Hari telah Semakin gelap. Suara hewan kecil mulai terdengar dari kebun di belakang rumah ini. Jarum jam menunjuk angka sepuluh.
Kondisi rumah telah sepi, kedua buah hatiku sudah terlelap sejak lepas Isya' tadi. Mas Ari juga sudah terlelap, menyusul anak-anak yang tertidur oleh dongeng kancil dan harimau menjelang tidur mereka malam ini.Kini seorang diri aku berkutat dengan rekap orderan dari toko online. Rasa lelah kuabaikan, demi kepuasan konsumen dan pelanggan."Dek, maafkan Mas."Terlonjak aku dari kursi tempat aku menyerahkan bobot tubuh ini. Bolpoin yang kupakai untuk merekap orderan online ikut terjatuh. Lagi, ia mengejutkan aku. Mengumpulkan kesadaran beberapa saat, meyakinkan diri kalau yang hadir adalah Mas Ari, suamiku."Maaf? Maaf untuk apa, Mas?" tanyaku setelah degup jantung kembali normal."Soal itu … uang cicilan mobil, Dek."Ia berkata dengan menundukkan wajah, seakan merasa bersalah. Ada apa dengan suAku kehabisan kata mendengar pengakuan suamiku. Keyakinannya begitu besar bahwa aku akan menuruti segala permintaan Mama. "Kamu kenapa sih, Dek, kok gitu jawabnya?"Ia memegang kedua pundakku, seakan memastikan kalau aku baik-baik saja. Kedua bola mata kami bertemu, aku mencari kebenaran di dalam sana."Memangnya harus jawab bagaimana?""Ya, biasanya kan, kamu bisa jawab panjang lebar, nggak pendek-pendek gini, Dek."Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Mas Ari benar, aku bisa bicara sepanjang jalan kereta api saat menemui hal tak wajar, atau tak sesuai ekspektasi. Tapi itu dulu, sebelum aku menyadari ada dusta di antara kami, dari ia yang kusebut suami. Belakangan ini aku tak lagi mengeluarkan banyak kata padanya, lebih banyak mengamati saja. Menunggu waktu yang tepat untuk memangsa. "Aku capek, Mas. Mau istirahat."Aku bangkit dari duduk, bermaksud ke kamar karena mendengar suara dari sana. Tapi suara
Kedua bola mata itu nampak membola saat melihat apa yang tertera di dalam foto-foto tersebut. Ada gunanya juga menyimpan foto ini. "Slip gaji kamu," sahutku cepat. "Dan nggak pernah dipotong," tambahku lagi.Ia terperangah. Mungkin tak menyangka aku menyimpan bukti ketidakjujurannya. Jawaban apa lagi yang akan kamu sampaikan setelah ini, Mas?"Tahu slip gaji Mas dari mana?" tanya Mas Ari sambil menatap gelisah ke arahku. Ari. Lelaki berparas tampan yang hampir lima tahun lalu sempat membuatku merasa jadi istri paling beruntung. Dia sangat memanjakan aku, tapi tetap mengagungkan Mama. Hanya saja, kebaikannya berlangsung di awal pernikahan saja.Sepertinya ia telah lupa, bahwa ia rela menunggu enam tahun lamanya demi bisa kuterima sebagai pasangan hidup.Ya, ia telah menunggu selama enam tahun sebelum akhirnya aku menerima sebagai calon suami. Ia berjuang merebut hatiku, meyakinkan bahwa aku akan bahagia jika
"Gaji kamu lima juta, kamu beri untukku dua juta. Coba hitung, lebih besar mana yang kau beri, untuk Mama, atau untuk istri dan anakmu, Mas?"Ia masih tertunduk, bahkan semakin dalam."Aku tak melihat kehidupan Mama dalam kondisi kekurangan, bahkan Mama bisa membeli baju bermerk beberapa helai dalam satu kali belanja," lanjutku lagi.Mama sudah sering keluar masuk butik demi koleksi pakaian bermerk. Salah satunya ke toko pakaian milikku beberapa waktu yang lalu. Awal aku menjadi menantu, minimal satu kali dalam seminggu Mama pasti membawa pulang goodie bag berisi pakaian mewah. Aku tak berani berkomentar karena bukan ranahku."Tolong, Dek, ijinkan aku tetap berbakti pada Mama, kamu nggak mau kan, kalau Mas jadi anak durhaka?" pinta dan tanya Mas Ari, setengah memohon."Kamu memang anak berbakti, Mas. Kamu sangat menyayangi Mama, itu juga yang membuat aku dulu mau menerima. Sependek yang aku tau, jika anak lelaki menya
Pagi telah menjelang. Aku bangun dengan kepala berat sebab semalam tidurku kurang.Anak-anak menikmati cemilan yang dibeli bersama sang Ayah di warung tetangga. Mereka sambil menikmati kartun kesayangan. Mas Ari menyeruput kopi ditemani sepiring ubi ungu kukus."Hueekk ... ."Tiba-tiba terdengar suara dari Mas Ari di dapur. Tak lama kemudian ia membuang ludah beberapa kali."Ayah kenapa, Bu?" Kakak spontan bertanya."Nggak tau. Ibu lihat dulu, ya," pamitku, kemudian beranjak ke dapur.Lagi, ia membuang ludah beberapa kali. Penasaran, aku mendekati Mas Ari, ingin melihat apa yang terjadi."Kenapa Mas?" tanyaku setelah jarak kami hanya setengah meter."Ubinya ini ada ulatnya, Dek. Pahit."Duh, aku jadi merasa bersalah. Warna ubi yang gelap membuat aku tak melihat lubang yang berisi ulat. Jika warna ubi yang lain, biasanya langsung dibersihkan.Ia mulai berkumur beberapa kali demi menghilangkan rasa pahit di lidah."Maaf ya, Mas," ucapku
Pembicaraan berakhir saat terdengar bunyi klik.Anak-anak menurut saat kuajak pulang karena kedatangan tamu. Tak lupa aku mampir di warung tetangga untuk membeli jajanan untuk suguhan.Empat puluh menit kemudian, sebuah Honda jazz warna silver berhenti di depan pagar. Aku melambaikan tangan saat si empunya membuka pintu dan menampakkan diri.Putri membawa mobilnya parkir di halaman rumah supaya tidak menghalangi jalan."Hebat ih, bisa nyampe sini. Nyasar nggak?" tanyaku setelah cipika cipiki dan berpelukan erat sejenak."Enggak, dong. Aku kan beberapa kali lewat daerah sini."Ia melangkahkan kaki memasuki ruang tamu. Anak-anak mengekor di belakangku nampak malu-malu."Hai cantik, ganteng … ini buat kalian, semoga suka ya," Putri mengulurkan godie bag, serta satu kantong plastik besar bertuliskan minimarket berlogo lebah."Ini Tante Putri, masih ingat nggak, Sayang?" tanyaku pada mereka setelah semua duduk. Mereka hanya manggut-manggut.
Jarum jam menunjuk angka tiga, Putri pamit pulang setelah mengajari aku mengendarai Honda jazz miliknya. "Sudah lumayan, lain kali kita belajar lagi ya, kalau kita sama-sama longgar."Ucapan Putri membuat aku bersemangat untuk bisa mengendarai kendaraan roda empat. Ternyata tak sesulit yang kubayangkan. Meski aku sempat menolak, tapi Putri tak menyerah begitu saja."Nggak usah takut mobilku lecet, bengkel kan banyak," ucapnya kemudian diiringi gelak tawa. Sedangkan aku hanya nyengir kuda.Semudah itu ia mengatakan bengkel banyak, padahal biaya memperbaiki cat mobil lecet juga tak sedikit.Tiba-tiba saja aku membayangkan, ada nama toko beserta nomer telepon milikku di kaca belakang mobil. Jadi kalau jalan kemana-mana, secara nggak langsung aku sedang memasang iklan.Ah, andai saja aku bisa membicarakan ini dengan suamiku, tentu semua akan lebih mudah diwujudkan. Kini justru aku melihat Mas Ari mulai menginginkan uang ha
"Ayah mana ya, Bu, kok belum pulang?"Kedua anakku mulai gelisah. Sejak sejam yang lalu sudah mondar-mandir keluar masuk rumah, melihat ke ujung jalan di mana biasanya motor ayahnya muncul. Aku sendiri pun heran, tak biasanya Mas Ari pulang terlambat. Memberi kabar pun tidak. Entah apa yang terjadi. Mencoba menghubungi ponselnya juga tidak tersambung."Maaf ya, Sayang, mungkin pekerjaan Ayah masih banyak, jadi belum bisa pulang."Aku mencoba memberi pengertian pada mereka berdua, sedang diri sendiri tak yakin kebenarannya. Entahlah, aku hanya mencoba berpikir positif. Semoga tidak terjadi hal buruk pada ayah kedua anakku."Jangan-jangan jalannya macet ya, Bu? Jadi motor Ayah nggak bisa lewat?"Bibirku melengkungkan senyum mendengar penuturannya."Mungkin saja, Sayang."Suara mengaji mulai terdengar dari masjid dekat rumah. Tanda bahwa sebentar lagi adzan Maghrib berkumandang. Aku mengajak mereka berdua masuk dan menutup pintu serta jendela."Kakak kangen Ayah, Bu."Anak sulungku mulai
Hari-hari berikutnya, Mas Ari benar-benar berangkat pagi pulang malam. Ia semakin jarang bertemu dengan anak-anak di saat malam karena mereka telah terlelap sebelum ia datang."Mas harus berangkat pagi, soalnya bareng teman ke sana. Dia bawa mobil, kami berempat berangkatnya."Ia menjelaskan tanpa diminta saat awal sekali mulai tugas ke luar kota. Aku iyakan saja dan berpesan supaya hati-hati.Seperti pagi ini, pagi sekali Mas Ari telah siap dengan seragam kerjanya. Anak-anak sudah menunggu di depan pintu. Mereka bangun lebih awal, seakan mengerti kalau sang Ayah akan berangkat pagi sekali."Dek, minta uang bensin dong. Nggak enak Mas numpang tapi nggak ngasih ongkos bensin."Gerakanku terhenti. Mas Ari telah menadahkan tangan di sampingku yang sedang berdiri di depan kompor. Ini bukan yang pertama kali, setidaknya dalam dua minggu terakhir sudah enam kali. Entah ke mana uang gajinya, aku sudah tak terlalu mempersoalkan."Ayo, b
Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h
Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud
Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah
"Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika
Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana
Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa
Waktu sudah mulai malam. Kediaman Lisa mulai senyap setelah semua penghuni berada di kamar masing-masing.Istri dari Mirza itu sudah mencoba memejamkan mata, tapi belum berhasil juga. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Wajah keponakan barunya mendominasi ingatannya kali ini.Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat ia menoleh pada pemiliknya. Lalu wajah tampan suaminya, segera memenuhi ruang pandangnya."Sudah malam, masih terjaga aja kamu, Sayang," ucap Mirza masih dengan mata terpejam.Lisa sedikit terkejut saat mendapati sang suami masih terjaga. Ia pun menghela napas, lalu berkata, "Aku kepikiran Wahyu, Mas. Kasihan dia. Sudah dapat donor ASI apa belum, ya?" Lisa berucap pelan."Coba aku masih mengASIhi Najwa, ya, kurasa mereka tak akan sibuk mencari donor ASI. Aku dengan senang hati membagi ASI untuk keponakanku," ucap Lisa dengan menatap tirai jendela yang bergerak-gerak. Rupanya angin malam menyelusup masuk, hingga membuat tirai putih itu meliuk perlahan. Ada sesal
Lisa bergegas kembali ke butik. Masih banyak pekerjaan yang perlu ia selesaikan. Meski dengan rindu pada anak-anak yang terus menumpuk jika ia bepergian seorang diri seperti sekarang, tapi, ia merasa tenang sebab memiliki asisten yang bisa dipercaya.Mbak Asih meski masih muda, tapi sangat telaten menghadapi anak-anak. Pun Bu Marni, ikut andil juga dalam tumbuh kembang ketiga anaknya.Memasuki ruangan untuk beristirahat sejenak, Lisa pun membaur ke depan bersama karyawannya. Saat meneliti sebuah gaun berwarna merah marun, tiba-tiba saja Maya memberikan kode, kalau ia harus melihat ke suatu tempat.Kepala itu pun menoleh, lantas melebarkan mata sejenak, saat melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di balik pintu kaca. Tepatnya di seberang tokonya."Itu adik Mbak Lisa, bukan?" tanya Maya dengan berbisik. Lisa mengangguk, tapi ada sedikit keraguan. Alih-alih menjawab, sosok dengan tinggi seratus enam puluh centimeter itu justru mengajukan tanya."Boleh Mbak minta tolong?" pinta Lisa
Lisa sedang memeriksa stok pakaian serta beberapa desain yang baru masuk di butiknya, saat ponselnya berdering."Mbak Lisa, keponakan kamu sudah lahir."Itulah kalimat yang pertama menyapa saat sambungan telepon tersambung. Suara yang dikenali sebagai suara Rahmi."Cowok, Mbak. Lahir normal dua jam lalu. Maaf, baru kasih kabar," sambung Rahmi lagi sebelum Lisa sempat berucap sepatah kata. Kedua sudut bibir Lisa langsung membentuk lengkungan senyum menerima kabar itu."Alhamdulillah, selamat ya, Dek. Selamat menjadi ibu," ucap Lisa dengan suara tercekat. Ia teringat perjuangan adiknya selama menjalani kehamilan. Beberapa kali harus dirawat di rumah sakit sebab lemahnya kondisi.Usai mengucapkan selamat, ia pun berjanji akan segera berkunjung setelah pekerjaannya selesai.Dan rasa bahagia sebab bertambahnya anggota keluarga baru, membuat Lisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Pucuk pimpinan Lisa Boutique itu pun segera mene