Sepanjang perjalanan pulang ke rumah orang tuaku, aku tak banyak yang berbicara. Kak Gema fokus mengendarai mobilnya, Dita tidur tak lama setelah mobil melaju, sedangkan aku, sibuk dengan pikiranku sendiri.Wajar rasanya jika aku merasa khawatir akan masa depan. Apalagi jika memikirkan tentang Dita. Tentunya bukan hanya tentang materi, walau tak kupungkiri ada sedikit ketakutan bisakah aku mencukupi kebutuhannya? Pasrah, hanya itu yang bisa aku lakukan. Walau sulit mencapai level itu, api setidaknya aku tahu bahwa Tuhan tak akan pernah tidur. Kekhawatiranku yang terbesar juga adalah tentang pertumbuhan Dita. Pastinya perpisahan orang tua baginya akan sangat mempengaruhi pertumbuhannya. Sempat terpikir apa aku terlalu egois memikirkan perasaan sendiri, tanpa berpikir panjang tentang Dita. Tapi apa yang bisa aku harapkan dari pernikahan seorang suami yang berbohong dan memilih jalan 'memalukan' untuk menafkahi anak dan istrinya?"Apa yang kau pikirkan?" tanya Kak Gema memecah keheninga
"Silvi ..., apa yang sedang kamu lakukan?"Panggil Mas Dio yang segera turun dari mobilnya menghampiriku.Apa yang sedang dilakukannya? Kenapa orang yang paling tak ingin aku temui itu malah ada di sini?"Kamu mau apakan Dita, Silvi?" tanyanya menatapku penuh curiga. Ia lalu dengan paksa mencoba merebut Dita dari gendonganku."Kamu yang mau ngapain? Dita sedang tidur!" bentakku sambil mendekap erat Dita, tak mau sedikitpun melepaskannya. Aku jadi teringat beberapa kasus artis yang bercerai dan berebutan anak, apakah aku juga akan mengalaminya kini?"Terus, kenapa Dita kamu masukan ke mobil orang ini?""Terserah aku! Aku tahu apa yang terbaik bagi Dita! Aku tidak mungkin akan mencelakainya, apalagi melakukan hal bodoh demi dia!" ucapku lantang sekaligus menyindirnya.Sementara itu lelaki anak Pak Rahmat--bos bapak-- yang tidak kuketahui namanya itu berdehem, mungkin mencoba menarik perhatian kami. "Jadi tidak aku antar anak ini ke rumahmu?" tanyanya, tampak tak nyaman berada di antara
Lelah, itulah yang kurasakan setelah sampai di rumah. Bukan karena perjalanannya, melainkan karena emosi akan ulah Mas Dio yang membuat aku harus ribut berebut Dita dengannya tadi. Apalagi hal tadi membuatku sangat malu karena terjadi di pinggir jalan di lihat banyak orang dan ada anaknya bos bapakku pula. Benar-benar mengesalkan Mas Dio itu.Aku dan Dita memilih berisitirahat sambil menikmati es krim yang kami beli di jalan tadi. Rasanya segar sekali menikmati dinginnya es krim setelah berpanas-panasan. Semoga saja kejadian barusan tidak berbekas pada ingatan Dita, walau aku pun merasa aneh, karena Dita sama sekali tidak menanyakan ayahnya lagi. Padahal biasanya ia sibuk menanyakan keberadaannya.Baru saja aku akan mengajak Dita bersantai di kamar, kulihat mobil Mas Dio datang. Kukira cukup tadi saja ia membuat masalah hari ini, tapi ternyata tidak baginya. Entah apa lagi maunya kini.Kembali aku berpesan pada Dita agar menunggu saja di kamar. Ia pun menurut sambil menonton acara kes
"Kembalilah padaku ..., kita mulai semuanya lagi dari awal, ya, Sayang!"Aku melihat ketulusan di matanya, aku melihat hatinya benar-benar terluka. Seketika sedikit hatiku merasa ragu, apakah aku harus memberinya kesempatan kedua?"Loh, ada tamu, toh ...." Tanpa aku sadari bapak tiba-tiba saja datang di antara kami. Aku cukup terkejut akan kehadirannya, karena tak biasanya ia sudah pulang siang hari seperti ini.Mas Dio seketika berdiri menghampiri Bapak, ia lalu mencium tangannya takzim. "Maaf, Pak saya baru bisa mampir sekarang.""Ya, tidak apa-apa. Untung saya pulang cepat, jadi bisa bertemu dengan kamu, Dio," ucap Bapak sambil mejatuhkan bokongnya, duduk di sampingku."Loh Silvi, kamu tidak memberikan tamu kita minuman?" Bapak menatap mataku keheranan. Membuatku mendengkus kesal. Aku memang sengaja tidak memberikan suguhan apa pun sebenarnya, tak mau Mas Dio lebih lama berada di sini."Ayo cepat bikin kan minuman untuk tamu kita, Nak. Tolong bikinkan juga Bapak kopi, ya!" titah Ba
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku membawa Dita ke rumah bude. Berharap Dita akan mengerti dan bisa anteng tanpa aku. Kemudian bersama Bapak aku menuju pabrik tempat Bapak bekerja. Pabrik tersebut sebenarnya adalah rumah yang dijadikan tempat produksi. Dulu aku ingat pabrik ini hanya terdiri dari satu bangunan kecil saja. Tapi kini sepertinya sudah berkembamg pesat karena bangunnannya semakn besar saja seperti tiga runah yang dijadikan satu.Bapak mengantarkan aku menuju ruang office yang terletak terpisah dari ruang produksi. Tepatnya ada di bagian belakang gedung produksi. Kami ou sampai di sebuah rumah kecil yang disulap menjadi kantor.Seorang lelaki tua yang aku kenal bernama Pak Rahmat, bos Bapak, menghampiri kami. "Silvi, sudah lama ya gak ketemu!" sapanya sambil tersenyum hangat. Gegas aku menghampiri lelaki seusia bapakku itu dan menyalaminya. "Apa kabar, Pak Rahmat?" sapaku balik."Alhamdulillah baik, Silvi. Jadi kamu sudah siap untuk bekerja di sini?" Pertanyaanny
"Kamu gagal dalam tes kemampuan dasar! Bagaimana mungkin kamu bekerja jika tidak bisa mengaplikasikan komputer?" ucap lelaki yang berlagak seperti bos itu, sinis.Aku memang sudah menebak hasilnya akan begini. Sudah lama sekali aku tidak menggunakan komputer, sepertinya memang aku tidak berbakat bekerja di balik meja. "Tapi hasil psikotesmu cukup bagus." Lanjutnya lagi. "Aku akan menempatkan kamu di bagian pemasaran saja, bagaimana?" tawarnya tiba-tiba.Aku yang memang tak mengerti apa-apa tentang pekerjaan, hanya bisa pasrah. Yang terpenting bagiku hanya bagaimana bisa mendapat penghasilan saja. "Ya, terserah bapak saja, di tempatkan di mana pun aku terima yang penting aku tetap bekerja." "Baiklah, kamu nanti akan dibimbing oleh Pak Eko, dia kepala pemasaran di perusahaan ini. Sebaiknya kamu belajar lebih giat, kamu banyak ketertinggalan dibanding yang lain yang memiliki pengalaman kerja yang lama!" "Siap, Pak!" ucapku bersemangat. Merasa senang karena masih diberi kesempatan bek
"Ya, aku kenal dengannya! Memangnya apa masalahmu kalau aku kenal dengan Silvi?" jawab Pak Abi seketika tanpa memberi aku kesempatan untuk berbicara sedikit pun.Entah apa yang terjadi sebenarnya antara Pak Abi dan Kak Gema sehingga suasana kali ini tampak tegang. Aroma permusuhan begitu kuat kini. "Sudah-sudah, kalian ini kenapa sih?" teriakku kesal, menghentikan saling lempar pertanyaan menyelidiki satu sama lainnya."Biar aku saja yang menjawab pertanyaan kalian!" ujarku tegas agar mereka memerhatikanku."Pak Abi, kenalkan ini Kak Gema, kakak sepupuku," ucapku sambil menatap Pak Adi yang masih dengan ekspresi dinginnya. "Lalu Kak Gema, kenalkan ini Pak Abimanyu, dia adalah bosku di tempat aku bekerja. Dan untuk apa dia datang ke sini aku tidak tahu!" Kini berganti aku menatap Kak Gema yang tampak terkejut dengan yang baru saja kukatakan."Abi bosmu?" tanya Kak Gema tak percaya. "Ya Tuhan ... kenapa aku bisa lupa kalau kamu bekerja di PT. Azamat!" Kak Gema menepuk keningnya sendiri
POV Arni.[Silvi, kembalilah pada Dio!] [Dia mencintaimu.] [Aku berjanji akan membuatnya berlaku adil padamu!] Kukirimkan pesan itu pada istri pertama suamiku. Menurunkan ego yang sebenarnya begitu tinggi. Memohon-mohon pada seseorang yang bertahun-tahun membuatku sakit, untuk kembali menyakitiku.Gila?Aku tak tahu ini apa namanya, aku hanya merasa harus melakukan apa pun agar Dio tetap ada disampingku.Aku mencintai Anandio melebihi apa pun sejak SMA dulu dan cinta itu sudah berubah menjadi obsesi. Ya ..., Dio adalah obsesiku, hingga aku akan mengusahakan apa pun untuk memilikinya.Dia adalah kakak kelasku di sekolah, lelaki paling tampan yang pernah kutemui. Aku mencintainya pada pandangan pertama. Saat itu dia sedang asyik bermain sepak bola bersama teman-temannya. Dari sekian banyak lelaki di lapangan, mataku hanya tertuju pada Dio, wakil ketua osis yang juga disukai oleh banyak wanita di sekolah.Dia tampan, lembut, humoris dan begitu tulus. Sering aku melihat dia pergi dan
Pak Abi yang masih menggendong Dita pun kemudian menghampiriku. Tersenyum manis sambil menatapku lekat, membuat aku benar-benar merasa malu dan tak bisa menahan senyum di wajahku yang aku tak tahu kenapa.Ia mendekatkan kepalanya pada kepalaku, membuatku makin malu, apa yang akan dilakukannya?"Dita sudah setuju, jadi ... kapan kita resmikan hubungan ini, Silvi?" bisiknya lembut tepat di telingaku yang menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba menggelanyar di hati."Apa Pak Abi kira aku mau?" Aku balik bertanya, karena ada rasa kesal dan juga malu di hati ini."Loh ... bukannya emang mau ya, menikah denganku?" Senyum jahil menghiasi wajahnya."Issh... kapan aku bilang?" Aku memalingkan wajah darinya, berusaha untuk menjaga kesehatan jantungku yang sepertinya mulai kritis ini."Kemarin kan kamu bilang mau menerimaku kalau aku lamar!" Jawabnya penuh percaya diri.Ah ... benar kan, dia mendengar semua pembicaraanku dengan Kak Ge
Keesokan harinya kami bersenang-senang bersama keluarga di acara gathering yang diadakan perusahaan. Semua orang tampak bahagia bersama orang terkasih mereka sambil menikmati serangkaian acara yang diadakan.Aku bersama Dita pun begitu menikmati acara ini. Momen kebersamaan yang sangat jarang bisa kami dapatkan karena kesibukan dalam pekerjaan yang kadang menyita waktu dan pikiran.Beberapa karyawan ada yang membawa pasangan dan anak mereka. Bagi yang masih single ada yang membawa orang tuanya ada juga yang memilih untuk datang seorang diri karena alasan pribadi.Kulihat di salah satu sisi Kak Gema sedang bercanda bersama ibunya, yang juga budeku. Bude Ani memang beruntung menjadikan Kak Gema anak angkatnya, karena Kak Gema memperlakukan bude layaknya ibu kandung sendiri.Tiba-tiba saja aku jadi rindu kedua orang tuaku terutama bapak yang memang meninggal belum lama ini. Andai mereka masih ada, pasti hari ini akan lebih membahagiakan lagi.
Sebenarnya ini memang bukan kali pertama kak Gema menyatakan cinta. Dulu, sebelum aku menikah dengan Dio, Kak Gema juga pernah melamarku. "Kak ...." Dengan suara bergetar aku memberanikan diri bersuara."A-aku gak tahu harus mengatakan apa ... tapi ...-""Tapi kalau kamu mau nolak aku juga aku gak apa-apa, kok!" ucap Kak Gema tiba-tiba menghentikan ucapanku."Kak Gema ....""Katakan saja, Silvi. I'm okay! Seenggaknya kalau kamu tolak aku sekarang, aku udah gak penasaran lagi. Mungkin setelah ini aku akan berusaha move on. Mungkin aku mau lamar Nadya, atau Eris," ucapnya sambil sedikit terkekeh, seakan ia sedang bercanda."Kak ... beneran gak apa-apa?" Aku sudah tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Bagiku Kak Gema hanyalah seorang kakak. Dan itu tak akan pernah bisa berubah. Aku menyayanginya, tapi sangat tak mungkin rasa sayang ini akan berlanjut ke pernikahan. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan jika harus menika
Setahun kemudian.Acara gathering dari Tathir Corp, perusahaan tempat aku bekerja bersama Kak Gema dan Pak Abi, dilaksanakan untuk pertama kalinya. Kami semua berencana membawa keluarga masing-masing untuk menginap bersama di sebuah tempat pemandian air panas."Kamu mau bawa siapa, Gema?" tanya Pak Abi. Saat kami sedang makan siang.Awalnya hanya aku sendiri yang makan di ruangan rapat ini. Ruangan yang paling nyaman untuk menyendiri. Tapi tiba-tiba Kak Gema menyusul, begitu juga Pak Abi. Akhirnya kami pun berkumpul bersama.Kulihat Kak Gema menatap sinis sahabatnya itu. "Aku bawa kamu! Karena aku tahu kamu gak akan bawa pasanganmu! Iya, 'kan?" jawab Kak Gema sambil melemparkan sepotong kerupuk pada sosok lelaki di seberangnya itu."Iiih ... ogah!" timpalnya sambil bergidik ngeri.Aku yang sedari tadi memerhatikan mereka hanya bisa tertawa menahan geli."Memang kamu mau bawa siapa, Abi?" tanya Kak Gema balik."T
Aku tak bisa menjawab apa pun, memang bagiku cukup aneh Arni ada di kampung itu tanpa memberitahukan apa pun padaku. Padahal sebelumnya ia selalu mengatakan kemana pun dia pergi."Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari tahu kebenarannya. Bisa kan?" tanyanya lagi."Untuk apa aku membantumu? Tak ada untungnya untukku!" elakku. Tak mau mengurusi sesuatu yang tidak penting sama sekali."Demi Silvi, Dita dan juga mertuamu! Walau kalian akan segera bercerai tapi walau bagaimana pun mereka pernah ada di hidupmu! Apa kamu tidak kasihan pada mereka?"Ucapannya sedikit mengusik hatiku. Tapi, tetap saja ini bukan urusanku atau pun dia. Polisi saja tidak melakukan penyelidikan. Kenapa harus aku yang malah repot?"Aku tidak mau membantumu! Aku sudah banyak urusan, tak mau lagi pusing dengan masalah lainnya! Kalau memang Arni bersalah, biar saja polisi yang menindaknya!" elakku."Sekarang sebaiknya kamu pergi saja! Jangan ganggu aku lagi!" Aku pun segera mempersilahkannya untuk pergi. Kulihat Ab
Sungguh, jika tidak ingat ada anak-anak di sini pasti sudah kuhabisi lelaki tak bertanggung jawab sepertinya itu."Kalau begitu, setidaknya kamu berusaha bekerja untuk menghidupi istri dan anak-anakmu! Atau minimal untuk dirimu sendiri. Bukannya ongkang-ongkang kaki begini!""Hei ..., baru seperti ini saja kalian sudah berisik begini! Apa kalian lupa, dulu aku juga suka memberikan hasil kerjaku untuk menghidupi kakakmu dan orang tuamu itu? Cari kerja itu sulit sekarang! Kalau ada proyek juga aku tidak akan tiduran seperti ini, kok!" Mas Ratno memelototiku penuh emosi.Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir akan sikapnya itu. Bisa-bisanya ada lelaki sepertinya yang tidak tahu malu sama sekali.Padahal jika dia serius mau menghidupi keluarganya, dia pasti akan berusaha mencari pekerjaan. Bukan hanya mengandalkan proyek dari orang-orang kampung sini saja.****"Bu, bagaimana kalau kita jual saja rumah ini?" ucap Kak Desi tiba-tiba pada ibu saat aku sedang membantunya memper
POV DioApa yang selama ini kutakutkan terjadi, bahkan lebih cepat dari dugaanku sendiri. Akhirnya hari itu datang juga, kami tak lagi dapat mengandalkan Arni lagi sama sekali.Hari itu Arni datang dengan kondisi mengenaskan, menangis tersedu-sedu. "Aku bangkrut, Kak!" lirihnya."Kak ..., apa kakak masih mau nerima aku? Aku miskin sekarang!" lanjutnya lagi, sambil terdiam di ujung gerbang menatapku dengan tatapan sendu.Ada rasa iba di hati melihat kondisinya yang mengenaskan. Tak ada lagi Arni yang dulu kini, wajahnya pucat tanpa make up dan baju seadanya. Ia datang dengan membawa dua koper baju yang tidak seberapa besar."Kak Dio ...!"Tiba-tiba saja Arni terduduk lemas, isakannya pun berubah jadi raungan keras.Dengan perlahan aku pun menghampirinya. Berjongkok untuk menyamakan posisi, lalu memberikan sedikit pelukan agar dia lebih tenang. Walau bagaimana pun dia masih istriku. Kuenyahkan seluruh rasa kesal yang bersemayam padanya. Memberikannya sedikit sentuhan lembut.*****"Tida
Setelah pertemuan itu, memang sesekali Pak Roni menghubungiku. Sempat ia mengonfirmasi juga hubungan Arni dan Dio padaku, sepertinya ia mencari tahu sendiri soal itu."Jika kamu tak memberitahukan kebohongan Dio, aku tak akan tahu kebobrokan-kebobrokan lain yang Arni lakukan. Terima kasih, karena kamu perusahaan masih bisa aku selamatkan!" ujarnya suatu hari.Dari berita yang kudengar, Dio dan juga Arni kini sudah tidak bekerja lagi di Granita Group. Dio kembali menjadi tukang ojeg saat ini sedang Arni membantu ibu menjual kue-kue jajanan pasar.Hal itu juga lah yang membuatku mudah mendapatkan hak asuh Dita saat persidangan cerai kemarin. Awalnya kukira Dio akan menjadikan kekayaannya sebagai senjata. Tapi ... kenyataan berkata lain, karena sebelum sidang berlangsung, mereka sudah dinyatakan bangkrut.*****"Nadya, ini ada agen baru dari kota Palu, dia memesan sebesar 20 juta, tolong kau follow up, ya!" ucapku pada Nadya, bagian admin kantor.Ya, Setelah menitipkan Dita di rumah Bu
POV SilviAku menatap langit-langit kamar, meresapi semua yang telah terjadi selama empat bulan ini. Bagaimana pahit getirnya jalan perjuanganku untuk mendapatkan Dita kembali ke pelukan.Semua terbayar sudah, aku kembali bisa bernafas lega kini. Hak asuh Dita sudah resmi ada padaku. Kini aku bisa puas memeluk dan memandangi wajah mungil Dita yang tengah terlelap di samping.Menurut Pak Abi jika aku ingin mendapatkan Dita kembali aku harus dapat segera berjalan dan memiliki penghasilan. Karena kondisi itulah yang akan menjadikan alasan Dio untuk merebut hak asuh Dita.Maka dari itu Pak Abi dan Kak Gema, mengajak aku untuk mengelola sebuah toko sepatu dan tas yang berbasis online milik mereka. Tidak hanya aku, mereka juga melibatkan beberapa karyawan dari pabrik sebelumnya. Ternyata Pak Abi dan Kak Gema memang sudah menyiapkan semua ini jauh hari sebelumnya. Setelah pabrik yang tutup mereka ingin dapat kembali merangkul orang-orang dengan potensi tinggi di sebuah bisnis baru. Tak disa