Andira melangkah masuk sementara Martin menutup pintu, dia juga berjalan lincah dan mulai menghangatkan ruangan, memberikan Andira selimut dan menyuruhnya untuk duduk. Andira mengeringkan tubuhnya baru setelah itu duduk dengan berselimut di sofa. Andira terlihat masih menggigil. Dan ruangan itu mulai terasa hangatnya, Martin terlihat membuat sesuatu di dapur, sebuah coklat hangat dan roti coklat yang terdapat di dapur untuk Andira. Langkahnya lincah setelah dia selesai membuat coklat hangat juga menyiapkan roti coklat untuk Andira. Dia menuju ke arah sofa dimana Andria duduk, dan Martin duduk di samping gadis itu. Tak lupa memberikan coklat hangat dan juga roti coklat untuk Andira. Gadis itu menggenggam gelasnya juga rotinya, sementara Martin terlihat merapikan selimut yang membalut tubuh Andira. "Kenapa malam-malam begini?" tanya Martin, dia sedikit membungkuk menatap Andira yang sedang meminum coklat hangatnya dan mulai memakan rotinya. Dia terlihat mengunyah dan menelannya lalu
Langit kembali mendung, di siang hari yang biasanya cerah terlihat lebih gelap dan murung. Pemakaman Bi Ana telah dilakukan, dan kini, hanya Andira juga Martin yang berada berhadapan, tadi saja, Sabina tak ingin pergi dari tempat pemakaman Bi Ana, namun Ibrahim membawanya pergi, Raisi juga sempat hadir dan pada akhirnya pergi, Martin terlihat lusuh, dan Andira kini berlutut di samping makam itu, menatapi nisan yang bertuliskan nama ibunya. Bibirnya bergetar dan matanya meneteskan air mata. Dan Martin hanya bisa memandang Andira dengan tatapan pasrah dan berduka. Gadis ini terus merengek dan menyandarkan kepalanya pada nisan tang tertancap. Dan pada akhirnya, turunlah hujan dan membasahi bumi. Air mata Andira mengalir seperti derasnya hujan saat itu. Kedua tangan Martin berada di dalam sakunya dan perlahan membungkuk lalu jongkok setengah mengelus lembut punggung Andira. Dia merangkulnya dan berkata, "Kau akan demam jika terus di sini," ucapnya lembut, terdengar di telinga Andira.
"Kau katakan bahwa jika aku mendengarkanmu maka ibuku akan baik-baik saja!" Andira dengan suara keras membentak Ibrahim yang duduk di kursinya, dia terlihat mengerjakan sesuatu di mejanya. "Well, kenapa begitu sedih, bukankah dia bukan ibu kangdungmu?" Matanya menatap Andira yang berdiri di hadapannya. Bibi Andira terbuka tipis, matanya menatap dengan nanar, dan nafasnya putus-putus, dia merasa sesak lalu akhirnya duduk di kursi yang telah disediakan di hadapannya. "Aku tidak akan pernah memaafkanmu! Kau melakukan semua ini hanya untuk dirimu saja, kau tidak peduli denganku, dengan ibuku....""Ibumu? Bi Ana bukan ibumu Andira!""Lalu siapa ibuku? Siapa orang tuaku Ha? Kau menghancurkan ku sejak awal! Kenapa kau melakukan ini padaku!?" Andira berdiri dan memukul meja dengan sangat keras, kedua tangannya tak merasakan panas dengan pukulan di meja, namun matanya sungguh nanar memandang Ibrahim. "Andira..., Kau membuat masalah dengan tidak mendengarkan ku, kau bahkan tidak ingin kemba
Martin berjalan masuk ke dalam gedung perusahaannya yang besar, kali ini dia hanya mengenakan kaos biasa tanpa setelan jas yang mewah, dan dengan hanya celana santai panjang biasa. Dia menjadi bahan pembicaraan di sana, tujuannya juga hanya satu, dia hanya ingin mengetahui apakah terjadi sesuatu pada bisnisnya, dan kini dia mengadakan rapat dadakan dimana dia akan menjalankan sesuatu yang tidak akan merugikan perusahaannya. "Dimana Ibrahim?" tanyanya saat dia sama sekali tidak menemukan Ibrahim di kursinya. "Dia meminta izin hari ini untuk tidak datang, Pak.""Lagi?""Ini hari pertamanya izin dalam waktu sebulan, Pak." "Baiklah kita mulai tanpa dia, rapatnya." Para karyawan sudah sudah duduk di kursinya masing-masing dan Martin memulai rapatnya. Ini adalah pertama kalinya Martin menghadiri rapat tanpa pakaian resmi, tidak masalah, siapa yang akan marah, toh dia pemilik utama perusahannya. Dan hal yang dia bicarakan adalah rencana yang akan dilakukan oleh perusahaannya jika kembali
Sebuah kamar hotel yang terlihat berantakan, Raisi bersama Lizzia terlihat pulas tertidur di ranjangnya. Mereka sudah melalui malam yang liar dan hebat, juga menyenangkan, dan hal yang disukai Raisi adalah saat dia mampu melupakan Andira ketika bersama Lizzia. "Pagi," kata singkat yang diucapkan Lizzia saat dia membuka matanya dan Raisi sedang menatapnya. "Pagi," balas Raisi, mereka saling menatap dengan selimut yang menutupi separuh tubuh mereka.Dan mereka hanya saling bertatap-tatap hingga ponsel Lizzia kemudian berdering. "Tunggu," ucapnya, dia membangunkan tubuhnya dan mengambil ponselnya yang berada di atas meja kecil di samping tempat tidur. Dia melihat nama Nigel di dalam ponselnya. "Iya, ayah?" "Kau dimana? Ha? Kenapa tidak pulang dan tidak memberitahuku?!" Suaranya membentak, mendengar itu, Lizzia merasa sedikit panik, tubuh eksotis yang indah itu turun dari ranjang, dia nampak tak memakai busana apapun, dia menghindar dari Raisi, dan masuk ke dalam kamar mandi. "Aku s
Lizzia beberapa kali menelan ludahnya saat dia menemukan bahwa Nigel saat ini tepat berada di hadapannya. Matanya cukup membulat dan rasa takut muncul dalam dirinya akan dihukum. Dia sedikit memundurkan tubuhnya dan bibirnya sedikit menganga, kedua kelopak matanya juga berkaca-kaca. "Hello sayang," ucap Nigel, tersenyum pada Lizzia yang kini berusaha menggerakkan tangannya dan ingin menutup pintu, namun tangan Nigel dengan cepat menahan pintunya dari depan dan dia juga melangkah masuk hingga ke bingkai pintu. "Dengan siapa lagi kau tidur malam ini? Kenapa tidak memberitahu ayah? Sayangku?" Lizzia tidak menjawab, dia hanya menelan ludah, bibirnya kaku, dan tiba-tiba, Raisi yang terlihat mengenakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya kini muncul dan berkata, "Ada apa? Zia? Kenapa berhenti?" Raisi bertanya namun pertanyaan itu terjawab saat dia sendiri melihat Nigel di hadapan Lizzia. "Halo Raisi, bagaimana kabarmu keponakanku? Bagaimana dengan ayahmu?" tanyanya, dia masih be
Martin dan Syarif saat ini menuju ke rumah Ibrahim, dia sudah menghubungi Ibrahim berkali-kali, namun Ibrahim tidak menjawab bahkan beberapa saat yang lalu ponselnya sudah tidak dapat dihubungi. Martin terlihat tenang, namun dalam benaknya betul-betul berpikir keras, dimana adiknya? Dimana Hatice? Kenapa harus Hatice? Apa salah adiknya? Pertanyaan itu terus menjelma dalam benak Martin. Bukan hanya ke rumah Ibrahim, namun Martin juga akan ke suatu tempat yang lain.Dia akan ke rumah teman Syarif, seorang pengangguran yang pandai dalam semua hal yang berbau teknologi, komputer, dan bahkan meretas, walau Martin tau bahwa Ibrahim juga cukup pandai dalam melakukan hal yang berbau teknologi dan sebagainya, namun dia tidak ingin bekerjasama dengan Ibrahim, dia sudah muak dengan pria yang satu ini. "Martin?" Ibrahim saat membuka pintu dan melihat Martin tepat berada di hadapannya. "Sore, Ibrahim," sapa Martin. Ibrahim, dia terlihat menampilkan wajah lusuh dsn terkejut, rambutnya agak berant
"Apa kau yakin melihat bercak darah di sini?" tanya Ibrahim pada Syarif yang sedang membungkuk memeriksa, dimana bercak darahnya? Dimana pecahan belingnya? Kenapa semuanya hilang? Beberapa helai rambut, kenapa bisa menghilang secara tiba-tiba? "Aku yakin.""Aku rasa kau hanya melamun sejak tadi, ayo, kita masih punya banyak urusan," ucap Martin. Sementara Syarif, dia menatap Ibrahim dengan tatapan curiga, dia semakin curiga saat dia melihat leher Ibrahim seperti berkeringat. Namun tanpa bukti, dia tidak bisa menuduhnya, apalagi, Martin sudah terlanjur percaya dengan Ibrahim. "Bukan percaya, hanya saja tidak mungkin dia melakukannya, dia," kata Martin, mereka berjalan ke arah mobil. Syarif hanya menggeleng, dia terlihat mengambil catatannya, dia menulis sesuatu. "Tersangka pertama, Ibrahim." Dia mengucapkannya sambil menulisnya di dalam catatannya. "Kenapa menjadikan Ibrahim sebagai tersangka?" "Siapa saja bisa menjadi tersangka, bahkan Anda Tuan," kata Syarif, kemudian membuat
"Kau sudah mendapatkan, dia kan?" tanya Ibrahim yang sekarang berada di hadapan Nigel. "Cepatlah akhiri ini, Nigel. Kau pasti akan segera mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan?" Ibrahim yang saat ini duduk di hadapan meja Nigel dan Nigel tampak berpikir tetapi tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibrahim. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Ibrahim. Aku tahu kau sangat ingin membunuhnya sama seperti aku ingin sekali melenyapkan dia. Tapi kita tunggu, ya tunggu." Ibrahim tidak senang dengan aoa yang dikatakan Nigel, dia berdiri dan menghentakkan kursi, "Menunggu? Astaga aku sudah sangat lama menunggu dan menantikan momen ini, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya kau rencanakan!" Nigel tersenyum dan ikut berdiri, "Aku sudah katakan padamu. Kau cukup menjaga Andira dan biarkan dia merasa nyaman di sini, karena sebentar lagi dia akan berguna," kaga Nigel yang sekarang berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Ibrah
"Nigel berhasil menangkap ayahmu, Raisi." Suara Litzia tenang. Sedangkan Raisi yang tampak tak berdaya itu hanya bisa menundukkan kepala. Dia lemas dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon. "Akhirnya, dendam Nigel akan terselesaikan. Dia bisa menghabisi ayahku kapan saja. Tapi kenapa dia hanya menangkapnya?" Tatapan Raisi kini mengarah kepada Litzia yang terlihat tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Raisi. Dia bahkan tidak tahu kenapa Nigel tidak menghabisi Martin saat ini juga. Kenapa dia harus menunggu waktu yang lama. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku hanya mau kondisi mu lebih baik Raisi, kau harus makan sesuatu," kata Litzia yang masih menawarkan makanan untuk Raisi, "Jika tidak maka kau akan berada dalam kondisi yang buruk." "Saat ini aku bahkan jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri, Litzia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya makanan." Litzia lalu meraih piring itu dan berusaha untuk membuat Raisi memakan sesuatu, dia menyuapi Raisi dan tidak akan pe
Martin terjatuh dan tidak bisa merasakan tubuhnya, apa yang baru saja dikatakan oleh Nigel adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Martin sudah kehilangan Nadira dan dia tidak bisa kehilangan anak lagi. Tubuhnya yang sudah mulai kurus itu terus dihentakkan lelah Nigel yang penuh dengan kebencian dan dendam. Yang pada akhirnya Nigel mendapatkan Martin hidup-hidup. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Bagi Nigel untuk memberikan penderitaan mutlak pada Martin Dailuna. Martin yang tidak berdaya diseret menuju bangunan tua yang cukup terlihat besar, dan tubuh itu langsung dijatuhkan di atas lantai yang lembab. "Bawa dia ke tempat yang seharusnya." Nigel yang terlihat berjalan pergi dan meninggalkan tubuh Martin yang setengah sadar dan tak berdaya. Dan kemudian dibawalah tubuh itu menuju ke tempat yang seharusnya, dan kemenangan Nigel sudah di depan mata. Andira, Raisi dan Martin, adalah pion untuk balas dendam Nigel. Di sisi lain ada Ibrahim yang sama sekali tidak terima Dnegan sikap
Lalu ketika itu, Martin yang tidak berdaya dan diseret paksa oleh Nigel membuat pria ini, yang sangat tak berdaya dan seolah tak bisa apa-apa dijatuhkan ke atas rerumputan yang lembab. Dia tentu tak bisa melakukan apa pun karena tak bersenjata dan tak ada yang bisa menyelamatkan Martin sekarang, dalam benak Martin mungkin inilah saatnya dia akan tiada. Tetapi apakah Martin akan menyerah bahkan sebelum dia bertemu dengan Andira dan juga Raisi, bagaimana jika kondisi Raisi dan Andira saat ini tidak lagi naik-naik saja dan dalam masalah yang besar? Martin tentu tidak ingin semua itu terjadi apa lagi untuk kehilangan seorang anak lagi, dia tidak mau dan tidak akan membiarkan hal yang tidak senonoh itu terjadi pada keluarganya. "Lihat sekarang diri mu, Martin, kau bukan siapa-siapa lagi dan kau tidak punya apa-apa, kau bahkan tidak tahu caranya melawanku, seakan kau bukan lagi Martin Dailuna." Tawa terdengar dari bibir Nigel, dia kemudian terbahak-bahak dan tak punya belas kasihan kep
Martin menendang senapan yang berada di tangan Nigel dan akhirnya senapan itu terjatuh di atas rerumputan basah di malam hari, dia berlari sekuat mungkin dan Nigel hanya tertawa, berpikir bahwa Martin tidak akan lolos. Senyum jahat tampak di bibirnya yang di mana saat ini, Martin berusaha keras untuk menghindari moncong senjata panas dari Nigel. Sementara itu, langkah kaki Nigel semakin cepat, dan mengikut dengan langkah kaki Martin yang berlari. Nigel menganggap bahwa pantang dilakukan oleh Martin adalah sesuatu yang sia-sia yang membuat Nigel tertawa terbahak-bahak. "Kali ini siapa yang akan menyelamatkan kau, ha, bukanlah yang telah memenjarakan aku selama ini! Martin. Aku selama ini menjadi pelindung kau, tapi apa balasan mu, ha!" Nigel membentak dan ketika Martin terjatuh, dia seolah terjatuh ke dalam sebuah memori yang pernah dialami olehnya sebelumnya, dia dikejar oleh Nigel ketika itu, saat Nigel diperintahkan oleh Mark untuk memata-matai Martin. "Aku tidak mungkin t
Masa lalu adalah yang paling menyakitkan dan yang paling ingin dilupakan oleh Martin Tapi sayangnya orang-orang yang berada di sekitar Martin selalu mengingatkan Martin terhadap Apa yang membuat pria setengah baya ini selalu terluka. Tak ada yang bisa dilakukan Martin sekarang di hadapan moncong senapan yang dihadapkan ke arah kepala Martin dan hanya satu gerakan saja ketika jari Nigel menarik pelatuk itu maka meledak lah kepala Martin. Sementara pria ini hanya menunggu kapan Nigel akan meledakkan kepalanya dan dia akan terbebas dengan apa yang selama ini terjadi tetapi sayangnya hal yang paling diinginkan Martin saat ini adalah untuk membebaskan Raisi dan Andira. Tetapi di mana Andira saat ini? Tentu Hal itu membuat Martin merasa bingung luar biasa dan ingin segera menemukan di mana mereka berdua karena jika Martin tiada sebelum menemukan Andira dan Raisi, maka kehidupan Martin akan berakhir dalam ketidaktenangan. "Sebelum kau menarik pelatuk itu, sebaiknya kau katakan apa yang s
"Aku tidak percaya aku bisa menemukan kau di sini, Martin Dailuna." Suara yang begitu mengagetkan, Martin yang berada di tengah hutan saat ini, di malam hari dan masih dalam perjalanan di mana dia harus menemukan bangunan tua di mana Nigel menyembunyikan Andira. Ketika Martin berbalik kemudian Martin melihat siapa yang berada di belakang Martin, yang di mana saat itu dan yang berada di belakang Martin ternyata adalah Nigel. Dengan senapan di tangan Nigel dan ditodongkan tepat ke arah kepala Martin membuat pria setengah bahaya ini langsung mengangkat kedua tangannya dan saling berhadapan dengan Nigel Dailuna. Beberapa kali Martin menelan saliva dan tentu saja terkejut dengan apa yang baru saja dilihat oleh Martin dan siapa yang berada di hadapan pria setengah baya ini. "Sangat mengejutkan bahwa aku bisa menemukan engkau di malam hari tepat di tengah hutan ketika aku sedang ingin berburu, yang pada akhirnya buruhan ku pun aku temukan." Nigel membuat Martin merasa bahwa Martin haru
Terjadi kekacauan antara Sarah dan Randy, di mana mereka berdua tidak ada satu pun yang bisa saling meredakan, kini hanya ada Ray yang melihat aksi Sarah dan Randy yang sekarang berlutut di lantai sambil meraih pecahan demi pecahan yang ada di atas lantai. Pecahan biola yang kini remuk dan tidak utuh lagi serta tali biola dan tak akan bisa utuh secara instan, atau mungkin dia harus membuang biola itu, Sarah langsung tersadar bahwa dia sedang melakukan sebuah kesalahan yang membuat hati Randy patah. Tentu hal ini membuat Sarah menyesal luar biasa, dia lalu dengan perlahan ikut berlutut di hadapan Randy sementara Ray hanya diam sambil menggelengkan kepala melihat aksi kakaknya itu. "Keluar." Randy bergumam dan Sarah mengabaikan ucapan Randy, dia tetap membantu Randy memungut serpihan biola itu, yang hanya membuat Randy merasa kesal dan berkata, "Aku bilang keluar dari sini!" Sebuah suara yang kini membentak dan membuat Saran terhentak. "Ibu minta maaf, sayang," kata Sarah tapi Randy
"Ibu hanya ingin memastikan, Randy bahwa sama sekali tidak ada masalah di sekolah lagi, agar kau bisa belajar dengan tenang, atau Ibu mungkin akan membawa kau ke sekolah lain," kata Sarah yang mengelus lembut rambut Randy tapi Randy memalingkan wajah dan tidak senang dengan jawaban sang ibu. "Itu hanya akan memperburuk masalah Ibu, jika Ibu datang ke sekolah dan memarahi anak nakal itu, maka mereka tidak akan berhenti mengganggu aku," kaya Randy dengan nada suara yang kesal. "Tapi sayang ibu hanya berusaha melakukan sesuatu yang terbaik untukmu," ucap Sarah sekali lagi tapi Randy tidak peduli, dia memalingkan wajah dan tidak senang dengan sang ibu, membuat Sarah merasa tersindir, dia sudah melakukan hal yang luar biasa untuk Randy tapi bahkan untuk saat ini Randy masih saja tidak melihat kepedulian ibunya sendiri. "Kenapa Ibu tidak bisa diam, seharusnya ibu duam saja dan tidak usah melakukan apa pun," kata Randy sambil menghentakkan tangan Sarah yang mengelus lembut rambut Randy, k