berusaha menyembunyikan kesedihannya. rumah ibunya terlalu nyaman selama ini kami tidak pernah berpisah dengan mereka jadi mungkin istriku harus membiasakan diri dan merasakan kerin
"mau kemana?" Tanya istriku cemas."aku mau pergi, sudah terlalu lama kita diinjak-injak, aku sudah tak sanggup lagi.""tapi...." Mila nampak ragu melihatku yang terus berkemas, dia sepertinya bimbang hendak tetap berada di sini ataukah ikut dengan suaminya yang tidak berdaya ini."aku tahu aku harus menghargai mertua, Aku tahu aku harus menjunjung mereka tapi ini benar-benar keterlaluan, Mil. aku masih punya harga diri.""sebagai orang tua mami pasti terlalu mengkhawatirkanku sehingga dia berkata seperti itu.""aku juga memposisikan diriku sebagai dia. Aku membayangkan putriku harus hidup dalam kesulitan bersama suami yang dicintainya. tapi, aku akan menahan diri dari ucapan menghina orang lain," balasku Dengan hati Yang benar-benar Sakit. ingin rasanya menangis tapi aku malu pada genderku sendiri. aku laki-laki yang harus terlihat tegar tapi ada kalanya perasaan ini rapuh dan sedih. "aku sudah berusaha sekuat tenaga Tapi saat tuhan hanya memberi terbatas, aku bisa apa!! Aku juga ma
orang ke sini isinya Mertuaku begitu dia tahu kalau aku dan istriku pergi makan malam ke rumah Fatia, wanita itu mencemooh dan terus berceloteh kalau kami adalah orang-orang yang tidak punya harga diri dan rela menghamba pada keluarga Fatia. "sudah tahu kalau wanita itu yang membuatmu menderita, kini kau pergi dan menjalin hubungan baik dengannya? ada apa denganmu?!""mi, dia kan Bos kami, Jadi kami harus tunjukkan itikad baik Kalau Kami berkomitmen untuk bekerja dengan benar dan berdamai.""apa untungnya, lihat wajah, tangan dan tubuhmu yang sudah cacat itu! dengan segala keburukanmu itu kau datang padanya dan minta maaf? ke mana harga dirimu. bukankah selalu kubilang kalau kau harus menghargai dirimu sendiri sebelum menghambakan diri ke orang lain!""kami tidak menghambakan diri mami, aku dan mereka memang harus menjalin hubungan baik karena suamiku dan suaminya Fathia adalah sepupu. mereka adalah keluarga dekat dan mau tidak mau kami akan berbaur.""Tapi kau bisa menghindarinya...
sehabis makan malam Fathia dan asisten rumah tangganya membereskan Piring dan membawanya ke dapur, Mila sendiri sedang berusaha mendekatkan dirinya pada anak-anak kami, dia mengobrol dengan mereka dan mulai berusaha membangun kepercayaan kedua anakku. Mas Fadli izin sebentar karena dia ada tamu yang sedang menunggunya di depan, jadi kakak sepupuku itu membiarkan aku dan Mila duduk di ruang keluarga bersama anak anak."bentar ya aku mau minum," ucapku pada Mila."iya Mas."kulangkahkan kakiku menuju ke dapur, di sana terlihat Fathia sedang membereskan sisa makanan dan membantu asisten rumah tangganya untuk merapikan piring-piring di wastafel. "mba, Ini sisa makanan masih banyak mungkin boleh dibagikan ke orang-orang yang nongkrong di depan atau yang membutuhkan saja.""iya Bu." jawab pembantunya yang terlihat masih muda itu. "fat."panggilanku membuat dia menghentikan kegiatannya membungkus sisa makanan. "ada apa?""aku benar-benar terkejut dengan kebaikan hatimu. kupikir kau akan
"maaf, karena aku terpaksa mengikuti aturan dan permintaan bosku," ujarku saat berhasil menyusul Mila, dia pulang lebih cepat dari yang kuduga. "kurasa kita harus cari tempat lain untukmu bekerja." "iya. tapi, tunggu hutangku lunas yaa," balasku membujuk. "mau kapan lunas hutangmu, sementara uang yang kita pinjam itu ratusan juta Mas?" "jika kau tahu itu, tolong berdamailah dengan kenyataan. kita harus berjuang dan bertahan." "jadi, tidak ada pilihan lain dalam hidup kita?" "tidak ada." wanita yang masih terlihat bekas luka bakar di tangan dan tubuhnya itu hanya bisa mendesah lemah dan meneteskan air mata. dia menangis lalu memelukku. "apa yang harus kulakukan Mas?" "kita harus bertahan dan realistis, Ayo kita minta maaf dan jalin hubungan baik karena mau bagaimanapun kita tetap bergantung pada keluarganya Fathia." "pada pilihan lain?" "tetap tidak ada. berbaikanlah dengannya, toh, Aku dan Dia tidak punya hubungan lagi. wanita itu, juga kabarnya sedang hamil. ja