Subuh ini adalah subuh yang begitu berat karena beberapa saat lagi, saat matahari mulai terbit dan memancarkan sinarnya, aku harus mengendarai motor untuk ke pengadilan. Aku akan ke sana untuk duduk sebagai pesakitan, sebagai tergugat! Suamiku, dan segala gugatannya yang terkesan membuat diri ini sebagai penjahat, membuatnya harus bersiap-siap dihakimi oleh banyak orang. Terutama hujatan dan sorot mata majelis hakim.Sudah kupikirkan apa yang harus kukatakan, sepanjang malam pikiran dan segala kemungkinan-kemungkinan kalimat sudah kususun. Rasanya ingin kubantai semua fitnahan suamiku itu dengan membalikkannya dengan fakta.Aku ingin melawannya, Aku ingin bilang kalau aku tidak berhutang, Aku ingin mengungkap fakta bahwa Suamiku berselingkuh dengan rekan kerjanya, mereka viral, lalu mereka diskorsing oleh atasannya. Aku ingin mengatakan itu.Tapi untuk apa? Mas Kevin dan Mila pasti menggunakan pengacara. Dan yang namanya pengacara, ketika mereka sudah dibayar, maka mereka akan melaku
Seminggu berjalan, Dalam seminggu itu aku menjual sisa-sisa perhiasan serta barang-barang berharga untuk membeli mesin cuci dan memulai usaha laundry. Aku juga membeli oven besar karena akan buka jasa pesanan kue, juga menjual roti roti. Aku tidak ingin hidupku terus terpuruk dan pikiranku hanya berputar tentang masalah suami dan pengadilan. Toh, endingnya sudah ketahuan bahwa aku dan dia pasti berpisah.Masih banyak hal yang harus kulakukan, dari sekarang aku harus menata masa depan dan tetap tegar di hadapan kedua anakku. Aku harus menjadi Ibu yang tangguh meski tak jarang aku menerima cibiran dan bisik-bisik menyakitkan dari para tetangga yang tidak tahu masalah sebenarnya. Sering sekali kuhabiskan menangis di atas hamparan sajadah, mengadu pada Tuhan betapa duri-duri yang menusuk hatiku semakin tajam. Meski orang-orang tidak secara gamblang menghina diri ini, tapi tatapan mereka setiap kali aku kembali dari pasar atau mengantarkan laundry, membuatku amat amat tersakiti. Dalam f
Sepulangnya dari pengadilan, aku tak lagi harus mendengarkan perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa keputusan 100 juta bukanlah nilai yang pantas untukku dan kedua anak meski uangnya disebut sebagai kompensasi atau uang pengganti bagi istri yang ditinggalkan. Dalam hitungannya seharusnya ada nafkah tunjangan anak dan uang nafkah selama masa iddah, namun itu tidak diperhitungkan karena keputusan yang diambil adalah keputusan cepat. Aku pun tidak begitu berharap bahwa Mas Kevin akan memberikanku, tidak banyak ekspektasi yang kubesarkan di hati, kecuali agar masalah ini segera selesai dan pikiranku bisa tenang lagi. Lagi pula terlalu jauh jika berharap bahwa 100 juta itu akan diberikan, setengahnya saja pun aku tidak memimpikan, karena aku tahu situasi dan keadaan keuangan mas Kevin sekarang ini. *Seminggu setelah putusan persidangan aku terkejut dengan kedatangan kedua mantan mertuaku, mereka mengetuk pintu dan kedua orang tua Mas Kevin yang tiba-tiba datang membawakan logist
"Jujur saja, aku lebih senang kehilangan nafkah, daripada dibungkam olehmu. Lagi pula, aku mendapatkan kehidupan yang sulit gara-gara fitnahan yang terjadi di pengadilan, orang-orang mencibir dan merendahkanku karena aku pemboros dan punya hutang ratusan juta. Apa kau merasakan sakit yang sama seperti yang kurasakan?"Meskipun terdiam atas perkataanku, uang yang dia sodorkan masih teronggok begitu saja di atas meja teras."Jika kau datang membawa uang 100 juta agar semua masalahmu selesai, maka aku tidak menerimanya. Aku akan menerima itu sebagai tebusan perceraian denganmu, tapi bukan untuk menutup mulutku.""Kasih aja sih Mas, ribet banget!" ujar Mila di latar belakang. Sebenarnya aku ingin sekali menampar dan membungkam wanita itu tapi bukan gayaku untuk mengotori tangan sendiri berhubungan dengan wanita itu. Aku tidak ingin menambah konflik di kepala dan memusingkan hidupku atas pelakor itu, biarkan karma yang membalasnya. "Kalau begitu, aku pamit dulu.""Tetangga pasti bergunjin
Ya sekarang ...Katanya kalau sudah tiada baru terasa kehilangannya, baru terasa kerinduan dan betapa bergunanya dia saat masih berada diantara kami.Tapi tidak untukku dan anak-anak, selama ini aku terbiasa mandiri dengan segala tugas, pergi ke sana kemari sendirian, melakukan tugas rumah, memasang galon, memasang gas, membenari barang-barang yang rusak juga aku sendiri. Aku terbiasa mandiri dan lelaki itu fungsinya hanya memberikanku uang dan nafkah batin. Aku tidak terlalu kaget atau mengalami syok saat dia tidak berada di sisiku. Memang aku kesepian, tapi untungnya ada kedua anakku menghilangkan rasa itu. Alhamdulillah laundry semakin ramai dan pelanggannya mulai bertambah dari komplek-komplek sekitar rumah kami, aku juga mengikuti les memasak dan mengaplikasikan ilmu baru pada produk-produk kue yang aku promosikan. Perlahan-lahan orang-orang mulai mengenali dan menerima hasil masakanku, Alhamdulillah semuanya membaik."Eh, jika semuanya sudah stabil, apa kau tidak berpikir untu
"Ibu, Ayah, ini benar-benar tidak lucu. Kalian bebas membercandaiku dengan lelucon apapun, tapi jangan seperti ini," ucapku dengan hati yang tidak enak. Rasanya aku ingin menangis saja karena tiba-tiba ibu mertua ingin menjodohkan aku dengan seseorang yang tentu saja kami kenal.Mas Fadli adalah seorang pengusaha ternak ayam dan distributor telur yang sangat sukses. Dia duda yang ditinggal meninggal dunia oleh istrinya. Dia cukup kaya, tampan dan berwibawa, kulitnya putih, serta tatanan rambutnya yang selalu disisir ke arah kiri membuat penampilannya paripurna. Setidaknya aku mengingat hal tersebut, terakhir kali saat berjumpa dengannya, di pesta pernikahan sepupu Mas Kevin 2 tahun lalu."Kau akan ideal jadi istrinya, Fadli mengetahui tentang dirimu dan kami menceritakan konflik yang terjadi antara kau dan Kevin. Kami menyarankan agar dia melamarmu dan Fadli setuju.""Apa? Kenapa Ibu dan Ayah tidak berdiskusi dulu denganku dan memilih memutuskan secara sepihak? kalian harus mendengar
Seorang pelanggan laundry datang padaku, dia tetanggaku, dia punya anak yang menikah dengan salah satu tetangga Mila, dia mengenal mas Kevin dan tahu apa yang terjadi di sana."Kau tahu Kevin dan Mila sudah menikah."Dia mengatakan itu sambil berbisik saat menerima laundry-nya dariku."Oh ya, syukurlah," balasku datar, aku harus mengendalikan ekspresiku agar aku tidak terlihat penasaran."Mereka hanya menikah secara pribadi di rumahnya, mereka tidak melakukan pesta atau mengundang orang-orang karena malu. Semua orang mencibir dan menertawakan wanita itu sebagai pelakor.""Oh, saya turut prihatin.""Bagian terbaik adalah, wanita itu di diturunkan jabatannya dan dimutasi ke daerah yang jauh sekali, mungkin ke Maluku." Ibu baru bayar itu berkata-kata dengan wajah berbinar."Kok begitu?""Ya karena... ia sudah mempermalukan instansi dengan berselingkuh dan merusak pernikahan orang lain. Ada petisi di sosial media yang mendesak kepala bea cukai bandara untuk memecat wanita bernama Mila i
Aku yang tadinya sedang fokus bicara dengan Mas Fadli langsung berdiri dan menatap mas Kevin dengan geram. Beraninya dia datang ke rumah ini dan beraninya dia menyela percakapan kami. Lebih lagi, beraninya dia merusak suasana hatiku yang mulai membaik. "Siapa kau dan apa hakmu untuk berani datang kemari dan menyela percakapanku dan tamuku, berani sekali kau!" Aku mendesis sambil menatapnya dengan tajam. "Apa kau mau aku meviralkanmu? belum habis masa iddah tapi kalau sudah pacaran," ucapnya sambil tertawa, sepertinya, sejak berpisah denganku, lelaki itu berubah jadi penjahat dan tokoh antagonis yang amat mengerikan."Kalau begitu jangan buang-buang waktu. Ayo nyalakan kamera dan rekam! Bukti dari mana kau sebut aku pacaran sementara aku dan Mas Fadli baru bertemu beberapa saat yang lalu," jawabku yang tetap tenang. "Wow, wow, Mas Fadli! aku terkejut sekali saat tahu bahwa kau akan dijodohkan dengan fathiyah. Janda dan duda akan dipersatukan dalam keluargaku," balasku sambil menepu
setelah rangkaian kesulitan hidup yang susah sekali dikembalikan untuk jadi lebih baik, perlahan aku mulai berjuang untuk Mila, mulai membuka hati dan serius mencintainya. mulai menerima kenyataan bahwa Fathia bukan jodohku dan istriku sekarang adalah Mila. Aku berhenti mengejar Fatia dan berharap dia akan bersimpati padaku, aku memutuskan untuk menerima kenyataan, berdamai dengan apa yang kumiliki dan menjalani apa yang bisa kujalani. Aku tahu aku punya banyak hutang pada Mas Fadli yang itu merupakan suami Fatia, meski ingin sekali keluar dari tempat ini tapi aku terikat kontrak dengan mereka sehingga aku harus bertahan untuk melunasi semua itu sembari bertahan hidup untuk istriku. Hutang pengobatan Mila juga masih ada padaku, berikut juga dengan PR untuk memperbaiki apartemen kami serta mengembalikan sisa uang pembeli yang tempo hari membatalkan pembeliannya. hidupku seakan di lantai oleh hutang-hutang yang tidak terhitung banyaknya. jika aku menanggapi itu dengan pikiran ke rumah
Besok hari, sebelum berangkat kerja aku mampir ke rumah ibuku, Aku ingin bicara sedikit dengan beliau dan mendiskusikan tentang istriku. ucapkan salam dan kebetulan Ibu sedang ada di meja makan, beliau sedang sarapan dan menikmati secangkir kopi bersama ayah. "selamat pagi bunda?" "pagi sayang." Ibu menerima kecupan dariku, dan ayah juga kucium tangannya. "tumben mampir kemari, biasanya kau akan langsung ke gudang dan pabrik kakakmu?""Aku rindu dengan ibu karena sudah lama tidak mampir, Aku benar-benar merindukan kalian.""ah kau ini...." Ibu menepuk bahuku sambil tertawa. "Bu aku ingin bicara sedikit denganmu.""ada apa?" Ibu mengalihkan perhatian dan menatapku. "meski sulit dan menyebalkan ... tapi aku benar-benar berharap Ibu mau memaafkan kami... Tolong maafkan aku dan berilah mila kesempatan untuk jadi menantu yang baik," pintaku dengan nada yang berhati-hati. "tumben bilang begitu?" Ayah yang heran menatap diri ini dengan lekat. "kemarin itu ucapan Bunda membuat istrik
karena diusir sedemikian rupa kami tidak punya pilihan lain selain pergi. ku bawa istriku kembali lalu bersama dengannya kami menaiki mobil perusahaan untuk kembali ke rumah. "kupikir ibumu ada benarnya Mas," desah wanita itu memecah keheningan di mobil kami. "apa maksudmu?""baginya menantunya hanya Mbak Fathia, dia menyayanginya dan wanita itu memang pantas mendapatkan kasih sayang yang besar.""tapi dia bukan lagi istriku, jadi Ibuku harus menerima kenyataan bahwa kamulah satu-satunya menantu." aku menggenggam tangannya, berusaha membuat dia tenang. terasa sekali kasarnya kulit karena bekas luka bakar, membuat hati ini terenyuh. aku tahu istriku salah terlalu banyak bersikap sombong dan arogan, tapi kekesalan jadi kecemburuannya setiap hari bertemu dengan Fathia terpatik gara-gara diriku. andai aku lebih bisa menjaga hati dan perasaannya mungkin semua musibah itu tidak akan terjadi. mungkin jika istriku akan lebih tenang tidak perlu terjadi musibah yang betul-betul membuat di
"sepertinya kau terkesan dengan kebaikan fatia barusan?"tanya istriku saat aku dan dia mencuci piring dan Fathia sudah pulang. "aku terkesan karena dia mau memaafkan kita dan mau turun tangan membersihkan tempat ini untuk membantumu," jawabku. "aku sendiri terpukau dengan kebaikan mantan istrimu itu. kupikir dia akan terus memusuhi kita tapi ternyata dia punya ketulusan yang tidak kubayangkan." istriku mencuci tangannya dan mengeringkannya disobek, aku tidak mengerti maksud tetapannya tapi sepertinya dia sedikit resah. "mungkin wajar saja jika kau masih mencintai dan berharap bisa berhubungan baik dengannya."aku segera meraih tanganmu lah begitu mendengar dia mengatakan hal tersebut. tersenyum diri ini sambil mengetuk keningnya dan kupeluk dia dengan erat. "dia memang sebaik itu tapi sekarang hanya kau satu-satunya cinta di hatiku.""tidak usah menghiburku dengan kalimat itu,"jawab Mila sambil mendorong dada ini dengan ujung jemarinya, wanita yang kulit wajahnya belum begitu rata
hampir 20 menit berkendara dengan segala kegalauan hati memikirkan apakah apartemen itu masih layak dihuni atau tidak mengingat hampir 1 tahun tidak di sana kupikir sudah ada beberapa bagian yang merembes, kamar mandi juga merembes dengan cat dinding yang sudah mengelupas, beberapa bagian dinding juga retak dan tidak layak, mereka juga lembab dan jamuran tapi aku bisa apa hanya itu satu-satunya tempat yang bisa dituju untuk sementara ini. mungkin aku bisa membayar kontrakan, tapi bagaimana aku akan mencukupi pengobatan Mila, sementara uang itu juga untuk makan dan transportasi sehari-hari. aku harus berusaha mencukupi gajiku ditambah dengan potongan perusahaan yang sempat ku pinjam untuk operasi istriku. kupandangi wajah Mila dan raut kesedihan yang terlihat di matanya, dia berkaca-kaca tapi wanita itu berusaha menyembunyikan kesedihannya. rumah ibunya terlalu nyaman selama ini kami tidak pernah berpisah dengan mereka jadi mungkin istriku harus membiasakan diri dan merasakan kerin
"mau kemana?" Tanya istriku cemas."aku mau pergi, sudah terlalu lama kita diinjak-injak, aku sudah tak sanggup lagi.""tapi...." Mila nampak ragu melihatku yang terus berkemas, dia sepertinya bimbang hendak tetap berada di sini ataukah ikut dengan suaminya yang tidak berdaya ini."aku tahu aku harus menghargai mertua, Aku tahu aku harus menjunjung mereka tapi ini benar-benar keterlaluan, Mil. aku masih punya harga diri.""sebagai orang tua mami pasti terlalu mengkhawatirkanku sehingga dia berkata seperti itu.""aku juga memposisikan diriku sebagai dia. Aku membayangkan putriku harus hidup dalam kesulitan bersama suami yang dicintainya. tapi, aku akan menahan diri dari ucapan menghina orang lain," balasku Dengan hati Yang benar-benar Sakit. ingin rasanya menangis tapi aku malu pada genderku sendiri. aku laki-laki yang harus terlihat tegar tapi ada kalanya perasaan ini rapuh dan sedih. "aku sudah berusaha sekuat tenaga Tapi saat tuhan hanya memberi terbatas, aku bisa apa!! Aku juga ma
orang ke sini isinya Mertuaku begitu dia tahu kalau aku dan istriku pergi makan malam ke rumah Fatia, wanita itu mencemooh dan terus berceloteh kalau kami adalah orang-orang yang tidak punya harga diri dan rela menghamba pada keluarga Fatia. "sudah tahu kalau wanita itu yang membuatmu menderita, kini kau pergi dan menjalin hubungan baik dengannya? ada apa denganmu?!""mi, dia kan Bos kami, Jadi kami harus tunjukkan itikad baik Kalau Kami berkomitmen untuk bekerja dengan benar dan berdamai.""apa untungnya, lihat wajah, tangan dan tubuhmu yang sudah cacat itu! dengan segala keburukanmu itu kau datang padanya dan minta maaf? ke mana harga dirimu. bukankah selalu kubilang kalau kau harus menghargai dirimu sendiri sebelum menghambakan diri ke orang lain!""kami tidak menghambakan diri mami, aku dan mereka memang harus menjalin hubungan baik karena suamiku dan suaminya Fathia adalah sepupu. mereka adalah keluarga dekat dan mau tidak mau kami akan berbaur.""Tapi kau bisa menghindarinya...
sehabis makan malam Fathia dan asisten rumah tangganya membereskan Piring dan membawanya ke dapur, Mila sendiri sedang berusaha mendekatkan dirinya pada anak-anak kami, dia mengobrol dengan mereka dan mulai berusaha membangun kepercayaan kedua anakku. Mas Fadli izin sebentar karena dia ada tamu yang sedang menunggunya di depan, jadi kakak sepupuku itu membiarkan aku dan Mila duduk di ruang keluarga bersama anak anak."bentar ya aku mau minum," ucapku pada Mila."iya Mas."kulangkahkan kakiku menuju ke dapur, di sana terlihat Fathia sedang membereskan sisa makanan dan membantu asisten rumah tangganya untuk merapikan piring-piring di wastafel. "mba, Ini sisa makanan masih banyak mungkin boleh dibagikan ke orang-orang yang nongkrong di depan atau yang membutuhkan saja.""iya Bu." jawab pembantunya yang terlihat masih muda itu. "fat."panggilanku membuat dia menghentikan kegiatannya membungkus sisa makanan. "ada apa?""aku benar-benar terkejut dengan kebaikan hatimu. kupikir kau akan
"maaf, karena aku terpaksa mengikuti aturan dan permintaan bosku," ujarku saat berhasil menyusul Mila, dia pulang lebih cepat dari yang kuduga. "kurasa kita harus cari tempat lain untukmu bekerja." "iya. tapi, tunggu hutangku lunas yaa," balasku membujuk. "mau kapan lunas hutangmu, sementara uang yang kita pinjam itu ratusan juta Mas?" "jika kau tahu itu, tolong berdamailah dengan kenyataan. kita harus berjuang dan bertahan." "jadi, tidak ada pilihan lain dalam hidup kita?" "tidak ada." wanita yang masih terlihat bekas luka bakar di tangan dan tubuhnya itu hanya bisa mendesah lemah dan meneteskan air mata. dia menangis lalu memelukku. "apa yang harus kulakukan Mas?" "kita harus bertahan dan realistis, Ayo kita minta maaf dan jalin hubungan baik karena mau bagaimanapun kita tetap bergantung pada keluarganya Fathia." "pada pilihan lain?" "tetap tidak ada. berbaikanlah dengannya, toh, Aku dan Dia tidak punya hubungan lagi. wanita itu, juga kabarnya sedang hamil. ja