(POV Risa)Bosan rasanya selama sepekan lebih aku hanya berdiam diri di rumah. Aku ingin berjualan lagi, namun bu Imah melarangku karena khawatir jika aku masih belum sembuh total.Di dalam rumah, aku menyibukkan diri dengan aktivitas yang aku bisa. Aku menyapu rumah, dan menyiram tanaman bunga kesayanganku.Tin ….Suara klakson mobil terdengar tepat di jalan depan rumahku. Aku menoleh ke arah sana, dan aku melihat mobil Dela hendak masuk ke pekarangan rumahku.“Dela!” panggilku. Aku meninggalkan tanaman bungaku, dan beralih mendekati Dela.Pintu mobil Dela terbuka, memperlihatkan kedua kaki putih mulus yang baru saja turun dari dalam mobil itu.“Risa, hai apa kabar kamu? Sudah lumayan lama juga kita nggak ketemu. Bahkan kita juga jarang komunikasi. Sekarang kamu makin cantik saja, Ris. Tapi … kok seperti ada bekas luka di wajah kamu,” sapa Dela.Kami berdua saling berpelukan melepas rindu dengan sahabat lama.“Aku baik, aku senang kamu datang kesini. Kamu sendiri gimana kabarnya? Ah
(POV Risa)Di hadapan kami berdiri lelaki yang pernah menorehkan luka di hatiku. Rendi berdiri berkacak pinggang setelah keluar dari dalam lift.“Bukan urusan kamu,” jawabku ketus.“Jelas ini adalah urusanku, mau apa kalian datang kesini? Siapa yang mengundang kalian semua? Saya bertanggung jawab dalam acara ini. Saya rasa di agenda hari ini tidak ada daftar nama kalian yang diundang,” cetus Rendi.“Oh ya? Orang yang bertanggung jawab, ya? Kalau begitu kami permisi mau naik ke lantai 5, sesuai permintaan dari Pak Willy. Awas jangan halangi langkah kami,” ujarku.“Hei ….”“Maaf Pak Rendi, mereka memang tamu undangan Pak Willy sekaligus orang-orang yang bertanggung jawab untuk catering disini!” potong satpam yang mengantar kami.Rendi menganga, apa mungkin Rendi tidak tahu jika kami diundang? Tapi aku benar-benar tidak peduli. Urusanku hanya dengan pak Willy bukan Rendi.“Nah loh … sebelum koar-koar, tanya dulu dong,” imbuh pak Yanto sebelum masuk ke dalam lift.Kami semua masuk ke dala
(POV Risa)Acara pun dimulai dengan sambutan demi sambutan yang disampaikan oleh pak Willy. Namun yang membuat orang-orang penasaran, kenapa pak Willy hanya datang seorang diri. Bukankah tadi aku mendengar seseorang memberitahu, bahwa pak Willy datang beserta keluarganya.“Mohon maaf, Pak. Mana anak dan istri Bapak? Apakah mereka tidak ikut kesini? Karena acara ini kan dikhususkan untuk menyambut anak Bapak untuk menjadi pemimpin perusahaan disini?” tanya lelaki bernama Hasan.“Ada, anak dan istri saya juga datang. Tapi tadi istri saya penyakit maagnya kambuh saat sudah sampai parkiran, dan sekarang dia sedang pergi ke klinik sebentar diantar anak saya, paling juga tidak akan lama. Mohon maaf membuat kalian menunggu. Kalau begitu, bagaimana sambil menunggu kedatangan mereka, kita semua makan-makan terlebih dahulu. Oh iya, saya juga ingin merekomendasikan makanan buatan Risa ….” Pak Willy menunjukku, kemudian orang-orang yang menghalangiku bergeser ke samping, memberi ruang supaya aku
(POV Risa)Jona? Apakah aku tidak salah lihat? Orang yang selama ini menghilang, kini muncul lagi dihadapanku, sebagai pemilik baru perusahaan ini.“Risa!” Aku melihat gerak bibirnya seperti menyebut namaku.Dari samping, bu Imah menyentuh lenganku. Seolah memberi kode jika aku harus tetap tenang.Aku menoleh ke arah bu Imah, dan mengangguk mengerti.“Ayah, bisa kita bicara sebentar?” tanya Jona kepada pak Willy.“Boleh, bicara saja. Apa yang mau kamu bicarakan?” sahut pak Willy.“Tapi bukan disini, kita bicara di ruangan Ayah saja, berdua,” pungkas Jona.Pak Willy mengangguk, kemudian berjalan ke ruangan pak Willy, dan Jona pun berjalan mengikutinya.“Lah … Ibu nggak nyangka loh kalau Jona itu ternyata anaknya pak Willy. Benar-benar kebetulan sekali,” bisik bu Imah.“Aku juga, Bu. Baru tahu kalau ternyata Jona anaknya pak Willy,” sahutku berbisik pula.“Risa, ternyata Jona itu anak orang kaya. Bapak baru tahu, loh!” pungkas Pak Yanto mendekati kami.“Iya, Ibu Lela juga nggak nyangka
(POV Rendi)“Cukup, Pak Rendi! Saya benar-benar sudah tidak mau mendengar penjelasan anda. Pokoknya saya minta ganti rugi, atau anda akan saya laporkan kepada polisi!” berang pak Willy.“Pak saya mohon, beri saya kesempatan. Saya benar-benar khilaf, maafkan saya!” ucapku memohon.“Maaf, Pak Rendi. Bagi saya tidak ada kesempatan bagi orang yang culas seperti anda. Sekarang saya hanya bisa memberikan anda dua pilihan, ganti rugi atau masuk penjara?” imbuhnya.Aku bingung harus bagaimana lagi. Jona si*lan, Jona yang aku kira tukang ojek, ternyata anak pak Willy, dan kenapa juga aku tidak sadar jika ada Jona yang menguping pembicaraanku dengan Bams. Sungguh hari ini benar-benar hari si*l bagiku.“Baiklah, Pak. Saya akan mengganti semua kerugian. Tapi kasih saya waktu,” ujarku akhirnya memberi keputusan. Sebab aku tidak mau jika harus mendekam di penjara.“Baik, Pak Rendi. Saya tunggu itikad baik Pak Rendi.”Aku sangat malu, maka aku putuskan untuk pergi saja dari kantor ini. Semua karyawa
(POV Jona)Berat rasanya aku harus menghadapi kehidupanku yang rumit ini. Terlebih jika aku harus meninggalkan Risa dan menikahi Adya. Rasanya aku tidak sanggup jika harus begini.“Tolonglah, Yah … aku mohon, aku mau meneruskan perusahaan Ayah, tapi dengan syarat aku tidak mau menikahi Adya. Aku sudah punya pilihan sendiri, Yah!” Aku menangis di hadapan Ayah. Terlihat konyol karena aku laki-laki, tapi perasaan ini tidak bisa dibohongi, bahwa aku memang sakit jika harus menikahi wanita pilihan Ibu.“Jona, Ayah mengerti, tapi bagaimana dengan sikap Ibumu, Nak. Dia sangat keras kepala, dia sangat menginginkan kamu bersatu dengan anak sahabatnya itu. Ayah bisa saja membantah perjodohan itu, tapi penyakit Ibumu yang Ayah khawatirkan. Tentu kamu mengerti, Ayah berada di situasi terhimpit seperti ini,” sahut Ayah.Aku mengacak kasar rambutku, Ibu benar-benar keterlaluan. Kenapa aku mesti bertemu dengan Ibu, saat aku hendak janjian pergi ke makam Kania. Ibu memaksaku ikut dengannya, bahkan po
(POV Jona)Aku menoleh ke arah pak Beni, dia barusan menyebut nama bu Imah? Apakah dia mengenalinya?Bu Imah yang sedang berjalan dengan Risa, bu Lela dan pak Yanto sontak berhenti tepat di depan aku dan pak Beni. Mereka bertiga pun kompak berhenti saat melihat bu Imah berhenti.“Kenapa, Bu?” tanya Risa.“M-mas Beni,” lirih bu Imah menatap lurus ke arah pak Beni.Aku semakin bingung melihat ekspresi keduanya. Sepertinya mereka sudah saling mengenal.“Bu, Ibu kenapa?” tanya Risa.“Risa, kamu Risa?” timpal pak Beni menyebut nama Risa.Risa menoleh ke arah pak Beni. Matanya membelalak saat melihat pria yang sudah tidak muda ini.“Bapak yang waktu itu menolong saya saat dikeroyok?” tanya Risa.“Iya, saya yang menolong kamu. Tapi saat saya kembali ke rumah sakit, kamu sudah tidak ada disana,” jawab pak Beni.“Maaf, Pak. Waktu itu saya mau pulang. Kasihan Ibu saya menunggu di rumah sendirian. Oh iya, Bu, ini pria yang pernah aku ceritakan, beliau sangat baik, beliau yang menolongku saat aku
(POV Jona)“Aku belum siap, Bu. Apapun harus dipersiapkan secara matang, termasuk kesiapanku. Pernikahan bukan hal sepele dan dianggap main-main, ini sesuatu yang sakral, Bu. Maaf Om, Tante, dan juga kamu Adya, aku belum siap. Terserah apa kata kalian, yang jelas aku belum siap. Itu terlalu terburu-buru,” imbuhku menolak rencana mereka.“Jona, jaga bicara kamu. Kamu sadar tidak, kamu sedang bicara sama siapa?” tukas Ibu dengan wajah khasnya ketika marah.“Ya, aku sadar sesadar-sadarnya, Bu. Tapi Ibu juga sadar tidak, kalau Ibu terlalu memaksakan kehendak Ibu, tanpa bertanya terlebih dahulu apakah aku mau atau tidak menikah dengan Adya? Tidak, kan? Bu, aku bukannya menentang keinginan Ibu, tapi bagaimana dengan perasaanku?” Aku mulai menaikkan intonasi bicaraku.“Sudah-sudah, lebih baik kita bicarakan lagi nanti, Bu Diva. Saya mengerti Jona masih kaget dengan kesepakatan kita yang secara tiba-tiba ini. Lebih baik dibicarakan dengan kepala dingin. Lagi pun Jona baru saja pulang dari kan
(POV Rendi)Keesokan paginya, sejak subuh tadi aku sudah bangun dan melaksanakan shalat subuh.Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajiban ku karena terlalu sibuk mengejar dunia. Namun setelah diberikan ujian bertubi-tubi, aku sadar, bahwa aku telah melupakan-Nya. Sungguh aku manusia tak tahu diri. Sudah diberi kenikmatan namun aku merasa selalu kurang, kurang dan kurang.Selesai melaksanakan shalat subuh, hatiku merasa tenang dan tentram. Aku melipat sajadah dan sarung lalu menaruhnya di atas meja.Kemudian aku mencuci baju-bajuku lalu memasak untukku sarapan pagi ini.Jam 07.00, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kini aku bersiap untuk pergi ke kios beras milik Bams.“Bismillahirrahmanirrahim.” Aku mengucap doa saat kaki kananku melangkah keluar. Semoga pekerjaan yang aku lakonin sekarang menjadi rezeki yang berkah.Dengan berbekal uang sepuluh ribu sisa membeli nasi aking kemarin, aku berjalan menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum.Aku berdiri dengan penuh percaya diri
(POV Rendi)“Dengan begitu, saudari Davina akan dijatuhkan hukuman selama 5 tahun!”Tok! Tok! Tok!Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya Davina sudah divonis hukuman penjara.Keputusan hakim membuatku hancur, bagaimana tidak, sudah dua bulan aku mencari Davina, tapi saat aku mendapat kabar, ternyata dia terkena kasus percobaan melenyapkan nyawa seseorang.Davina menunduk, perutnya mulai membesar. Terpaksa Davina harus melahirkan di dalam penjara. Aku tak kuasa mendengar kenyataan ini.Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Risa dan Jona sedang duduk dengan keluarga Darian, karena sidang ini terbuka untuk umum. Aku baru tahu, jika Davina masih memiliki kakak. Dela yang memberitahu saat tak sengaja bertemu. Parahnya lagi, Davina sempat mengakui jika kami telah berpisah. Sungguh itu merupakan kebohongan yang besar.Setiap hari aku bela-belain keliling menjual makanan asongan demi mencukupi kebutuhan Davina, tapi Davina sungguh telah membuatku kecewa, sama sekali dia tak men
(POV Darian)Melihat pemandangan yang tampak di depan mataku, aku segera berjalan cepat ke dalam kamarku untuk mengambil ponselku yang ketinggalan.“Kamu diam disini, jangan kemana-mana!” ujarku kepada Davina.Aku masuk ke dalam kamarku dan mengambil cepat ponselku.Aku pun berinisiatif mengirimkan pesan kepada satpam untuk menutup pintu gerbang dan menguncinya. Namun sebelum itu, aku menyuruhnya untuk memberitahu mama yang masih berada di dalam mobil di luar gerbang, supaya lebih dulu masuk.Aku kembali ke ruang tamu, dimana Davina masih berada disana.“Lepaskan, biarkan saya pergi!” teriak Davina dari arah luar. Ternyata benar, dia berusaha kabur namun beruntung pak satpam segera menghalanginya.Aku juga segera menghubungi polisi, supaya cepat datang kesini.“Papa!” teriak mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama teriak histeris saat mendapati Papa tak sadarkan diri dengan perut bersimbah darah.Kemudian satpam penjaga rumah datang dengan menyeret Davina. Dia dibantu oleh sop
(POV Darian)Hari ini aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengan adikku. Rasanya seperti mimpi, aku masih memiliki keluarga kandung. Namun respon mama dan papa seperti kurang antusias menyambut adikku, terutama mama, mama memberitahu jika Davina sempat menyiramnya dengan minuman. Yang lebih parahnya, Davina juga sempat bersitegang dengan Dela, sampai dahi Dela terluka.Aku tak tahu ada masalah apa Dela dan Davina. Sehingga mereka ribut seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku akan memaafkan Davina.“Darian, obati dahi Dela, kasihan dia. Sebentar lagi acara akan segera dimulai, kamu tidak usah menunggu Davina, karena acara ini untuk kalian berdua bukan untuk Davina,” imbuh mama.“Benar kata Mama kamu, Darian. Nanti Davina bisa menyusul setelah mandi dan berganti pakaian,” timpal papa.Aku pun mengangguk, walaupun aku ingin sekali menunggu Davina.Acara pun dimulai setelah dahi Dela diobati. Sekarang kami saling menyematkan cincin di jari manis kami. Acara ini cukup meriah, karen
(POV Davina)“Aaaaaaa!” Aku menjerit kesakitan saat rambutku dijambak oleh Dela.“Terus, terus jambak saja rambutku. Tidak akan lama lagi kamu akan tahu siapa aku, Dela,” batinku tersenyum.Semua tamu undangan menjadi gaduh dan mengelilingi kami yang sedang berseteru ini.“Tolong … dia menyakitiku,” jeritku.Satpam rumah ini pun berusaha melerai pertikaian kami. Namun aku akan terus memancing kemarahan Dela, sampai kakakku benar-benar keluar.“Cukup! Apa-apaan ini?” teriak seseorang menggema. Keadaan menjadi hening. Apakah itu kakakku?Kemudian datang seseorang berpakaian hitam-hitam seperti seorang sopir. Mungkin dia sopir keluarga kakakku.“Kamu siapa? Apakah kamu tamu undangan disini? Kenapa kamu bikin ulah disini?” tanyanya.“Bikin ulah? Dia yang bikin ulah,” tunjukku ke arah Dela.“Lagipula, tidak penting juga saya memberitahu kamu dan kalian siapa aku sekarang. Nanti juga kalian akan tahu dan akan terkejut jika tahu aku ini siapa,” lanjutku.“Ya, aku sudah tahu kamu siapa. Janga
(POV Davina)Sumpah demi apapun, aku sangat geram terhadap bi Imah. Semenjak dia kenal dan tinggal dengan Risa, dia menjadi sombong.Bi Imah sama sekali tidak kasihan dengan keadaanku sekarang ini. Aku sedang hamil, tapi hidupku menjadi sengsara begini.Aku kira menikah dengan mas Rendi, hidupku akan lebih baik, aku akan menjadi orang kaya. Tapi ternyata semuanya salah. Iya kaya, tapi hanya sebentar.Bi Imah mendiamkanku setelah ia memberitahu alamat rumah kakakku. Aku tak menyangka, aku bakalan bertemu dengan kakak kandungku. Dulu aku hanya mendengar cerita saja dari bi Imah bahwa aku memiliki seorang kakak. Tapi keadaan yang memaksa kami untuk berpisah.“Imah, ayo kita pergi sekarang!” Seorang pria menghampiri bu Imah. Aku tidak tahu dia siapa.Pria itu kemudian membukakan pintu mobil untuk bi Imah. Melihat pemandangan itu, mataku terbelalak. Kenapa bisa bi Imah menaiki mobil mewah seperti itu? Apakah mereka sudah menikah? Tubuhku menjadi panas, bukan karena panas demam atau cuaca t
(POV Bu Imah)Seminggu kemudian, setelah Risa resmi menikah dengan Jona. Kini aku tinggal seorang diri di rumah Risa. Awalnya aku berniat pergi dari rumah ini. Namun Risa mencegah, dia tak tega jika aku pergi dari sini. Aku merasa tidak enak kepadanya, karena ini bukan rumahku, aku hanya menumpang disini. Tapi sungguh hati Risa sangat baik, entah terbuat dari apa hatinya, dia tidak mempermasalahkan aku tinggal di rumah ini sampai kapanpun. Baginya aku sudah seperti ibunya.Risa pun sempat menawariku untuk tinggal di rumah barunya bersama Jona. Namun aku menolak dan memilih tinggal seorang diri. Bukan aku tak menghargai niat baiknya, namun aku tidak mau jika sampai mengganggu mereka dengan keberadaanku di tengah-tengah mereka.Ting ….“Bibi, aku barusan sudah memesan makanan buat Bibi. Sebentar lagi ada kurir yang mengantarkannya. Bibi tidak usah repot-repot memasak hari ini. Oh iya, kalau perlu apa-apa, hubungi aku ya, Bi. Bibi juga bebas mau main ke rumahku. Mama sama Papa juga tidak
(POV Risa)“Risa!” teriak Jona, bu Imah dan pak Willy kompak.Tubuhku terhempas ke sisi jalan raya saat aku berusaha menyelamatkan bu Diva dari pengendara motor yang ugal-ugalan. Tubuhku rasanya sakit, namun beruntung aku tidak sampai pingsan.“Ya Tuhan, dahi dan kaki kamu berdarah.” Jona panik melihat keadaanku.Sementara pak Willy membantu bu Diva berdiri.“Tolong bawa Risa ke rumah sakit, Nak Jona. Kasihan dia pasti kesakitan,” imbuh bu Imah terlihat khawatir.Tanpa berlama-lama, Jona mengangkat tubuhku dan memasukkan ku ke dalam mobilnya.Beberapa kali aku mengaduh kesakitan. Dahiku terasa perih, terlebih kakiku selain berdarah mungkin juga terkilir.Dengan cepat Jona membawaku ke rumah sakit dekat-dekat sini.“Kamu yang kuat ya, sayang. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Jona.Aku hanya mengangguk sambil meringis menahan sakit.Lima belas menit kemudian, kami sudah berada di rumah sakit. Aku segera ditangani oleh dokter. Dahi dan kakiku diperban supaya darah tidak terus menerus men
(POV Risa)Aku menunduk kala bu Diva sedari tadi memperhatikanku tanpa ekspresi dan tanpa banyak bicara. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, namun itu membuatku merasa was-was.“Risa, rencananya kami mau mengajak kamu makan bersama. Apakah kamu sedang tidak sibuk?” tanya pak Willy.“Em … rencananya hari ini kami mau keliling lagi jualan, Pak,” jawabku.“Begini saja, semua jualan kamu biar saya borong semuanya untuk makan siang semua karyawan di kantor. Saya akan panggil rendra untuk datang kesini menjemput semua makanan itu. Sekarang kamu dan Ibu kamu segera bersiap-siap. Saya ingin mengenal lebih dekat dengan calon menantu saya,” imbuh pak Willy.Aku pun menyetujui permintaannya. Aku meminta izin untuk bersiap berganti pakaian, begitupun dengan bu Imah.Di dalam kamar, aku segera berganti pakaian dengan pakaian terbaik menuurutku yang aku punya. Semoga aku tidak malu-maluin dengan penampilan ini.Selesai berganti pakaian, aku keluar dari kamar dan bergabung kembali dengan keluarg