“Menangis adalah caraku mengungkapkan kesediaan di saat bibir ini tidak mampu lagi menjelaskan tentang rasa sakit.” Alina Putri.Pasrah, sementara cara itulah yang bisa dilakukan Alina, sepulang dari apartemen yang ditempati Fatih.Sekuat apapun menahan rasa sakit, tetap tidak bisa membelokkan kenyataan bahwa Fatih dan Anita telah mengkhianatinya. Perih yang tak terkira, membuat tubuh Alina lemah. Bahkan semalaman, ia hanya makan sepotong roti dan segelas susu. Itupun terpaksa ia telan karena tidak ingin anak dalam rahimnya kelaparan.Pagi hari, sakit pada kepalanya semakin menjadi, hingga membuat Alina terpaksa meminta izin untuk absen bekerja.“Aku gak bisa seperti ini terus. Percuma berusaha mengejar simpati mbak Nita dan mas Fatih, mereka tidak akan memperdulikan aku. Pantas saja mereka berusaha menyingkirkan aku.”Kepala enggan berpindah dari bantal. Rasa sakit di hatinya tentu tidak bisa diabaikan. Ia hanya bisa pasrah.“Kira-kira, bisa gak ya, kontrak kerjanya dibatalkan? Aku g
Fatih terdiam tanpa menimpali. Membiarkan Alina menangis dan mengumpat. Sudah seharusnya Alina mengetahui hubungannya dengan Anita.“Silahkan membenci. Aku dan mbakmu sudah lama saling mencintai jauh sebelum mengenalmu. Jadi, perasaan kami tidak mungkin bisa hilang dalam hitungan hari.”Alina menutup telinga, dadanya terasa panas oleh pengakuan yang Fatih baru saja ia dengar.“Kenapa kalian nggak ngomong sebelum kita menikah?”“Karena papamu sakit. Apa kamu nggak lihat bagaimana ibu berusaha meyakinkan papamu kalau sebaiknya tidak melanjutkannya perjodohan itu?”“Aku nggak tau. Kalau aku tau kalian saling mencintai, aku nggak mungkin menyetujui perjodohan itu.”“Bulshit! Kamu keliatan tenang-tenang saja tanpa berusaha bertanya pada mbakmu yang berusaha menutupi luka batinnya.”“Aku benar-benar nggak tau kalau mbak Nita sering menangis karena masalah itu.”“Cukup! Tak perlu membahasnya lagi. Toh tidak akan mungkin mengembalikan keadaan seperti semula,” ucap Fatih dengan nada ketus.“Ak
Dalam perjalanan pun, Fatih dan Alina masih saja berdebat. Alina yang tak berdaya dengan perintah Fatih, akhirnya mengikuti perkataan Fatih untuk berpindah dari kosan itu.“Kalau nanti rumahnya tidak membuatmu nyaman, kamu boleh mengubah semua tatanan di sana sesuatu seleramu biar kamu betah, ucap Fatih sambil menjalankan mobil.“Kenapa nggak sekalian dibuat sesuka hati Mas Fatih saja? Aku jadinya nggak perlu memilih ini dan itu. Buat apa jika ujung-ujungnya apapun pilihanku tidak dianggap.” Alina menanggapi.“Aku nggak mau berdebat lagi. Capek,” balas Fatih.“Aku lebih capek lagi. Hidup dibikin mainan sama kalian berdua.”“Sebaiknya kamu diam mulai sekarang.”“Jika aku diam dan mengalah, bukan berarti pasrah. Aku butuh jeda demi menata hati,” ucap Alina.“Sudah, dong, Al. Aku hanya ingin kalian mendapat tempat tinggal yang layak. Jangan berlebihanlah!”“Kemarin Mas bilang, kalau aku harus mandiri, harus bisa menyelesaikan masalah sendiri, dan jangan tergantung kepada orang lain.”“Bi
“Kenapa? Kamu mau mempermainkan aku?” Anita mulai bernada tinggi.“Tidak untuk saat ini, Nita. Apa kamu nggak tau kalau adikmu itu sedang hamil?”“Ha-hamil!”Anita terkejut, tapi bukan karena mendengar Alina hamil. Melainkan karena mengetahui bahwa Fatih mengetahui Alina sedang hamil.“Alina gak bilang?”“Ng-nggak. Aku sudah empat hari ini gak ketemu Alina.”“Nita dengarkan, kita gak bisa buru-buru menikah. Aku harus menunggu kelahiran Alina dulu.”“Jadi ... harus diundur lagi?”“Nita, hanya sembilan bulan. Bahkan gak nyampe. Aku ingin memastikan kalau Alina dan bayinya dalam keadaan baik sampai lahiran. Aku mengharapkan anak itu.”Fatih menggenggam jemari Anita, meminta agar bersabar.“Aku sudah menunggu bertahun-tahun, Fatih.”“Aku tau. Yang penting, Alina sudah aman di rumah yang baru. Dia pasti akan baik-baik saja.”“Benar dugaanku, kamu membelikannya rumah.”“Tempat tinggal untuk anakku, Nita. Aku nggak mau anakku terlantar. Lagipula, tidak semewah rumah yang akan kita tinggali n
Fatih bukannya tidak tau tentang perubahan sikap Anita yang akhir-akhir ini sering bepergian ke luar kota. Awalnya, Anita memberikan alasan pekerjaan. Padahal saat itu, dari kantor Anita tidak sedang mengerjakan proyek.Kedua, kejanggalan-kejanggalan yang tidak masuk logika.“Aku pergi ke luar kota, Yang, ziarah ke makam saudara papa.”“Oh,” hanya itu respon Fatih. Jika ke makam saudara papanya, kenapa Alina tidak diajak? Bahkan Alina tidak pernah mengunjungi makam itu.Fatih menjalankan mobilnya, mengikut arah mobil Anita yang dikendarai seorang diri. Ia ingin memastikan jika, Anita menuju arah yang sama dalam penyelidikannya.“Halo.” Fatih berucap melalui sambungan telepon.“Ya , pak.”“Mobil warna silver yang berada tepat di depanku.”“Iya, siap!”Fatih menepikan kendaraan. Mengamati dari kejauhan badan kendaraan Anita yang semakin jauh meninggalkannya. Posisi Fatih saat ini digantikan oleh seseorang yang ia sewa untuk menyelidiki keberadaan makam yang sering dikunjungi Anita.Ia m
“Kamu sudah mengenalku hampir satu tahun. Masih juga tersakiti dengan watakku yang seperti ini, Alina-Alina!”“Karena ucapanmu tidak pernah menenteramkan hati. Ucapanmu selalu menghakimiku seolah-olah hanya aku di sini yang bersalah. Aku gak bisa didikte seperti ini, Mas.”“Hey!” Fatih menghentikan aktivitasnya, lalu duduk di samping Alina.“Aku tidak pernah mendiktemu. Kamu dan aku akan melakukan peran masing-masing.”“Tau gak, kamu menyulitkan aku.”“Siapa yang menyulitkan siapa di sini, Al? Aku taukah kamu yang menjadi korbannya, hah!”“Kalau aku mengaku salah, lantas Mas akan melepaskan aku begitu saja?”“Tidak akan. Karena kamu sudah menjadi hal penting di kehidupan anakku nanti.”“Aku capek, kita sudahi saja kesulitan ini.”“Apanya yang mau disudahi, kita tidak pernah memulai.”“Cukup, Mas! Aku nggak bisa jika hidup tertekan seperti ini.”“Alina! Bukan aku yang menekan, tapi sifat manjamu itu yang seolah memenjarakan kamu makin jauh dari kemudahan. Stop menganggap aku penyulit h
“Ini uang untuk satu bulan.”“Untuk apa?” tanya Alina bingung.“Biaya makan.”“Aku masih punya uang yang—““Jangan membantah, ambil saja.” Fatih mendekatkan amlop itu ke tangan Alina.“Biaya makan. Kurasa cukup juga untuk menggaji seorang pembantu.”“Iya, terima kasih.” Alina menarik amlop yang berisi uang itu.“Satu lagi ...,” ucap Fatih menggantung.Alina mengernyitkan dahi menunggu sambungan ucapan Fatih, tetapi lelaki itu diam saja. Malahan, tatapannya mengarah kepada Alina tanpa berkedip membuat Alina salah tingkah, lalu menunduk.“Apa?” tanya Alina akhirnya dengan rasa penasaran.“Karena kita tinggal satu rumah, jadi ... Aku merujukmu menjadi istriku, Alina.”Seketika itu juga, Alina terhenyak. Buliran-buliran bening berjatuhan.“Kenapa menangis? Terharukah?”Pertanyaan Fatih menjadikan hatinya dua kali lebih sakit.“Aku tau hukum. Tidak mungkin tinggal serumah tetapi tidak mejadikan kamu halal bagiku.”“Terserah Mas. Aku sudah capek. Jadi, menurut saja.”“Tumben nggak mendebat,
“Mas.” Fatih menoleh mendengar panggilan Alina. “Makam malamnya sudah siap.” Alina berpaling meninggalkan Fatih yang segera menutup layar ponselnya.Alina menyiapkan menu yang berbeda. Sedikit berkreasi untuk menaikkan selera makan yang akhir-akhir turun drastis, entah karena sedang mengidam atau karena masalah yang akhir-akhir ini beruntun menghantamnya.Fatih memperhatikan menu di atas meja, ayam goreng, tahu goreng sup dan sambal. Alina memperhatikan respon Fatih pada masakannya. Ia merasa, lelaki itu tidak menyukai menu malam ini. Ia mengambil handphone yang tergeletak di atas lemari dapur dan duduk di hadapan makanan yang sudah terhidang.Alina membuka sebuah aplikasi online yang memang sudah terpasang lama di dalam handphone-nya. Fatih beralih pandang dari makanan ke handphone milik Alina yang kini ada di hadapannya.Alina menyodorkan beberapa menu spesial pada layar.“Silahkan pilih. Maaf, aku Cuma bisa menyediakan menu seperti ini,” ucapan Alina menohok Fatih. Lelaki itu mener
Fatih mendorong pintu apartemen dengan satu tangan, sedangkan satunya lagi menyeret koper. Ia berdiri di sisi pintu. Tatapannya keluar, menunggu Alina yang masih berdiri mematung.“Buruan masuk. Kejutannya sudah menunggu di dalam.”Alina tersenyum manis, lalu masuk melintasi Fatih tanpa berkata apa-apa.“Mana kejutannya.”Belum sempat menoleh untuk menuntut jawaban, Fatih sudah menutup matanya dari belakang.“Eh, kenapa ditutup sih.”“Namanya juga kejutan,” ucap Fatih. Dengan cepat mendorong tubuh Alina sambil tetap menutup matanya.Fatih menghadapkan Alina ke satu tempat.Alina langsung membuka mata. Di hadapannya terbentang ranjang tanpa kelambu. Kelopak mawar merah bertebaran di atas seprai putih. Ada dua bantal dan dua gulung teronggok di sana.“Ini kejutannya?” tanya Alina sembari menoleh Fatih yang baru saja meletakkan dagu di pundaknya..“Bukan” jawabnya singkat. Ia menoleh, membuat hidungnya yang bangir menyentuh pipi Alina.“Mana? Kayaknya memang ini surprise-nya. Kemarin pas
Alina memasukkan pakaian ke dalam koper. Sebagian masih ia simpan di lemari karena tidak mungkin dibawa sekaligus.Tanpa disadari, seseorang berdiri di depan pintu yang sudah tertutup.“Astagfirullah!” kejutnya. “Mas Fatih. Bikin kaget aja. Salam dulu kek,” rutuk Alina.Fatih terkekeh melihat keterkejutan Alina.“Semangat banget yang mau pindahan. Sampai-sampai mas mengucapkan salam gak dengar.”Fatih berjalan, lalu duduk di tepi ranjang. Ia masih rapi dengan koko dan peci. Sebab, baru saja pulang dari jumatan.“Gak dengar, Mas. Aku tuh, masih kepikiran Rey. Habis tamu-tamu pergi, dia juga ngilang gitu aja.” Alina menghentikan aktivitas setelah kopernya penuh.“Palingan menemui Anisa,” balase Fatih.“Mudah-mudahan mereka baik-baik saja. Oya, jam berapa kita pamitannya?”“Sekarang, dong.”Alina menatap, ingin protes.“Kapan-kapan kan bisa ke sini lagi. Rey pasti maklum kalau kita pergi tanpa pamit sama dia. Lagian ....” ucapan Fatih menggantung membuat Alina didera rasa penasaran.“Lag
Jum’at pagi yang cerah, Rey sibuk membantu mamanya mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut keluarga Fatih. Persiapan proses ijab qobul yang direncanakan pukul sepuluh itu sudah matang. Rey dan mamanya benar-benar menyiapkan acara itu dengan suka cita, mengingat hari itu juga Alina akan meninggalkan kediaman mereka.Alina sendiri sudah siap dengan busana pengantinnya. Kebaya putih, lengkap dengan hijabnya. Seorang tata rias datang bersama seorang anak buahnya datang untuk menyulap Alina menjadi bidadari sehari.Butuh waktu satu jam untuk menjadikan Alina berubah menjadi sosok yang Dian sendiri sampai tak mempercayainya.“Al, cantik banget. Fatih pasti tak berkedip lihat kamu nanti,” ucapnya saat Alina berdiri, lalu mematut dirinya di depan cermin yang menjulang tinggi, memastikan jika ucapan Dian itu benar.“Masa sih, Tan.”“Serius tante. Oya, nanti kalau sudah di sana, jangan lupa sering-sering ke sini ya? Tante bakal kesepian pasti.”Alina melebarkan kedua tangannya mendengar Di
“Hai, Fatih. Akhirnya datang juga. Kirain gak jadi datang.”Pria itu, Rama. Suami Anita. Mereka masuk, tanpa sungkan Fatih tetap menggenggam tangan Alina.“Eh, iya. Mau minum apa? Em ... Alina kan?” tiba-tiba Rama menyebut nama Alina yang terlihat gugup.“Oh, iya. Belum kenalan, ya?” balas Fatih.Rama mengulurkan tangan, Alina menyambutnya dengan ragu. Masih sama, tanpa ekspresi apapun.“Oh, iya. Aku ambil minum dulu.”Tama ke belakang. Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Fatih tidak berani memaksa Alina untuk mengubah sikapnya.“Aku mau pulang.”Fatih terkejut, Alina sudah bersiap menegakkan tubuh. Fatih mencegah dengan memegang tangan Alina.“Tunggu sebentar lagi.”Rama muncul dengan membawa nampan.“Maaf agak lama. Pembantu sedang bantuan istri mandiin baby. Ayo silahkan.”“Terima kasih, mestinya gak usah repot-repot. Oya-““Bang ....” Anita keluar dengan menggendong bayinya. “Tolong gendong-“Anita tercekat. Ia menghentikan langkahnya. Dengan tatapan tak percaya menatap dua oran
Rey sudah bersiap mengantar mamanya menggantikan Alina ke panti. Dian tidak mengizinkan Alina keluar rumah, karena sudah mendekati hari pernikahan.“Mama jangan lupa rencana kita,” bisik Rey pada wanita paruh baya itu.“Sip,” jawab Dian santai sambil menyendok nasi dari piring.Alina mengeryit mendengar bisikan keduanya.“Rencana apa, Tan?” tanya Alina penasaran.“Kepo,” jawab Rey sengit.“Ish, gue tanya sama Tante Dian, bukan sama elo.” Alina tak kalah sengit.“Sudah-sudah. Ribut aja.” Dian menengahi. “Si Rey minta ditengahi masalahnya.”“Bilang aja minta dicomblangi.”“Ngeledek terooos.”“Langsung aja samperin ke rumahnya. Kata Mas Fatih, abahnya baik kok.”“Baik sama Mas Fatih, belum tentu baik sama gue, Al.”“Sama saja, sih! Anisa kan sedang menimbang. Nah, itu kesempatan lo datang buat mendekati abahnya.”Rey terdiam. Cukup lama di meja makan dalam keheningan.“Mama sih, terserah Rey aja. Semakin cepat, semakin bagus. Betul tuh usulan Alina. Gak ada salahnya datang ke rumahnya. G
Fatih menghentikan mobilnya di samping gang kecil. Iamenelisik dari dalam, mencari keberadaan seseorang. Di sebuah taman remaja. Ia mendapati arah Rey berhenti danmenuju dalam sana. Sayangnya Fatih kehilangan jejak, sehingga harusmengendap-endap mencari Rey. “Kalau bukan karena disuruh Alina, males sebenarnya ke sini.Sudah kayak maling aja.” Fatih mengamati tempat di mana terakhir Rey di lihat. Lelah berjalan,ia mengambil duduk di bangku tak jauh dari tempatnya berdiri. “Kehilangan jejak, kan? Balik aja, deh!” gumam Fatih. Tapi iaragu. Rasa penasaran akan seseorang yang didekati Rey membuat Fatih urung pergi.Sembari mengitari pandangan ke sekitar, tiba-tiba ia menangkap sosok gadis yangsangat ia kenali. “Anisa!” Fatih berdiri dan langsung berpindah tempat di balik pohon. Maksudnyaingin bersembunyi, tapi lagi-lagi ia harusdikejutkan lagi oleh kedatangan seseorang lain ke arahnya. “Rey! Jadi ... mereka ....” Fatih memperhatikan dari jarak jauh. Anisa duduk bersanding denganseoran
“Assalamualaikum, Bu. Ibu apa kabarny” Alina mengambil alihposisi paling depan sehingga langsung duduk di samping wanita yang sedangberbaring.Tampak kaca-kaca saat menatap Alina dan Fatih secarabergantian.“Kalian datang. Makasih, ya? Ayo, duduk sini.” Alina melepasbobot tubuhnya tepat di samping wanita yang tampak ringkih itu. Merasa iba,Alina memeluknya.“Ibu sehat, kan?” Alina melepaskan pelukannya. Mengusap sesuatuyang hampir jatuh dari sudut mata.“Baik. Kalian apa kabar?”“Alhamdulillah baik juga?” jawab Alina.“Oya, kapan ijab qobulnya? Ibu kepengen datang sebenarnya, tapi-““Ibu pasti bisa datang.” Fatih memotong.“Iya-ya. Kan masih empat hari. Mudah-mudahan ibu sudah diperbolehkankeluar rumah.”“Dari mana Ibu tau empat hari lagi?” Alina bertanya sambil berbisik.Lalu melirik ke arah Fatih. Jangan-jangan Fatih yang membocorkan berita ini. Pikirnya.“Tuh!”Alina menoleh, Fatih pura-pura tidak melihat.“Katanya mau bikin surprise! Huh, dasar!”Fatih tertawa. Ia memang sudah menj
“Aku sudah lama berdamai dengan keadaan. Berusaha menerima takdir berpisah denganmu, tapi nggak bisa. Al, bisakah kita mulai dari awal lagi?”Fatih menuntun jawab. Tatap matanya tak berpindah sedikitpun pada sosok mantan istrinya.“Al, aku tanya sekali lagi, maukah menikah denganku lagi?”Alina mengangkat wajah, kemudian menunduk lagi.“Al.”“Iya, Mas, iya.“Iya apa?”“Ck, iya. Aku mau menikah denganmu.”“Alhamdulillah ... akhirnya ....”“E-eh, mau ngapain?” Alina mencubit lengan Fatih saat berusaha memapas jarak.“Nggak ada.” Ketahuan hendak mencuri ciuman dari Alina, Fatih hanya bisa menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Lalu, ia menarik paksa jemari Alina dan menciuminya.Alina tersentak, tetapi memberikan Fatih melakukan keinginannya.“Di depan ada galeri perhiasan. Kita ke sana sekarang.”“Loh-loh! Katanya mau makan.”“Cari cincin dulu, baru cari makan.”“Jadi ... serius minggu depan.”“Jelas jadi, dong. Atau kita percepat lagi jadi besok juga gak pa-pa.”“Ih, gaklah! Minggu de
Alina mematut dirinya di depan cermin. Fatih sedang dalamperjalanan. Mereka sepakat untuk makan malam berdua.Tunik berwarna soft pink sebatas lutut dan jeans warna hitammenjadi pilihannya. Di tambah pasmina warna senada dengan tuniknya membuat ronadi wajahnya kentara oleh rona bahagia..“Wah, cantiknya,” puji Dian saat membuka pintu kamar Alina.“Eh, Tante.”“Fatih sudah datang, tuh.”“Oh, ya?” Alina bergerak ke jendela. Memastikan Fatih memangsudah datang. Sebab, ia tak mendengar suara mobil.Ternyata benar ucapan Dian. Bahkan Fatih tampak berdirimenunggu di teras rumah.“Mau ke mana, sih?” tanya Dian penasaran.“Cuma makan malam, Tan.”“Masa rapi amat. Fatih juga kelihatan berbeda.”“Masa, sih!”“Ah, mungkin kalian gak sadar. Ya sudah, buruan berangkat.Pulangnya jangan larut malam, karena Tante mau tanya-tanya soal Rey. Gak sabarmau nunggu besok.”“Hah, tante merasa juga kalau Rey-““Jelas merasa, tapi gak berani tanya. Takut tersinggung.”“Iya, Tan. Nanti Al langsung ke kamar Tant