Bab 147. Daffin Tak Mau Pulang “Oh, ya. Sepertinya Anda kurang suka dengan tindakan saya, ya? Saya sudah tanyakan kepada Bos Anda! Katanya dia tak punya dokter pribadi khusus. Jika dia sakit dan butuh dokter, maka Tante Lidya yang mengurus semuanya. Saat ini, Pak Daffin sedang berseteru dengan ibu tirinya itu. Apakah Anda bisa menjamin kalau Dokter kepercayaan Tante Lidya juga yang kita panggil ke sini? Anda bisa menjamin Tante Lidya tidak akan melakukan sesuatu terhadap Bos Anda!?” Amelia mencoba memberi pria itu pengertian. “Apakah Dokter yang Anda panggil itu bisa kita percaya?” “Saya yang bertanggung jawab!” “Baik kalau begitu, kami akan izinkan dia masuk,” cetus pria itu langsung berbalik arah. Amelia menunggu dengan sabar. Dr. Ferouk pasti bisa memastikan dan menyembuhkan sakit di kepala pria ini. Ketukan halus di daun pintu membuat Amelia lega. “Masuk aja, Om! Tidak dikunci, kok!” “Selamat malam, Amelia!” Pintu kamar tamu itu terbuka. Seorang Dokter muda melangkah mas
Bab 148. Amelia Psikiater Untuk Daffin ‘Gila, ya. Ini rumah aku, lho! Kenapa malah dia yang ngatur dan ngusir-ngusir aku?’ Amelia tak habis pikir. Emosi Daffin tiba-tiba meledak lagi. Wanita itu memberi isyarat agar Bik Jum keluar. Pintu kamar itu dia tarik pelan dari luar. Sang kepala bodyguard sudah berdiri di depan pintu. “Saya mendengar Pak Daffin berteriak lagi, Mbak?” tanyanya khawatir. Amelia mengangguk. “Maaf, Mbak. Sebenarnya yang dibutuhkan oleh Pak Daffin itu bukan Dokter tapi ….” “Tapi?” Amelia menyipitkan kedua matanya, menanti lanjutan kalimat pria itu. “Seorang Psikiater, Mbak.” “Oh? Bos Anda sakit jiwa, ya?” “Bukan begitu, Mbak. Tapi, setelah saya pelajari dan amati selama saya bekerja dengannya, saya berkesimpulan seperti itu, Mbak. Dan –“ “Dan apa, Pak?” “Sebenarnya ini rahasia, Mbak. Saya khawatir kalau harus membeberkannya sama Mbak.” “Wah, banyak banget rahasia bos Anda. Sepertinya hidupnya memang penuh rahasia, ya?” “Yah, begitulah, Mbak. Sebenar
Bab 149. DR. Fitri Masa Lalu Daffin “Kalau dia lupa siapa Pak Daffin, bilang aja Direktur Utama PT. Adhitama. Tolong sampaikan, ya, Sus!” Amelia memelas. “Baik, tolong tunggu sebentar!” Perawat itu akhirnya mengalah. Amelia mengulas senyum sebagai tanda terima kasih. Sang perawat segera menghubungi melalui sambungan telepon yang tersedia di atas meja. “Baik, Mbak! Kata Dr. Fitri, Mbak boleh masuk setelah pasien habis, mohon menunggu sebentar, ya!” “Baik terima kasih.” Amelia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Hampir pukul sembilan malam. Perutnya sudah mulai terasa perih. Gadis itu baru teringat kalau dia belum makan malam. Tetapi, dia harus sabar menunggu dulu. “Silahkan masuk, Mbak!” titah sang perawat setelah pasien di klinik itu benar-benar habis. Amelia bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju ruangan yang ditunjuk oleh perawat jaga. Sedikit nerveus juga gadis itu ketika sudah berada di ambang pintu ruangan khusus sang Dokter. Entah seperti apa
Bab 150. Daffin masak Sendiri Amelia gegas turun dari mobil sepulang dari klinik Dr. Fitri, begitu khawatir akan keadaan Daffin. “Bagaimana keadaan Pak Daffin?” tanya Amelia kepada penjaga yang masih setia menunggu di teras rumah. “Sepertinya sudah tertidur pulas setelah meminum obat yang diresepkan oleh Dokter tadi, Mbak.” “Syukurlah. Saya minta maaf, kalau Bapak-bapak merasa kurang nyaman di sini. Tidak ada pos atau apa yang bisa kalian gunakan untuk istirahat. Saya tidak pernah punya bodyguard, jadi kurang paham tentang fasilitas untuk Bapak-bapak. Kalau Bapak-bapak memang mau beristirahat, silahkan masuk saja ke dalam!” “Tidak masalah, Mbak! Kami sudah terbiasa seperti ini. Lagi pula sebentar lagi kami ganti ship, kok. Kami akan bergantian dengan teman yang lainnya. Kami pulang, bentar lagi, kok, Mbak, istirahat di rumah saja.” “Oh, begitu?” “Iya, Mbak Amel silahkan istirahat saja!” “Baik, saya masuk, ya, Bapak-bapak!” “Silahkan, Mbak!” Amelia merasakan perutnya semak
Bab 151. Amelia Murka “Em, saya jadi teringat masakan mama. Rasanya beda banget dengan masakan siapapun. Seenak apapun masakan di luar sana, tetap kalah dengan masakan mama. Mungkin karena yang namanya ibu, pasti masak itu bumbunya cinta dan kasih sayang, gimana menurut bapak?” pancing Amelia lagi. “Hem.” Hanya itu yang keluar dari mulut Daffin. Amelia merasa tak puas. “Bagaimana dengan Tante Rahayu? Pasti masakan dia juga enak, kan, Pak? Bapak juga niru resep dia pasti saat masak ini tadi?” “Bisa, enggak kita tidak usah bahas perempuan itu lagi?” sergah Daffin. Daffin sebenarnya mulai kesal. Tapi dia berusaha menahan. Tetapi, Amelia merasa berkewajiban untuk mendekatkan ibu dan anak itu kembali. Terutama untuk memenuhi janji yang telah dia ucap kepada Rahayu, pun kepada Dr. Fitri. Dia harus berusaha lebih gigih lagi. “Tante Rahayu sangat menyayangi Pak Daffin. Dia pernah mengalami stress berat karena pengkhianatan papa Anda, bukan? Apakah Bapak tahu kalau alasan Tante Rahayu
Bab 152. Ada Apa Dengan Hati Amelia “Mbak! Mbak Amel! Baiklah, jika Mbak Amel tidak mau memaafkan saya, artinya saya memang harus segera pergi dari rumah ini, bukan? Semoga masih ada kamar kosong di hotel terdekat. Saya permisi Mbak Amel!” Nyes! Ada perih yang menelusup di hati Amelia. Kenapa dia tak rela pula jika pria itu angkat kaki dari rumahnya? Bukankah itu yang seharusnya terjadi? Pria pemarah itu harus keluar dari rumahnya. “Jika Mbak Amel tidak sudi melihat wajah saya, tidak apa-apa, Mbak! Tapi, setelah saya pergi nanti, tolong kunci pagar dan pintunya, ya! Saya pergi …. Terima kasih telah mengizinkan saya beristirahat beberapa jam tadi di sini. Permisi ….” Amelia menghela napas panjang. Lalu mengeluarkannya perlahan. Suara langkah kaki terdnegar menjauh. Suara berisik terdengar sesaat, Daffin memerintahkan anggotanya mengantar ke hotel terdekat. Deru mesin mobil mulai terdengar, kemudian makin samar, menjauh dan hilang. Amelia melemparkan tubuhnya ke atas kasur. Gadi
Bab 153. Amelia Diculik “Apa hubungannya dengan saya?!” sergah Amelia protes. “Pak Daffin di hotel, Mbak! Menurut atasan kami, terakhir Pak Daffin minta orderkan minuman beralkohol. Sebenarnya sudah dicegah, tetapi Pak Daffin maksa. Dan hingga sekarang tidak mau keluar kamar sama sekali. Kata atasan kami, mungkin Mbak Amel bisa membujuk Pak Daffin.” “Saya bukan siapa-siapanya Bos kalian! Maaf, saya juga tak mau ikut campur!” “Tolonglah, Mbak! Ada dana miliaran yang diperjuangkan dalam meeting kali ini. Perusahaan bisa rugi besar bila meeting dibatalkan tanpa alasan yang jelas seperti ini.” “Saya tidak ada hubungan dengan Bos kalian! Percuma meskipun kalian bawa saya ke sana!” “Kita coba dulu, Mbak! Kita berangkat, ya! Dan maaf, jika pun, Mbak Amel tidak mau, kami akan tetap memaksa! Tolong jangan pancing kami berbuat kasar!” “Kalian!” Amelia memucat, pun dengan Dadang. Pria yang tadi menunggu di motor tiba-tiba sudah ada di dalam mobil, tepat di belakang stir. Sebuah be
Bab 154. Runtuhnya Keangkuhan Daffin “Jadi, anggota saya sengaja menculik Anda untuk meminta saya membuka pintu itu?” tanyanya ketus. “Ya, Anda itu aneh, Pak Daffin! Seperti anak kecil! Pimpinan perusahaan besar kok, seperti anak ingusan saja. Bagaimana bisa Bapak memajuakn perusahaan Anda kalau Anda tidak bisa memilah mana urusan pribadi dan mana urusan perusahaan. Bukankah meeting Anda hari ini untuk bisnis yang nilainya miliaran itu? Bayangkan apa yang akan terajdi bila Anda mengunci diri terus di akmar seperti tadi! Pantes saja Tante Rahayu belum mau menyerahkan perusahaan atas nama Anda!” “Stop! Cukup! Sekarang kau keluar!” Amelia tak lagi terkejut. Kalimat kasar ini bukan pertama kali dia dengar. Peristiwa tadi malam sudah lebih dari cukup untuk dia belajar. Belajar memahami karakter sang Bos besar. “Saya sudah diculik anggota Anda, Pak! Maka Anda harus membayar perbutan mereka kalau tidak mau saya perkarakan Anda dengan tuduhan otak penculikan.” “Apa maksud Anda? Mau per
Bab 200. Tamat (Malam Pertama Amelia)Amelia bersimpuh di pangkuan sang Papa. Memohon doa restu dengan derai air mata haru. Daffin mengikuti berbuat yang sama.Amelia bergeser ke bangku Rahayu. Andy ada di sampingnya. Wanita itu memeluk gadis bergaun pengantin itu. Membisikkan kalimat restu dan menguntai doa sakral. Semoga pernikahan putra semata wayangnya dengan gadis ini penuh keberkahan, abadi, tanpa pernah ada lagi perpisahan.“Terima kasih Tante,” ucap Amelia surut masih dengan berjongkok. Lalu berbisik pada Daffin, pria yang baru saja menghalalkannya. “Mas, minta restu pada Tante Rahayu, ya! Juga kepada Pak Andy, papa kandung Mas Daffin. Lakukan itu, seperti Mas meminta restu pada papaku! Agar pernikahan kita ini berkah, Mas!”Daffin menatap mata wanitanya, lembut. Lalu mengangguk. Pria itu melakukan seperti yang Amelia ucapkan. Untuk pertama kalinya, Rahayu memeluk tubuh putranya. Air mata haru tak henti mengalir deras membasahi kedua pipi kurusnya. Sama harunya sepert
Bab 199. Sentuhan Karena Cemburu Daffin Di Dalam Lif“Ada apa dengan Mas Andre? Aku tahu, kok, dia dirawat di sini,” tanya Amelia penasaran.“Dia ingin bertemu kamu, tanpa Pak Daffin. Mungkin kamu bisa luangkan waktu kamu menjenguknya sebentar.” Dr. Vito mengusulkan.“Waw, Andre ingin bertemu Amelia tanpa aku? Hebat! Apa yang kalian rahasiakan dariku?” Daffin mendelik pada Amelia, pria itu kembali terbakar.“Amelia juga belum tahu, Pak Daffin. Tak ada rahasia. Tapi, Andre memang takut kalau Pak Daffin ikut,” sela Dr. Vito.“Takut apa? Dia mau mengambil Amelia lagi dariku, begitu?” sergah Daffin dengan wajah mengetat.“Bukan tentang Amelia, Pak, tapi … wah, saya tak enak mengatakannya. Tapi, alangkah lebih baiknya kalau Amelia menemuinya!”“Baik, terima kasih, Vito! Aku dan Mas Daffin akan menemuinya! Antara aku dan Mas Daffin tak pernah ada rahasia. Terserah, Mas Andre setuju, takut, dan sebagainya! Ayo, Mas kita ke rungannya! Ayo, Mela! Kami duluan, ya! Dadaah, Bilqis!”Amelia me
Bab 198. Daffin Cemburu Buta“Jangan seperti anak kecil, dong, Mas! Enggak ada angin, enggak ada badai, tiba-tiba aja, Mas Daffin sewot, aku gak paham, ada apa, sih?” Amelia menahan lengan Daffin.“Gak ada! Maaf aku buru-buru!” Pria itu menepis dengan sedikit kasar. Hampir saja gadis itu tersungkur. Sebuah tangan menahan tubuhnya.“Ati-ati, dong, Om! Kacian Antenya!” Seorang anak kecil berteriak dengan lantang. “Untung dipegangi mama Iqis, kalau enggak Antenya udah jatuh! Oom dahat!” sungut bocah perempuan itu lagi. Daffin dan Amelia tersentak kaget. Keduanya menoleh ke sumber suara. Suara itu sepertinya tak asing di telinga Amelia.“Ante Amel?” sang bocah malah lebih dulu mengenalinya. “Ini Ante Amel, kan? Mama, ini Ante Amel!” teriak bocah lincah itu kepada wanita yang bersamanya.“Bilqis?” gumam Amelia seraya merunduk lalu memeluk gadis kecil itu. Daffin terpana. “Ini Mama Iqis, Ante! Mama, ini Ante Amel, temannya Papa! Iqis mau Ante Amel jadi mama Iqis, tapi kata Papa, A
Bab 197. Telepon Dari Dr. Vito“Kalau memang Om Andy dengan Tante Ayu udah ada niat menikah, gak boleh ditunda lagi! Kalau saya dan Mas Daffin, bisa kok, nunggu dulu. Pokoknya Om dan Tante aja duluan! Mas Daffin enggak suka kalau Om Andy menunda lagi, ya, Om, Tante!” kata Amelia menekankan.Kedua calon mertuanya itu saling tatap. Lalu menghela napas kasar.“Mama cepat sembuh, pokoknya! Pak Andy jangan banyak pikiran lagi! Ini, pakai untuk keperluan Bapak! Tentang biaya sekolah Klara dan Indah, jangan pikirkan lagi, sudah diurus oleh anggota saya!” tukas Daffin sembari menyerahkan sebuah kartu kredit kepada Andy.“I-ini apa, Nak?” Andy tergagap. “Ti-tidak usah, Nak Daffin, tidak usah! Bapak akan burusaha bekerja semaksimal mungkin untuk mengumpulkan biaya pernikahan. Bapak tidak mau membebani Nak Daffin!” tolaknya mendorong dengan halus di tangan Daffin.“Pakailah, mulai sekarang Bapak akan saya anggap papa saya. Setelah menikahi Mama, Bapak akan saya bawa ke kantor, bantu saya m
Bab 196. Suasana Tegang Di Rumah Sakit“Tidak perlu sungkan, Ma! Pak Andy, saya terima lamaran Anda terhadap Mama saya, kapan rencana pernikahan kalian, kalau bisa secepatnya, ya!”Tiba-tiba Daffin muncul di ambang pintu.“Daff-daffin …!” Rahayu dan Andy serentak menoleh. Wajah keduanya memucat sesaat. Tetapi langsung terang benderang begitu Daffin menyelesaikan kalimatnya.“Terima kasih, Bapak sudah menjaga mama saya sepanjang malam ini?” ucap Daffin melangkah masuk.Andy langsung bangkit, memberi ruang kepada Daffin untuk mendekati Rahayu. Daffin segera menyalam ibunya, lalu duduk di kursi itu. Senyum semringah mekar di wajah tampannya.Rahayu sadar, hari ini putranya terlihat berbunga-bunga. Ada binar di wajahnya. Bukan karena lamaran Andy pada dirinya. Ada sesuatu, entah itu apa. Apakah ada hubungannya dengan Amelia? Rahayu menerka-nerka.“Jadi bagaimana Pak Andy, kapan rencana Bapak menikahi mama? Saya mau secepatnya. Kalau bisa begitu Mama boleh pulang kata dokter, esoknya
Bab 195. Daffin Menerima Lamaran Andy Untuk Ibunya Pagi ini Andy terjaga karena gerakan di atas ranjang pasien. Rahayu menggeliat di sana. Pria itu perlahan mengangkat kepala yang dia letakkan di tepi ranjang. Persis di sisi sang pasien. “Hey, kamu sudah bangun, Sayang?” sapanya sembari mengucek mata. “Maaf, gerakanku membuat Mas terganggu. Pindah saja tidurnya ke sofa sana, Mas! Kasihan, sepertinya Mas kurang tidur beberapa malam ini,” usul Rahayu menatap iba pria yang sangat dia cintai itu. “Tidak, aku juga sudah bangun. Gimana, kamu mau ke kamar mandi, ayo, aku bantu!” “Tidak usah, Mas. Itu terlalu merepotkan kamu. Aku tunggu perawat saja.” “Tidak Rahayu, kenapa kau masih sungkan. Tolonglah, jangan perlakukan aku seperti orang asing!” “Tapi, kamu memang orang lain, kan, Mas? Kita bukan muhrim, kamu juga bukan suamiku. Aku sungkan kamu membantuku ke kamar mandi. Aku akan minta tolong perawat saja nanti.” “Aku sangat sayang padamu, Yu. Aku sangat sedih kau bicara seperti
Bab 194. Papa Amelia Batal Melamar Regina “Hem.” “Terima kasih, Mel!” Tanpa ragu, Daffin meraih tubuh kekasihnya, membenamkan di dalam pelukan erat. “Aku akan minta pada Papa kamu, agar mau mengalah. Dia boleh melamar Bu Regina, tapi pernikahannya ditunda dulu. Aku mau, kita duluan, Sayang.” “Ya, Papa setuju!” Sontak Daffin melepas pelukan. Anwar telah berdiri tak jauh dari meja makan itu. Suster Ayu dan Bik Jum mengiring di belakangnya. Entah sejak kapan mereka ada di sana. Sedikitpun kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu menyadarinya. “Maaf, Non. Bibik udah berusaha menghalangi agar Bapak jangan masuk ke ruang makan ini, tapi makin dihalangi, Bapak makin maksa masuk,” lirih Bik Jum merasa bersalah. “Papa khawatir, papa minta maaf. Papa kira putri papa sedang ada masalah lagi. Ternyata, papa salah duga. Anak gadis papa rupanya sedang dilamar oleh seorang pria hebat. Papa sangat bahagia. Jangankan menunda pernikahan papa, membatalkan lamaran esok pun, papa bersedia, Nak.”
Bab 193. Lamaran Daffin Di Meja Makan “Apa?” Amelia tersentak kaget. Salah dengarkah dia? Daffin memintanya menyuapi. “Ya, sudah, enggak jadi. Maaf!” ucap daffin dengan wajah sedikit memerah. Telunjuk pria itu langsung mengusap symbol hijau di layar ponselnya. “Ada apa lagi Pak Sastro?” sergahnya meninggikan suara melalui benda pipih itu. “Bu Lidya sudah kami tahan di pos depan, Pak. Tapi, dia tidak berhenti menjerit-jerit. Itu memancing perhatian semua orang yang kebetulan melintas juga warga sekitar. Mohon petunjuk, apa yang harus kami lakukan?” lapor Sastro dari ujung sana. “Hem, perempuan sial! Tidak usah menungguku, bawa ke kantor polisi! Lalu telepon pengacaraku, minta dia mengurus semuanya! Bukti-bukti kejahatan perempuan itu sudah ada di tangan pengacara itu! Sekaligus Bik Rum jadikan sebagai saksi!” kata Daffin menjelaskan. “Siaap, baik, Pak!” Daffin mematikan ponsel, lalu menghela napas panjang seraya menyenderkan tubuh lelahnya ke sandaran kursi. Matanya terpeja
Bab 192. Lidya mengamuk“Tolong jangan seperti anak kecil, Mas! Mas Daffin itu udah dewasa! Tolong bijaklah dalam berpikir, bijaklah dalam berbicara dan juga dalam memutuskan segala sesuatunya!”“Aku masih kurang bijak, ya?”“Ya!”“Baik, aku minta maaf!”“Aku mencintaimu, Mas! Tolong jangan pernah kamu ragukan! Jangan pula kamu kaitkan dengan hal lain!”“Boleh aku bertanya?”“Ya.”“Kenapa istri Papa yang bernama Tina itu mau bermesraan dengan pria selingkuhannya itu, bahkan mereka tak peduli itu di tempat umum? Karena cinta, bukan? Lalu kamu?”“Bukan. Yang mereka lakukan bukan karena cinta. Tapi karena napsu!”“Begitukah? Lalu kamu mengira aku …?”“Tolong jangan tersinggung! Aku hanya merasa ini terlalu cepat! Satu hal yang perlu Mas Daffin ketahui. Meskipun aku sudah pernah menikah, sudah juga pernah menjalin hubungan dengan Mas Andre. Tetapi hingga detik ini aku masih perawan.”“Mel?” sergah Daffin tersentak kaget. Perempuan yang sangat dia cintai ini ternyata begitu sempurna.“Ya