"Aku pulang sekarang ke sana, Pak!" tukasku kemudian."Jangan, Yud. Kamu dengarkan Bapak. Di sini Hilma sudah ditangani. Insya Allah akan baik-baik saja. Bapak minta kamu doakan istri dan anak kamu di sini. Jangan putus berdoa, ya! Tidak usah pulang. Ini sudah malam. Mana ada penerbangan jam segini!" tegas Bapak mencegahku pulang."Pak. Aku khawatir. Aku akan cari penerbangan tercepat malam ini. Aku takut terjadi apa-apa sama Hilma dan kandungannya, Pak!" sahutku."Bapak tahu kamu khawatir, tapi kami sudah gerak cepat, Yud. Kami sudah membawa istri kamu ke rumah sakit. Kamu hanya perlu mendoakan di sana. Ingat, jangan putus berdoa. Sudah, bapak tutup teleponnya. Hilma akan baik-baik saja. Percaya pada kami dan serahkan semua pada Allah. Sudah, ya. Assalamualaikum!""W-waalaikumsalam ...."Tuttt.Bapak sudah mematikan panggilan. Kulihat layar ponsel yang sudah otomatis terkunciMasih dalam keadaan berjongkok. Kututup wajah dengan kedua tangan. Meraupnya gusar seraya menyentak napas kas
~~~Tiba di hunian, cepat-cepat aku membersihkan diri dan berganti pakaian. Wijaya sepertinya sudah larung di lautan mimpinya. Sementara Agus dan Indra, juga tidak terdengar suara dari kamarnya.Selesai membersihkan diri dan berpakaian. Aku keluar kamar lalu menggelar sajadah di ruang depan. Menunaikan shalat empat rakaat seorang diri.Beribadah dengan menghadirkan khusu dalam melakukannya. Mengenyahkan pikiran-pikiran akan masalah dunia sejenak. Mengingat Tuhan yang kusembah saat melafalkan setiap bacaan shalat.Hingga shalatku selesai ketika menemui dua salam. Kuangkat kedua tangan. Memohon ampun dan pertolongan pada-Nya.Kuserahkan segala penjagaan terhadap Hilma dan calon buah hati kami pada-Nya. Meski dalam hati dilingkupi rasa malu, aku tak pernah lewat menjalankan kewajiban, tetapi nafsu masih juga menyertai diri ini.Sungguh, manusia memang tempatnya segala salah dan khilaf. Maka Tuhan lah, Dzat untuk memohon dan berserah sepenuhnya.Shalatku akhirnya benar-benar selesai. Kube
Rahangku mengeras. Satu tanganku refleks mengepal. Begitu melihat Feli di hadapanku. Memakai gaun tidur yang tertutup jubah luarnya. Rambutnya berantakan. Banyak bercak keunguan di sekitar lehernya. Sudah jelas, memang ada apa-apa yang terjadi di hunian ini.Aku kesal dan marah. Bukan apa, tapi aku tidak terima, melihat sosok yang amat mirip dengan almarhumah istriku berbuat rendah dan murahan Aku merasa tidak terima."P-Pak, ini ... tidak seperti yang bapak pikirkan. B-biar saya jelaskan," ucap Feli yang terdengar memuakkan."S-saya dan B-bos Angg—""Shut up!" Aku membentak Feli, dengan telapak tangan mengarah pada wajahnya."Saya tidak peduli, apa yang kamu dan Bos Angga perbuat. Saya juga tidak mau tahu! Saya ke mari, ingin bertemu Bos Angga. Saya akan meminta izin pulang padanya. Sekarang, kamu bisa panggilkan dia. Saya buru-buru!" tegasku pada Feli."E ... P-pak Yuda, Bapak harus dengarkan dulu penjelasan saya, Pak. Ini... tidak seperti yang ada di pikiran Bapak," ucap Feli kemb
[Yud, kamu gak dapat izin pulang?] Bapak mengirimkanku pesan saat aku sudah berada di dalam taksi online. Setelah dua jam penerbangan, aku tiba di Bandara tujuan.[Ya sudah kalau tidak bisa. Doakan saja yang terbaik untuk Hilma, ya, Yud!] Pesan lanjutan yang Bapak kirim.Aku hanya membacanya saja. Segera kumasukkan ponselku ke dalam saku celana. Aku ingin segera sampai. Toh, Bapak juga tidak mengatakan apa pun. Jadi, lebih baik aku tahu di rumah saja nanti. Semoga, memang kabar baik yang telah Bapak siapkan.Sekitar tiga puluh menit dari Bandara, akhirnya mobil yang kutumpangi sudah sampai di depan rumahku. Nampak mobil Bapak dan juga mobil Pak Wisnu di luar pagar. Menandakan bahwa di dalam rumahku, tengah berkumpul dua keluarga. Hatiku semakin tak karuan. Masih terus berharap, semua baik-baik saja.Buru-buru aku masuk ke dalam rumahku. Melihat mereka semua tengah berkumpul. Pandanganku fokus pada Hima yang sesenggukan di pelukan ibunya. Cepat-cepat aku pun menghampiri mereka semua.—
Hilma menenggelamkan kepalanya di dadaku. Kedua tanganku merengkuh tubuhnya yang berguncang."Bayi kita, Ay. Hiks ... aku gagal. Aku gak bisa menjaganya. Aku ibu yang gagal, Ay. Ga—gal." Hilma meracau disela isakan tangis.Aku mengusap-usap punggungnya. Kudekap lebih erat serta kuciumi puncak kepalanya. "Tidak, Sayang. Tidak ada ibu yang gagal. Kamu tetap ibu terbaik. Kamu tidak boleh menyalahkan diri sendiri. Semua sudah ketetapan yang Mahakuasa. Kamu harus berbesar hati. Belum rezeki kita saat ini," ucapku mencoba meluaskan hati Hilma.Terasa Hilma menggeleng. "Enggak, Ay. Ini salahku. Ini salahku! Aku gak bisa menjaga bayi kita! Hu hu hu ....""Ssstt! Enggak, Sayang. Kamu gak salah. Tidak ada yang salah di sini. Semua sudah digariskan. Jangan lagi menyalahkan diri kamu, Sayang!" tegasku seraya mengeratkan pelukan. Kuciumi lekat ubun-ubun Hilma yang terhalang kerudung.Hilma pasti sangat bersedih dengan apa yang dialaminya ini. Memang tidak ada yang bisa disalahkan dalam keadaan ini
🌻🌻 POV Yuda~"Kamu gak akan ke Surabaya lagi, Yud?" Bapak bertanya ketika kami berkumpul di ruang bermain di rumahku."Enggak, Pak. Aku mau resign," jawabku pada Bapak."Resign? Yakin, Yud?" tanya Ibuku kali ini.Tiga hari sudah orang tuaku serta orang tua Hilma menginap di rumahku. Menemaniku juga Hilma di sini. Membantu mengurus si kembar serta menghibur Hilma yang masih digelayuti sendu.Usai Subuh tadi, orang tua Hilma sudah meninggalkan rumahku, untuk kembali mengurusi bisnis mereka di luar kota. Kedua mertuaku itu, mempercayakan putrinya sepenuhnya padaku. Mereka percaya, setelah aku ada bersama Hilma lagi. Aku mampu menjaganya dengan baik. Kepercayaannya sangat besar yang menjadi tanggungjawabku.Aku mengangguk cepat. "Yakin, Bu. Sebenarnya, waktu pulang ke sini saja, aku gak dapat izin. Kalau aku tetap pulang, aku dianggap resign oleh kantor di sana. Jadi, ya sudahlah. Di sini juga masih banyak perusahaan lain, 'kan?"Ibu terlihat manggut-manggut begitu juga dengan Bapak."
Tiga bulan berlalu.Hilma sudah mulai kembali nampak ceria. Meski hanya sedikit. Meski di saat tertentu, dia kembali menunjukkan kerapuhannya padaku. Namun, dia sudah tidak terlalu menunjukkan kesedihannya secara berlebihan. Dia sudah mau makan dengan teratur lagi. Setelah beberapa Minggu sejak bayi kami gugur, tidak ada nasi yang mengisi perutnya. Dia kehilangan selera makannya sejak kepergian calon bayi kami. Namun, satu Minggu terakhir ini, dia sudah kembali mau makan dan beraktivitas seperti biasa.Tiga bulan berlalu, aku masih menganggur.Aku belum bekerja di mana pun. Lamaran pekerjaan yang kumasukkan ke beberapa perusahaan, nyaris tidak ada yang nyangkut. Tidak ada ajakan interview satu pun yang kudapat. Padahal, pengalaman kerjaku sudah sangat jelas. Entah apa yang salah.Sekarang sudah awal bulan. Biasanya, aku akan memberikan Hilma uang bulanan. Sejak aku resign, aku benar-benar tidak memiliki pemasukan. Melainkan terus melakukan pengeluaran.Uang di tabunganku memang masih
Bulan demi bulan berlalu.Malam ini, aku sendirian di sofa ruang bermain. Hilma di dalam kamar bersama si kembar. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tetapi, aku belum mengantuk.Aku gelisah.Karena belum juga mendapatkan pekerjaan sesuai pengalamanku. Semua perusahaan di mana aku memasukkan lamaran, tidak ada satu pun aku mendapat panggilan.Ke sana ke mari aku mencari, merecoki Fahreza setiap sore, tetapi belum juga mendapatkan. Ibu dan Bapak terus mendesak agar aku berjualan seperti mereka. Membuka warung di depan rumah ini. Membongkar setengah dari pagar yang terpasang untuk dijadikan toko. Namun, aku masih belum setuju. Skill-ku bukan berdagang seperti mereka. Melainkan bekerja di balik layar laptop dan menangani banyak berkas.Kini terhitung sudah enam bulan aku menganggur. Uang bulanan untuk Hilma bahkan semakin aku pangkas. Tapi dia tidak pernah mengeluh atau apa. Dia bahkan selalu berterima kasih dan bersyukur atas apa yang kuberikan. Sungguh, aku semakin merasa tida